22 & 23

Kemaren lupa up.

Eke up 2 bab.

Kalian masih rajin baca, ya? Jangan lupa komen yang banyak, yesss.

***

22 Madu in Training

Jika Daisy mengira omelan Krisna bakal berhenti setelah pria itu menyuruhnya menggunakan pil KB, ternyata, usai Magrib, Krisna makin menjadi. Begitu Daisy keluar kamar dan menawarkan Krisna untuk makan malam, yang jadi fokus pria itu adalah daster yang dikenakan oleh Daisy.

"Ngapain lo pake baju itu? Lepas!"

Daisy saat itu sedang berada di depan kabinet dapur, hendak mengambil piring nasi dan kalimat yang diucapkan oleh Krisna membuatnya berhenti. Apakah sekarang pria itu ingin kembali meminta haknya? 

"Mas? Masak kamu selalu nyuruh aku buka baju di sini? Semalam… " 

Krisna mendekat ke arah Daisy. Untungnya dia sudah sigap bila suaminya nekat melakukan hal seperti semalam. Tapi, ketakutannya tidak terbukti. Krisna hanya mencekal lengan kanannya, agak sedikit kuat. Matanya memerah dan dia tampak sangat emosi.

"Lepasin baju Tika. Lo nggak ada hak pakai baju dia."

Daisy membelalak selama beberapa detik. Dia lantas memperhatikan pakaian yang dipakainya, daster yang tergantung di kamar Gendhis dan ikut dalam cucian. Dia kira pakaian itu milik Gendhis. Tetapi, nyatanya milik Kartika? 

Tunggu, apa mungkin malah dia mengambil benda ini di tumpukan pakaian kotor di kamar suaminya? Daisy tidak ingat. Dia belum terlalu familiar dengan pakaian di rumah ini. Dia hanya berpikir kalau Gendhis meninggalkan pakaiannya di kamar. Memang tadi dia juga mencuci beberapa gamis dan jilbab milik Kartika yang tidak sempat dicuci karena mungkin dia jatuh sakit, 

Tapi, Kartika sudah meninggal. Seharusnya tidak apa bila Daisy memakai pakaiannya. Cuma, dia tidak menyangka respon Krisna bakal seperti itu, seperti anak gadis yang histeris pacarnya direbut teman sebangku. 

Lagipula, sebelum meninggal, Kartika sempat berwasiat bahwa dia boleh memakai semua barang milik wanita itu dan sebenarnya, Daisy tidak bermaksud memakai pakaian Kartika. Dia hanya meminjam sebentar sebelum pakaian rumahan yang ada di panti dia bawa.

"Desi kira ini punya Gendhis." 

Daisy panik karena Krisna sudah menyentuh kancing daster di bagian dada. Dia tidak ingin kejadian semalam terulang lagi. Cepat-cepat Daisy meletakkan piring dan mendorong tubuh suaminya agar menjauh, terutama setelah terdengar omelan lain dari bibir pria tersebut.

"Jangan ngaco. Semua pakaian perempuan di rumah ini adalah milik Kartika. Lo atau siapa pun juga nggak berhak menyentuh apalagi memakainya. Hanya karena lo jadi tempat pembuangan sper*a gue, lo mikir jadi ratu? Ngelun… "

Entah setan apa yang menguasai tubuh Daisy saat tangan kanannya melayang ke pipi kiri Krisna. Satu tamparan keras terdengar dan pria jangkung itu terdiam sementara Daisy dengan wajah memerah dan dada naik turun menahan emosi, hanya mampu mengucap istighfar atas kelancangan yang dia buat.

Astaghfirullah, Ya Allah, ampuni Desi. Astaghfirullah. Desi nggak bermaksud. Astaghfirullah. Astaghfirullah.

"Aku memang manusia hina di mata Allah. Tapi, nggak sepantasnya kamu bilang seperti itu kepadaku. Jika bukan karena permintaan mbakku, nggak akan aku sudi menginjakkan kaki di rumah ini atau bahkan membiarkan kamu menyentuh tubuhku." 

Daisy berjalan cepat menuju kamar dan di dalam sana, dia segera membuka pakaian yang tadi dipakainya dan menggantinya dengan gamis miliknya yang sudah kering. Dia setengah mati menahan air mata agar tidak tumpah karena yakin, Krisna brengsek itu bakal merasa amat bahagia melihatnya merana. Bahkan, sikapnya tadi menunjukkan dengan jelas seolah Daisy sengaja ingin mengambil barang-barang milik Kartika dan menguasai untuk dirinya sendiri.

"Demi Allah." ujar Daisy setelah dia menyerahkan daster Kartika kepada Krisna yang sengaja menunggu di depan kamar Gendhis, "nggak ada niat sama sekali buatku mengambil barang-barang Mbak Tika."

"Oh, bagus." Krisna menyeringai, lalu bicara lagi, "Terus aja kayak gitu. Lo inget, jangan sampai barang-barang di rumah ini lo ambil tanpa izin gue."

Daisy menggigit bibir dan berusaha menguasai dirinya sendiri. Dia terus membisikkan kata-kata penenang dan begitu melihat bekas tamparan di pipi suaminya, kemarahannya langsung menguap. 

"Nggak akan, Mas. Detik ini aku berjanji, nggak bakal aku ganggu semua hartamu, harta Mbak Tika." 

Daisy lalu berbalik masuk kamar Gendhis dan membanting pintunya dengan kuat, mengabaikan suara Krisna yang protes pintu yang dia banting bakal rusak, sementara Daisy sendiri yang masih bersandar di belakang pintu langsung merosot hingga ke lantai sambil memegangi dadanya yang berdebar dengan amat keras.

Sabar, Des. Sabar. Kamu mesti kuat. 

Baru satu minggu, pikir Daisy. Tetapi, batinnya sudah tertekan. Entah terbuat dari apa hati pria yang sudah menikahinya itu. Setelah melempar pil KB kepada Daisy, melarangnya menggunakan semua barang di rumah ini, dia juga tanpa ragu menyebut Daisy adalah tempat penampungan benihnya. Daisy belum pernah merasa sakit hati lebih dari ini. 

Ayo, Sayang. Tersenyum. Mbak Tika bakal menertawaimu kalau kamu kalah, dia membisiki dirinya kembali dengan kata penuh semangat, walau beberapa detik kemudian, air matanya jatuh juga.

"Buang anak itu."

"Lo cuma tempat penampungan sper*a gue."

***

Daisy menunggu hingga pagi tiba dan Krisna berangkat ke kantor barulah dia memutuskan untuk kembali ke panti. Mereka tidak bicara dan Daisy juga tidak mau repot-repot masak dan merayu suaminya makan. Kemarin pagi adalah terakhir kali dia masak. Krisna sudah jelas menolak mentah-mentah hasil masakannya dan ucapan pria itu tadi malam membuatnya enggan menyentuh dapur atau barang mana saja yang dimiliki oleh Kartika. Dia bertahan karena dirinya tidur di kamar Gendhis. Kecuali kamar mandi di dapur, dia memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada barang-barang di rumah suaminya dan berpikir akan membeli beberapa keperluan selagi dia masih berstatus istri Krisna.

Ralat, dia berstatus istri siri dan bukannya merasa sedih, Daisy sedikit senang dengan keadaannya. Perang yang terjadi di antara mereka berdua cukup panas dan bukan tidak mungkin, dengan temperamen Krisna yang cukup tinggi, suatu hari dia bakal menyuruh Daisy enyah dari hidupnya.

"Loh, Mbak? Belum diurus sama Mas Krisna ke KUA?" tanya Gendhis, di siang hari saat mereka berdua janjian untuk bertemu. Daisy bersyukur iparnya itu menelepon saat Daisy hendak berangkat kembali ke rumah Krisna dan dengan mobilnya, Gendhis membantu membawa barang-barang Daisy yang hanya dimasukkan ke dalam dua kardus mi instan. Tidak banyak dan Gendhis mengatakan kalau sebaiknya Daisy meninggalkan saja benda-benda tersebut. Toh, di rumah abangnya, sudah tersedia semua kebutuhan yang bisa Daisy pakai kapan saja. 

"Biar aja. Masmu sibuk." 

Dia masih saja membela Krisna walau kelakuan pria itu amat menyebalkan. Sepertinya dia sudah menjelma jadi titisan Kartika yang begitu mulia. Sayangnya, meski sudah amat totalitas menjalankan tugasnya sebagai istri, Krisna malah jijik berada satu ruangan dengan dirinya, termasuk makan makanan yang dia buat. 

"Astaga, sibuk gimana? Dia masih bisa posting foto lagi makan-makan sama temennya."

Satu sudut di dada Daisy berdenyut nyeri. Gara-gara dilarang menggunakan barang-barang di rumah itu, dia lupa belum makan sejak pagi. Ummi Yuyun sudah menyuruhnya makan tadi, tetapi, Daisy yang terlalu sibuk berkemas malah lupa. Begitu Gendhis datang, mereka langsung pergi begitu saja dan sekarang, ketika mereka berdua berada di sebuah warung makan Padang di sekitaran pasar Tanah Abang, Daisy seolah balas dendam mengisi perutnya dengan nasi dan lauk ikan goreng hingga nyaris tersedak. 

"Nggak apa-apa. Aku juga asyik makan sama kamu. Impas, kan?" 

Gendhis menghela napas. Di matanya, Daisy tampak seperti seorang perempuan yang tidak makan lima hari. 

"Dia memperlakukan kamu dengan baik?" tanya Gendhis, khawatir. Tangan kanannya menyentuh bahu kiri Daisy yang sedang mengunyah. Pipi kanan wanita berjilbab itu menyembul gundukan nasi yang membuat Gendhis merasa amat sedih. 

"Menurut kamu?" Daisy balik bertanya. Dia sangsi Gendhis tahu sifat asli sang abang. Bila Kartika begitu memuja Krisna yang di matanya begitu baik bak orang suci, Daisy juga ingin tahu seperti apa sikap Krisna di mata adiknya. 

"Aku tahu dia sejak kecil. Daripada nyenengin, dia lebih banyak nyebelin. Nggak tahu kenapa, sama Mbak Tika dia nurut kayak ular ketemu pawang. Dulu Mas Krisna, kan, agak nakal. Pacarnya banyak."

Pesanan Gendhis berupa teh manis hangat datang dan dia menyeruputnya selama beberapa saat sebelum bicara, "Melihat sikapnya yang meledak saat Mbak Tika nyuruh kalian ke hotel, aku curiga, dia balik lagi ke sifatnya pas masih bujang. Mas Krisna itu perfeksionis, mudah marah kalau keinginannya nggak tercapai."

Wajah Daisy tampak lesu dan dia berhenti makan. Gendhis bisa melihat kalau saat ini iparnya tampak susah payah bernapas, seolah ada sesuatu yang mengganjal.

"Mbak? Ada yang mau diceritakan? Kamu belum jawab pertanyaanku tadi." Gendhis bertanya lagi, "kalian saling diam? Dia nggak nyentuh kamu?"

Daisy meletakkan sendok ke atas piring dan memilih memandang ke arah luar sembari menyelesaikan kunyahan. Dia juga sempat minum air hangat yang disediakan pihak rumah makan sebelum memutuskan untuk menoleh lagi ke arah Gendhis. 

"Aku ndak tahu mesti mulai dari mana. Bicara jujur nanti dibilang aku menyebarkan aib. Bicara bohong juga percuma. Kamu tahu kapan aku bicara nggak jujur."

Gendhis merasa curiga dengan sikap Daisy. Tapi, dia memilih menunggu. Sesuatu pasti telah terjadi di bawah atap rumah abangnya dan Daisy tidak pernah sekalut ini. 

"Mas Krisna suruh aku KB."

Gendhis menelan air ludah. Jika Krisna meminta Daisy untuk menggunakan obat penunda kehamilan, berarti hubungan asmara mereka cukup hangat. Tapi, kenapa harus menunda? Usia Krisna seharusnya sudah lebih dari layak untuk menimang bayi. Setelah lima tahun bersama Kartika, Gendhis yakin, pasangan baru tersebut tidak sepatutnya menunda kehamilan.

"Dia belum menerima aku sepenuhnya." Daisy sempat mengerjap satu kali dan Gendhis menangkap gelagatnya. 

"Habis ini temenin aku ke supermarket, ya. Mau beli beberapa barang. Mumpung kamu bawa mobil."

Daisy hampir tidak pernah minta pertolongan kepada Gendhis dan sebenarnya dia malu. Seharusnya dia memesan taksi online saja sehingga tidak perlu merepotkan iparnya. Tetapi, nanti, Gendhis bakal merasa heran bila kamarnya di rumah Krisna penuh dengan barang-barang. Dengan meminta bantuan Gendhis, Daisy seolah menegaskan bahwa dia tidak bakal menyentuh harta suami dan kakak angkatnya dan hanya menggunakan barang yang menjadi haknya saja. 

"Tumben belanja." Gendhis merasa heran. Tak urung akhirnya dia memutuskan untuk makan karena tahu bila dua wanita berbelanja, mereka bakal menghabiskan waktu hingga berjam-jam. 

"Biar nanti nggak ngerepotin Mas Krisna kalau aku butuh sesuatu."

Sampai di situ, Gendhis kembali memandang ke arah Daisy dengan penasaran dan akhirnya setelah dia mendesak, Daisy mengaku.

"Aku tidur di kamarmu dan dia di kamarnya. Kalau dia butuh baru dia cari aku. Soal makan dia nggak mau makan masakanku dan memilih makan di luar, seperti yang kamu lihat."

Gendhis terperangah. Dia ingin menelepon Krisna dan melabrak abangnya tetapi Daisy menahan, "Sudah. Nggak usah diperpanjang. Dia nggak mau makan, ya, sudah. Dia bisa beli di luar. Kalau itu bisa bikin nafsu makannya balik. Aku sedang belajar menjadi istrinya tapi aku nggak bisa paksa dia untuk menerima aku kalau di dalam hati dan pikirannya masih ada Mbak Tika. Dia masih berduka."

Huh, baik benar dia menyanjung-nyanjung Krisna, menutupi sikap kurang ajarnya yang telah melukai hati Daisy begitu dalam. Bahkan aibnya. Dia merasa amat heran, mengapa Krisna sampai hati melakukan semua itu. Dulu, dia pernah berbuat salah. Daisy juga sudah meminta maaf sesaat setelah mereka sah menjadi suami istri. Tapi, dia tetap diperlakukan amat kasar dan rendah. 

Apakah dia mesti menunggu keajaiban seperti di dalam sinetron baru Krisna kena batunya dan balik mencintai Daisy seperti kepada Kartika? Memang dia belum memiliki perasaan kepada suaminya. Tapi, jika diperlakukan dengan amat jahat seperti itu, mustahil cinta bisa tumbuh. 

Lagipula, dia tidak mengidap Stockholm syndrome, jatuh cinta pada pria yang menjahatinya. Meski Krisna suaminya sendiri, susah rasanya menerima sikap pria itu dan dia merasa seharusnya dia tidak perlu kembali tapi janjinya kepada Kartika mengalahkan semua rasa kesal dan dia memilih untuk bertahan.

"Eh, Mbak. Mau dicuci ukuran berapa foto kalian berdua?" 

Daisy mengangkat kepala. Dia sudah melanjutkan makan. Pertanyaan dari Gendhis sempat membuatnya bingung, "Foto apa?"

"Foto akad kalian."

Dia bahkan tidak ingat memiliki dokumentasi di hari besarnya. Hari itu, dia hanya mampu menangis membayangkan nasib serta gagal perasaannya disambut oleh Syauqi. Patah hati yang dialaminya jauh lebih besar dibandingkan dengan kehilangan kesempatan untuk mengabadikan momen menjadi istri Krisna. Daisy bahkan tidak ingat ada yang mengambil foto. Kartika terlalu lemah, Krisna sudah kadung menahan marah, Bunda Hanum tidak terima, dan sepanjang acara, Daisy hanya mampu menundukkan kepala.

Gendhis menunjukkan sebuah foto yang dia simpan di layar ponselnya, momen saat Krisna sedang mengucap ijab kepada wali hakim yang menikahkan Daisy. Dia sendiri tetap menunduk, tidak berani mengangkat kepala sama sekali. Saat itu, matanya sangat bengkak dan dia tidak bisa memikirkan apa pun kecuali berharap kepada kebaikan Yang Maha Kuasa untuk memanjangkan umur Kartika.

"Cuma ada satu, Mbak. Aku sibuk mengangin tangan Mbak Tika yang gemetar. Makanya, aku pikir kamu mau simpan."

Buat apa dia menyimpan foto itu? Beberapa jam dari akad, Krisna menyakiti tubuh dan perasaannya di kamar hotel dengan dalih malam pertama. Hingga detik ini, mereka masih perang dingin dan keduanya tidak bicara lagi setelah tadi malam Daisy mengembalikan daster milik Kartika yang tidak sengaja dipakainya. 

"Nanti aja. HP-ku memorinya sudah nggak cukup. Takut terhapus."

Alasan klise dan Gendhis dengan mudah percaya. Dia lantas mengembalikan ponselnya kembali ke dalam tas dan melanjutkan makan. Perawat muda itu sempat bertanya tentang pil yang dibeli oleh Krisna saat seorang wanita tua berkebaya lusuh dan memakai selendang berwarna merah mendekat ke meja mereka. 

"Nduk, tolongin Simbah."

Daisy berhenti makan dan memandangi nenek tua di hadapan mereka. Apakah wanita sepuh itu adalah seorang pengemis? Kelihatannya dia amat kelaparan. 

Perempuan tersebut membawa sebuah kantong kresek hitam berukuran cukup besar. Kantong tersebut sedikit remuk tanda beberapa kali dibuka tutup dan ketika Daisy memintanya untuk duduk di sebelahnya, dia tidak menolak.

"Sampun dahar, Mbah?" 

Gendhis yang masih mengunyah nasi memandang heran kepada Daisy yang setahunya jarang memakai bahasa Jawa saat berbicara. Tetapi, dia paham, tadi perempuan tua tersebut menggunakan bahasa Jawa dan walau tidak lancar-lancar amat karena dia sudah tidak lagi menginjakkan kaki di tanah Jawa, Daisy tetap berusaha bersikap sopan.

Sang nenek mengangguk. Tangannya kemudian terarah pada bungkusan kresek dan memandang Daisy dengan tatapan memohon.

"Mbah ndak ngemis. Mau jual kain buat ongkos. Sudah keliling tapi ndak laku. Mau pulang ke Solo."

Wanita yang mengaku bernama Mbah Tina dengan cekatan membuka kresek dan menunjukkan isinya kepada Daisy. Ada beberapa potong kain batik yang masih diplastik. Warnanya amat cantik dengan motif bunga, burung, dan juga awan yang membuat Daisy jatuh cinta. 

"Mbah sakit. Mau pulang." Mbah Tina berkata lagi. Wajahnya memang terlihat lelah dan dari pengakuannya, dia datang ke Jakarta bersama rombongan teman akan tetapi mereka berpisah. Si Mbah yang sendirian akhirnya terlantar dan memilih untuk pulang karena kehabisan ongkos. Stok kain yang tersisa sedianya akan dibelikan tiket kereta api atau bus. 

Mbah Tina menyebut angka lima ratus ribu untuk selusin kain berkualitas bagus yang dia miliki. Hal tersebut membuat Gendhis memberi kode dengan tendangan di tulang kering iparnya serta tatapan mata yang mengisyaratkan kalau Daisy tidak perlu tergoda. Wanita tua itu bisa jadi penipu dan setengah juta adalah uang yang sangat banyak untuk membayar kain yang di pasar bisa berharga tiga puluh ribu.

"Ini bahannya beda, Dhis." Daisy memberi tahu. Tangannya sudah mengusap-usap permukaan batik. Entah kenapa, hal seperti itu saja sudah membuat perasaannya sedikit membaik. Meski Gendhis terus melemparkan tatapan "Jangan tergoda" pada akhirnya, sang nenek memberi potongan lima puluh ribu kepada Daisy setelah dia berkata akan membeli semua kain yang tersisa dan membiarkan Gendhis mengoceh. 

"Bukan gitu." Daisy berusaha menjelaskan setelah sang nenek berlalu serta mengucapkan terima kasih yang tidak putus, "setelah Mbak Tika meninggal kemarin, aku keingetan kalau diriku sendiri nggak punya kain, entah itu kain sarung, kain jarik dan selama jenazahnya disemayamkan di rumah, aku lihat mereka beberapa kali ganti kain. Masak, nanti kalau aku meninggal, orang-orang baru cari-cari, kan, nggak lucu." 

Gendhis mengucap, "Amit-amit" sambil menggetok permukaan meja dengan tangan kiri lalu mengusap kepalanya sendiri sehingga membuat Daisy menoleh heran kepadanya.

"Lah, kenapa kamu bilang gitu? Kita nggak tahu ajal manusia. Kamu, sih, enak ada keluarga yang bakal ngurus kalau meninggal. Lah, aku? Bertahun-tahun tinggal di panti bikin aku sadar bahwa aku nggak punya banyak barang. Lagian, aku juga bisa pakai kain ini buat hadiah kalau ada yang lahiran atau menikah."

Daisy tahu, Gendhis tidak puas dengan jawabannya dan dia santai saja. Setelah kata-kata Krisna tadi malam, Daisy berpikir kalau dia memang harus punya simpanan barang-barang sendiri. Kain jarik ini bisa jadi yang pertama. Setelah ini, dia akan membeli piring, sendok, cangkir, panci kecil, dan rice cooker mini. Daisy juga ingin memberi kompor tetapi dia berpikir, rice cooker saja sudah cukup. Dia hanya perlu memasak nasi atau mi instan saja di dalam kamar. Perkara lauk juga mudah. Dia bisa membeli sepotong ikan goreng atau telur dadar di warung nasi dan menyimpannya di dalam rice cooker. 

Kata-kata Krisna semalam telah membuka matanya untuk menjadi mandiri seperti yang selalu dia lakukan di panti. Bedanya, kini dia berjuang untuk dirinya sendiri. Untung saja, Syauqi berbaik hati meminjamkan laptop yayasan. Sebagai ganti, Daisy akan bertugas di panti seharian dan dia akan kembali ke rumah Krisna pada malam hari. Pria itu tidak peduli padanya dan dia juga berusaha untuk tidak ambil pusing. Daisy juga telah menghubungi editornya dan mengatakan kalau dia sudah siap bekerja kembali. 

Untung saja, dia mendapat lelang artikel dan jumlahnya cukup banyak sehingga Daisy berpikir untuk membeli beberapa kebutuhan yang belum dia miliki termasuk pakaian yang tidak bakal membuat Krisna memandangnya rendah. Meski cuma daster, setidaknya dia membeli dengan uangnya sendiri bukan dari mengais pakaian yang ternyata merupakan bekas Kartika, kakak angkatnya. 

Meski begitu, Daisy bersikap seolah-olah dia menggunakan uang Kartika di depan Gendhis. Padahal, boro-boro. Dia tahu kalau Gendhis telah memasukkan semua amplop beserta uang cash di dalam laci lemari beserta catatan dari Kartika. Dia hanya menyempatkan diri untuk membaca surat terakhir dari sang kakak tetapi memutuskan untuk tidak membuka semua amplop tersebut. Uang tabungannya lebih dari cukup untuk dia hidup selama beberapa tahun dan dia tidak menginginkan apa-apa saat menyetujui pinangan Kartika selain untuk menyenangkan hati kakak angkat tersayangnya itu.

Sayangnya, ketika Daisy lagi-lagi meminta bantuan Gendhis untuk mengantarnya ke pasar beberapa hari kemudian, dia tidak bisa menahan jengkel ketika sahabatnya itu tahu-tahu berjalan ke toko herbal dan memesan satu set kain kafan yang membuat Gendhis merinding dari ujung kaki hingga kepala dan mengatakan kalau Daisy adalah wanita paling gila yang pernah dia lihat. 

"Kayak Mbak Tika yang punya persiapan ketika dia meninggal, aku juga mau. Yang pasti semua orang bakal meninggal dan aku cuma menyimpan barang-barangku aja, kok, Dhis. Siapa tahu nanti butuh. Kamu orang pertama yang kumintai tolong dan jangan lupa, kalau aku mati nanti, kasih semua itu sama mereka, oke. Jadi aku nggak perlu ngerepotin orang lain."

Ketika lagi-lagi Gendhis mengatainya sinting, Daisy hanya mampu tersenyum. Dia tidak kuasa untuk memberi tahu sahabatnya tersebut bahwa di dalam rumah megah milik Krisna Jatu Janardana, dia hanyalah seorang pemuas nafsu dan tempat pembuangan benih pria itu. Tidak ada satu hak pun yang dia miliki di sana bahkan untuk kain jarik atau bahkan kafan sekali pun. Krisna tidak berminat sama sekali untuk mengurus istri mudanya dan Daisy yang sudah amat mengerti hanya mempersiapkan diri. 

Itu saja.

"Aku ingin, saat meninggal nanti, nggak ada satu orang pun yang akan direpotkan, bahkan Mas Krisna. Kalian hanya perlu duduk. Bahkan mungkin, nanti, orang lain yang bakal mengantar aku ke liang kubur."

Daisy sudah menyiapkan semuanya, dia sudah memasukkan kain-kain jarik dan kafan yang dibelinya ke dalam kotak mi instan kosong bekas pakaian yang dia bawa dari panti, memasukkan beberapa amplop uang jasa untuk petugas yang memandikan, membersihkan, mengurusi jenazah, mengkafani, bahkan mobil ambulans, serta tukang gali kubur. Dia hanya minta tolong kepada Gendhis untuk menyerahkan kardus tersebut kepada petugas dan setelahnya dia tidak minta apa-apa lagi.

"Ya, gimana bisa kamu minta tolong lagi? Kalau sudah mati, selesai urusanmu dengan dunia. Dan tahu, nggak? Aku benar-benar nggak suka rencanamu ini, Mbak. Seolah-olah, kamu bakal mati besok atau lusa, nyusul Mbak Tika. Sumpah, mikirin hal ini aja sudah membuat badanku merinding. Aku nggak suka."

Daisy tertawa. Benar-benar lucu sikap iparnya. Tetapi, gara-gara itu juga, Gendhis pada akhirnya menolak datang ke rumah Krishna dan membiarkan saja pasangan muda itu terus melanjutkan perang dingin mereka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top