28
Eke lupa apdet Dedes lama banget..wkwkwk
Maap. Ramein komen. Kalo ada 300 komen hari ini eke up bab 29 yes.
Di KK sama KBM udah bab 71, mo tamat dia bentar lagi.
Mak emak penggemar Mas Nana sabar, yes. Eke masih ngetik.
Kebayang mulu balesan Mas Nana "Kamu Goyangnya Enak"🤣🤣🤣
Tapi Mak Emak KK ama KBM pendukung Babang Fadli nih.
***
28 Madu In Training
Daisy Djenar Kinasih bangun tidur dengan kepala berdenyut-denyut. Ketika dia membuka mata dan memeriksa layar ponsel, hari itu sudah pukul empat lewat lima puluh menit. Jelas dia kesiangan. Karena itu, dia memutuskan untuk cepat bangun dan segera berjalan keluar kamar untuk membasuh muka dan mengambil air wudu.
Daisy membuka pintu dan menemukan kalau hampir semua lampu rumah sudah menyala. Terdengar suara orang mengaji dan Daisy tahu pelakunya adalah Krisna. Meski begitu, dia hanya mampu menghela napas. Dibandingkan dengan indahnya lantunan Al Quran yang dibacakan oleh Krisna nyatanya tidak sebanding dengan perlakuan pria itu kepada Daisy.
Tapi, dia tidak bisa protes. Salat, mengaji, adalah hal lain yang tidak bisa disamakan antara orang satu dan lainnya. Ada kalanya dia tidak pandai mengaji dan jarang salat, tetapi punya akhlak yang baik. Sebaliknya, rajin salat dan pandai mengaji, ternyata tidak bisa berperilaku baik kepada sekitar. Tetapi, di antara semua itu, tetap saja yang terbaik adalah orang yang mengamalkan semuanya. Punya hubungan baik dengan Tuhan, juga punya hubungan baik dengan sekitarnya.
Tadi dia tertidur sekitar pukul dua lewat tiga puluh dini hari. Setelah Krisna memintanya untuk menemani pria itu makan Pop Mie, mereka tidak banyak bicara. Hanya, sebelum Daisy kembali masuk kamar, pria itu mengingatkannya kembali untuk pergi bersamanya sekitar pukul sepuluh pagi.
Tapi, Daisy tidak tahu apa yang bakal dia lakukan bila mereka benar-benar berjalan bersama, terutama karena Krisna punya kebiasaan marah setiap Daisy buka suara.
"Awas jatuh. Mata dipakai."
Belum satu menit dia berpikir tentang kemarahan suaminya, pria itu langsung muncul di hadapannya dan mengomel tentang dia yang nyaris terpeleset ketika keluar dari kamar mandi. Lagipula, tadi dia mendengar Krisna mengaji, kenapa bisa pria itu tiba-tiba berada di dapur saat dia selesai mengambil air wudu?
"Nggak, kok. Kakiku sudah kering." balas Daisy. Dipandanginya wajah Krisna yang menatapnya dengan mata terpicing. Pria itu bersedekap dan setelah Daisy membalas kata-katanya, dia berbalik dan berjalan menuju anak tangga yang bakal membawanya ke lantai dua.
Kenapa, sih? Pikir Daisy. Setelah meminta Daisy menunggunya makan beberapa jam lalu, sekarang dia muncul seperti setan di tengah malam, mengagetkan Daisy selain dengan kehadirannya juga dengan kata-katanya.
"Jam sepuluh."
Suara Krisna yang sedang meniti anak tangga terdengar meskipun pria itu tidak menoleh lagi ke arahnya.
Idih. Dia kenapa, sih? Gara-gara Pop Mie otaknya jadi begitu?
Daisy tidak mau ambil pusing dan juga tidak mau termakan euforia karena sikap suaminya barusan. Tidak setiap detik Krisna berubah baik dan bila itu benar terjadi, dia yakin sesuatu yang mencurigakan akan datang. Yang pasti, setelah dia sadar bahwa mungkin saja yang barusan lewat dan pura-pura mengkhawatirkannya bisa jadi bukan Krisna melainkan penampakannya, dia barulah memutuskan berjalan kembali menuju kamarnya untuk menunaikan salat Subuh.
***
Prediksinya tentang betapa canggung saat mereka berdua berjalan di dalam lorong supermarket menjadi kenyataan begitu Krisna berhasil mendapatkan kereta belanja yang dia dorong dengan wajah bingung. Entah bagaimana rutinitas belanja bulanan yang dilakukan Kartika bersama suaminya. Pria itu kelihatan seperti belum pernah melakukan hal tersebut sepanjang pernikahannya dengan Kartika.
"Jangan dilihat doang. Ambil yang menurut lo penting."
Lihat. Baru beberapa detik dia berpikir seperti itu dan Krisna seolah paham dengan pikirannya lalu menyuruh Daisy untuk mengambil apa saja yang dia suka.
"Kan, yang mau belanja kamu, Mas." Daisy menekankan kalau saat itu yang sebenarnya butuh belanja adalah suaminya, sementara dia sendiri sebenarnya hanya kehabisan stok mi instan dan rencananya dia akan membeli di miniswalayan dekat rumah saja.
"Lah, lo makan apa kalau begitu?"
Nada suara Krisna yang sedikit tinggi membuat Daisy menoleh ke sekeliling dengan tatapan memohon maaf kepada konsumen lain. Untungnya, saat itu suasana sekitar lumayan sepi dan tidak ada yang menyadari kalau Krisna bicara keras seperti barusan. Dia agak sedikit berdebar dan cemas bila suaminya mulai bicara kasar. Menggunakan elo-gue sebenarnya juga agak kurang disukainya. Tetapi, karena dia tahu Krisna juga begitu kepada Gendhis, jadi dia menganggapnya biasa. Krisna mungkin memperlakukan Daisy seperti adiknya, sehingga dia santai-santai saja meski buat Daisy, agak sedikit menyedihkan.
"Nggak usah, Mas."
Daisy merasa dia tidak perlu melanjutkan dan menebak Krisna bakal mengoceh lagi entah tentang penolakannya atau tentang uang pemberian Kartika yang tidak pernah dia ambil sama sekali.
"Terus lo makan apa?"
Daisy yang berdiri kikuk di depan kereta belanjaan yang dipegang oleh Krisna hanya menggeleng. Dia tidak bisa bersikap malu-malu kucing seperti yang dilakukan di depan Syauqi saat terakhir kali mereka berbelanja bersama. Belanja bersama Krisna lebih mirip saat ujian diawasi guru paling killer di dunia dan dia beruntung masih tetap bisa bernapas hingga detik ini.
"Di panti." balas Daisy pendek. Tapi, segera setelahnya Krisna kembali bertanya, "Pagi sama malam?"
Tumben dia bersikap bak wartawan, terus bertanya sampai puas hatinya dengan jawaban sang istri. Padahal biasanya boro-boro. Daisy makan atau tidak saja dia tidak peduli sama sekali.
"Gara-gara Pop Mie kamu jadi baik begini, Mas. Sudah, nggak usah kamu pikirkan gimana Desi makan."
Daisy kemudian memutuskan untuk berjalan lebih dulu, meninggalkan Krisna yang memicingkan biji mata melihat kelakuan istri mudanya yang amat ajaib.
"Lo nggak usah sok lari kayak cewek-cewek di sinetron, deh." Krisna memanggil dengan nada sedikit tinggi, "Kalau disuruh suami belanja, ya tinggal ambil apa susahnya?"
Langkah Daisy terhenti. Dia berbalik dan memandang Krisna yang kini balas melotot kepadanya. Untung saja tidak ada orang di sekitar mereka saat ini sehingga Daisy cepat-cepat mendekat dan membalas ucapan suaminya.
"Desi nggak lari, Mas. Aku merasa nggak butuh belanja keperluanku buat saat ini."
"Lo ngambek kayak bocah. Ambil aja apa yang lo mau. Gue yang bayar." ujar Krisna gemas. Sementara wanita-wanita lain berharap dinafkahi oleh suaminya hingga mengemis, yang satu ini dengan cuek bebek menolak suruhannya, padahal apa susahnya memindahkan isi dari rak display ke keranjang? Daisy boleh membeli apa saja yang dia mau tanpa memikirkan harganya.
"Makasih, Mas. Desi nggak tahu mesti bilang gimana lagi. Tapi kamu menganggap aku cuma lon*e dan pelac*r di rumahmu. Seperti yang kamu bilang, aku sudah terima bayaran tunai dari Mbak Tika, jadi kamu nggak perlu membayar lag… "
Daisy tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Krisna memukul keranjang lalu berjalan meninggalkan Daisy. Dia sempat bicara, "Nggak setiap waktu gue bersikap baik sama seseorang dan lo sudah bikin kesabaran gue habis." sebelum akhirnya membiarkan Daisy melongo di tempat.
"Apa aku salah ngomong?" Daisy bicara kepada dirinya sendiri.
"Kamu, kan, kalau aku masak, malah nggak makan. Kenapa juga, malah marah-marah nggak jelas karena aku nggak mau dibeliin? Terus kalau kamu beli, kamu makin bisa menindas aku kayak yang sudah-sudah?"
Daisy tidak tahu, di belahan dunia lain, suami seperti Krisna lazim ditemukan atau sebaliknya. Yang pasti, dia merasa seolah dirinya sendiri sedang bermain lakon jadi salah satu tokoh utama di sebuah cerita roman menye-menye yang membuatnya harus sering-sering mengurut pelipis.
"Mbok ya, kalau memang kamu mau menafkahi aku, bicara dengan suara tenang dan rendah. Aku bukannya minta kamu kasih aku uang atau apa, kalau kamu lebih ramah sedikit, mungkin aku berubah pikiran."
Daisy tahu, mengoceh sampai lehernya sakit pun, Krisna tidak akan mendengar. Pria itu sudah berjalan meninggalkannya, keluar dari supermarket dan kini Daisy melihatnya melangkah menuju pintu keluar yang letaknya memang tidak terlalu jauh. Krisna bahkan tidak menoleh lagi sekadar menunggu atau memintanya untuk kembali ke mobil untuk pulang bersama.
Malah, dari gelagatnya, Daisy yakin, dia bakal ditinggalkan seperti saat dirinya berada di hotel dulu. Krisna tidak punya beban sama sekali membiarkannya setelah puas memperkos* Daisy.
Lesu, Daisy berjalan ke luar supermarket. Tidak ada yang dibeli, tentu saja, karena dia tahu diri. Buat apa berbelanja jika dia tidak diperbolehkan menyentuh semua barang milik Kartika? Dan buat apa berbelanja jika pria yang seharusnya menikmati masakan buatannya, juga tidak sudi menyentuh hasil yang telah dia masak sama sekali?
Dugaannya terbukti dua menit kemudian, setelah dia tiba di parkiran tempat Krisna memarkirkan mobilnya tadi. Dia ingat sekali posisi mobil suaminya karena Daisy sempat mengingat ada sebuah tempat sampah berwarna merah yang berada tidak jauh dari mobil Krisna. Sekarang, di tempat yang sama tidak ada lagi mobil dengan merk dan plat yang selalu dipakai oleh sang pemilik diler Astera Prima Mobilindo.
Daisy yang saat itu menggunakan gamis warna hitam dan jilbab berwarna lavender, mencoba tersenyum. Dia tidak heran lagi. Tidak seperti Kartika, dia tidak pernah penting di mata pria itu. Romansa picisan tentang cinta yang terjalin di dapur gara-gara satu cup Pop Mie juga hanyalah khayalan yang dia tahu tidak pernah bakal jadi nyata.
Dia pasti nggak bakal nyari aku kalau sekarang aku milih balik ke panti. Malah, aku yakin, dia nggak peduli sama sekali.
Entah kenapa, Daisy merasakan sedikit kegetiran dan rasa nyeri di dada saat dia bicara sendiri. Akal sehat memaksanya untuk pergi dari rumah itu dan kembali ke panti. Dia butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Krisna yang meninggalkannya saat dia sedikit berharap pria itu mungkin mulai berdamai telah membuatnya amat terkejut dan bila dia berada di rumah pria itu, mungkin dia bakal makin terluka.
Daisy meraih tas cangklong kecil miliknya yang berwarna cokelat tua. Diambilnya ponsel dari dalam dan dinyalakannya layar. Tidak ada pesan dari Krisna yang mengatakan kalau dia akan pergi lebih dulu atau sekadar basa-basi. Riwayat pesan Whatsapp mereka hanyalah pesan-pesan dari Daisy yang hingga detik ini tidak pernah dibaca sebelum deretan pesan meminta nomor rekening Daisy tidak digubris lagi olehnya.
Daisy menggigit bibir, berusaha menahan tangis saat dia akhirnya tidak bisa lagi menghentikan setetes air mata yang turun tiba-tiba. Ibu jarinya tanpa sadar terus bergulir hingga pada satu nama yang berminggu-minggu ini tidak pernah lagi membalas pesannya.
Mbak, aku minta maaf. Aku selalu buat kamu kecewa. Aku kayaknya nggak layak jadi istri suamimu.
Daisy menyeka air mata dengan punggung tangan kiri sementara matanya menyusuri pesan-pesan terakhir yang dikirim Kartika untuknya.
Adikku sayang, berbahagialah.
Mas Krisna pasti bakal sangat menyayangimu seperti aku.
Bohong, Mbak. Suamimu benci banget sama aku.
Daisy memutuskan untuk mengembalikan ponsel ke dalam tas, tapi, dia ingat hendak memesan layanan ojek online. Karena itu juga, Daisy kemudian segera menuliskan tujuan perjalanannya dan menunggu sang pengemudi datang baru dia mengembalikan ponsel ke dalam tas supaya dia bisa berjalan dengan cepat ke titik jemput.
Krisna tidak bakal pusing-pusing mencarinya dan dia berpikir untuk menginap di panti selama beberapa saat. Jika pria itu membutuhkannya, dia akan pulang.
Tetapi, dengan sebuah senyum sedih, dia lantas berusaha tertawa sendiri, memangnya apa yang paling Krisna butuhkan dari seorang Daisy Djenar Kinasih selain urusan di bawah perut?
Tadi dia sudah mengucapkan semuanya kepada pria itu tetapi malah berakhir dengan ditinggalkan seperti ini seolah dia telah membuat sebuah kesalahan yang amat fatal.
Dia bahkan baru belajar menjadi seorang istri. Krisna seharusnya mengajarkan dia bagaimana menjadi istri yang baik, bukan langsung membiarkannya berdiri seperti orang bodoh di pinggir supermarket berharap Krisna bakal kembali menjemput seperti adegan mesra yang sering dia baca dalam novel.
Namun, hingga motor ojek pesanannya tiba dan dia telah menginap hingga dua hari lamanya di panti, tidak sekalipun Krisna Jatu Janardana mencari, menghubungi, atau seperti harapannya, menjemput Daisy. Dia hanya dibiarkan saja, terkatung-katung menunggu dan kemudian bicara pada dirinya sendiri, mungkin ini adalah kali ke lima dia harus kembali ke panti asuhan, dengan status janda.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top