26
Waaaah, Dedes dah banyak penggemarnya. Makasih.
Gapapa tahan sabar, ya. Di KK dan KBM udah bab 60 apa berapa gitu eke lupa. Maaf belom sempat apdet di sono. Eke nyelesain POan dulu, yes. Pada gaduh mo cepet-cepet. Iye kali nyetaknya pake bibir. 🤣
Eke nih, males PO-PO lagi, tapi kadang ada aja yang mau. Mana banyak Pak Tani, lagi. Belum-belum dah ngebajak aja. Mudah-mudahan, Kang Bajak segera dapet karma, yes.
***
26 Madu In Training
Thread: Lekong dan segala problematikanya
Duta Jendolan (Distributor kopi) 98436 post
Hellaw, Gaes. Apakareba. Lambreta kitorang tinta bersua, yes. Eke mawar tanya samsara yey semua. Maklum, eke kan prewi asli yang baru belajar jatuh cinta. Menurut yey, kenapa lekong indang suka marah? Kurang belaian, kurang kasih sayang, atawa kurang perhatian.
Dijawab, yes. Eke tunggu.
Hari itu pukul sebelas siang. Daisy sudah berada di panti. Dia sudah kelar memasak dan sekarang menjadi tugas anak-anak asuhnya yang berusia remaja untuk menuang lauk dan sayur beserta nasi untuk adik-adik mereka ke piring. Meski nasi selalu tersedia, mereka harus mengatur jatah makan setiap anak supaya tidak ada yang mengambil terlalu banyak atau malah mendapat paling sedikit. Bila masih yang ingin menambah, haruslah menunggu hingga semua orang sudah makan dan memang terdapat nasi atau makanan sisa. Tetapi yang seperti itu jarang terjadi. Karena sudah terbiasa, anak-anak panti merasa cukup kenyang dengan jatah mereka dan kebanyakan juga sadar diri, mereka tidak boleh egois karena di sana mereka hidup bersama-sama dengan yang lain, bukan sebagai anak sulung, anak bungsu, atau malah anak tunggal.
“Ummi, Desi mau ke kamar dulu. Mau periksa email.” ujar Daisy kepada Ummi Yuyun yang saat itu masuk dapur. Sang pengasuh senior mengangguk dan mempersilahkan anak asuhnya tersebut kembali ke kamar. Namun, sebelum langkah Dais semakin jauh, wanita tersebut memanggilnya.
“Des, suami kamu kalau dia kerja, makan apa?”
Saat itu Daisy sudah berada di ambang pintu dapur yang memiliki dua pintu. Cukup besar dan luas untuk dilewati beberapa orang. Daisy sempat diam sejenak sebelum menjawab.
Makan apa, ya? Dia, kan, nggak suka kalau bukan Mbak Tika yang ngurus.
Mereka masih tidak saling banyak bicara. Tidak jarang, Krisna berangkat kerja ketika dia masih berada di dapur. Kadang juga dia pergi sehabis subuh. Setiap Daisy bertanya, jawaban Krisna seolah menuduh Daisy hendak ikut campur ke dalam hidupnya. Padahal, dia hanya ingin bersikap seperti istri lainnya, memberi sedikit perhatian walau di dalam hatinya, dia masih merasa amat jengkel kepada pria itu.
“Nggak usah sok perhatian. Fungsi lo cuma buat ngilangin gatel gue aja. Daripada gue bayar lon*e, mending gue manfaatin lo. Gratis. Eh, lupa gue, lo udah terima DP banyak dari Tika, kan?’
Jika ingin menuruti hawa nafsu, sudah dia tinggalkan pria sinting itu. Tetapi, setelah dia kembali bekerja di panti, Ummi Yuyun selalu memberi wejangan dan meminta agar dia menerima keadaan Krisna apa adanya. Daisy tentu tidak bisa cerita tentang sifat asli pria itu kepada ibu asuhnya, tetapi, menahan semuanya di dalam hati seolah membuatnya memiliki tumor amat besar di kepala dan bila meletus malah akan sangat berbahaya buat hidupnya.
“Nggak tahu, Mi.” Daisy berusaha bicara dengan jujur. Selama ini dia tidak mau bertanya atau berkirim pesan meski sudah memiliki nomornya. Pria itu sempat mengirim pesan WA beberapa kali yang isinya antara lain meminta nomor rekening Daisy agar dia bisa mengirimkan uang bulanan untuknya yang didiamkan saja oleh Daisy. Dia merasa semakin tidak punya harga diri bila membalas pesan tersebut terutama karena alasannya untuk uang. Dia juga merasa tidak menghabiskan banyak uang untuk jatah makan terutama setelah dia kembali makan di panti. Untuk makan malam hanya sesekali dia beli. Itu pun bila dia benar-benar lapar. Jika tidak, seperti biasa dia akan makan mie instan dan mengabaikan kata-kata Kartika dulu kalau seharusnya dia makan dengan layak.
“Mbak, jutaan mahasiswa menggantungkan hidupnya pada Indomie dan nggak aku dengar laporan mereka mati gara-gara makan menu yang sama selama mereka jadi mahasiswa.”
“Lho? Gimana, sih, kamu, Des? Nggak boleh begitu. Ayo sekarang siapin makan suamimu. Kasihan dia sudah capek-capek cari uang …”
Seharusnya tidak usah saja, pikir Daisy. Toh dia tidak merasa menghabiskan uang pria itu. Tetapi, mengingat Daisy sekarang menumpang di rumah Krisna, menghabiskan listrik dan air pria itu sepuas hatinya, mau tidak mau dia menuruti titah sang ibu asuh. Walau merasa nasibnya tidak jauh beda dengan anak kos yang mesti membayar biaya tinggal dan khusus untuknya biaya tersebut bukanlah dengan nominal rupiah melainkan dengan tubuhnya.
Ummi Yuyun kemudian mondar-mandir ke arah rak, mencari kotak plastik untuk meletakkan menu lauk makan siang hari itu dan dia kembali memanggil Daisy yang masih bengong di tempat.
“Desi, ayo. Kasihan suamimu kalau dia makan di luar. Belum tentu jajanan di toko itu bersih. Makanan yang dibuat oleh istri, dimasak dengan lantunan doa dan salawat adalah menu paling nikmat di dunia yang akan menguatkan hubungan kalian dunia akhirat.”
Daisy tidak berkutik. Tatapan mata Ummi Yuyun yang dia anggap ibunya sendiri begitu mengintimidasi sehingga akhirnya dia mendekat dan menuruti titahnya untuk menuang nasi beserta lauk sederhana yang dia buat sejak pagi itu.
“Dia belum tentu suka, Mi. Ini cuma sayur asem, tempe goreng, ikan asin, sama sambel. Bukan seleranya.”
Terdengar Ummi Yuyun mendesah sewaktu dia melihat sikap Daisy yang di matanya amat tidak masuk akal.
“Suami yang baik nggak bakal protes istrinya masak apa.” wanita itu melanjutkan, membuat Daisy memejamkan mata dan bisa membayangkan kata-kata seperti apa yang bakal keluar dari bibir suami kakak angkatnya tersebut bila disuguhi menu seperti ini.
Yang dulu aja nggak disenggol padahal masakan bibi-bibinya dan aku cuma panasin doang, pikir Daisy. Apalagi menu siang ini. Kepalanya sampai pusing ingin mengatakan apa lagi agar Ummi Yuyun mengerti kalau hubungannya dengan Krisna tidak seindah yang mereka semua lihat dari luar.
Ketika akhirnya seluruh menu telah masuk ke dalam tiga boks plastik, Daisy kemudian memutuskan untuk kembali ke kamar. Tetapi, bukan untuk melihat jawaban yang dikirimkan oleh teman-temannya di forum melainkan untuk membilas tubuh dan berganti pakaian. Sang pengasuh sudah siap memesan taksi online menuju Astera Prima Mobilindo, diler mobil milik Krisna dan tugas Daisy hanyalah duduk di sana dan memastikan Krisna makan dengan kenyang karena dengan begitu, hubungan cinta mereka akan makin langgeng dan awet.
***
Sewaktu Daisy tiba di lobi depan gedung Astera, dia merasa amat gugup. Di dalam kepalanya, bercokol kuat pemikiran kalau di sana dia pasti tidak bakal dikenali. Toh, Krisna masih belum mengumumkan pernikahan mereka kecuali kepada tetangga dan keluarga karena akan sangat aneh bila mereka melihat ada dua anak manusia berlainan jenis tinggal di dalam satu rumah apalagi salah satunya amat getol mengajak Daisy untuk berkembang biak meski dari bibirnya nyaris tidak pernah terucap kata-kata penuh kasih sayang untuknya.
Gugup itu makin menjadi ketika Daisy berdiri di depan satpam yang menanyai tentang keperluannya. Pria tegap nan sopan dengan baju seragam itu sudah siap memencet nomor pelayanan sesuai dengan kebutuhan konsumen ketika Daisy mengatakan kalau dia ingin bertemu Krisna.
Hari itu, Daisy sudah memakai gamis yang hanya dia pakai untuk kondangan atau di hari besar panti. Untung saja masih ada sisa pakaian bagus sehingga ketika bertemu Krisna, dia tidak akan terlalu malu. Dulu, sebelum meninggal Kartika telah mengingatkannya untuk berpakaian dengan pantas dan setelah melihat kondisi kantor yang begitu megah, Daisy berpikir untuk mampir ke pasar dan membeli beberapa pakaian baru agar dia tidak membuat malu Krisna atau Gendhis saat mereka bertemu.
“Pak Krisnanya ada. Tapi, untuk keperluan apa, ya Bu?” Satpam tersebut bertanya dengan sopan. Tanpa ragu, Daisy menunjuk ke arah kantong kresek bekas salah satu pusat perbelanjaan yang dia bawa dan mengatakan kalau dia ingin mengantarkan isinya kepada Krisna.
Satpam tersebut kemudian mengatakan kalau Daisy bisa menitipkan makanan yang Daisy bawa ke resepsionis tetapi Daisy menggeleng. Mulutnya hampir saja keceplosan menyebut kalau dia adalah istri Krisna tetap Daisy kemudian berhenti bicara. Dia lebih memilih menggunakan ponselnya untuk menelepon Krisna sebelum mengaku istri. Dia takut salah berbuat dan hal itu bakal berujung membuat suaminya kembali marah.
Krisna tidak menjawab panggilan Daisy hingga pada usahanya yang ketiga. Bahkan, saat dia mengirim pesan, Krisna tidak membaca padahal Daisy tahu pria itu sedang online alias sedang aktif di aplikasi WA miliknya.
“Lo tuh cuma tempat pembuangan …”
“Daripada gue bayar lon*e.”
Daisy tahu, bila nekat menemui Krisna padahal saat ini saja dia belum bisa mendapat izin dari satpam bakal membuatnya memperlakukan suaminya sendiri. Dia harus mengedepankan logika walau sebenarnya sudah dipesankan oleh Ummi Yuyun agar menunggu Krisna selesai makan. Tapi, bagaimana bisa disa menunggui pria itu sementara saat ini Krisna saja sepertinya tidak mau ditemui.
Balik ajalah ke rumah. Simpen nasi sama lauknya di kulkas. Ntar kalau dia balik tinggal diangetin. Tapi, misal dia nggak mau, aku bisa makan buar malam, pikir Daisy. Dia kemudian hendak berkata kepada satpam kalau dirinya hendak pulang saat sebuah suara membuatnya menoleh.
“Desi, kan? Istri Krisna?”
Sebenarnya Daisy amat terkejut ada seseorang yang mengenalinya dan orang tersebut seolah mengumumkan kepada dunia kalau sekarang dia adalah istri Krisna Jatu Janardana. Bahkan, wajah satpam di sebelahnya tampak sangat kaget. Hanya saja, Daisy juga sedikit bersyukur karena dengan begitu dia tidak perlu menjelaskan kepada siapa-siapa tentang statusnya. Jika Krisna marah, salahkan saja pria tampan berkemeja biru langit dengan celana bahan warna putih bersih di hadapannya yang sebenarnya membuat Daisy mempertanyakan tingkat kewarasan pria itu. Bagaimana bisa dia tidak khawatir celananya bakal dekil?
“Mau ketemu Krisna? Ayo bareng ke atas. Sekalian aku juga mau ke sana.”
Meskipun canggung, Daisy bersyukur dia mendapatkan seorang penyelamat. Setelahnya dia menyusul langkah pria itu yang berjalan lebih dulu ke arah lift. Tapi, Daisy memutuskan untuk diam dan memandangi ujung sepatunya saja. Dia baru menoleh saat pria tersebut bicara lagi, “Nggak usah malu. Aku Fadli, teman Krisna. Kemarin jadi saksi pernikahan kalian.”
Daisy pikir saksi pernikahan antara dirinya dan Krisna adalah pembesuk dari sebelah kamar Kartika karena dia mendengar demikian. Dia tidak tahu bahwa saat itu Krisna meminta bantuan sahabatnya.
“Oh, iya?”
Daisy tidak tahu mesti bicara apa. Dia hanya membalas dengan senyum kikuk dan kembali menunduk sekalipun lawan bicaranya masih terus mengoceh.
“Belum banyak yang tahu kalau Krisna sudah menikah lagi.” ujar Fadli. Nada suaranya bersahabat dan Daisy bisa merasakan keramahan yang tulus namun tetap saja, dia tidak berani banyak bicara dengan pria yang tidak dikenalnya atau bukan suaminya. Dia yakin, di luar sana akan ada banyak wanita yang histeris dengan ketampanan Fadli. Tapi, tidak buat Daisy. Dulu, dia menganggap Syauqi adalah pria paling tampan di dunia. Tetapi, sejak pria itu menganjurkannya untuk menikah dengan Krisna, pandangannya berubah. Sekarang saja, dia memilih menghindar dari pria itu bila mereka berpapasan. Perasaannya masih amburadul. Meski tubuhnya kini adalah milik Krisna, Daisy tidak munafik mengatakan kalau dulu dia pernah begitu berharap kepadanya sehingga kalau dia berada di dalam satu ruang yang sama dengan Syauqi lebih dari lima belas menit, dia yakin, tekadnya untuk meninggalkan Krisna yang bermulut jahat itu makin menjadi.
Tapi, dia tahu tidak bakal mungkin melakukannya. Yang pertama karena dia telah berjanji kepada Kartika dan yang kedua, jika bukan Krisna yang memintanya pergi maka dia akan memilih tetap berada di samping suaminya tidak peduli semenyebalkan apa pun Krisna Jatu Janardana di matanya,
Setiba di lantai lima, tempat ruangan Krisna berada, Daisy memberi kesempatan kepada Fadli untuk terlebih dahulu menemui Krisna sementara dia sendiri memilih duduk di ruang tunggu. Asisten Krisna ternyata seorang lelaki bernama Faris dan wanita berjilbab itu merasa sedikit aneh karena ternyata suaminya memiliki pekerja laki-laki sebagai asisten alias sekretaris karena kebanyakan pimpinan memiliki pendamping seorang perempuan nan cantik dan seksi yang biasanya amat membantu saat ada tamu pria.
Faris ternyata juga ramah, seperti halnya satpam dan Fadli yang tadi membantu Daisy untuk naik hingga ke lantai lima. Hal tersebut membuat Daisy merasa amat heran dengan kelakuan bos mereka yang jauh dari sikap bawahannya. Apakah karena Krisna bos atau mereka yang menjadi bawahan memang dituntut untuk bersikap demikian?
Daisy terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri sehingga dia tidak sadar kalau di saat yang sama, Krisna ikut keluar mengantarkan Fadli yang saat itu pamit dari ruangannya. Begitu pandangan mereka beradu, Daisy cepat-cepat bangkit dan bergerak menuju suaminya. Baru saja tangan Daisy terulur hendak mencium punggung tangan Krisna, dengan dingin pria itu berkata, “Ngapain lo ke sini?”
Dengan gugup Daisy menunjukkan kotak makanan dalam kresek di genggaman tangan kanannya dan dia sadar saat ini baik Fadli maupun Faris sedang mengamatinya. Mereka berdua juga ikut memperhatikan sikap sang bos namun cepat-cepat Fadli pura-pura sibuk mengobrol dengan Faris. Ketika satu detik kemudian terdengar hardikan dan Daisy seketika meminta maaf, Fadli serta merta angkat kepala. Di saat berikutnya, pintu ruangan Krisna terbanting dan Daisy yang memegangi dadanya karena kaget, mengucap istighfar dengan nada pelan.
Sungguh dia tidak menyangka, di depan anak buahnya dia juga memperlakukan Daisy seperti itu.
“Ngapain lo ke sini? Sok baik ngirim makanan? Jangan-jangan lo isi racun biar gue mati.”
Kalau bukan karena Ummi, nggak sudi aku ke sini, Mas,rutuk Daisy dalam hati. Dia sampai tertunduk malu ketika memutuskan kembali menuju lift agar dia bisa turun ke lantai dasar.
“Biar aku bantu.” suara Fadli kemudian membuat Daisy yang saat itu sedang menekan tombol lift dengan tangan gemetar, berusaha tersenyum. Mata Daisy sedikit merah, perpaduan malu dan sedih di saat yang bersamaan. Tetapi, setelah mereka berada di dalam lift, keduanya tidak bicara. Setelah sekitar lima detik, pintu lift terbuka dan Daisy mengucapkan terima kasih lalu keluar dengan terburu-buru.
Ingatkan dia untuk mengiya-iyakan saja permintaan Ummi Yuyun dan daripada mengantar makanan seperti ini, lain kali Daisy sebaiknya pulang dan menyimpan semuanya di kamar Gendhis.
Kamar Gendhis, dia menahan nyeri di dalam dada, bahkan di rumah sebesar itu dia juga menumpang di kamar adik iparnya. Daisy ingin sekali tertawa tetapi tidak bisa. Semakin dia sadar, rasanya hidupnya amat lucu.
Dia sendiri tidak memiliki tempat entah di hati atau di rumah kakak angkatnya itu.
Yaelah, Dije. Yey bisa kalah samsara lekong itsyu?
"Des, kamu oke? Ada yang bisa dibantu?" suara Fadli kemudian mampir lagi dan Daisy sadar, seperti dirinya, pria itu sedang menuruni anak tangga yang akan membawa mereka keluar gedung.
"Makasih, Mas. Nggak usah. Ini mau langsung pulang."
"Mau diantar?"
Daisy tertegun. Sekali lagi dia dibuat heran oleh kebaikan orang-orang di sekeliling Krisna. Tapi, dengan bijak dia memilih menggeleng. Dia ingin kembali ke kamarnya di panti. Rasanya dia ingin sekali menangis. Tetapi, Ummi Yuyun bakal curiga jika dia masih membawa makan siang yang ditolak oleh Krisna.
"Nggak, makasih. Mau pesan Grab aja." balas Daisy sambil tersenyum.
"Sayang banget nggak dimakan." Fadli menunjuk ke arah kantong yang dipegang lawan bicaranya, "aku kaget lihat dia begitu. Biasanya nggak pernah. Krisna itu sebaik-baiknya manusia."
Daisy merasakan dadanya perih. Suaminya memang orang baik. Entah itu di mata Kartika, di mata Ummi Yuyun, di mata Fadli. Mungkin matanya sendiri yang buta atau telinganya salah mendengar karena yang dia lihat dan dengar hanyalah perlakuan kasar dan umpatan. Krisna hanya baik bila ingin menggaulinya."
Daisy menggigit bibir, berusaha agar dia tidak sedih. Mungkin takdirnya memang seperti itu.
"Kalau dikirimin sama istri makan siang kayak begitu, pasti aku makan. Tapi, bujang nggak laku kayak aku mana bisa begitu." Fadli tersenyum sambil menggaruk rambutnya sendiri, merasa kikuk karena bicara yang tidak perlu.
Hanya saja, ketika mendengar pengakuannya, Daisy kemudian menyerahkan kantong di dalam pegangannya untuk pria itu.
"Mas mau? Daripada mubazir. Maaf, bukan maksudnya ngasih bekasan." Daisy juga akhirnya merasa malu karena dia bersikap begitu. Untung saja, Fadli tidak menolak malah mengucapkan terima kasih begitu kantong dalam pegangan Daisy berpindah ke tangannya.
"Mau, dong. Makasih banyak. Eh, ini serius, kan?"
Daisy menjawab dengan anggukan dan hal tersebut entah mengapa menerbitkan senyum misterius yang tidak bisa dia jelaskan dari bibir lawan bicaranya. Ketika akhirnya Fadli menunjuk ke arah mobilnya sendiri dan dia pamit, hal tersebut membuat Daisy sedikit lega. Dia tidak nyaman berbicara dengan lelaki asing tetapi bersyukur di saat dia seharusnya menangis, perhatiannya teralihkan.
Setidaknya, nasi buatannya tidak terbuang mubazir dan daripada bersedih, Daisy hanya ingin cepat-cepat kembali ke panti dan mengubur diri di dalam selimut di kamarnya lalu berusaha menghibur diri karena dipermalukan oleh suaminya sendiri, telah membuat hatinya kembali terluka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top