20

Yang ga sabar, silahkan ke Karyakarsa atau KBM app. Bab 55 kemaren pada ngamuk massal. Hadeeh. Eke kan jadi malu wkwkkw

***

Madu in training 20

Krisna ternyata menjalankan ibadah salat Subuh di masjid dekat rumah dan ketika dia kembali sekitar pukul enam kurang lima belas, rumah telah dipenuhi aroma masakan yang membuat cacing-cacing di perutnya berontak minta dipuaskan. 

"Sarapan, Mas?" 

Daisy menunjuk ke arah meja makan. Terdapat dua mangkuk berisi bubur ayam. Krisna sempat heran, kapan Daisy mempersiapkan itu semua. Seingatnya, selama dua minggu terakhir rumah mereka terlantar. Sejak Kartika masuk rumah sakit dan meninggal, dia tidak pernah lagi peduli dengan keadaan rumah.

"Di freezer masih banyak lauk. Kayaknya sisa yang mereka masak kemarin dimasukin semua sama tante-tantemu, Mas."

Betul, kah? Krisna bertanya dalam hati. Tetapi, dia tidak ingat ada menu bubur ayam seperti ini. 

Melihat gelagat suaminya yang seperti tidak memiliki keinginan buat menarik kursi dan makan, Daisy berinisiatif mendekat. Kartika selalu mengatakan kalau Krisna adalah modelan pria manja yang kalau makan mesti dilayani dan ditunggui. Meski sebenarnya dia dongkol karena kata-kata dan sikap pria tersebut, Daisy mengesampingkan semua perasaan jengkelnya kepada Krisna. 

"Ayo, Mas. Kamu masih harus kerja, kan? Cutinya sudah habis."

Hari itu adalah hari Selasa. Krisna memang tidak mengatakan kalau dia akan berangkat ke kantor. Tapi, mengingat sudah tidak ada acara lagi di rumah dan Daisy sudah izin untuk kembali ke panti, tidak mungkin suaminya bakal duduk dan termangu-mangu sendirian di rumah.

Mengantar Daisy? Huh, dia tidak boleh berharap lebih. Bila Krisna menawarinya, Daisy malah bakal mempertanyakan tingkat kewarasan pria itu. Yang lebih buruk, malah, dia harus membayar kebaikan pria itu dengan sebuah pergumulan panas di atas karpet atau sofa lagi, hiih. Belum-belum, Daisy sudah merinding. Dia selamat karena Krisna memilih tidur di kamarnya sendiri. Tapi, setelah ini? Dia tidak tahu. 

Pria seperti Krisna punya sifat yang aneh. Dia bakal terlihat amat pemarah tapi di saat yang lain, dia seperti kerasukan dan memperlakukan Daisy dengan lembut. Bila saat itu tiba, Daisy akan memanfaatkan dengan baik sikap suaminya. Hanya saja, untuk hari ini, dia tidak yakin. Sekarang saja, Krisna memandangi hasil masakannya dengan tatapan mencemooh.

"Mbak Tika bilang kamu suka bubur ayam, Mas."

Wajah Krisna lebih terlihat seolah dia tidak berselera makan masakan Daisy dan entah kenapa, dari bibir wanita itu terceplos kalimat, "Biar sebal, Desi nggak bakalan campur makananmu dengan deterjen atau racun."

Krisna jelas-jelas melemparkan tatapan sinis. Tapi, Daisy tidak gentar. Kenapa, sih, pria itu tidak tertawa sama sekali? Teman-temannya di dunia maya akan tertawa setiap mendengar candaan yang dia buat.

"Gue nggak makan masakan selain buatan bini gue." 

Ugh, rasanya seperti ditampar dengan cabe setan sepuluh biji. Daisy juga istrinya, kan? Pria itu jelas mengucap akad, untuk mengikat Daisy seumur hidupnya beberapa hari lalu.

"Lah, aku, kan, istrimu." 

Senyum masam yang Daisy lihat di wajah Krisna menunjukkan dengan jelas kalau dia ingin jijik pada kalimat yang istrinya ucapkan.

"Lo kali yang ngebet banget jadi bini gue."

Astaga. Dasar Krisna. Sepertinya pria itu masih berhalusinasi. Lalu siapa yang dua kali minta jatah kepada Daisy tanpa sopan santun sama sekali jika bukan dia? Jin ifrit? Daisy mengucap istighfar. Benar, kah, manusia di depannya saat ini adalah "pria istimewa" seperti ucapan Kartika? 

Bukan istimewa, ini, sih. Tapi, nyebelin banget.

Daisy menarik napas dan berusaha menenangkan diri dengan kalimat motivasi yang dia dengar entah dari Abunawas, Khalil Gibran, bahkan Om Tung Desem Waringin supaya tidak kelepasan bicara buruk kembali tentang Krisna. Pria ini suaminya. Sejelek dan seburuk apa pun sikapnya, dia telah dititipkan oleh Kartika untuk menerima Krisna dengan segala paket lengkap yang dia punya. 

"Duduk dulu, Mas. Kamu nggak makan masakan buatanku. Ini buatan saudara-saudara Bunda Hanum. Desi cuma panasin ulang. Buburnya kebetulan cuma nasi yang masuk rice cooker dan dipencet tombolnya, jadi, secara logika juga bukan Desi yang masak."

Astaga, bisa-bisanya dia jadi tukang bujuk bayi tua itu? Perilakunya tak ubah bayi enam bulan yang sedang belajar makan.

"Makan, ya. Satu minggu ini aku lihat kamu hampir nggak makan."

Daisy tahu, Krisna masih meliriknya dengan tatapan tajam, berarti sebentar lagi, pria itu bakal mengoceh panjang lebar. Dia memilih mengunci bibir dan mendekatkan secangkir kopi ke arah pria itu. 

Kemarahan Krisna akhirnya muncul ketika dia menyesap kopi dan tanpa ragu dia memberi komentar akan hasil karya Daisy tersebut. Jika dia bisa mengelak dengan mengatakan lauk serta bubur dibuat oleh keluarga dan juga rice cooker, maka kopi sudah pasti dibuat oleh Daisy. 

"Ini, nih. Mau nyamain Tika. Lo jelas nggak sebanding, seujung kukunya aja nggak."

Kayak perempuan, batin Daisy. Di saat yang sama, Krisna bangkit dan mendorong kursi ke belakang, membuat Daisy ikut berdiri.

"Lah, mau ke mana? Abisin dulu. Kopinya kurang apa? Kurang manis? Kurang pahit? Desi nggak tahu seleramu, Mas. Mbak Tika nggak sempat kasih tahu."

Sumpah, bagian membujuk-bujuk seperti ini mengingatkan Daisy saat ada satu atau dua anak asuh di panti menangis dan mogok makan. Bedanya, anak-anak yang dia asuh tidak bisa menangis lebih lama. Bukan karena Daisy tidak sayang, tetapi, yang diurus bukan hanya dia saja. Karena itu, jarang ada anak-anak di panti yang egois, mudah marah, atau cengeng. Secara emosional, mereka dipaksa untuk mengerti kondisi masing-masing dan berempati kepada yang lain. Orang tua yang mereka punya adalah pengasuh dan mereka harus rela berbagi kasih dengan yang lain, tidak seperti anak-anak dengan orang tua lengkap yang kadang tidak pernah puas padahal ibu dan bapak mereka setengah mati mencukupi kebutuhannya.

"Ngapain lo kepo? Lo bilang mau pergi, kan? Pergi aja sana." Krisna mengusap bibirnya dengan tisu lalu melempar benda tersebut asal saja ke atas meja dan hampir masuk ke mangkok bubur.

Astaga. 

"Tapi kamu belum makan."

Jika boleh jujur, Daisy bakal meninggalkan pria itu kelaparan. Peduli amat dengan perasaannya. Tapi dia tahu, betapa terpukulnya Krisna selama seminggu terakhir ini. Pria itu lebih banyak melamun dan memandangi lantai bila tidak ada yang mengajaknya bicara. Makan pun begitu. Dia mengunyah nasi karena diajak oleh sanak saudaranya dan mencoba terlihat kuat. 

Karena itu juga dia sendiri mencoba berdamai walau jiwa jahatnya terus menyuruh Daisy agar jangan kembali. Manusia mana yang bakal tahan hidup dengan pria sesinting Krisna? Kartika sudah pasti pasangannya yang paling tepat karena mampu hidup bertahun-tahun dengannya tanpa protes. Sekarang nasib menyuruhnya untuk berganti peran dengan Kartika. Dia dipaksa harus bisa beradaptasi dengan pria itu. Baru satu minggu saja, rasanya dia mau menyerah. 

Hanya saja, dia punya pengalaman empat kali dikembalikan ke panti. Jika sekarang dia melarikan diri lagi, ini akan jadi yang kelima. Dia bakal dicap seperti manusia tidak punya pendirian dan stempel tidak diterima di rumah mana saja kecuali panti, akan membuatnya sangat sedih.

Setelah kehilangan Kartika, diabaikan oleh Syauqi, kembali sebagai janda berstatus hasil nikah siri, bakal jadi pengalaman paling menyedihkan di dalam hidupnya.

"Lo nggak usah sok perhatian atau dengan alasan gara-gara permintaan Tika. Dia cuma satu-satunya dalam hidup gue. Nggak ada yang lain yang bisa gantiin termasuk lo."

Daisy mencoba menahan ngilu sewaktu Krisna dengan lantang menggunakan telunjuk ke arahnya seolah dia tidak sudi dengan keberadaan wanita itu yang memang dimaksudkan untuk menggantikan Kartika. Tapi, seperti tadi, Daisy menahan diri dan membiarkan saja Krisna mengoceh. Menurut buku yang dia baca, sah-sah saja seseorang yang sedih meluapkan emosinya dan saat ini, sepertinya dia lebih senang melihat pria tersebut mengoceh daripada menyeretnya ke atas tempat tidur seperti dua kejadian belakang. 

"Iya, Mas." Daisy mematikan rasa kesal di dalam hati dan membayangkan kalau Krisna adalah Udin, salah satu anak asuh yang baru beberapa bulan masuk panti. Dia sedikit pemarah dan mudah menangis. Nasibnya tidak mudah. Udin ditinggalkan di pasar oleh sang ibu yang mengaku ingin membelikan bocah itu botol minum baru. Hingga malam menjelang, ibunya tak kunjung kembali dan Udin menangis histeris hingga dua hari. Polisi yang membantu menemukan alamat mereka, tetapi ternyata hanya rumah bedeng yang sudah habis masa sewanya. Ibu Udin menghilang entah ke mana sementara bapaknya juga tidak keruan sudah mati atau masih hidup. 

Udin jadi sedikit temperamental dan tidak percaya dengan sekitar. Daisy sedikit menemukan kemiripan antara bocah itu dan suaminya sendiri. 

Suamiku? Suami Mbak Tika. Dengar, tidak? Barusan dia menegaskan kata-katanya.

"Demi Mbak Tika, kamu harus kuat."

Mata Krisna nampak berkaca-kaca sewaktu mendengar kalimat yang Daisy sebutkan. Tapi, bukannya terharu atau memeluk istri mudanya, Krisna kembali mengoceh, ""Lo jangan mimpi bisa bahagia. Gue setuju karena Tika yang minta. Lo gak lebih dari serep karena dia sudah pergi selamanya. Detik dia menutup mata, detik itu juga, gue mati rasa dengan cinta. Camkan itu!"

Astaga. Ini lagi, pikir Daisy. Benar-benar, Krisna adalah Udin kedua. 

Sabar, Des. Jangan marah. Ingat, anggap dia abang si Udin. Kamu bisa bikin Udin jadi anak baik, kamu juga pasti bisa bikin Krisna jadi pria baik.

"Nggih, Mas. Jangan lupa, habisin bubur ayamnya. Kalau nggak habis, gantengnya hilang."

Daisy yakin, dia sudah bicara dengan suara amat lembut dan manis, sehingga dia teringat dengan suaranya sendiri saat Krisna menggodanya tadi malam. Membayangkannya lagi, membuat Daisy merasa ngilu di bagian bawah tubuhnya. 

"Lo aja makan sendiri. Gue bukan anak kecil lo goda-goda gitu bakal nurut."

Krisna melengos seolah tidak sudi bicara lagi kepada istrinya dan dia memilih berjalan cepat menuju anak tangga. Sudah pasti dia akan kembali ke kamar dan Daisy yang melihatnya hanya mampu mengucap istighfar di dalam hati. Lama-lama menghadapi pria dengan kelakuan ajaib seperti Krisna bisa membuatnya cepat menyusul Kartika ke alam baka.

Dua mangkuk. Siapa yang mau habisin, coba? Kamu kira aku sapi, punya perut empat? Gak dibuatin makan, nanti mulutmu bilang aku istri durhaka. Dikasih makan kayak gini, ngoceh-ngoceh cuma mau makan buatan Mbak Tika. Sana, nyusul ke alam barzah, biar kamu bisa nikmatin makan sepuasnya.

Daisy mengucap istighfar kembali. Entah apa yang sedang terjadi dengan kepala dan hatinya. Dia terus saja mencela suaminya sendiri dan merasa protes bila Daisy mencoba membela Krisna dengan mengatakan kalau saat ini keadaan pria itu amatlah malang. Yang pasti, setelah dia membela pria tersebut dan memandangi lagi mangkuk bubur dan cangkir kopi yang ditinggalkan suaminya, Daisy kemudian berubah haluan dan kembali mengoceh tentang kelakuan sang pemilik dealer mobil tersebut yang tidak sehebat Udin, ditinggalkan emak yang paling dia cinta, tapi tetap mampu berdamai dengan kenyataan, dia masih dicintai oleh pengasuh dan teman-temannya di panti asuhan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top