34

Makasih komen yang ramai.

Di KK dan KBM udah bab 81 ya. Dikiiiiit lagi tamat. Habis itu baca work baru eke, Pelangi di Langit Gladiola

***

34 Madu In Training

Tepat pukul dua dini hari, alarm di ponsel milik Daisy berbunyi amat nyaring. Matanya yang tadi terlelap mendadak terbuka. Karena suasana kamar amat gelap, Daisy kemudian meraba-raba saklar lampu dekat bagian kepalanya. Tapi, gerakannya terhambat karena tubuhnya seolah terbelit ular besar yang menyebabkan dirinya susah bergerak. 

Daisy mencoba mengingat-ingat lagi dan sadar bahwa kini yang tengah memeluk tubuhnya adalah Krisna. Pria itu tidak kembali ke kamarnya dan malah ikut tidur, bahkan Krisna juga tidak sadar telah memeluk Daisy seolah-olah dia adalah bantal guling.

… atau malah Kartika. 

Tapi, hal itu tidak membuat Daisy bersedih sama sekali. Kartika adalah kakaknya dan pria di sampingnya adalah suaminya. Atas kebaikan Kartika juga pada akhirnya Daisy bisa berada di rumah ini dan makan tidur seolah-olah dia adalah ratunya. 

Alarm ponsel masih berbunyi dan Daisy ingat kalau benda itu masih tersimpan di dalam tas cangklong miliknya yang semalam dia letakkan di bagian ujung tempat tidur, dekat kakinya. Dia tidak sempat mengeluarkan isinya karena hampir semalaman Krisna menempel kepadanya seperti kutu rambut. Daisy bahkan tidak sadar telah tertidur sebelum suaminya selesai menuntaskan hasratnya. 

Huh, siapa suruh menambah sesi hingga beronde-ronde? Krisna benar-benar sinting. Sejak mereka jadi suami istri, pria itu seperti kelaparan setiap melihat dirinya tampil polos di depan suaminya sendiri. Sesi bercocok tanam pun tidak pernah selesai dalam satu kali garap. Seperti tadi malam, mentang-mentang dia minggat ke panti selama tiga hari, Krisna jadi benar-benar kalap. 

Dia jadi mempertanyakan nafsu suaminya sendiri saat bersama Kartika. Bukankah kakak angkatnya hampir tidak pernah bisa disentuh? Lalu, Krisna menggunakan apa sebagai pelampiasan? Sabun?

"Mas, bentar. Lepas dulu." Daisy mencoba mengangkat tangan Krisna yang membelit perutnya. Pria itu punya lengan yang besar. Daisy merasa tenaganya hilang entah ke mana saat mengangkat tangan suaminya.

"Ke mana?" Krisna membuka mata dan menemukan Daisy sudah merayap ke arah ujung tempat tidur.

"Matiin alarm." 

Daisy membuka tas, meraih ponselnya yang menyala, lalu menonaktifkan alarm. Jam segini biasanya dia terbangun untuk mengetik. Tetapi, dengan adanya Krisna di kamar, dia merasa canggung untuk membuka laptop dan melanjutkan pekerjaannya yang telah tertunda selama beberapa hari. 

Tapi, Krisna nampaknya tidak protes. Si tampan pemilik Astera Prima Mobilindo tersebut melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu selama beberapa saat sementara Daisy berjalan menuju lemari Gendhis untuk mengambil pakaiannya. 

Dia menghela napas menyadari bahwa sepanjang malam tidur hanya bertutupkan selimut. Benar-benar gila pria itu, pikir Daisy. Seharusnya, setelah bercinta, mereka membersihkan diri. Tapi, bagaimana dia bisa ke kamar mandi? Sebelum acara selesai saja dia selalu ketiduran, saking lamanya pria itu menikmati tubuh istrinya.

Anehnya, Krisna tidak pernah protes dan marah ketika Daisy tiba-tiba terlelap karena kelelahan. Padahal, biasanya, jika dia salah sedikit saja, pria itu akan menyemburkan omelan seolah-olah Daisy adalah salah satu pegawai yang berbuat salah di kantornya.

Daisy berjongkok. Pakaiannya ada di dalam kardus mie yang dia letakkan di rak ketiga lemari, agak sedikit bawah. Dia tidak berani menaruh pakaian langsung di rak milik Gendhis. Takut nanti susunan pakaian iparnya yang bagus dan berharga mahal akan terganggu. Untung saja, satu rak di dalam lemari tersebut agak besar sehingga dia bisa memasukkan dua kardus dalam satu rak. Di belakang kardus baju seharusnya berisi cadangan makanan miliknya bila kelaparan. Tetapi, seperti ceritanya kepada Krisna, simpanan mie miliknya telah habis.

Di bagian bawah terdapat peralatan masak dan makan miliknya. Supaya Krisna tidak curiga, dia menyamarkannya dengan sebuah kardus lain berisi kain batik yang sebelum ini dia beli dari seorang wanita tua. Gara-gara itu juga Gendhis sempat ngambek. Tetapi, dia berpikir jika tidak begitu, nasib sang ibu bakal lebih merana. 

Setelah menemukan pakaian tidur berbahan tipis, Daisy memakainya. Sejak Krisna lebih suka dia memakai pakaian model seperti itu, Daisy membeli beberapa buah. Entah kenapa dia menyetujui usul Krisna padahal setelah melihat Daisy memakainya, bibir pria itu terus meracau, mengata-ngatai Daisy senang menggodanya. 

Pakai gamis, salah. Pakai daster, dibilang kayak nenek-nenek. Pakai baby doll, dibilang menggoda dia. Dasar kamu memang resek, Mas.

Daisy menoleh kembali ke arah Krisna yang kini tidur terlentang. Separuh selimut menutup perut hingga kaki. Dadanya naik turun dan seperti dirinya tadi, sepertinya Krisna juga tidak mau repot-repot kembali ke kamarnya untuk memakai baju. Tadi pria itu hanya memakai handuk dan sepertinya, benda tersebut masih tergantung di kamar mandi dekat dapur. 

Tidur aja, ya. Jangan bangun. Aku mau kerja, Daisy bicara dalam hati. Perlahan dia menarik kursi dan menyalakan laptop. Tenggat waktu naskah yang dia kerjakan berakhir dua hari lagi. Untung saja dia sudah menyelesaikan sebagian dari artikel dan kini, Daisy hendak menyudahi sisanya.

Daisy menunggu hingga beberapa menit hingga layar laptopnya pada posisi siap dan dia mulai menekan folder artikel yang diberi nama "Naskah Hotel" untuk mulai mengerjakan ketikannya ketika suara Krisna membuatnya menoleh.

"Lo ngapain?" Krisna memicingkan mata. Lampu kamar memang tidak menyala dan penerangan hanya berasal dari lampu tidur di dekat kepala ranjang. Meski begitu, Krisna bisa dengan jelas melihat istrinya sedang menekan tuts pada kibor dengan wajah amat serius.

"Kerja, eh, ngetik sebentar."

Krisna mencoba mencerna kalimat yang diucapkan Daisy, tetapi kemudian dia bertanya tentang jam yang membuat Daisy lantas melirik ke bagian bawah layar laptopnya, "Dua lewat sepuluh."

"Masih malam. Ngapain lo ngetik. Sini, tidur lagi." Krisna menepuk bagian kasur yang kosong, seolah memberi perintah kepada Daisy untuk menyudahi pekerjaannya.

"Buruan."

Daisy ingin protes, tetapi yang ada malah suaminya memilih duduk. Dia tidak punya pilihan selain menutup layar laptop dan berdiri dari kursi belajar milik Gendhis yang ternyata amat nyaman untuk diduduki. Tidak heran, selama satu bulan lebih dia bekerja di dalam kamar iparnya, Daisy begitu produktif menghasilkan banyak artikel bermutu. 

"Biasanya kamu balik ke kamar." keluh Daisy ketika dia sudah naik ke tempat tidur. Mulanya dia mengira tangan Krisna yang membelit pinggangnya untuk memeluk tubuhnya. Nyatanya, tangan pria itu malah lancang menelusup ke dalam gaun tidur licin milik Daisy dan menggoda Daisy hingga wanita itu mendorong dada Krisna agar menjauh.

"Lepas bajunya, Des. Gue mau lagi."

Astaga. Jadi tujuan Krisna bangun dan memanggilnya hanya untuk melanjutkan lagi balas dendamnya yang sempat tertunda? Daisy bahkan tidak sempat protes saat pria itu menarik kasar gaun tidurnya dan melemparnya entah ke mana.

"Kamu bilang suruh tidur." Daisy berusaha menyadarkan Krisna yang kini sudah seperti bayi kehausan mencari sumber makanan di dadanya sendiri. Dia sudah berusaha untuk tidak tergoda, namun akhirnya kalah karena Krisna seolah sudah mendapatkan banyak energi hasil dari tidur beberapa saatnya tadi.

"Memang." bisik Krisna di telinga Daisy, "tapi lo sudah salah, bangunin gue." 

Yang benar saja. Daisy cuma minta Krisna menggeser tangan, bukan membangunkannya. Lagipula, aneh betul, dia bisa kembali fit setelah tadi puas menggarapnya.

"Tetap aja Desi yang salah." Daisy mengeluh, setelah Krisna mulai menyatukan tubuh mereka. Luar biasa stamina pria sinting yang kini tersenyum amat puas di hadapannya.

"Salah. Lo salah terus. Gue yang benar." 

Seringai Krisna benar-benar menyebalkan. Dia tidak heran bila tak lama lagi pria itu bakal meracau menyebut nama Kartika. Dia sudah terbiasa. Walau agak heran, tadi suaminya tidak melakukan hal itu. 

"Cantik." 

Gumam Krisna yang memuji membuat Daisy menoleh ke arahnya. Mata pria itu sempat terpejam sewaktu dia merapikan helaian rambut Daisy ke telinga kirinya. Karena itu juga, Daisy memilih melemparkan wajah, menjauhi wajah Krisna yang terlihat amat menikmati permainannya menjelang subuh ini. Daisy lebih suka memandangi layar laptop yang tadi dia tutup dan berpikir, dalam waktu tiga puluh menit, biasanya dia berhasil menulis sekitar lima ratus kata. Lumayan banyak untuk seseorang yang saat ini menggantungkan hidup dari hasil menulis. 

Dia juga menggunakan uangnya untuk memberi jatah Bunda Hanum dan itu berarti sedikit lembur tambahan bila dia tidak ingin gaji bulanannya terganggu. 

Ada rasa sedih di hati Daisy karena dia tidak bisa memberikan sebagian gajinya kepada Ummi Yuyun. Pengasuhnya itu selalu menolak dengan halus dan mengatakan kalau uang pensiun almarhum suaminya sudah cukup untuk menghidupi dirinya sendirian, bahkan, untuknya yang makan dan hidup dari panti, sehingga gaji sang mantan suami hanya mengendap saja di rekening Ummi Yuyun.

Daisy mengernyit sewaktu Krisna mempercepat gerakan dan kini bibir pria itu bermain di lehernya. Tapi, Daisy tidak memutuskan untuk menoleh. Walau kini di dadanya muncul perasaan aneh yang hadir setiap Krisna memperlakukannya penuh kasih sayang, dia tahu, tidak boleh berharap lebih. Hati pria tampan di hadapannya saat ini masih dan hanya tertuju kepada kakak angkatnya.

"Peluk gue." Krisna memanggil Daisy, meminta istrinya untuk melingkarkan lengan di leher pria itu.

"Enak, Sayang?" 

Krisna membuka mata, tangannya menyentuh dagu Daisy dan dia meminta jawaban dari sang nyonya. Daisy bingung hendak menjawab apa. Krisna menatapnya dengan begitu lembut. Bahkan, gerakan yang pria itu buat di bawah sana hampir menerbangkannya ke langit ke tujuh. 

Untunglah, dia tidak menjawab dan memilih untuk diam karena beberapa menit kemudian, Krisna yang hampir mendapatkan pelepasan, memeluk tubuh Daisy amat erat dan sembari terengah-engah, dia menjeritkan nama Kartika hingga suaranya menggema memenuhi seluruh ruangan kamar Gendhis, lalu dia ambruk di antara ceruk leher Daisy dengan senyum yang mengisyaratkan kepuasan yang amat sangat.

"Makasih." bisik Krisna, tepat pada saat Daisy mendorong tubuhnya menjauh dan pria itu terlalu terkejut karena mendapati Daisy segera turun dari tempat tidur dan meraih gaun yang tadi dilempar suaminya ke lantai.

"Sayangnya, kamu berterima kasih pada orang yang salah, Mas. Aku bukan Mbak Tika."

Daisy bergegas membuka pintu dan setelah menutupnya kembali, dia berlari menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.

Sial. Kenapa dia malah menangis. Seharusnya dia sudah kebal. Bukankah Krisna selalu melakukan hal itu kepadanya, menganggap Daisy pengganti Kartika. Itulah yang membuat suaminya bertahan selama ini. Jika hendak protes, Daisy seharusnya marah dan menampar pria itu, bukan menangis seperti ini. 

Daisy menutup pintu kamar mandi dan membiarkan tubuhnya merosot hingga ke lantai, lalu mengusap air matanya yang kini jatuh tanpa henti.

Kamu udah janji, nggak bakal main perasaan, Des. Kenapa sekarang kamu nangis? Mas Krisna punya Mbak Tika. Kamu tahu itu dan sampai kapan pun nggak pernah bisa berubah. 

Jangan tolol kamu.

Karena kalau jatuh cinta kepadanya, kamu bakal jadi orang gila dan dia bakal menertawai kamu sampai puas.

Jangan sampai kamu jatuh cinta kepada Krisna. Camkan itu.

***

Jangan naksir Krisna, Des. Ada Babang Fad sama Mas Uki. Mas Nana kata emak-emak mau dikurbanin pas lebaran haji Ngoahahahha


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top