18

Ummi Yuyun yang tiba di rumah duka menjelang pukul sembilan menemukan Daisy sedang duduk dengan wajah sembab dan mengusap air matanya beberapa kali sembari memandang jasad kakak angkatnya yang telah dibaringkan di bagian tengah rumah. Karpet telah digelar dan para tamu mulai berdatangan. Krisna sejak tadi memilih duduk di dekat kepala sang istri yang tertutup selendang dan setiap ada tamu perempuan yang datang, mereka akan menangis mengingat kebaikan yang dilakukan wanita tulus hati itu kepada mereka. 

Ummi Yuyun sendiri datang didampingi Syauqi dan beberapa pengasuh dari panti asuhan. Mereka yang memang dekat dengan Kartika tidak kuasa menahan air mata dan Daisylah yang mereka peluk. 

"Yang sabar." bisik Ummi Yuyun sambil menyusut air matanya. Dia sempat menyerahkan sebuah tas kain yang berisi keperluan Daisy yang tidak sempat wanita muda itu ambil. 

Daisy hanya mengangguk dan berusaha menguasai diri. Untunglah, di sisinya ada Gendhis. Adik iparnya tersebut hanya sesekali meninggalkannya untuk menyambut tamu dan kerabat yang dikenal dan setelah beberapa saat duduk dengan wajah linglung, Daisy memutuskan untuk menuju dapur dan membantu pihak wanita untuk mempersiapkan keperluan mandi jenazah. Dia merasa, dengan begitu tidak perlu banyak menangis dan merasa bersyukur kemudian dia diberi tugas untuk memarut beberapa butir buah jeruk purut dan sebatang sabun mandi dan Daisy melakukan pekerjaannya dalam diam. 

Proses memandikan jenazah adalah bagian yang paling banyak mengurai air mata Daisy dan keluarga Krisna. Dari pihak laki-laki, hanya sang suami yang diizinkan melihat sang istri, itu juga Krisna mesti berbagi dengan anggota keluarganya yang perempuan. Mereka sebenarnya merasa amat bingung dengan kehadiran Daisy yang tahu-tahu muncul di antara keluarga mereka dan penjelasan Airlangga pada akhirnya membuat mereka paham. Meski begitu, Daisy juga mendengar ucapan miring tentang dirinya yang mau-maunya menikah dengan Krisna di saat dirinya sekarat dan dia bersyukur, Gendhis lagi-lagi menyelamatkannya di saat genting seperti itu.

"Wasiat Almarhumah. Kenapa, sih, orang meninggal malah bergosip?"

Gendhis yang terkenal ceplas-ceplos dan tegas di dalam keluarganya membungkam mulut-mulut jahil yang sebenarnya hanya beberapa gelintir orang. Dia lalu menarik tangan Daisy agar menjauhi racun-racun di dalam keluarganya termasuk Bunda Hanum yang terang-terangan terganggu setiap melihat Daisy berada di dekatnya.

Untung saja, seperti Krisna, Bunda Hanum masih bisa menguasai diri untuk terlihat biasa saja di hadapan para pelayat. Hanya Gendhis dan Daisy yang merasakan perbedaan tersebut tapi Gendhis kemudian menenangkan perasaan Daisy. 

"Maafin Bunda, Mbak. Memang sudah tabiatnya."

Daisy yang berusaha mengerti hanya mengangguk. Dia tidak pernah bisa memaksakan seseorang suka kepadanya. Dari pengalamannya yang sudah-sudah, Daisy memang bukan sosok yang mudah membuat orang suka. Hanya yang dekat dan akrab kepadanya yang bisa menjadi sayang. Yang lain, belum-belum sudah menunjukkan sikap defensif terutama para wanita yang kadang minder dengan kecantikan wajah Daisy. 

Tangis para pelayat dan pihak keluarga kemudian paling banyak pecah saat jenazah dikafani dan siap untuk disalatkan. Daisy dan Gendhis bahkan melihat betapa Bunda Hanum menjadi amat histeris. Sedang Krisna sendiri tidak sanggup mengeluarkan suara sama sekali begitu dia diperbolehkan untuk melihat wajah istrinya untuk terakhir kali sebelum kafan putih diikat. Matanya sama bengkak seperti yang lain dan berkali-kali abangnya iparnya menguatkan pria itu untuk tetap tegar. 

Setelah beberapa saat, usai melaksanakan salat Zuhur yang dilanjutkan dengan salat jenazah, mereka semua berangkat menuju lokasi peristirahatan terakhir yang ternyata berjarak sekitar dua kilometer. Gendhis tetap bersama Daisy di dalam mobil Krisna yang kini juga ditumpangi oleh beberapa keponakannnya sementara Krisna seperti tadi berada di ambulans menemani Kartika. 

Daisy sendiri tidak banyak protes dan berkomentar karena tahu kapasitas dirinya di tempat itu hanyalah sebagai istri muda yang dinikahi siri. Mentalnya agak sedikit terguncang sewaktu mendengar ada tante dari Gendhis yang mengatakan kalau dirinya hanya istri siri dan tidak memiliki kekuatan hukum di kemudian hari. 

Dia tidak mungkin memaksa Krisna mengurus pernikahan mereka di saat berduka seperti ini. Lagipula, sesuai kata-kata Gendhis kepada sang tante, mengurus proses pernikahan adalah tugas Krisna dan tidak mungkin sang abang menelantarkan Daisy. Hal tersebut berujung dengan perang dingin dan yang bisa Daisy lakukan adalah memperingatkan Gendhis agar dia tidak bersikap kelewatan.

"Nggak apa-apa, Mbak. Tante Janur emang gitu. Sok ngajarin orang berasa hidupnya sempurna, lah, dia sendiri kawin cerai udah beberapa kali. Maaf, ya, beginilah keluarga kami. Agak aneh semua. Aku mesti keras kepada mereka kalau nggak, aku yang jadi sasaran."

Daisy mencoba paham. Dia tidak seperti Kartika yang sepertinya punya pengaruh amat kuat untuk membuat orang-orang di sekelilingnya menurut dan tidak pernah protes terhadap asal-usulnya. Padahal, kalau mau dirunut, Kartika juga adalah anak yatim piatu. Tapi, karena dia telah dikenal sebagai putri dari seorang pengusaha sukses, maka label gadis panti segera saja menghilang dari dirinya, sementara Daisy, dia masih mendapatkan sebutan itu bahkan hingga hari ke takziah terakhir. 

Bunda Hanum yang malas menyebut namanya, beberapa kali memanggi Daisy dengan panggilan Gadis Panti. Wanita itu bahkan tidak peduli dengan teguran dari Gendhis dan daripada mengakui kalau Daisy juga adalah menantu, dia lebih merasa kalau Daisy mirip pembantu Krisna yang hingga detik itu menolak berada dekat-dekat istri mudanya. 

Untunglah, Gendhis selalu menemani Daisy sejak pertama kali mereka berada di rumah Kartika, bahkan, menemaninya tidur di kamar Genhis setiap dia menginap. 

"Nanti, kalau Mbak berantem sama Mas Krisna, nggak apa-apa tidur di sini. Aku jarang menginap, kok. Kamar yang lain masih berantakan." 

Daisy merasa bersyukur Gendhis mengizinkan untuk tinggal di kamarnya. Jujur, dia merasa amat canggung harus berada satu rumah dengan pria yang sejak dulu tidak senang dengan kehadirannya. Tetapi, segera setelah semua acara selesai, sudah pasti mereka akan tinggal berdua saja. Mengingat bahwa sebelum ini Kartika tidak memiliki asisten rumah tangga, Daisy makin cemas karena hal tersebut berarti memang hanya dia dan Krisna saja penghuni di dalam rumah sebesar itu. 

Karena itu juga, ketika Gendhis pada akhirnya pamit di malam terakhir takziah dan memastikan keadaan rumah sudah rapi sebelum dia pulang ke kosan dengan mobil miliknya yang berwarna biru metalik, Daisy tidak bisa menyembunyikan perasaan gugup apalagi setelah Krisna yang kini sedingin es berjalan ke arahnya usai mengunci semua sudut rumah dan mendekat ke arah istrinya yang malam itu masih memakai pakaian lengkap. 

Gamis dan jilbab panjang yang Daisy gunakan sekilas membuatnya terlihat mirip Kartika. Bedanya, gamis versi Daisy jauh lebih murahan dan sudah berumur. Ummi Yuyun sepertinya asal ambil pakaian yang terlipat di dalam lemari dan dia yang belum sempat kembali ke panti akhirnya hanya bisa memakai pakaian seadanya. Selama beberapa hari, dia selalu sibuk membantu anggota keluarga yang lain memasak dan melakukan berbagai pekerjaan lain. Tapi, di saat-saat itu, dia bersyukur karena interaksi antara dirinya dan Krisna hampir tidak ada. 

Hanya saja, sekarang, karena mereka berdua saja, mau tidak mau seluruh anggota tubuhnya waspada. Bayangan malam pertama di dalam kamar hotel yang mengerikan itu membuat Daisy bergidik. Tapi, Krisna masih sedang berduka. Dia tidak mungkin menggunakan kesempatan tersebut untuk menyentuh Daisy.

"Lo nggak usah pake jilbab dan gamis kayak Tika. Mau niru-niru dia, sampai identitas sendiri nggak punya?"

Mereka berdua berdiri berhadapan. Krisna memakai baju koko lengan pendek berwarna cokelat dan peci hitam yang seharusnya membuat dia menjadi amat tampan. Tetapi, tatapan dingin yang dia tujukan ketika melihat penampilan Daisy membuat wanita muda itu bergidik.

"Memang Desi cuma punya pakaian kayak gini, Mas." Daisy menjawab dengan gugup dan di saat yang sama, Krisna sudah melepas peci dan meletakkan benda tersebut ke atas meja di depan sofa panjang yang berada tidak jauh dari mereka. Sebuah permadani berbulu tebal berwarna biru dongker berada di bawah sofa tersebut. Entah mengapa, melihatnya saja membuat Daisy bergidik. 

"Gue nggak suka lo niru-niruin dia."

Padahal, Krisna sudah tahu Daisy selalu berpakaian seperti itu. Walau mereka hampir tidak pernah berinteraksi, sesekali mereka bertemu saat Krisna menjemput Kartika ketika dia masih hidup. Memang, sekilas Daisy dan Kartika seperti anak kembar. Tetapi, wajah dan pembawaan mereka amat berbeda. Bahkan, model gamis yang dipakai keduanya juga tidak sama. Kartika suka memakai gamis berbahan sifon lembut sementara Daisy, memakai gamis berbahan tebal dan berwarna gelap. Alasannya, supaya tidak terlihat kotor karena di panti, dia selalu mengerjakan banyak hal dan amat repot jika dia harus mengganti gamis berkali-kali hanya karena percikan kuah sayur atau juga terkena air sabun.

"Tapi, Desi cuma… "

"Buka." Krisna memerintah dengan nada santai. Tapi, suara tersebut membuat Daisy seolah tersiram air dingin. Apalagi saat dia mulai membuka satu persatu kancing baju koko hingga menampakkan bagian dadanya yang bidang dan berotot.

"Mas. Maksudnya apa?"

Pakaian atas Krisna sudah terlempar ke lantai dan dia tanpa ragu mendekat ke arah Daisy, menarik lengannya hingga menubruk ke arah dada suaminya sendiri.

"Gue nggak suka lihat wanita sok alim di rumah ini. Dan, sesuai fungsi lo, apa pun yang gue mau, mesti nurut." 

Kasar, Krisna menarik jilbab Daisy hingga terlepas. Pria itu melempar jilbab Daisy sembarangan ke lantai dan mendorong tubuh istri mudanya itu hingga dia terduduk di atas sofa. Daisy mencoba bangkit dan mendorong dada Krisna sekuat mungkin begitu pria tersebut berhasil menghadangnya. Tenaga Krisna begitu kuat sehingga ketika Daisy berusaha melawan, dia malah kembali terduduk di sofa. Kali ini dengan sang suami yang duduk di atas pinggangnya, Daisy tidak bisa berontak lagi.

"Tahu, tugas dan kewajiban lo, kan? Kuping lo pasti dengar apa permintaan Tika waktu dia mohon-mohon supaya lo mau nerima gue."

Tali pinggang milik Krisna kali ini terlempar ke lantai dan dia sudah berhasil merentangkan kedua tangan Daisy dengan tangannya sendiri. Senyumnya culas dan Daisy memohon agar dia tidak diperlakukan seperti itu, meski Krisna suaminya sendiri.

"Mas… ingat Mbak Tika." Daisy memejamkan mata, tenaganya sudah terkuras habis selama beberapa hari terakhir. Dia sudah terlalu lelah untuk melawan dan saat Krisna dengan kasar menarik kancing gamisnya, dia hanya mampu memejamkan mata.

"Justru, karena ingat dia, gue manfaatin banget momen ini." seringai Krisna terbit ketika dia berhasil melepaskan gamis Daisy
dan menyisakan pakaian dalam saja.

"Jangan sok nangis. Di dalam hati, lo pasti nunggu banget." 

Dengan ahli, Krisna melucuti semua kain di tubuh Daisy hingga tidak bersisa sementara Daisy sendiri hanya mampu memejamkan mata, pasrah atas perbuatan pria yang mengaku sebagai suaminya. Dia benar-benar tidak menyangka, di saat mereka masih berduka, di saat tanah kuburan Kartika belum sepenuhnya kering, Krisna tega melakukan hal ini. Air matanya bahkan jatuh begitu Krisna tanpa ragu menyatukan tubuh mereka.

Tapi, tidak seperti sebelumnya yang begitu kasar, Krisna melakukannya dengan amat lembut, membuat Daisy tidak percaya dengan  apa yang dia rasakan. Namun, setelah beberapa menit, dia mesti menggigit bibir, Krisna meracau menyebut nama Kartika tanpa henti dan dia memperlakukan Daisy seolah-olah wanita muda itu adalah almarhumah istrinya.

"Dek, Dek… Tika, Mas kangen banget. Ternyata, kamu nggak mati, Dek. Mas senang."

Tubuh Daisy bereaksi amat tidak wajar karena perlakuan lembut dari Krisna yang sepertinya seolah lupa daratan. Bahkan, pria itu tidak berhenti hingga dia terus mengulangi perbuatannya berkali-kali, seperti sedang kerasukan sesuatu. Namun, yang pasti, dia tidak memandang wanita yang tergolek pasrah di bawah rengkuhannya sebagai Daisy Djenar Kinasih, melainkan sebagai Kartika Hapsari, wanita baik budi, yang telah meninggalkan dirinya sendirian, selamanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top