41

Waw. Eke kaget komennya jebol. Penggemar udah pindah ke sini kayaknya. Wakakka.

Kalian tim Fadli atau Mas Nana?

***

41 Madu in Training

Kolam renang hotel The Lawson yang berada di lantai dua puluh terlihat cukup ramai menjelang pukul delapan pagi itu. Daisy memutuskan untuk mengerjakan artikel di dekat situ karena amat berbahaya baginya mengurung diri di dalam kamar sementara Krisna melanjutkan pertemuan bisnisnya di ruang meeting. Amat berbahaya tinggal sendirian dengan hembusan AC super sejuk, kasur nyaman yang ketika tahu harga satu setnya berhasil membuat dompetnya menangis. Saking keponya, Daisy juga sempat googling harga sprei dan bedcover set karena dia berencana untuk membeli beberapa buat hadiah bila ada pengasuh panti yang menikah dan dia merasa sesak napas begitu tahu harganya. 

King Koil versus Kintakun, beda jauh, ih. Tapi beneran, bobok di situ, berasa di surga. Coba bandingini sama kasur kamarku di panti, yang ada males tidur saking tipisnya. 

Dia sudah pasti yakin, daripada bekerja, dia malah ketiduran. Lagipula, setelah digempur hampir semalaman oleh pria sok dingin bernama Krisna Jatu Janardana, dia merasa waktu tidurnya berkurang banyak. Krisna baru berhenti menjelang pukul satu dan mengulangi kembali perbuatannya sebelum salat Subuh. Akibatnya, ketika buang air kecil, dia merasa ngilu dan Krisna yang melihatnya berjalan seperti orang terkena bisul di pantat, tidak berhenti menggoda. 

"Pokoknya, jangan dekat-dekat aku sampai seminggu!"

Huh, mana mungkin Krisna bakal mendengar. Pria itu punya kecenderungan jadi sedikit tuli jika menyangkut urusan bawah perut. Tapi, dia sendiri juga sama sinting dan munafiknya. Dengan penuh percaya diri bilang kepada suaminya kalau dia tidak punya pilihan lain, tapi, nyatanya, begitu dipeluk oleh Krisna, imannya goyah. 

"Hei, melamun di pinggir kolam. Nanti dideketin jin, tahu rasa." 

Daisy mengucap istighfar karena seseorang memercikkan air dari kolam dan hampir mengenai gamis serta laptop di hadapannya. Bisa gawat kalau percikan air tersebut masuk ke mesin. Bukan apa-apa, laptop panti yang dia pinjam sudah berumur dan banyak data penting di dalam sana belum dia pindahkan ke hard disk. Sekalipun, Kinan, temannya yang menjadi moderator di forum KopiSusudotcom menyuruh Daisy untuk melakukan pencadangan data di cloud seperti Google Drive supaya data tidak hilang, dia masih merasa belum perlu. 

Padahal aslinya nggak ngerti, Daisy menertawai dirinya sendiri.

Daisy menjauhkan laptopnya. Dia sendiri berusaha untuk mundur, duduk di bangku yang agak jauh dari kolam, sementara pria yang tadi jadi pelaku yang memercikkan air, melipat kedua lengannya di pinggir kolam dan mengajak Daisy bicara.

"Kirain kamu cuma doyan mainan HP terus selfie kayak cewek-cewek muda jaman now. Nggak tahunya, malah entrepreneur muda."

Daisy ingin sekali membalas kalau sekarang dia malah asyik bergosip dengan teman-temannya di forum. Tetapi, dia menghentikan niat tersebut. Kepada suaminya saja dia tidak cerita, kenapa pula dia harus bercerita kepada pria yang baru dikenalnya? Lagipula, kenapa Fadli terlihat sok akrab kepada Daisy? 

Tunggu dulu, dia adalah teman Krisna. Seharusnya pria itu sudah berada di ruang rapat. Kenapa Fadli malah asyik berenang? Memangnya dia tidak takut dimarahi oleh bos? 

"Kamu menginap di sini juga rupanya. Pantas, Krisna nggak mau diajak nongkrong habis rapat semalam."

Daisy yang tadinya tidak ingin mengobrol dengan Fadli, lantas tertarik begitu pria itu menyebutkan nama suaminya. Dia juga baru tahu bila semalam Krisna memilih langsung ke kamar daripada bersenang-senang dengan teman-temannya.

"Tapi, mukanya tegang banget. Kayak mau ngajak berantem. Makanya, aku sedikit cemas, dia bakal marah-marah ke kamu kayak terakhir kita ketemu."

Tidak ada sedikit pun jejak kemarahan di wajah Krisna tadi malam. Suaminya malah mengajak Daisy berbelanja, makan malam bersama. Dia ingat sekali malah Krisna sengaja tidak makan malam bersama yang lain dan lebih memilih makan bersamanya. Setelah itu, tentu saja mereka melakukan beberapa sesi panas yang pada akhirnya membuat Daisy lupa bahwa sebelum ini dia pernah merasa amat kesal dan benci kepada pria itu.

"Nggak juga." Daisy membalas, berusaha bersikap sopan dan berharap Fadli berhenti mengajaknya bicara. 

Tapi, entah kenapa, bibirnya malah bicara lagi saking dia amat penasaran dengan kehadiran Fadli di kolam renang. 

"Kok, nggak ikut meeting?"

Senyum di bibir berkumis tipis milik Fadli terurai. Anehnya, Daisy merasa sedikit ngeri melihat senyuman yang diberikan oleh pria itu. Tidak seperti Krisna yang irit senyum, Fadli termasuk pria yang suka tebar senyum ke mana-mana dan Daisy termasuk perempuan yang kurang suka disenyumi oleh pria asing. 

"Lagi kurang enak badan. Izin masuk agak siangan dikit."

Oh. Daisy tidak tahu kalau Fadli sakit. Tetapi, agak sedikit aneh menemukan orang sakit yang memilih berenang di hari seperti ini. Bukan apa-apa, biasanya air kolam di pagi hari cukup dingin dan bila dia kurang tahan dengan air dingin, bisa jadi keadaannya makin buruk. 

Daisy memutuskan tidak membalas dan memilih fokus kembali ke layar laptop di depannya. Tetapi, baru dua menit, Fadli kembali memanggilnya.

"Dia nggak marah-marah, kan?"

Kali ini, Daisy merasa pria itu sedang meminta konfirmasi. Entah apa maksud pertanyaan tersebut. Apakah Fadli khawatir atau dia sekadar ingin tahu saja. Padahal tadi Daisy sudah menyebutkan kalau Krisna tidak marah.

"Tapi, aku masih bisa kasih bantuan kalau kamu merasa takut. Siapa tahu Krisna berubah pikiran. Dia agak labil setelah ditinggal Kartika. Dulu dia paling baik, selalu fokus dengan pekerjaan. Cuma, yah, gara-gara itu dia nggak tahu kalau bininya sakit. Dia menyesal nggak menyediakan banyak waktu buat Tika, sampai dia sadar sudah kehilangan dia."

Wajah Fadli terlihat amat serius sewaktu menceritakan tentang Krisna. Ada beberapa hal yang tidak Daisy ketahui dan dia menjadi amat simpati kepada suaminya. Dia merasa maklum akan sikap Krisna yang berpura-pura tegar saat dia benar-benar kehilangan Kartika yang amat dia cintai. Dia sendiri merasa tidak sanggup berdiri dengan tegak saat menyadari bahwa kakak angkatnya telah menghembuskan nafas terakhir tanpa sempat pamit sama sekali. Hal itu juga menjadi salah satu alasan Daisy berusaha bertahan atas sikap kejam suaminya di awal pernikahan mereka.

"Hei, jangan nangis. Aku ngerasa nggak enak banget."

Sumpah. Daisy nyaris jatuh dari bangku rotan yang dia duduki demi melihat Fadli tahu-tahu berada di hadapannya dan berusaha menghapus air mata yang tiba-tiba menetes tanpa izin. Daisy juga sempat mengucap istighfar begitu melihat Fadli tanpa malu duduk di hadapannya hanya menggunakan celana renang yang tidak jauh berbeda dengan celana dalam pria. Bagaimana bisa pria itu begitu percaya diri memamerkan bagian auratnya di depan Daisy. 

"Handukan dulu, Mas." Daisy tidak berani menoleh ke arah Fadli. Dengan susah payah dia meraba-raba perlengkapannya dan menutup layar laptop dengan terburu-buru karena Fadli sepertinya tidak berminat mencari handuk sekadar menutupi bagian bawah pusarnya yang membuat Daisy malah jijik kepada pria itu sementara Fadli sendiri terlihat bangga. 

"Nggak apa-apa. Handukku ditaruh di seberang. Yang penting kondisimu dulu. Jadi, benar, Krisna masih menyakiti kamu? Aku bisa bantu kamu membebaskan diri dari dia. Tenang saja. Nggak usah pikirkan janjimu kepada Kartika. Oh, iya, Bunda Hanum gimana? Masih matre?"

Wah, Fadli tahu benar informasi tentang keluarga Janardana hingga ke bagian seperti ini. Namun, pikir Daisy, agak kurang sopan dia mengatai mertuanya dengan sebutan matre. Seburuk apa pun Bunda Hanum, Daisy tidak akan membuka boroknya. Tapi, sahabat suaminya sendiri malah dengan santai menceritakan sifat mertuanya, cuma pakai sempak, lagi. Ugh, nilai sosialnya langsung amblas di mata Daisy. 

Iya, ini Jakarta. Ibu kota yang katanya menjadi tempat meraih mimpi buat sebagian besar anak muda, termasuk juga tempat buat berekspresi sebebas-bebasnya. Tapi, manusia bermartabat juga tidak bakalan berdiri setengah telanjang di depan istri sahabatnya.

Ini di kolam renang. Sudah seharusnya pakai kancut seperti itu, bukan gamis seperti yang dia pakai. Tetapi, dia tidak berenang. Cuma numpang mengetik dan tahu-tahu saja Fadli dengan penuh percaya diri mendekat ke arahnya. Sekujur tubuh Daisy bahkan merinding geli melihat kelakuan pria itu. Mbuhlah, dia merasa ganteng dan bangga dengan perabotnya, Daisy tidak akan peduli sama sekali.

"Saya nggak ngerti maksud anda tentang Bunda. Kayaknya sudah mau hujan. Saya pamit dulu." 

Daisy berusaha untuk tetap tenang saat dia bangkit dan membawa peralatannya keluar dari area kolam renang. Fadli sendiri sempat memanggil namanya dan perbuatannya itu malah membuat Daisy makin mempercepat langkah untuk menjauh. 

"Des, Krisna itu nggak sebaik yang kamu lihat sekarang. Dia kalau sedang jahat, bahkan bisa menyingkirkan orang semudah menepuk kedua tangan. Aku cuma memperingatkan… "

Masa bodoh pria itu mengoceh seperti apa. Daisy benar-benar ngeri berurusan dengannya. Dia kira, pria itu adalah sahabat Krisna yang paling baik, sampai-sampai suaminya meminta pertolongan Fadli untuk menjadi salah satu saksi di pernikahan mereka. Tidak tahunya, dia malah seolah menikam Krisna dari belakang. 

Daisy sempat mengucapkan terima kasih kepada petugas yang pagi itu menjadi resepsionis di bagian kolam renang. Dengan bantuannya juga, Daisy yang kerepotan membawa perlengkapan laptop dan tas miliknya pada akhirnya bisa masuk lift dengan mudah. 

Tapi, setelah berada di dalam lift, perasaannya jadi bimbang. Haruskah dia menceritakan kejadian barusan kepada Krisna? Hanya saja, dia takut disebut pengadu. Siapa tahu, Fadli pintar memutarbalikkan fakta. 

Cuma, bila bertemu lagi, Daisy cemas memikirkan dia bakal dicekik atau diperlakukan tidak baik. Selain itu, tidak menjadi jaminan Krisna tidak marah. Mereka bisa saja bertengkar dan Daisy bakal jadi penyebab perselisihan mereka. Dia sering sekali menemukan kasus seperti ini, sebuah persahabatan yang dibina bertahun-tahun harus hancur karena masalah perempuan.

Dan perempuannya adalah dia sendiri.

Meskipun begitu, dia benar-benar tidak bohong. Tatapan mata dan gerak-gerik Fadli membuatnya ketakutan. Tidak ada pria yang berniat berbuat baik, tetapi bersikap seperti yang tadi dia lakukan. Sejahat-jahatnya sikap Krisna, belum pernah dia dibuat merinding dan gemetar ketakutan oleh suaminya sendiri. 

Sumpah. Untuk pertama kali, Daisy merasa amat takut berada dekat-dekat dengan seseorang dan hal yang paling baik dia lakukan saat ini adalah mengurung diri di dalam kamar dan tidak akan membuka pintu jika itu bukan suaminya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top