13

Dedes n Nana up Senin Sabtu.
Yang ga sabar silahken ke KBM app atau Karyakarsa. Udah bab 33. Pada emes sama Mas Nana hahahhahaha

***

Madu in training 13

Di tengah kondisinya yang kritis, ternyata Kartika telah mempersiapkan semuanya demi mensukseskan misinya menyatukan Krisna dan Daisy. Hanya saja, yang kelewat antusias adalah dia seorang sementara kedua calon mempelai memandang kaku ke arah Kartika yang sekarang seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Keadaannya yang begitu lemah membuat baik Krisna maupun Daisy tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti perintahnya. 

Bagaimana bisa Kartika sesantai ini sementara dia tahu, suami dan adik angkatnya amat merana. Suami mana yang tidak merana ketika melihat istrinya kolaps seperti Kartika saat ini? Dan bagaimana Krisna tega menolak permintaannya sedang kematian bisa memisahkan mereka berdua dalam hitungan detik?

Kejam. Kartika memang kejam. Apakah dia tidak tahu kalau Krisna begitu mencintainya? Apakah Kartika tahu bahwa saat ini Krisna lebih mementingkan dirinya daripada yang lain? Krisna meninggalkan pekerjaannya, hobinya, cita-citanya, mengabaikan ibunya yang meminta Krisna lebih memperhatikan dirinya sendiri. Kini, dia meminta Krisna menikahi gadis gila yang dulu tanpa ampun mempermalukannya di depan teman-teman mereka, apa Kartika pikir dia bakal menerima? 

Krisna setuju bukan karena dia suka pada Daisy, melainkan karena dia tidak punya pilihan lain. Kartika terus merengek, menangis dan setiap dia berusaha menolak, wanita itu memilih diam. Dia tidak akan memberi tahu siapa saja tentang perasaannya saat ini, lukanya, penyakitnya, dan tahu-tahu saja Kartika akan muntah atau mengeluarkan darah super banyak yang membuat tubuh Krisna sedingin es dan berharap dia saja yang mati.

Bahkan membujuknya makan sudah seperti membujuk balita, dia harus menahan tangis supaya si cantik kesayangannya itu tidak kekurangan gizi. 

"Makan, Tika. Gimana bisa sembuh? Mas bakal nurut semua kata-katamu kalau kamu juga nurut kata Mas."

Demi Kartika, dia terpaksa mengangguk saat wanita itu memohon agar dia menikahi Daisy. Apa saja bakal dia lakukan asal sesuap nasi masuk ke mulutnya. Krisna tidak sanggup melihat istrinya begitu merana dan ketika dia sadar, bagaikan orang sehat, Kartika merangkul dan mencium pipi adik angkatnya berkali-kali dengan air mata berderai-derai. 

Dia tidak pernah terkejut seperti ini. Dia kira wanita itu bakal menolak, seperti yang selalu dia dengar dari bibir Kartika ketika istrinya mengadu. Saat itu, Krisna sudah merasa amat senang. Si tolol itu tidak bakal mendukung usaha Kartika dan janjinya kepada sang istri hanya sekadar janji, ketika pada akhirnya dia mengucapkan sebuah kalimat pendek dan berakhir dengan sebuah insiden muntah-muntahnya Kartika yang membuat semua orang panik. 

"Janji padaku, jangan marah kepadanya, jangan benci dia. Kamu bakal sayang kepada Daisy seperti kamu menyayangiku."

Krisna tidak bisa menganggukkan kepala. Saat itu, Kartika membantunya mencukur kumis dan cambang, membantu menyisir rambut Krisna yang agak ikal dan mulai memanjang lalu menyuruhnya untuk menggunting dan merapikan rambut itu sepulang dari rumah sakit. Krisna hanya memandang istrinya dengan tatapan kaku dan mata merah. Buku jarinya terkepal dan dia merasa amat jengkel karena Daisy memilih mengiyakan pinangan dari Kartika. 

Otaknya sudah sinting. Bisa-bisanya dia yang kemarin teguh menolak lalu menurut. Apakah Kartika menyuapnya atau menjanjikan sesuatu?

"Aku menyumbangkan sebagian uangku untuk panti. Tentu ada hak Daisy di sana, apalagi setelah aku meninggal nanti dan kamu tidak perlu protes. Aku tidak menggunakan uangmu. Jatah buat Bunda juga telah kusiapkan dan aku minta bantuanmu buat mentransfer kebutuhan Bunda seperti yang selama ini aku lakukan."

Kartika yang punya dua kepribadian. Dia bisa amat baik bagai ibu peri tapi kadang, dia dan pemikiran gilanya membuat Krisna stres.

"Jadi karena uang?" Krisna memasang senyum terluka dan mata Kartika seolah memarahinya ketika mendengar jawaban seperti itu.

"Nggak. Kamu nggak boleh menuduh Desi kayak gitu, Mas." 

Dia tidak boleh menuduh, lantas apa yang membuat wanita itu tiba-tiba saja mau menerima? Tidak mungkin tentang yang lain. Selama berhari-hari, dia merasa amat senang bahwa wanita tersebut tidak bakal menuruti Kartika. Tapi, ketika hari ini dia luluh, Krisna tidak bisa tidak kecewa. 

"Dia punya pekerjaan, punya uang dan tabungan. Jangan kamu kira dia mengemis uang kepada kita. Desi adalah wanita paling mandiri yang pernah aku kenal."

Terserah. Krisna tidak bakal percaya. Selama ini penampilan Daisy dan gembel tidak jauh berbeda. Untuk hari ini dia sudah tampil lain dan buat Krisna, seolah-olah sejak pagi, Daisy sudah berencana untuk menyetujui pinangan Kartika. 

Sialan! Maki Krisna di dalam hati. Dia tidak pernah memaki sebelum ini. Kartika selalu membuatnya menjadi baik. Tetapi, sejak Daisy menerima tawaran untuk menjadi istri muda Krisna, dia tidak bisa lagi berbohong. Kekecewaan telah membuatnya berubah. Hanya saja, tidak mungkin dia meluapkan hal tersebut kepada istrinya yang malang.

"Janji?" 

Suara lembut Kartika membuat Krisna kembali ke alam nyata. Wanita itu kini sedang membersihkan sisa-sisa rambut yang dicukur dengan tisu basah. 

"Aku belum potong kukumu. Nanti, setelah aku pergi, dia yang bakal melakukannya."

"Tika." cegah Krisna. Dia tidak senang mendengar ucapan Kartika seperti itu. Siapalah dia tahu betul tentang takdir Tuhan Yang Maha Agung?

Kartika mengangkat wajahnya. Dia mengurai sebuah senyum. Gendhis dan Daisy telah membantu mengganti gamis dan jilbabnya yang basah kena muntah. Dia melarang Krisna melakukannya. Sebentar lagi Krisna harus mandi dan berdandan rapi. Dia sudah meminta bantuan Gendhis untuk mengatur ruang depan menjadi tempat akad sekalipun Bunda Hanum sempat mengajaknya berdebat.

"Apa-apaan kamu, Tika? Kamu belum mati dan sudah memberi Krisna madu. Pokoknya Bunda tidak suka."

Bunda Hanum jarang marah. Kartika adalah menantu kesayangannya. Dia punya dua menantu laki-laki dari kedua kakak Krisna, tetapi Kartika yang sangat mengerti dia dibandingkan dua suami anak-anak perempuannya tersebut. Kartika selalu memanjakannya dengan hadiah dan tidak sungkan mengirim Bunda Hanum uang jajan entah itu untuk facial di salon, perawatan wajah, dan sebagainya. 

Jika Krisna memiliki satu istri lagi, apalagi yang miskin dan asal-usulnya tidak jelas seperti Daisy, maka uang bulanan dari sang menantu akan terancam. Jika pun Krisna akan menikah lagi, Bunda Hanum akan memilihkan satu gadis perawan super seksi dan kaya untuk anak lelaki satu-satunya yang dia punya itu, seperti anak Jeng Sinta, pemilik tiga SPBU di Kemayoran, atau Jeng Ruri, istri jendral yang khawatir putri sulungnya yang baru selesai S3 di Jepang belum mendapat suami. 

Mereka sudah pasti amat pandai, cantik, dan mapan. Tidak seperti yang satu ini. Anak panti, kata Kartika? Siapa tahu, dia adalah anak preman atau anak pelacur yang dibuang begitu saja oleh orang tuanya. 

Masak, Krisna yang tampan dan amat berharga itu mesti menampung wanita hasil hubungan gelap? Entah di darahnya ada virus atau juga penyakit karena sudah pasti seumur hidup dia tidak pernah melakukan medical check up seperti yang selalu dia lakukan di Penang atau Singapore. 

"Nanti, kamu harus lebih sabar menghadapi dia." Kartika yang tidak peduli barusan Krisna telah memintanya berhenti bicara macam-macam, terus saja memberikan wejangan. 

"Desi masih muda. Suatu saat dia bakal marah-marah atau tidak sabaran. Tugasmulah mengajarinya dan jangan sekali-sekali pukul dia."

Kartika berhenti bicara karena di saat yang sama dia melihat air mata telah meleleh di kedua pipi suaminya. Krisna merasa amat terluka. Tapi, dia tidak tahu mesti berbuat apa lagi agar wanita di hadapannya ini tahu dia rela melakukan segalanya supaya Kartika tetap hidup.

"Kamu mesti janji." 

Krisna meraih kedua tangan Kartika lalu menciumnya dengan perasaan amat terluka. Dia tidak ingin mengecewakan istrinya tetapi hatinya tidak bisa berkhianat. 

"Dia adikku, Mas. Aku mohon."

Krisna memejamkan mata, berharap hari ini tidak terjadi. Tapi, begitu dia kembali membuka mata, Kartika sedang menunggu jawaban darinya. 

"Ustadznya sudah datang." 

Gendhis terburu-buru masuk ruang rawat. Beruntung mereka tidak sendiri. Beberapa saudara sepupu Krisna juga hadir. Meski begitu, Daisy sendirian. Dia hanya sempat menelepon Ummi Yuyun dan wanita itu tidak bisa begitu saja meninggalkan panti. Daisy juga sempat menelepon Syauqi dan dengan suara gugup pria itu hanya mengucapkan selamat kepada Daisy, tanpa embel-embel lain seolah dia tidak menahan gadis itu kepada keputusannya atas pernikahan mendadak ini. 

Gendhis sempat membantu merias wajah Daisy, walau seadanya. Mereka hanya akan melakukan pernikahan siri. Tapi, Kartika telah mempersiapkan semua ini. Buktinya, pria yang dia sebut ustadz adalah orang yang akan menikahkan Daisy dan Krisna. Dia juga membawa seorang teman yang akan menjadi wali hakim.

Ketika mereka semua sedang mempersiapkan ruang depan dan Krisna berganti pakaian, Kartika menyempatkan diri untuk bicara kepada Daisy yang matanya bengkak seperti terkena sengatan tawon.

"Jangan nangis. Nanti riasan matanya rusak. Gendhis udah susah payah bantu meriasnya."

Bibir Daisy seperti dijahit dan dia hanya mampu mengerjap beberapa kali.

"Nanti Mas Krisna akan bimbing kamu. Setelah aku mati … " Kartika sempat berhenti karena Daisy memanggil namanya, tapi dia tetap melanjutkan, "kalian akan kembali ke rumah. Semua hartaku adalah milikmu. Kamu bebas menggunakan apa saja dan nanti tidur di kamar kami kalau kamu suka. Atau, kamu bisa memilih kamar lain, sebuah kamar baru buat kalian berdua. Gendhis bakal bantu kamu berberes dan memberi tahu apa aja yang bisa kamu lakukan."

Kartika bicara seolah tenaganya tidak habis. Padahal, pagi tadi dia seperti ayam sayur. Bernapas pun harus susah payah. Kini, dia seperti motivator nomor satu di Indonesia yang walau tubuhnya kecil dan terlihat ringkih, punya semangat yang tidak putus, bahkan untuk memberi wejangan kepada adik angkatnya.

"Mbak seharusnya beristirahat." Daisy mengingatkan. Dia tidak lagi mendengar apa saja yang tadi diucapkan Kartika. Di dalam pikirannya tadi, setelah dia mengatakan setuju, mereka masih punya waktu beberapa bulan sebelum akhirnya Krisna dan Daisy menikah. Nyatanya, mereka seperti dikejar SATPOL PP. Kartika terus saja mengoceh tentang apa yang bakal dia dapat, apa yang mesti dia lakukan setelah sah jadi istri Krisna beberapa saat lagi.

“Dengar, Mbak. Jangan pikirin apa-apa lagi. Saat ini fokusku cuma Mbak. Desi ndak mau sakitmu tambah parah.” 

Kartika meraih kedua tangan Daisy, menangkupkan keduanya di dadanya yang kurus dan terlindung hijab.

“Maaf terpaksa memberikan pernikahan yang amat nggak layak seperti saat ini.” dengan tatapan memohon dan menyesal, Kartika mengucapkan maaf sementara bagi Daisy sendiri dia tidak peduli. Akad nikah ini hanya seremonial. Dia bahkan belum bicara satu atau dua patah kata kepada Krisna tentang apa yang mesti dilakukan. Posisinya amatlah menyedihkan sementara di seberang sana, sesekali dia mendengar Gendhis memarahi bundanya.

“Berhenti ngoceh, Bun. Kayak nggak ada omongan lain dari mulut Bunda.” 

Daisy merasa tidak enak dengan suasana seperti itu apalagi di saat yang bersamaan, Ustadz Khalid mengucap salam di depan pintu.

Ya Allah, aku nggak datang ke sini buat merebut suami kakakku. 

Daisy ingin sekali menangis, namun tidak mampu. Dia tidak ingin membuat hati Kartika kecewa. Dia tidak sanggup. 

“Sudah siap?” 

Suara sang ustadz berhasil membuat jantung Daisy berdentam-dentam. Siapkah dia? 

“Ayo, Des. Gendhis sudah menunggu. Dia yang bakal mengantar kamu. Mbak menyaksikan dari sini. Semoga sukses, Mbak sayang kamu, adikku.”

Daisy mengerjap. Kata-kata sayang yang keluar dari bibir Kartika bukanlah bohongan. Dia sampai rela menyerahkan suaminya sendiri untuk Daisy. Padahal pria itu adalah kesayangannya, pemilik tulang rusuknya. Bagaimana bisa seorang pria memiliki rusuk-rusuk yang lain padahal dia sudah membaca yang hilang hanya sebuah dan dipastikan adalah milik Kartika?

“Sudah siap, Mbak?” tanya Gendhis dengan suara pelan hanya untuk didengar oleh Daisy seorang dan dengan nada yang sama, Daisy membalas, “Apa wajahku kelihatan siap, Dhis?”

Gendhis menggeleng. Jika dia berada di posisi sahabat kesayangannya itu, Gendhis juga akan menyerah. Tapi, mereka tidak boleh banyak berdebat. Toh, nasi sudah menjadi bubur. Mereka semua yang terlibat dalam arus ini tidak bisa mundur lagi.

“Sisi positifnya, aku punya dua orang ipar perempuan yang sayang banget sama aku.” Gendhis berusaha tersenyum sementara Daisy tidak setuju.

“Buatmu. Kalau buatku, artinya aku mesti siap makan hati. Pria yang kamu sebut Mas bisa jadi bakal menggorok leherku saat tidur supaya dia nggak perlu lagi berurusan denganku.”

Gendhis tertawa, tawa yang tidak mampu dia jelaskan karena tahu jelas, di dalam hati mereka masing-masing, baik Krisna atau Daisy pasti sedang berusaha bagaimana caranya pernikahan ini bisa gagal tanpa membuat Kartika menangis histeris.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top