12

Ramein lapak ini yesss

***

"Loh? Mbak Desi?" Gendhis yang mengenali Daisy segera mendekat. Rambut gelombangnya kini terikat dan tampak lepek. Nampak bukan dia sama sekali dan Daisy tidak heran. Gendhis sedang menggunakan tisu untuk menghapus air mata di kedua pipinya saat dua mendekat dan menarik tangan Daisy untuk mengikutinya. 

"Sini, Mbak. Mbak Tika cari-cari kamu terus beberapa hari ini."

Daisy tampak gugup sewaktu dia melewati beberapa anggota keluarga Janardana. Bahkan, dia menunduk sewaktu pandangannya bertemu dengan ibu Gendhis yang tampak cemberut. Daisy mengenal wanita gaek tersebut dengan nama Bunda Hanum. Kepada Kartika dia amat kasih tetapi tidak pada Daisy. 

"Ada Daisy?" suara lemah Kartika terdengar membuat Daisy jadi tidak tega. Dia melihat sosok Krisna yang duduk di sebuah kursi stenlis. Dengan tangan kanan, dia menggam jemari kurus istrinya sementara tangan kirinya mengusap puncak kepala Kartika yang tertutup jilbab. 

Wajah Krisna tampak sangat kacau. Kumis dan janggutnya tumbuh berantakan. Rambutnya bahkan jadi sedikit lebih panjang dari saat terakhir mereka bertemu, entah satu minggu atau lebih, Daisy tidak ingat. 

Yang lebih parah, cekungan di mata pria itu tampak nyata dan dia mirip sekali dengan zombie atau vampir Cina di film jaman dulu yang sering ditonton Daisy bersama-sama di ruang tengah rumah utama panti. 

"Adekku, apa kabarmu? Sehat?"

Kartika minta Krisna melepaskan tangannya karena dia ingin memeluk Daisy. Dia tersenyum amat lebar tetapi, Daisy malah melihat kalau bibirnya pecah-pecah padahal di samping tempat tidur, dia melihat lip balm dan yakin kalau Gendhis pasti merawat tubuh kakak iparnya dengan sangat baik.

"Baik, Mbak. Alhamdulillah." bisik Daisy saat dia merasakan tangan kurus Kartika menyentuh punggungnya. Matanya terasa amat panas dan begitu pelukan mereka terlepas, dia berterima kasih kepada Gendhis yang memberinya sekotak tisu.

"Mbak gimana?"

"Lumayan. Makanku banyak." 

Lagi, Kartika tersenyum. Dia tampak makin kurus dan biji matanya seolah keluar dari rongga. Hampir tidak ada cahaya kehidupan dan Daisy sempat melihat sebuah tabung oksigen berdiri di sebelah tempat tidur. Selangnya menyambung ke hidung Kartika dan dia merasa amat terluka melihatnya. 

Gendhis sempat menggeleng dan dengan ekor matanya dia memberi kode supaya Daisy melihat ke arah nakas. Nasi terakhir yang dikirim petugas catering rumah sakit bahkan masih tertutup plastic wrap tanda belum disentuh sama sekali.

Mana mungkin Daisy percaya setelah matanya menemukan barang bukti tersebut. Dia merasa amat khawatir apalagi melihat kehadiran anggota keluarga yang lain, yang tiba-tiba saja berkumpul.

"Ummi Yuyun sehat?" tanya Kartika setelah dia bisa bicara lagi. Kartika mengabaikan nasihat Krisna yang ada di seberang tempat Daisy berdiri saat ini, untuk tidak banyak bicara. Begitu Daisy mengangguk, Kartika melanjutkan, "Salam buat Ummi. Bilang maaf, Mbak nggak sempat mampir."

Ucapan Kartika barusan daripada menandakan dia menyesal belum bisa kembali mengunjungi panti, menurut Daisy lebih mirip kepada salam perpisahan dan karenanya, dia jadi tidak bisa menahan diri. Tangisnya pecah dan dia memeluk tubuh kakak angkatnya sambil tersedu-sedu.

"Mbak, sehat, Mbak. Desi nggak punya kakak lagi kalau Mbak milih pergi." 

Dia hampir tidak pernah menangis. Mungkin, saat dikembalikan ke panti bertahun-tahun lalu atau saat ditinggal Kartika ke rumah orang tuanya. Tapi, saat itu, Kartika bakal kembali, entah mengunjunginya di saat liburan atau di saat hari raya. 

Sekarang, dengan kondisinya yang terlihat makin menyedihkan, Daisy sangsi dia bisa melihat Kartika lagi bahkan untuk satu bulan kedepan.

"Umurku nggak akan lama lagi, Des."

"Sudah, jangan nangis. Aku nggak apa-apa." Kartika menenangkan. Tak urung matanya basah juga. Dia bahkan mendengar isak dari kiri dan kanannya. Gendhis kembali menangis dan Krisna menyusut ingus. Tapi, sekarang dia sedang menyaksikan pemandangan indah, suami dan adik angkatnya mengapit Kartika. Mereka berdua mungkin tidak sadar, tetapi, tangan Kartika di kanan dan kiri telah menyatukan mereka berdua. Krisna belum melepas pegangan tangannya, begitu juga dengan Daisy. 

Andai Daisy mau menerima pinangannya, semua ini akan terasa begitu indah lagi.

"Maafin Desi, Mbak. Kemarin sempat marah-marah." Daisy terisak. Kartika sempat mengangguk sebelum bicara, "Wes, toh. Udah ayu begini. Kamu nurut kata mbakmu ini, anak baik. Cantik banget kamu, Des. Mbak sayang banget sama kamu."

Daisy memejamkan mata. Hatinya terasa disayat-sayat mendengar Kartika memujinya. Tapi, dia takut mengangkat kepala dan melihat wajah kakak angkatnya yang semakin kurus dan sayu. Seharusnya masih ada jalan agar Kartika bisa sembuh. Mengapa Tuhan begitu jahat kepadanya? Kartika tidak punya orang tua, ayah dan ibu angkatnya juga telah berpulang, tidak memiliki saudara, dan tentu saja buah hati. Dia hanya punya Krisna. Seharusnya, Allah membuat umurnya sedikit lebih lama.

"Mbak, sembuhlah. Kalau bisa ditukar biar Desi aja yang gantiin Mbak terbaring kayak gini. Kalau harus mati, lebih baik Desi. Aku nggak punya siapa-siapa. Jalanku bisa lebih mudah."

Kartika menahan lengan Daisy dan mencegahnya bicara ngawur. Tapi, gara-gara itu juga, Kartika akhirnya terlihat bersemangat sewaktu dia melanjutkan bicara, "Kamu bisa gantiin aku, tapi bukan mati." 

Oh, tidak. Topik ini lagi. Pikir Daisy. Bagaimana bisa Kartika membahasnya di depan semua orang? Bahkan saat ini di hadapan Krisna yang kaku bakai es balok yang siap dipecahkan dengan kapak.

"Tika."

"Mbak."

Suara mereka berdua terdengar serempak sewaktu Kartika berusaha mendekatkan tangan mereka berdua. Daisy enggan menyentuh tangan Krisna karena mereka bukan mahram dan begitu juga dengan Krisna. Pria tampan yang kini muram itu, tidak ingin menyentuh tangan wanita lain selain istrinya. 

"Kalian ingin lihat aku bahagia, kan? Ini permintaan terakhirku."

Baik Krisna dan Daisy menggeleng. Sedang Kartika berkali-kali menggumam kalau dia sangat menyayangi mereka berdua.

"Des, Mbak nggak pernah memohon sekalipun kepada kamu, kecuali ini. Tolong jangan tolak."

Kartika terbatuk dan entah kenapa, Daisy hampir terpekik begitu melihat darah segar keluar dari hidungnya. Dia panik, melepaskan tangan wanita itu dan berteriak memanggil Gendhis. Gendhis sendiri, dengan air mata berderai-derai kemudian berlari mencari dokter jaga. 

"Nggak apa-apa. Sudah biasa. Ini pertanda."

Tidak ada hal yang paling sedih di dalam hidup Daisy kecuali menyaksikan Kartika tersenyum padahal dia tahu, wanita itu menahan nyeri yang amat sangat. 

"Istirahat, ya. Kamu sudah terlalu capek." suara lembut Krisna membuat Daisy mengangkat kepala. Tapi, dalam sekejap, dibuangnya wajah dan dia memilih mundur supaya pasangan suami istri tersebut bisa mendapatkan ruang pribadi.

Sewaktu dokter jaga dan dua orang perawat tiba ke kamar rawat, keluarga Krisna beranjak keluar. Daisy termasuk salah satunya tetapi Kartika memohon untuk ditemani dan dia tidak bisa berkutik. 

Hanya saja, begitu rombongan dokter tersebut keluar, Kartika kemudian menangis sambil memeluk Gendhis dan menggumamkan kata gagal yang membuat Daisy tidak sanggup lagi bertahan. Air matanya makin deras mengalir dan wajah Syauqi terbayang-bayang di pelupuk mata. 

Aku masih berharap dia memilih aku.

Tapi, Syauqi bahkan tidak peduli. Daisy mengerti. Berusaha mengerti. 

"Ikhlaskan, Mbak. Fokus sama kesehatan Mbak dulu." 

Tidak ada yang bisa dia lakukan. Ketika akhirnya Kartika menjadi tenang dan tertidur sambil menggenggam tangan suaminya, Daisy kemudian termangu mendengar cerita Gendhis di taman rumah sakit, saat mereka mendapatkan kesempatan untuk mencari udara segar setelah hampir tiga puluh menit menangis sesenggukan.

"Tinggal nunggu harinya aja. Mbak Tika nggak mau makan. Udah dipasang selang langsung ke lambung.

Daisy kira selang yang tadi dia lihat adalah selang oksigen. Tahunya, malah selang untuk membantu makan. Jika sudah begitu, kondisinya sudah amat lemah. Gendhis bahkan sesekali menyumpah, mengeluarkan makian dan mengabsen nama-nama penghuni kebun binatang kepada rumput di hadapan mereka. Dia tidak peduli sama sekali pada kode dari Daisy kalau saat ini mereka berada di rumah sakit. 

“Nggak tega aku, Mbak.” Gendhis mengusap air mata di pipi kanannya dengan kalut. 

“Lihat orang sakit, orang meninggal, aku sudah biasa. Tapi, ketika kejadian di depan mata, aku nggak bisa nggak nangis. Apalagi ini mbakku sendiri.”

Gendhis menelungkupkan wajah ke lutut lalu melanjutkan, “ Dulu waktu Ayah meninggal, aku nggak sempat mengabulkan keinginannya buat sering datang ke rumah. Ayah mau kami lebih banyak bersama, Ayah kepingin banget makan sop buntut bareng aku tapi karena aku suka bertengkar sama Bunda, kepinginan Ayah nggak pernah bisa kuwujudkan. Waktu beliau pergi… “ suara Gendhis nampak putus-putus karena dia berusaha amat keras untuk melanjutkan, “Cuma sop buntut, Mbak. tapi nyesalnya sampai sekarang. Setiap aku mampir ke restoran, setiap ketemu menu sop buntut, aku pasti nangis ngebayangin Ayah kepingin banget.”

“Sampai dua tahun aku nggak berani lihat foto Ayah di HP.” Gendhis mengangkat kepala. Hidungnya bengkak dan dia berterima kasih saat Daisy menyerahkan selembar tisu kepadanya. 

“Aku kangen banget sama Ayah.” Gendhis berusaha tersenyum, “Tapi, aku nggak bisa kasih tahu semua orang kalau perasaanku kadang naik turun. Aku cuma manusia biasa, Mbak.”

Daisy juga manusia biasa. Dia memang belum pernah kehilangan orang terdekat secara riil. Dia bahkan tidak tahu keberadaan orang tuanya di mana, apakah sudah meninggal atau belum. Hal tersebut terjadi bahkan sebelum dia tahu dunia dan kini, Daisy lebih suka menganggap mereka meninggal, supaya dia tidak terbeban dengan kewajiban mencari orang tua seperti yang sering ditulis dalam cerita. Kenapa juga dia harus mencari sedang sejak lahir saja dia sudah dibuang?

“Aku nggak mau menyesal lagi.”

Gendhis seolah masih ingin bicara tetapi dia memilih mengusap air mata dalam diam sementara Daisy sendiri mencerna semua kalimat yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Ketika mereka berdua kembali ke kamar rawat Kartika, suasana kamar sudah sepi. Hanya saja, suara Bunda Hanum membuat Daisy agak sedikit gugup. Dia sedang memarahi putranya.

“Kamu, tuh, lembek banget. Minta apa, kek, sama dokter biar dia nggak sakit lagi. Nggak kasian apa lihat istrimu kesusahan?”

Daisy agak sedikit gugup setiap mendengar suara Bunda Hanum. Tapi, dia mendengar suara penuh kelembutan di sana yang membuatnya sedikit iri karena hal tersebut berarti kalau Kartika sangat disayangi.

Mereka berdua terdiam melihat kehadiran Gendhis dan Daisy dan seolah memberi jalan, akhirnya dua orang perempuan tersebut masuk. Begitu Daisy mendekat ke arah tempat tidur Kartika, Krisna menyusul dari belakang. 

"Tidur?" Daisy bertanya, dimaksudkan kepada Gendhis tapi yang menjawab malah Krisna.

"Nggak. Cuma memejamkan mata. Biasanya sedang menahan sakit. Sebentar lagi jadwal minum obat."

Entah apa fungsi obat tersebut untuk saat ini, pikir Daisy. Apakah untuk menambah masa hidup, mengurangi rasa sakit, atau membunuh sel kanker yang sudah menggerogoti tubuh Kartika saat ini. Tidak pernah dia merasa sepilu ini dan air matanya terus turun tanpa bisa dia cegah. 

Begitu mendengar suara, Kartika mengulurkan tangan. Daisy tanpa ragu mendekat dan duduk di bangku sebelah tempat tidur.

"Mbak kira kamu pulang tadi." 

Senyum Kartika tampak bahagia walau Daisy tahu sekarang dia sedang menahan sakit. Dia amat tidak tega melihatnya berusaha untuk terlihat kuat. 

"Bahkan, sekadar nraktir Ayah makan sop buntut aja, aku nggak bisa lagi, Mbak."

Terbayang tangisan Gendhis yang begitu menyesal ditinggal sang ayah membuat Daisy tidak mau merasakan hal yang sama. Entah setan mana yang membujuknya, begitu dia mendekat ke arah Kartika, Daisy memajukan kepalanya dan bertanya pelan, "Mbak nggak menyesal meminta aku menjadi madumu?"

Tangis Kartika pecah. Dengan tangan ringkih dia menarik wajah Daisy dan menciumi pipi adik angkatnya dengan penuh terima kasih.

"Ya Allah, Desi. Makasih. Makasih banyak. Ya Allah, aku nggak minta apa-apa lagi." 

Tubuh gemetar Kartika memeluk Daisy amat erat. Dia bahkan berusaha bangkit bila tidak ditahan oleh Daisy, Krisna, dan juga Gendhis. Tapi, dia tidak merasa sakit sama sekali, seolah kesakitan di tubuhnya telah lenyap. Malah, gara-gara itu juga, Kartika meraih lengan suaminya, "Mas. Desi mau. Desi mau nikah sama kamu."

Terdengar ucapan hamdallah yang Daisy tahu berasal dari bibir Gendhis sementara Krisna tidak memberi respon sama sekali. Tubuhnya sekaku papan sewaktu mendengar kalimat barusan dan Daisy sama sekali tidak berani menoleh ke arah wajahnya. 

Di belakang mereka terdengar istighfar dan decakan seolah Bunda Hanum tidak senang mendengar kabar itu dan Daisy yang sempat berpaling ke arahnya karena menghindari Krisna melihatnya cepat-cepat keluar seolah hendak menelepon seseorang. 

"Panggil Ustad Khalid, Dek." pinta Kartika kepada Gendhis seolah mereka telah siap bila saat ini terjadi sementara Daisy masih berdiri dengan wajah bingung memandangi mereka semua. 

"Mas, kita nggak usah jauh-jauh cari saksi. Cukup Mas-mas di kamar sebelah, yang teman ngobrolmu. Kita mes … ti …ce…pa… t … "

Kartika tidak sempat melanjutkan. Sesuatu mendesak keluar dari kerongkongan dan mereka semua belum siap ketika wanita itu bergerak dan mengeluarkan semua isi perutnya.

***

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top