16

Harinya Dedes-Nana

Eeeh, sebel Ya ama Nana?

Ckckckkc.

Yang di KBM ama KK tiap hari masih misuh. Udah si Nana di anjing-anjing, di setan-setan, dibilang eek, dibilang iblis, masih aja dibaca.

Sama kayak, udah tahu tahi kambing rasa cokelat, masih aja jatuh cinta. Eeh, salah ya😅😅😅😅

Padahal cerita eke sama kek cerita orang, kawin dipaksain, terus ena-ena, terus nanges-nanges. Hahahah tapi kalian betah, yes. Bingung eke.

***

Madu in training 16

Hari hampir menunjukkan pukul sebelas malam saat Gendhis terus membujuk kakak iparnya, Kartika Hapsari untuk beristirahat. Namun, seperti siang tadi, tidak ada tanda-tanda Kartika merasa kelelahan. Padahal, biasanya, dia mudah sekali lelah. Tubuhnya yang lemah memaksanya untuk terus beristirahat. Tapi, hingga detik ini, Kartika masih saja sibuk mengurusi keperluan suami dan madu baru kesayangannya yang selepas Magrib tadi pada akhirnya mau berdamai dan berdua bersama menuju hotel yang telah dipesan oleh Gendhis begitu mereka dinyatakan sah.

"Mbak benar-benar nggak cemburu?" tanya Gendhis lagi, tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. 

"Nggaklah, Dek. Aku tulus sayang sama mereka berdua. Sejujurnya aku sudah berniat melakukan ini sejak lama, sejak aku nggak bisa berfungsi jadi wanita seutuhnya buat Mas Krisna. Dia sudah puasa terlalu lama. 

Tanpa dijelaskan, Gendhis tahu maksud berpuasa yang disebutkan oleh Kartika. Hanya wanita berhati besar yang mengikhlaskan suaminya tidur dengan wanita lain, sekali pun itu adik angkat yang kini sudah beralih status menjadi madunya. 

"Iya. Tapi, kan, tetep aja geli." Gendhis meringis. Dia manusia biasa dan merasa normal bila berpikir seperti itu walau Krisna adalah abangnya juga. Toh, antara dia dan Kartika juga tidak ada batas lagi. Mereka akrab melebihi saudara. Bahkan, dibanding dua saudara perempuan Gendhis yang lain, dia jauh lebih akrab kepada Kartika. 

"Ya jangan dipikirin." Kartika tersenyum. Dia sempat mengernyit selama beberapa detik namun tidak tertangkap oleh Gendhis yang sibuk merapikan bantal di ruang tamu untuknya beristirahat. Setelah nyerinya reda, Kartika baru memanggil adik iparnya untuk mendekat.

"Dhis. Mbak mau minta tolong lagi." Kartika berbicara, namun, dia buru-buru melanjutkan, "Janji ini yang terakhir. Habis ini aku nggak bakal ngerepotin lagi."

Bibir Gendhis maju sewaktu dia berusaha protes, "Minta tolong yang normal aja, ya. Akhir-akhir ini Dhis selalu jadi korban kemarahan Mbak Desi. Tadi aja, dia mau matahin leherku, Mbak tahu?"

Kartika tersenyum sebelum membalas, "Sekarang dia sama Mas Krisna lagi nikmatin malam pertama. Nggak sempat lagi ngambek."

Wajah mual Gendhis tidak terlihat ditutup-tutupi sama sekali dan Kartika kemudian memintanya untuk mengambil tas kulit kecil berwarna merah marun dengan aksesoris tasel di pinggir resletingnya. Begitu Gendhis menyerahkan benda tersebut, Kartika segera membongkar isinya satu persatu seolah dia memang sudah mempersiapkan hal itu sebelumnya.

"Ya, ampun. Amplop apaan banyak banget kayak mau kondangan? Mbak, kayak mau mati beneran. Dhis sedih, tahu, nggak?" ucap Gendhis begitu dia duduk di pinggir ranjang. Kartika masih duduk dan kini sedang memilah-milah amplop sesuai dengan nama yang tertulis di bagian depannya. 

"Bagi-bagi THR." Kartika mengurai senyum, "Jangan nangis, Gendhisku Sayang. Mbak takut nggak sempat maka sekaranglah waktu yang tepat." lanjutnya sambil mengusap rambut Gandhis yang kini mengerjapkan mata berkali-kali supaya air matanya tidak tumpah ruah.

"Titip ini buat Desi. Dia paling keras kepala." Kartika menyerahkan tiga buah amplop. Isinya bukan uang melainkan kartu ATM. Salah satu dari ATM tersebut adalah yang siang tadi dikembalikan oleh Daisy.

"Buat sekolahnya, buat kebutuhannya sehari-hari, sama buat dia kirim ke Bunda. Untuk yang terakhir, pastikan dia ngasih dalam bentuk cash sama Bunda kita."

Ketika Kartika menyebutkan nama Bunda Hanum, Gendhis menutup wajahnya, malu dengan sikap sang ibu yang sejak dulu tidak pernah berubah.

"Bunda, tuh, cuma mikirin duit. Duit. Duit, aja. Kalau ketemu Dhis juga mintanya duit."

Telapak kanan Kartika menyentuh lengan kanan Gendhis, "Nggak apa-apa. Masih mending punya Bunda dibanding nggak ada sama sekali. Banyak yang mau ngasih duit ke orang tuanya, tapi, orang tua mereka sudah nggak ada. Kamu juga mau begitu sama Ayah, tapi, nggak bisa."

"Ini beda." protes Gendhis. Tapi, dengan bijak dia memilih diam dan membiarkan Kartika melanjutkan, "Daisy mungkin nggak mau. Jadi nanti, selipkan ini di kamar mereka."

Kamar mereka? Gendhis menaikkan alis. Maksudnya baik Kartika, Daisy, dan Krisna bakal tinggal di rumah yang sama dan bakal ada kamar khusus untuk kakak dan sahabatnya, membayangkannya lagi, membuat Gendhis menghela napas. Otaknya sudah amat kewalahan memproses semua keanehan ini. Belum pernah di dalam hidupnya dia memiliki anggota keluarga yang beristri dua tinggal dalam satu atap. 

"Dhis. Jangan melucu." Kartika mencoba menyadarkan adik iparnya bahwa hidupnya di dunia tidak akan lama lagi. Gara-gara itu juga, Gendhis menangis kembali. Dasar Kartika. Dia sudah terbiasa jadi wanita pemimpin sehingga di ujung usianya seperti ini, bisa seenaknya saja menyuruh dan memerintahkan orang ini dan itu. Gara-gara itu juga Krisna dan Daisy jadi marah-marah kepadanya, meski sikap Kartika tetap tenang dan santai.

"Uang jajanmu…" Kartika menyerahkan sebuah amplop. Kali ini isinya tebal dan bukannya menerima, Gendhis malah berdiri dan berkacak pinggang.

"Hanya karena orang-orang di sekitar Mbak menurut karena Mbak suap dengan duit, Mbak mengira aku sama. Aku tersinggung."

Gendhis bahkan bersiap menjauh sebelum akhirnya Kartika mengucap istighfar dan meminta maaf, "Astaghfirullah. Mbak nggak bermaksud seperti itu, Dhis. Ini cuma spontan dari Mbak. Buat bantu kamu melanjutkan kuliah."

Gendhis menggeleng. Tampak jelas dia masih tersinggung, "Aku bisa membiayai hidup dan kuliahku sendiri. Walau sekarang aku baru kerja di klinik kecil, bukan berarti aku nggak bisa hidup layak. Aku belajar bertahan hidup dari Mbak Desi." 

Gendhis menolak kelanjutan proses "pembagian warisan" yang dilakukan Kartika hingga kakak iparnya tersebut mengembalikan semua amplop ke dalam tasnya dan berharap bila dia meninggal nanti, Gendhis harus mau menjadi kaki tangannya untuk menyerahkan amplop-amplop tadi ke pada pemiliknya. 

"Tolonglah, Dhis. Mbak juga bertanggung jawab sama Desi. Ada rasa khawatir ketika Mas Krisna tadi mengajaknya pergi. Seenggaknya, dia harus bahagia. Mbak mau kamu selalu sayang dia."

"Mbak. Kamu, tuh, masih hidup." marah Gendhis kepada sang ipar. Hatinya terasa amat pedih seolah-olah Kartika menganggap ucapannya adalah hal yang biasa. Dia masih ingin bicara lagi saat terdengar ketukan dari pintu yang telah terkunci dan karena suara familiar itulah, Gendhis memutuskan untuk bangkit dan membuka pintu.

"Loh, Mas? Kok, balik lagi? Mbak Desi ditinggal?" 

Krisna mengucap salam dan melangkah masuk tanpa menjawab keberadaan Daisy. Begitu dia lewat, Gendhis melihat kalau rambut sang abang nampak basah dan dia tidak bisa menahan diri untuk mengatai pria itu brengsek meski di dalam hati. Bisa-bisanya Krisna benar-benar minta jatah kepada Daisy saat Kartika tidak berdaya. Tapi, setelahnya, dia tidak lagi menyalahkan abang kandungnya. Toh, Kartika sendiri yang telah memerintahkan Krisna melakukannya. 

Hanya saja, dia sangsi. Bisa jadi itu akal bulus Krisna saja. Mana mungkin dia mau menyentuh Daisy. Bisa jadi, abangnya membasahi rambutnya di toilet rumah sakit dan bersikap seolah dia baru saja mandi junub. 

Cih, sinting. 

"Waalaikum salam. Kok, ke sini? Daisy gimana? Kamu tinggal di hotel?"

Pertanyaan Kartika sama persis seperti yang tadi ditanyakan oleh Gendhis. Bedanya, kepada istrinya dia menjawab dengan amat lembut. Krisna bahkan membubuhkan kecupan amat mesra di dahi Kartika lalu menggenggam tangannya setelah dia berhasil meraih bangku stenlis dan duduk di hadapannya. 

"Di hotel, Sayang."

Kartika mengamati suaminya, seolah ingin tahu apa yang telah terjadi. Krisna terlihat amat tenang walau matanya masih merah.

"Kamu tinggalin dia? Kalian udah … ?"

Dengan wajah kaku, Krisna mengangguk. Dia meraih tangan kanan Kartika dan mengecup punggungnya seraya mengucap maaf. Meski begitu, Kartika merasa ada sesuatu yang berbeda di wajah suaminya, raut bersalah yang sebenarnya bukan ditujukan kepada Kartika, melainkan kepada Daisy dan dia tidak mengerti alasannya. 

"Kok malah minta maaf? Justru aku senang. Setelah aku pergi nanti, kamu harus membahagiakan dia. Jangan lupa, segera urus pernikahan kalian ke KUA, lalu berikan resepsi supaya Daisy tidak merasa terabai…" 

"Stop, Tika. Jangan bahas lagi. Aku sudah melakukan semua permintaanmu, menikahi dia, melaksanakan tugas sebagai suaminya, sekarang, biarkan aku melakukan tugasku sendiri, sebagai suamimu. Aku datang ke sini bukan untuk melapor. Dia masih sehat dan sekarang sedang beristirahat. Dia bisa hidup tanpa aku. Tapi, aku, nggak bisa hidup tanpa kamu." 

Krisna memilih mendekap Kartika dan istrinya tidak lagi banyak bicara, terutama karena dia melihat betapa gemetarnya tangan sang suami. Air mata pria tampan itu bahkan tidak sengaja jatuh dan mengenai tautan tangan mereka. Dari bibir Krisna tidak putus terucap kata maaf yang membuat Kartika memejamkan mata. 

Dia merasa bersalah sudah bersikap amat kejam dan keterlaluan pada pria ini. Tapi, suatu hari nanti, Krisna bakal mengerti sikap egois dan mau menang sendiri yang dimiliki oleh Kartika akan membuatnya merasa amat beruntung telah menikah dengan Daisy. 

***

Sebelum azan tanda beduk subuh berkumandang, Daisy sudah berada di musala rumah sakit. Dia berharap setelah tiba di kamar Kartika nanti, mereka bertiga sudah bangun. Sekitar pukul empat tadi dia mencoba menelepon Gendhis tetapi sahabatnya itu tidak mengangkat panggilannya. Dia yang merasa cemas akhirnya memutuskan untuk berjalan sendiri. Untung saja, suasana jalan mulai ramai. Banyak pekerja yang sudah berangkat serta rombongan jamaah sedang berjalan menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat Subuh. 

Setelah selesai salat, Daisy lalu buru-buru menuju kamar Kartika. Entah kenapa, sepanjang menunaikan salat tadi, perasaannya tidak tenang. Wajah Kartika selalu terbayang-bayang dan gara-gara itu juga, Daisy merasa kalau saat itu kakak angkatnya sedang membutuhkan bantuan. 

Pintu kamar rawat Kartika tidak tertutup dan Gendhis nampak sedang berjalan ke arah kamar tersebut dari sisi jalan yang berlawanan arah dengannya. Wajahnya pucat dan panik.

"Dhis, Mbak Tika kenapa? Muntah lagi?" tanya Daisy begitu mereka tidak berjarak. Kelopak mata Gendhis nampak sembab dan gadis muda itu memeluknya dengan erat.

"Mbakku…" 

Gendhis sesenggukan dalam pelukan Daisy, sementara Daisy yang sejak tadi merasa ada yang tidak beres berusaha menoleh ke arah kamar. Akan tetapi, posisi ruang tamu menutupi tempat tidur dan dia kesulitan melihat ke arah dalam karena Gendhis masih menangis.

"Mbak Tika kenapa? Kenapa kamu nggak jawab?" 

Gendhis mengangkat kepala. Dia berusaha menjawab tetapi bibirnya kelu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menggeleng berkali-kali sampai Daisy melepaskan pelukan mereka dan menyentuh bahunya. 

"Mereka berdua ngobrol dari semalam. Dhis ketiduran. Pas bangun, lihat Mas Krisna peluk Mbak Tika, sambil nangis, ngusap-ngusap kepalanya."

Gendhis tidak sempat melanjutkan. Daisy sudah keburu masuk dan mencari tahu sendiri ke dalam kamar. Kenapa bisa dua beradik itu menangis seperti ini bila keadaan Kartika baik-baik saja?

Daisy melangkah mendekat ke arah ranjang dan dia memang melihat pemandangan seperti yang tadi diceritakan oleh Gendhis. Kartika dalam posisi setengah duduk. Separuh tubuhnya bertopang pada dada suaminya, sementara Krisna sendiri menempelkan dagu di atas puncak kepala istrinya yang terpejam. Tangan kiri pria itu mengusap lengan Kartika dan dari bibir Krisna terdengar takbir, tahmid, tahlil, serta tasydid yang tidak putus.

Pipi Krisna basah oleh air mata dan dia sempat melirik Daisy saat wanita muda itu memanggil Kartika, "Mbak Tika?"

Biasanya Kartika akan segera membuka mata begitu mendengar suara Daisy. Mereka akan saling berpegangan tangan dan Daisy akan bercerita tentang apa saja kepada saudarinya tersebut. Daisy bahkan berjanji akan mengadukan semua perbuatan Krisna yang kini pura-pura tidak tahu kalau semalam dia telah berbuat amat bejat. Niat Daisy untuk memukul wajahnya mendadak hilang begitu saja ketika dia mendapati betapa pucat wajah sang kakak dan Gendhis tiba-tiba saja masuk bersama dokter jaga dan seorang perawat, membuatnya kebingungan. 

Dia bahkan, tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak berteriak histeris sembari memanggil nama kakaknya begitu dokter menyatakan waktu kematian Kartika sehingga membuat Gendhis langsung menarik tubuh Daisy menjauh agar dia tidak pingsan dan kepalanya membentur ujung ranjang yang terbuat dari besi. 

"Tapi Mbak Tika janji buat sembuh, Dhis… " Daisy meratap. Air matanya tumpah ruah dan tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali memandangi Kartika yang seolah sedang tertidur di dalam pelukan suami kesayangannya yang menolak melepaskan istrinya hingga dokter meminta dia merelakan kepergian sang nyonya. 

Setidaknya, Kartika telah pergi setelah dia memastikan semua skenario yang dia buat sudah sesuai dengan rencananya. Akan tetapi, Kartika hanya manusia biasa dan dia tidak pernah menyangka bahwa skenario yang telah susah payah dia rancang bukanlah sebuah cerita mudah untuk ditebak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top