39
Lagi baek aje.
Siapa yang udin baca bab 86? Adinda sop ilernya di IG eke. Kalian udah follow IG eke, belom, sik?
Ntar eke mo gipewey nopel gratis. Buruan follow sono. Dedes moga2 bulan depan open PO ya. Cus nabung.
***
39 Madu in Training
Adu guling antara Daisy dan Krisna berakhir setelah mereka berdua pada akhirnya jatuh ke tempat tidur. Walaupun merasa di atas angin, Krisna tidak bisa berlama-lama menggoda Daisy karena setiap mereka mengulur waktu, jam tutup mal semakin dekat. Karena itu, setelah melihat Daisy puas memukul suaminya, pada akhirnya dia berhasil membuat sang nyonya melangkah masuk ke salah satu department store di dalam mal yang menjual pakaian. Bibir Daisy masih maju dan dia sengaja berjalan di belakang Krisna supaya pria itu tidak kembali menggoda.
Entah menggoda, menyindir, atau bercanda, yang pasti Krisna sudah keterlaluan. Selama ini Daisy diam karena biar pun mulut suaminya pedas seperti campuran sambal setan dengan semut rangrang, dia masih bisa memaklumi perbuatannya. Krisna masih berduka karena baru kehilangan Kartika. Tapi sekarang, sudah lewat empat puluh hari, bahkan lewat juga beberapa hari dari kejadian di rumah Bunda Hanum. Pria itu tidak boleh menggodanya seperti tadi. Urusan tempat tidur bukan untuk dibahas dan ditertawakan.
"Jalan di depan. Lo, kan, yang mau beli baju."
La lo la lo, pikir Daisy. Kepada istri sendiri dia anggap teman sepermainan. Bahkan, Yang Mulia Rasulullah punya nama panggilan untuk istrinya tercinta. Sedang Krisna, sudah dinikahi, digauli, masih saja dia memperlakukan Daisy tak ubahnya bocah lima belas tahun yang tidak nurut bila dimarahi oleh abahnya.
"Kalau kamu nggak nyuruh menginap di hotel, aku nggak perlu beli baju."
Dengan bibir masih maju, Daisy menyempatkan diri untuk melirik-lirik gantungan baju di sekelilingnya. Ada beragam jenis pakaian untuk segala kondisi, mulai dari untuk saat baru bangun tidur hingga untuk tidur kembali.
Ini adalah hari pertama Krisna mengadakan pertemuan, sedang besok menurut suaminya, mereka akan meeting hingga pukul sepuluh atau sebelas malam. Jam segitu, seharusnya mereka berdua bisa langsung pulang dan artinya, dia bisa mencuci gamis yang saat ini dia pakai lalu memakainya kembali besok malam.
Daisy berpikir untuk membeli satu set pakaian tidur. Piyama sepertinya ide bagus karena dia yakin, Krisna bakal illfeel ketika melihatnya. Kalau perlu dia akan mencari model yang paling norak. Namun, sebelum berjalan ke bagian baju tidur dan pakaian dalam yang letaknya tersembunyi, Krisna menyuruhnya untuk memilih gamis.
Ya ampun, gamis paling murah satu juta. Ih, alemong. Abis gaji akika dongse.
Daisy nampak menelan air ludah begitu melihat label harga salah satu gamis model biasa. Di Tanah Abang, dia bisa membeli beberapa stel.
Skip, dah. Cari kemeja aja sama rok.
Krisna yang mengamati Daisy tampak bingung ketika istrinya yang tadinya terlihat amat sibuk memilih-milih gamis lantas berpindah ke bagian blus perempuan. Padahal, dia sudah akan mengatakan bagus pada pilihan Daisy.
Yah, blus doang 499 ribu. Nggak ada diskon. Dompet eke merana. Masak klambi buat sehari di hotel ngabisin sejeti?
Daisy memang sangat jarang membeli pakaian di department store. Pakaiannya jika bukan pemberian Kartika, seragam yayasan, biasanya dibeli secara kredit lewat salah satu pengasuh atau juga dibeli di pasar pagi. Modelnya juga yang paling sederhana karena yang seperti itu harganya biasanya paling terjun bebas. Selama bertahun-tahun, dia merawat pakaiannya dengan amat hati-hati sehingga kemudian dia merasa tidak perlu membeli jika belum rusak.
Mahal, ih. Cari kaos aja. Rak bagian obral di mana, sih?
"Keliling terus. Lo mau beli yang mana? Bentar lagi malnya tutup."
Daisy yang lupa bahwa sejak tadi Krisna menungguinya berbelanja, menoleh kepada suaminya, "Mahal-mahal semua di sini. Sayang duitku kalau cuma baju buat sehari."
"Jadi dari tadi lo mikirin bayarnya? Kan, sudah gue bilang, pilih yang mana aja. Soal bayar urusan gue."
Wajah Daisy jelas-jelas terlihat kalau dia menertawakan kalimat barusan, "Jangan gila, deh, Mas. Beli pakai duitmu? Nanti aku diomelin panjang kali lebar kali tinggi, ngalah-ngalahin volume kubus."
"Maksud lo apaan?" Krisna memandang bingung ke arah Daisy yang sekarang agak sedikit senang karena dia menemukan kaos lengan panjang dengan harga seratus lima puluh ribu. Tetapi, dia juga harus membeli rok bila hendak memakainya.
"Bukannya kamu bilang, hartamu, duitmu, buat Mbak Tika? Ngapain kamu beliin aku baju? Nanti kamu ungkit-ungkit, aku ndak mau."
Meski nada suaranya terdengar santai dan Daisy mengucapkannya sambil memilih pakaian, Krisna yang mendengar kata-kata istrinya barusan tidak menampik merasakan sesuatu yang amat nyeri menikam dadanya, apalagi saat Daisy terlihat menghitung-hitung dengan jarinya sendiri seolah menimbang pakaian yang mana yang harus dia beli dengan perhitungan yang tidak bakal menguras dompetnya.
"Nggak. Ambil yang mana aja. Jangan cuma sebiji. Buruan." Krisna tanpa sadar menarik tangan Daisy dan membawanya kembali ke bagian gamis. Dia dengan cekatan mengambil beberapa potong dan menyorongkannya ke pelukan sang istri, sementara Daisy sendiri menolak, "Nggak mau, ih. Maksa-maksa."
"Lo tinggal ambil. Nggak usah ribut soal harga. Selama rapat kerja, gue dapet duit akomodasi. Buat lo semua. Jadi beli apa aja yang lo mau."
Daisy menatap wajah suaminya seperti seorang polisi menatap wajah maling jemuran, seolah dia tidak percaya kata-kata barusan keluar dari bibir Krisna melainkan dari pengeras suara di atas kepala mereka berdua.
"Nggak perlu. Kasih Bunda aja."
Daisy ingin menambahkan kalimat, "Bundamu kurang duit terus kayaknya, masak baru dikasih, masih cemberut."
Tetapi, dengan bijak dia tidak melanjutkan dan memilih untuk kembali menuju rak obralan saat dia juga berpikir untuk membeli pakaian dalam.
"Gue udah transfer ke Bunda tiap gajian."
Benarkah? Tapi, perasaan Daisy, Bunda Hanum seolah tidak diberi uang oleh putranya dan selalu menuduh kalau Daisy menghabiskan uang Krisna.
"Ya, udah. Sekalian aja Bunda dikirimin duit akomodasi kamu, Mas. Kan, Desi makannya gratis dari panti."
Wajah Krisna segera saja berubah kecut dan menghindari semburan pedas suaminya, Daisy pura-pura sudah berhasil mendapatkan pakaian yang dia incar, sebuah gamis bermotif payet yang sebenarnya lebih layak untuk dipakai ke kawinan. Matanya melotot begitu melihat bandrol harga satu koma delapan juta rupiah dan tanpa ragu dikembalikannya pakaian tersebut ke barisan gantungan di hadapannya.
Alemong, bangkrut diajak ke tempat ginian. Harusnya, beli di atrium bawah aja. Banyak bazar murah. Tapi, muka Mas Krisna serem banget, dih.
"Makan gratis dari panti, Pop Mie, Indomie. Besok-besok, ada yang bagiin makanan di pinggir jalan, lo sikat juga."
Suara Krisna jelas terdengar menyindir Daisy. Tetapi, dia tidak tersinggung. Jangankan makan pemberian orang, mengorek tempat sampah di belakang salah satu kedai fast food mal juga pernah beberapa kali. Dia ingat melakukannya saat sangat kelaparan. Tapi, setelahnya, Daisy merasa geli sendiri dan daripada mengobok-obok tempat sampah, dia lebih suka pura-pura jajan di food court. Bila ada pembeli yang tidak habis, dia akan menyikat sisanya. Lumayan untuk bertahan hidup dalam pelarian sampai dia kembali ke panti.
"Iya, dong. Dikasih gratis gitu. Desi, mah, asal yang ngasih ikhlas ridho, mau-mau aja. Soalnya, kan, makanan kalau hasil pemberian orang, dicari ikhlas ridhonya, karena mau jadi daging."
"Pintar banget lo bales omongan gue." Krisna yang gemas, mendekat ke arah Daisy dan mencubit pipinya. Sudah hampir sepuluh menit mereka berputar-putar di bagian pakaian, tetapi Daisy belum mendapatkan pakaian yang dia mau. Demi Tuhan, ini baru baju untuk satu hari. Bagaimana jika mereka hendak membeli baju lebaran? Engsel kaki Krisna mungkin bisa copot karenanya.
"Lah, kamu nanya, Desi jawab. Atau kamu mau aku diam kayak kemarin?"
Krisna tidak menjawab. Tetapi, sebagai gantinya, dia meminta Daisy mempercepat urusan belanja mereka malam itu. Perutnya sudah kembali lapar dan ketika Daisy pada akhirnya mengambil selembar tunik selutut warna lilac dan rok plisket warna hitam, Krisna menambahkan dua buah gamis berukuran S serta tiga pasang jilbab yang warnanya senada dengan ketiga jenis pakaian yang mereka pilih.
"Ambil baju tidur yang paling seksi." gumam Krisna dengan ekspresi yang sulit dijelaskan oleh Daisy ketika mereka berada di bagian pakaian dalam dan pakaian tidur perempuan. Daisy yang terlalu kaget, menoleh cepat ke arah suaminya sehingga dia yakin, tulang lehernya sedikit bergeser.
"Katamu, Desi boleh ambil yang biasa." protes Daisy dengan wajah merah. Untung SPG yang membantu Daisy memilih pakaian dalam sedang mengambil ukuran yang sesuai dengan milik wanita tersebut sehingga hanya ada mereka berdua di sana, berdebat tentang urusan bagian dalaman yang bagi Daisy merupakan topik amat memalukan.
"Iya. Tapi, yang di patung itu," Krisna menunjuk ke arah manekin di belakang istrinya, "Cakep kalo dipake. Apa kata orang-orang, baju dinas? Beli tiga, ya. Biar bisa ganti-ganti."
Astaga. Pria sinting itu kemudian berjalan menjauhi Daisy dengan langkah seperti orang pincang, seolah berdiri selama beberapa belas menit tadi membuatnya seperti lelaki jompo dan Daisy tidak heran lagi ketika suaminya memasang tampang lega begitu menemukan sebaris panjang kursi logam yang sengaja diletakkan oleh pihak department store untuk menyelamatkan para pria yang kelelahan karena mendampingi istri mereka berbelanja hingga puas.
Namun, sewaktu Daisy berusaha menjauh dan mengabaikan bagian "pakaian dinas" alias "baju haram", Krisna mengingatkan lagi sang istri untuk tidak melupakan pesannya lewat gerakan tiga jari yang membuat Daisy menghela napas dan merasa malu, kenapa dia tidak menyetujui usul Krisna memakai kaos dan kolornya saja?
Matamu!
Cih. Bila Ummi Yuyun mendengar dia memaki suaminya seperti itu, sudah pasti, telinga Daisy bakal kebas kena ceramah yang durasinya paling sedikit dua puluh menit.
"Suami cuma sebiji, disayang. Kalau sekarang dia masih belum bisa cinta, maka tugasmulah menumbuhkan cinta kasih di antara kalian."
Hal yang mustahil, pikir Daisy. Dia tahu dengan jelas perasaan pria itu kepadanya. Nyaris tidak ada celah sama sekali untuknya masuk di antara kisah cinta Krisna dan Kartika. Tugasnya dalam pernikahan ini hanyalah sebagai pengganti Kartika, pemuas hasrat suaminya, bukan sebagai istri yang dia tahu persis, adalah teman hidup, pemilik tulang rusuk yang hilang, belahan jiwa, dan sebagainya.
Dia bodoh? Memang. Sudah jelas dari sananya. Bukti nyata, saking bodohnya Daisy, dia sampai dikembalikan lagi ke panti oleh orang tua angkatnya. Tapi sekarang, dia mencoba berdamai. Dia bukan lagi anak kecil dan yang bisa dia lakukan adalah menerima sikap suaminya seolah-olah pria itu adalah teman dekatnya. Hubungan komunikasi antara mereka berdua sudah mulai membaik dan Daisy sudah merasa cukup senang dengan perbedaan signifikan tersebut bila dibandingkan dengan saat awal mereka menikah dahulu.
Lagi pula, dari awal sudah dia tekankan. Kisah antara Krisna dan dirinya bakal amat tidak manis dan mungkin tidak berakhir bahagia, tetapi, dia sudah berjanji pada Kartika, tidak akan berlari dan akan mundur bila Krisna memintanya untuk pergi dan hal tersebut bisa terjadi kapan saja.
Yang pasti, beberapa waktu ini, dia selalu dihantui sebuah mimpi, mimpi bersama yang berulang, seolah mengetuk alam bawah sadarnya dan terus mengingatkan Daisy, dia tidak boleh egois sama sekali.
Di dalam mimpinya, dia melihat Kartika sedang berdiri di sebuah lapangan amat luas, penuh taburan bunga, memakai gaun putih berkilau indah. Tangan kanannya terjulur dan dia tersenyum kepada seseorang, yaitu suaminya sendiri, Krisna yang berjalan ke arahnya, hendak menyambut uluran tangan Kartika dengan sebuah senyum yang membuat wajahnya terlihat amat tampan.
Orang bilang, di akhirat nanti, manusia akan kembali ke usia di mana mereka pernah jadi amat tampan dan cantik dan hari itu, aku memimpikan Mas Krisna dan Mbak Tika terlihat amat serasi.
Dia sendiri, juga berada di dekat mereka. Duduk di sebuah bangku kayu berhias sulur daun anggur, tersenyum memandangi mereka berdua dan melambai riang sementara Krisna dan Kartika berjalan menjauhinya, menuju sebuah istana amat indah yang membuat hati siapa saja berharap bisa ikut diajak menuju ke istana tersebut.
Kecuali Daisy tentu saja. Dia tidak bisa ikut, bahkan tidak bisa melangkah lebih jauh dari tempat dia duduk saat itu. Kedua kakinya terikat sulur dan bagian bawahnya tampak menghitam, perlahan-lahan bagian hitam tersebut menjalar memenuhi nadi hingga kedua bola matanya dan mengalir keluar seperti air mata dan membasahi pipinya yang putih mulus, lalu dia berbisik dengan suara lembut hingga bisa didengar oleh pasangan jatuh cinta tersebut, "Pergilah, menuju istana bahagia kalian. Semua sudah disiapkan. Kami menunggu di sini, jangan kalian khawatirkan sama sekali."
Daisy menunduk, memandangi gaun putih miliknya. Di bagian perut wanita itu, tampak sebuah gundukan, bergerak selama beberapa detik, lalu diam. Dan tidak lama, bagian bawah tempat kaki Daisy berpijak, keluar cairan hitam, membasahi semua tempat, namun baik Krisna atau Kartika tidak ada yang menyadarinya.
Kami baik-baik saja. Jangan khawatir.
Sungguh. Kami benar-benar baik-baik saja.
Dan mimpi itu, pada akhirnya selalu membuat Daisy sadar, dia tidak perlu jatuh cinta kepada Krisna karena bagaimanapun di berusaha, cinta sejati sang suami, selalu akan kembali kepada cinta pertamanya.
***
Oon kamu, Des.
Mending ama Aak Fad. Bisa joget-joget
"Lo mati gue party, sampe bawah…. Sampe bawahh…"
Dahla, emak-emak mo ngomel-ngomel lagi, Mak, kenafe kaga mirip merita turun Ranjang punya orang, sik? Kok, malah horor?
Ye, sapa suru baca cerita eke? Kalo mo cerita samaan, you pada, baca aja cerita onoh. 🤪🤪🤪🤪
Itu item-item di badan Dedes air infus apa air got, sik? Ngerik banget😜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top