21
Gaduh di IG eke gara-gara totalan babnya 25 padahal aslinya 20. Haiyaaaa.
Yang gak sabar silahkan ke KK atau KBM.
Betewe, kalau dekat, kalian mau ngulek Krisna pake apa?
Wakakkak. Sabar yes.
***
21 Madu in Training
Rencana Daisy untuk mengunjungi panti usai dia mengerjakan semua tugas di rumah tampaknya hanya menjadi angan-angan saja. Rumah sebesar itu ternyata meninggalkan segunung PR yang mesti dia kerjakan sendiri pasca ditinggal nyonya yang ternyata lebih disayang oleh Sang Maha Kuasa. Daisy maklum. Minimal empat belas hari rumah Krisna tidak tersentuh. Itu juga belum termasuk saat Kartika merasa amat lemah dan tidak sanggup melakukan apa-apa.
Memang, jika dilihat secara sepintas, rumah berkonsep minimalis dua lantai yang sekarang dihuninya tampak baik-baik saja, tidak kotor berantakan seperti rumah berisi pasangan dengan tiga anak kecil yang doyan menghambur-hamburkan barang di rumah. Tetapi, selama seminggu terakhir, kedatangan para tamu ternyata membuat tatanan rumah dan taman jadi cukup berantakan. Bahkan, Daisy hampir pingsan ketika menemukan sekantong sampah di bagian belakang rumah berisi perut ayam penuh belatung yang tidak sempat diangkut oleh seksi kebersihan dan dia tidak tahu, sudah berapa lama kantong tersebut berada di sana.
Ketika sadar, dia merasa amat terkejut karena mengetahui matahari sudah menggelincir dan jam di dinding pada akhirnya telah menunjukkan pukul dua lewat sepuluh menit.
Perutnya bahkan berbunyi nyaring, tetapi, Daisy yang tahu kalau Krisna tidak bakal pulang untuk makan siang memilih untuk tidak masak dan hanya menghabiskan sisa bubur ayam pagi tadi supaya tidak mubazir.
Selagi makan, Daisy sengaja membiarkan pintu kaca yang membatasi antara ruang makan dan kolam renang kecil di pinggir rumah terbuka. Ada jalan setapak menuju pekarangan depan. Tetapi, Krisna mengunci pintu samping dan hal tersebut membuat Daisy sedikit tenang. Tidak akan ada orang lain yang keluar masuk rumah seperti saat di panti dan sesuai dengan titah suaminya, Daisy memutuskan tidak memakai jilbab bila berada di dalam rumah. Dia seolah amat anti melihat penampilan Daisy yang menurutnya mirip Kartika, padahal, dilihat dari mana saja, Daisy ya Daisy, bukan kakak angkatnya.
Tapi, dia juga merasa amat gerah memakai gamis dan seingatnya, tadi dia sempat mencuci dan menjemur sebuah daster yang tidak sengaja tercuci. Mungkin, milik Gendhis yang tidak sengaja tertinggal di hari terakhir dia berada di rumah, pikir Daisy. Tadi pagi, dia mengambil semua pakaian kotor di seluruh penjuru rumah dan mencucinya tanpa pilih-pilih. Untung saja ada mesin cuci yang amat membantu Daisy walau dia masih saja mencuci secara manual untuk pakaian yang menurutnya kotor.
Hari juga sedang terik-teriknya dan dia yakin, semua pakaian akan cepat kering. Setelah makan nanti dia akan mengangkat jemuran dan mulai melanjutkan pekerjaan lain yang bisa dia lakukan sebelum pria manja kesayangan Kartika Hapsari itu kembali dari bekerja.
Dia tahu, seperti novel roman yang pernah dibacanya, wanita yang mengalami pernikahan paksa, disuruh meladeni nafsu Krisna dengan cara paling hina, menghadapi kelakuan suami yang tak ubahnya anak kecil perajuk, seharusnya merasa trauma, marah, atau bahkan mengalami ketakutan. Tapi, Daisy merasa tidak punya waktu buat main drama. Iya, hatinya perih dan sakit saat pria itu mengata-ngatainya lont* dan pelac*r. Krisna bahkan tidak punya belas kasihan sama sekali ketika dia melakukan tugasnya sebagai suami pertama kali kepada Daisy. Tubuhnya bahkan masih merekam memori betapa kurang ajarnya pria tersebut dan seharusnya dia melapor kepada polisi.
Tapi dia tidak punya waktu untuk marah. Dia memang kesal, marah, dan sakit hati kepada Krisna. Hanya saja, dia berusaha maklum. Pria itu sedang berduka. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Walau kemudian, dia akan mengomel lagi, pikiran Krisna memang tidak stabil, tapi alat reproduksinya bekerja dengan amat baik dan hal tersebut membuatnya amat dongkol.
"Mas Krisna orang baik, Des. Dia pria yang sangat baik."
Sesuai niatnya, usai makan, Daisy segera mencuci mangkuk bubur, mengeringkannya di rak peniris lalu bergegas ke bagian belakang rumah. Pakaiannya sudah habis dan kini dia masih memakai tunik yang sama dengan yang subuh tadi dipakainya. Untung saja Krisna sedang tidak di rumah. Jika pria itu melihat, bisa jadi dia bakal kena sembur seperti yang sudah-sudah.
Daisy tersenyum ketika menemukan daster yang tadi dicucinya ternyata sudah kering. Beberapa pakaian lain juga sudah kering walau beberapa lagi masih lembab. Gamis memang butuh waktu untuk kering. Dia pada akhirnya mengangkat beberapa pakaian dan membawanya ke ruang laundry yang berada di depan kamar mandi. Di sana, ada meja setrika dan juga kabinet untuk meletakkan pakaian serta rel untuk menggantung kemeja-kemeja Krisna yang sudah disetrika.
Rumah yang sangat indah, barang-barangnya juga. Kartika benar-benar amat beruntung memiliki semua ini. Sayang dia tidak hidup lama untuk menikmati semuanya. Di panti, Daisy masih harus mengerjakan beberapa tugas secara manual. Ada sebuah mesin cuci berukuran 12 kilogram dan untuk mencuci semua pakaian anak-anak asuh tidak bisa semuanya. Mereka mesti menggilir dan beruntung, anak-anak yang sudah berusia remaja, sudah mampu mencuci pakaian mereka sendiri.
Dia bahkan terharu ketika melihat alat-alat masak milik Kartika. Dirinya sendiri sangat menyukai memasak tetapi tidak punya keberuntungan untuk membeli peralatan sesuai keinginannya. Lagipula, kebanyakan dia menjual gorengan dan sarapan pagi yang akan dibawa berkeliling oleh beberapa anak asuhnya setiap pagi untuk menambah pemasukan dan untuk itu tidak perlu menggunakan wajan keramik dari korea atau kompor listrik yang harganya selangit.
Ada beberapa gamis cantik milik Kartika yang ikut tercuci oleh Daisy. Begitu melipatnya, air mata pengasuh panti itu meleleh begitu saja. Dia masih ingat penampilan sang kakak angkat dalam balutan pakaian yang sedang dilipatnya. Kartika amat cantik dan memukau sehingga ketika membayangkannya lagi, Daisy berusaha menahan air matanya agar dia tidak perlu terisak-isak.
Hanya saja, semakin dia berusaha menahan, dadanya malah sesak. Satu-satunya hal yang dia bisa hanyalah mendekap gamis Kartika dengan erat lalu meluapkan semua kerinduannya kepada sang kakak angkat.
"Mbak Tika, kamu baik-baik saja, kan, di sana? Aku selalu doain kamu, sebisaku. Tapi, aku nggak bohong, aku kangen kamu, Mbak. Kangen banget ketawamu yang lembut dan membuatku selalu tenang."
Daisy menarik napas dan dia berjalan ke arah ruang tengah. Sebuah pigura berukuran 5R berada di rak sebelah TV berisi gambar Kartika sedang duduk di kursi teras depan rumah. Senyumnya lepas dan Daisy bisa menebak, Krisnalah yang mengabadikan foto tersebut.
Air mata Daisy tumpah lagi. Kartika terlihat amat sehat, tubuhnya berisi dan wajahnya bercahaya. Dia mendengarkan suara tangisnya di dalam rumah sebesar ini dan Daisy sadar bahwa saat ini dia sedang sendirian dan merindukan kakak angkatnya.
"Aku terima dia apa adanya, Mbak." Daisy mengusap air mata. Bahunya naik turun dan kini dia bicara lagi, "Kamu tenang- tenang di sana. Meski dia nyebelin, meski dia nggak pernah bicara baik kepadaku, aku janji, bakal kuat dan bertahan."
Hatinya memang terluka, tapi dia senang telah menunaikan janjinya kepada Kartika. Pelan-pelan, dia bakal membuat hati pria kesayangan kakak angkatnya melunak dan dia tahu, bakal butuh banyak usaha keras. Tapi, ini baru permulaan dan dia tahu, dia pasti bisa melewati semua itu.
***
Krisna kembali dari kantor menjelang waktu salat Magrib. Daisy agak sedikit terkejut sewaktu mendengar suara klakson dan pagar rumah digeser. Waktu itu dia sudah memakai mukena. Untung saja, rumah sudah rapi dan dia tanpa ragu bergegas menuju ruang tamu dan membuka pintu.
"Waalaikumsalam." Daisy tersenyum sementara Krisna sendiri berjalan santai masuk rumah melewati istrinya. Dia tidak mengucap salam dan merasa aneh dengan sikap Daisy tadi. Meski begitu, Daisy berusaha maklum dan menutup pintu lalu menyusul Krisna yang sudah berjalan lebih dulu.
Sampai di ruang tengah, Krisna melemparkan sebuah kantok kresek berwarna putih berukuran kecil ke atas sofa. Sebelum berjalan ke anak tangga menuju lantai dua, dengan santai dia menoleh ke arah Daisy yang masih takjub dengan perilaku suaminya yang kini bersikap sok dingin.
"Lo pake itu."
Daisy melirik ke arah kantong yang tadi dilempar Krisna. Meski perbuatan pria itu jauh dari kata sopan, Daisy tidak bisa menghentikan rasa penasaran yang mendera. Tangannya merogoh ke arah kantong dan menemukan satu kotak obat yang kurang familiar di matanya. Pada kotak obat tersebut terdapat wajah seorang wanita bertuliskan merk Diane.
Daisy kemudian memeriksa kembali kantong di dalam pegangannya dan menemukan nama apotek tertera di bungkusnya.
"Obat apa ini? Kamu sakit?" cemas, Daisy melirik ke arah Krisna.
"Punya kuping, tuh, didengar. Belum satu menit gue ngomong."
Daisy tahu dia salah. Lagipula, sudah jelas tadi gambar di kemasan adalah perempuan.
"Lo minum pil KB itu."
Lagi-lagi, Daisy tidak paham. Krisna menyuruhnya minum pil KB, buat apa?
"Supaya lo nggak bunting. Biar bisa gue pake tiap hari."
Daisy mengucap istighfar di dalam hati. Jantungnya bahkan berdegup kencang. Krisna lagi-lagi bicara seolah-olah dia barang yang mudah dia gunakan sehari-hari. Lagipula, mereka belum membicarakan soal ini sebelumnya. Daisy memang tidak keberatan soal penunda kehamilan. Tetapi, sebelumnya mereka telah dua kali berhubungan tanpa pengaman.
"Gue nggak mau ada bayi, ada anak lain yang lahir bukan dari rahim Tika, ngerti?"
Wajah Krisna tampak malas-malasan sewaktu bicara dan dia dengan santai berbalik kembali ke arah tangga sebelum Daisy menahannya.
"Kalau aku tiba-tiba hamil, pil KB bisa saja nggak efektif, atau …"
"Buang."
Seringai Krisna adalah senyuman paling menjijikkan yang pernah Daisy lihat. Jika saja dia diizinkan untuk mencekik leher suaminya, maka dia akan melakukannya.
"Maksud Mas, apa?"
"Bodoh banget! Kata gue tadi, gue nggak mau punya anak selain yang lahir dari rahim Tika. Ngerti nggak, lo? Kalo lo bunting, lo mesti buang anak itu. Paham?"
Daisy merasa pandangannya berkunang sewaktu mendengar Krisna bicara seperti itu dan dia hampir melempar kemasan obat dalam pegangannya. Sayang, mulutnya lebih cepat membalas dibanding tangannya sendiri.
"Kamu gila, Mas. Kalau Tuhan sudah berkehendak…"
"Sayangnya gue nggak niat punya anak. Cepet minum aja tuh obat dan jangan banyak bacot. Ini rumah gue. Gue yang ngatur dan selagi lo masih mau tinggal di sini, perintah gue mesti lo turuti."
Krisna dengan santai berjalan menaiki anak tangga sambil bersiul. Dia bahkan tidak ambil pusing saat Daisy kemudian melempar kemasan pil kontrasepsi tersebut hingga membentur tiang tangga dan wanita itu memilih memegangi dadanya yang berdentam amat kuat.
"Jahat banget kamu, Mas. Apa bedanya kamu sama orang tua yang membuang anaknya ke panti? Mereka nggak minta dilahirkan ke dunia? Tapi, orang tuanya sama sekali nggak bertanggung jawab. Sekarang, kamu juga bakal jadi salah satu dari mereka. Kamu manusia paling jahat yang pernah aku lihat."
"Buang anak itu."
Dasar pria jahat, pikir Daisy. Tak urung dia menyentuh perutnya dengan tangan gemetar. Tidak terbayangkan apabila hal tersebut ternyata menjadi kenyataan.
Ya Allah, semoga tidak ada janin yang berkembang di tubuhku. Karena kalau ada, aku nggak tahu, mesti bagaimana kami berjuang karena aku bersumpah, akan membelanya, menjaganya sampai akhir biarpun kelakuan ayahnya melebihi setan yang paling jahat di dunia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top