30
Senin jadwal Dedes. Yang mau dobel, banyakin komen yes. Di sebelah lagi gaduh, nih. Heheh
***
30 Madu In Training
Astaghfirullahalazim.
Entah sudah berapa kali Daisy mengucapkan istighfar hari itu. Yang pasti, dia merasa malu sendiri sudah menuduh yang tidak-tidak kepada suaminya sendiri. Gendhis memang menelepon dan menanyakan posisi Daisy dengan nada panik. Kenyataannya hari itu adalah hari ke empat puluh pasca meninggalnya Kartika dan Daisy yang tidak sadar, hanya mampu mengucapkan istighfar atas kelalaiannya hari itu.
Sudah empat puluh hari juga usia pernikahan mereka, tetapi tetap tidak ada kemajuan, pikir Daisy. Bahkan, saat dia tiba di rumah keluarga Janardana yang amat luas dan besar, Daisy tidak bisa menutupi rasa sedih karena Krisna tampak biasa saja melihat dirinya turun dari mobil milik Gendhis.
"Mas Krisna bilang kamu nggak di rumah. Aku udah nyangka kamu di panti, tapi, kok bisa-bisanya kamu nggak tahu kalau sekarang hari empat puluhan?" ujar Gendhis setelah mereka berdua berjalan menuju rumah. Sebenarnya nyali Daisy sedikit gentar. Dia belum pernah diajak ke rumah keluarga suaminya dan selama ini merasa amat tidak percaya diri terutama karena Bunda Hanum agak kurang bersahabat kepadanya.
"Kami berantem." balas Daisy. Walau bukan bertengkar seperti orang berkelahi, tetap saja dia dan Krisna tidak akur dan hal tersebut jadi alasan kaburnya Daisy ke panti.
"Mas Krisna, nih. Apa mau kubogem dia, Mbak?" Gendhis yang merasa prihatin kepada sahabatnya berusaha menghibur hati Daisy, "Jangan, Dhis. Durhaka."
Bibir Gendhis maju sebelum dia kembali menyuarakan pendapatnya, "Sejak nikah sama Masku, kamu jadi banyak berubah, Mbak. Dulu kamu selalu ceria, banyak tertawa. Sekarang, mukamu kayak nahan boker seminggu. Itu mata sembab, pasti nangis gara-gara dia, kan?"
Gendhis selalu tahu. Dia juga tidak segan mengata-ngatai Krisna walau pria itu abangnya sendiri.
"Ya, mau gimana lagi? Sebenarnya jodoh Mas Krisna itu Mbak Tika. Cuma, takdir sudah memutuskan kisah mereka mesti selesai. Kamu, aku tahu naksir banget sama Syauqi, tetapi, gara-gara Mbak Tika, terpaksa kawin sama Masku yang sinting itu."
Tidak heran mereka dekat. Gendhis yang punya prinsip, tidak segan protes bila bertentangan dengan kebenaran, termasuk pada ibu dan abangnya sendiri.
"Dhis, nanti aku ke dapur aja. Nggak enak sama Bunda atau Mas Krisna nongol di depan mereka."
"Alah, Mbak ini." Gendhis menggamit tangan kanan Daisy, hingga hampir menyelip di ketiaknya supaya sahabat kesayangannya itu tidak lari, "ngapain takut? Bunda itu ibumu juga."
"Tapi, kamu juga nggak mau ketemu bundamu." balas Daisy, agar dia sendiri yang tidak terpojok dalam obrolan mereka. Jawaban Gendhis kemudian membuatnya menghela napas.
"Aku kadang merasa kayak anak pungut. Soalnya cuma sama aku aja Bunda nggak sayang. Dia lebih suka sama dua anak perempuannya yang lebih tua, sama Mbak Tika juga."
Wajah Gendhis tampak kaku usai dia bicara dan Daisy jadi tidak enak hati, terutama ketika dia melanjutkan, "kadang aku pingin ganti ibu, tukar ama Ummi Yuyun nggak apa-apa. Tapi, aku sadar, setelah ayah nggak ada, cuma Bunda yang aku punya. Jadi, mau ajaib seperti apa pun, beliau tetap bundaku."
Persis. Pikir Daisy. Itulah yang mesti dia tekankan di dalam pikiran. Mau seaneh dan semenyebalkan apa pun, Krisna, pria itu adalah suaminya. Tapi, nanti, jika Krisna melunjak, dia akan ambil langkah lain, walau tidak tahu seperti apa, entah lari lagi dari rumah seperti yang sebelum ini dia lakukan.
Mungkin, bila dia curhat perkara suaminya, anak-anak di forum sudah pasti bakal menyuruh mereka berpisah, toh, Krisna saja tidak memperjuangkan Daisy dengan layak sehingga mudah saja buatnya pergi.
"Ujian nikah itu bukan cuma satu atau dua bulan di awal pernikahan. Ada yang diuji dengan harta, ada yang diuji dengan kesetiaan, ada juga yang diuji dengan kehilangan anak. Itu semua cara Allah supaya kalian semua naik kelas."
Ceramah Ummi Yuyun seolah-olah sikap Krisna patut dibenarkan. Tetapi, dia juga salah, mendiamkan pria itu dan lebih senang mengunci bibir lalu membiarkan Krisna merundungnya tanpa ragu, demi sebuah janji kepada Kartika.
Ish. Kepada Daisy bahkan sampai berdenyut sehingga dia sendiri tidak sadar sudah berdiri di depan suaminya yang kini bersedekap memandanginya dengan mata terpicing.
Lho? Gendhis mana? Daisy menoleh bingung ke arah sekitar. Dia sudah berada di ambang pintu rumah keluarga Janardana yang terbuka lebar. Acara takziah dimulai Ba'da Isya. Hari itu sudah pukul tiga dan Daisy bisa mendengar alunan murattal menenangkan yang diputar di bagian tengah rumah yang kini kosong melompong. Kursi dan meja tamu sudah dipindahkan ke halaman mereka yang amat luas.
"Masih mau ketemu laki lo? Gue kira udah kabur ke ujung dunia."
Cih. Belum satu menit mereka bertemu, Krisna sudah kembali nyinyir. Dengan bibirnya yang naik sebelah, Daisy yang dongkol mau tidak mau mendekat ke arah suaminya. Dia juga terus mengucap istighfar di dalam hati dan kemudian memberanikan diri mengucap salam kepada suaminya. Daisy juga tidak lupa mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan pria itu, walau lebih besar keinginan di dalam hati untuk mencekiknya daripada berbuat sopan seperti ini.
"Dijemput Gendhis." balas Daisy dengan suara pelan dan bicara di dalam hati, kalau bukan dijemput sama dia, mana mau aku mampir ke sini.
"Giliran Gendhis aja yang jemput, nurut bukan main kayak kerbau dicucuk hidung. Coba sama laki sendiri, mana mau kamu nurut."
Panjang omelan Krisna membuatnya tidak menolak ketika Daisy menempelkan bibir di punggung tangan kanannya. Tumben pria itu melakukan hal tersebut. Biasanya Krisna memilih melengos dan membiarkan Daisy terbengong-bengong karena ditinggal sendirian.
"Kamu yang ninggalin aku."
Sebetulnya Daisy sedikit takut membalas omongan suaminya, tetapi, dia tidak tahan tidak bersilat lidah dengan Krisna saat ini. Masa bodoh dengan penampilan pria itu yang entah kenapa terlihat tampan, melebihi Syauqi yang selama ini menempati posisi nomor satu di hatinya. Mungkin, gara-gara pesona yang terpancar dalam diri Krisna sehingga dia menjadi pemenang kontes Pria Sehat Indonesia.
"Mata lo yang buta. Lo pikir gue nggak lihat pas kabur kemarin?"
Tunggu dulu? Apa maksud Krisna bicara seperti itu? Dia melihat Daisy memesan ojek? Bukankah pria itu sudah pergi dengan mobilnya?
"Bukannya kamu sudah pergi?" Daisy yang kaget, berusaha melepaskan tautan tangan mereka. Sayangnya, Krisna yang masih melotot, lebih memilih menceramahi istrinya.
"Pergi dari mana? Gue nunggu di parkiran, Bodoh."
Ya Allah. Seharusnya dia marah karena Krisna mengatainya dua kali kurang dari dua menit. Tetapi, Daisy tidak menyangka kalau pria itu menunggunya. Lalu, ke mana pria itu pergi jika di posisi parkiran kemarin, mobil Krisna saja tidak ada.
"Gue parkir di blok G, lo nyari di blok F. Makanya gue bilang lo bodoh. Gitu aja nggak ingat."
“Mas, kamu sudah tahu aku bodoh, goblok, tolol, seharusnya kamu lebih bersabar dikit atau seenggaknya ajari aku biar jadi sepintar kamu.” Daisy merasa puas bisa menyemburkan kalimat tersebut sehingga Krisna tampak mengunci bibirnya. Suasana sekitar memang belum ramai, tetapi Daisy sempat melihat ada beberapa motor dan mobil milik sanak keluarga Janardana. Dia berharap bisa menghilang dari pandangan semua orang karena yakin, tidak sedikit yang bakal berbisik-bisik di belakang tentang hubungan mereka yang tidak lazim, menikah di saat Kartika tengah sekarat dan meregang nyawa.
“Pinter banget mulut lo balas.” sambung Krisna lagi, sementara Daisy yang hendak menjauh dari suaminya mendadak berhenti karena di saat yang sama, suara seseorang yang familiar terdengar di telinganya. Ketika Daisy menoleh, suara ramah dari bibir Fadli, salah satu pegawai Astera yang dekat dengan Krisna, terdengar hingga ke gendang telinganya.
Tatapan Fadli sempat terarah kepada tautan tangan Krisna dan Daisy selama beberapa detik. Tetapi, dia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah Krisna dan tersenyum dengan suara amat besar. Kehadiran Fadli juga membuat Daisy bersyukur karena Krisna pada akhirnya membebaskannya dan dia cepat-cepat berjalan menuju ke dalam rumah demi mencari Gendhis, sementara Krisna sempat berbalik ke arahnya namun pria tampan itu tidak berkomentar apa-apa lagi karena Fadli sudah keburu memberikan sederet pertanyaan yang membuatnya menaikkan alis.
“Bukannya lo berdua nggak akur?”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top