33. Royal Flush
WARNING!!!!
Chapter ini berisi kekecewaan, sakit hati, kemarahan. Apa yang ente-ente takutkan, apa yang ente-ente khawatirkan terjadi di chapter ini. Jadi kalau ente nggak sanggup membaca chapter ini, ente bisa berhenti di sini. Dan ane ucapkan beribu-ribu terimakasih karena udah senantiasa menunggu cerita absurd ini update.
Satu chapter ane dedikasikan kepada sahabat ane di Magetan yang mengingatkan ane, 'Apa tujuan ane menulis?'
Untuk 'Sebut Saja Dia Mawar', dan abang ganteng dari Padang
"Andis?" Bayu berdecih, menahan napas, air mata lolos tanpa pernah diminta, "Apa yang gue lewatkan dalam kehidupan gue? Kenapa seorang ibu bisa sedemikian kejam dalam dunia ini? Bukankah ibu diciptakan untuk memberi kebahagiaan bumi manusia? Kenapa bisa begitu banyak anak yang harus disakiti atas kelahirannya?" bibir Bayu bergetar, kenyataan bahwa ibunya seorang pelacur sangat menampar perasaannya.
"Pasti ada alasan dibalik itu semua, Bayu. Dan kebodohan papa adalah baru mengetahui alasan itu, setelah semuanya sudah sekacau ini. Papa benar-benar menyesal telah merusak keluarga kita, papa benar-benar menyesal telah banyak membunuh orang."
"Apa alasannya?" Bayu memijat pelipis, kepalanya pusing, dia butuh istirahat. Namun kenyataan yang dihidangkan Pak Burhan Satya Lencana, diluar semua prediksi yang pernah dia asumsikan selama ini. Ibunya seorang pelacur? Ibunya seorang pelacur? Ibunya seorang pelacur?
"Mamamu pernah mengalami pemerkosaan masa kecilnya, Bayu. Berkali-kali, sampai di usia lima belas tahun mamamu hamil, dan menggugurkan kandungannya, karena dia nggak menginginkan anak itu."
Bayu tersentak. Tubuhnya menggigil. Dia melirik Pak Burhan takut-takut.
"Jakarta memang keras. Banyak kejahatan, dan mamamu nggak pernah tahu kejahatan sangat besar disajikan secara manis di balik atap rumahnya. Kamu masih ingat, hari dimana kamu koma setelah mencoba bunuh diri?"
Bayu nggak mengangguk, nggak juga menggeleng. Bergeming. Menikmati rasa sakit yang bergelanyar di seluk beluknnya.
"Itu adalah hari papa terbang ke Jakarta untuk mengetahui sepotong kisah kelam mama kamu, Bayu," Pak Burhan mengelus kaki Bayu yang terbungkus selimut, "Mama kamu adalah salah satu korban kekerasan seksual yang berimbas pada masa dewasanya. Bayu, semasa mamamu kecil, dia diperkosa ayahnya sendiri. Berkali-kali, hingga mamamu hamil dengan ayahnya sendiri. Mamamu kabur dari rumah, lalu bertemu dengan germo yang membuat kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Di tangan germo itu, janin mama kamu digugurkan. Dan dibawah asuhan germo itu, mama kamu menjelma menjadi wanita keras yang tak pernah mempercayai laki-laki. Termasuk papa."
"Gue seperti mendengar kisah sinetron."
"Masalahnya Bayu, nggak ada hidup yang sempurna di dunia ini. Tuhan menyajikan seporsi cerita dalam piring kita. Berbagai macam rasa. Kita yang suka pedas, akan menikmati cerita gila kita. Kita yang suka manis, akan membenci porsi pedasnya. Kita yang suka pahit, akan membenci porsi manisnya. Namun, kita harus menghabiskan porsi cerita kita sampai kita berakhir dalam liang yang sama dengan jutaan orang yang sudah meninggal lebih dulu. Kehidupan itu lebih pelik dari sekedar sinetron, lebih bajingan dari sekedar sinema-sinema berseri. Dunia itu keras Bayu, kalau kamu bertahan dengan satu pikiran tunggal, kamu akan tumbang di tengah jalan."
"Dan gue, Kevin, serta Andis, adalah tiga anak manusia yang terlahir untuk disakiti orang tuanya sendiri," Bayu tertawa sinis, "Siapa yang menyangka sahabat gue adalah adik gue, dan orang yang hampir membuat gue percaya dengan yang namanya cinta adalah abang gue," dia menggeleng, mengusap air mata, "Hubungan sebab akibat kan?"
Pak Burhan terhenyak di tempatnya.
"Mama benci kepada laki-laki, nggak percaya dengan laki-laki, karena mama pernah disakiti sedemikian hebat dengan orang tuanya sendiri. Gue nggak pernah percaya adanya cinta, ketulusan cinta, karena selama gue hidup gue nggak pernah mendapat hidangan cinta dalam porsi cerita gue. Kevin berbuat kekerasan, membunuh banyak orang termasuk mama dan papa kandungnya sendiri, karena selama hidupnya di panti, porsi kekerasan pemilik panti yang dia terima dalam hidangannya. Lalu Andis? Sahabat tercinta gue? Adik gue? Gue nggak tahu. Hubungan sebab akibat seperti apa yang dia alami dalam hidupnya."
Pak Burhan mendesah, terbatuk kecil, berdiri dari tempatnya duduk lalu mengusap kepala Bayu, "Bayu, hari dimana kita bertolak dari Makassar ke Surabaya, adalah hari papa mengambil Andis dari ayah kandungnya yang telah papa bunuh. Sebenarnya hari itu, dalam satu pesawat yang sama dengan kamu, Andis juga berada di sana. Seorang diri. Sejatinya, papa sangat ingin membunuh Andis, karena Andis adalah anak dari hasil perselingkuhan mama kamu dengan sahabat papa sendiri. Namun kenyataannya, papa nggak sanggup. Ada dalam diri Andis yang menggetarkan hati papa sehingga niatan papa untuk membunuhnya hilang begitu saja."
"Maksud lo?"
"Papa membunuh ayah Andis tepat di hadapannya sendiri."
"Lo bener-bener manusia bedebah, yang pernah gue temui di dunia ini."
"Tapi dia nggak menangis. Andis diam terpekur dengan liur yang menetes, serta mainan di dalam genggamannya."
"Lo bener-bener manusia bajingan yang pernah gue temui sepanjang kehidupan gue."
"Andis adalah anak paling kuat, paling tegar yang membuat papa tertegun, dan berniat untuk membesarkannya. Sampai kita di Surabaya, beberapa hari setelahnya, Andis papa terbangkan ke Cina, ke eyang kandungnya. Di bawah asuhan eyangnya selama bertahun-tahun, Andis papa ambil kembali empat tahun lalu dari keluarganya, dan papa titipkan Andis di kerabat kita yang ada di Jakarta. Papa ceritakan seluruh hidup papa kepada Andis, bahkan papa mengaku jika papa yang telah membunuh ayahnya."
Bayu melotot. Dadanya mencelos, "Berarti Andis tahu kalau gue...."
"Pernah terpikirkan kenapa ada mahasiswa baru yang begitu ngotot ingin bersahabat denganmu?"
Bayu merasakan ngilu di sekujur tubuhnya.
"Itu karena dia tahu kamu adalah kakaknya. Dia tahu semua masa lalu kamu. Dia tahu semua masalah kamu. Dan dia papa hadirkan sebagai pelipur kesepian kamu. Dia berpura-pura nggak kenal kamu, dan mencoba menjalin persahabatan dengan kamu. Abangnya sendiri. Dia memuwujudkan kasih sayang yang nggak pernah kamu kenal dalam bentuk persahabatan yang dia tawarkan. Kamu tahu kalimat apa yang dia katakan pada papa begitu mengenal kamu?"
Bayu bergeming.
"'Pak Burhan, akan saya buat sebuah cinta itu datang dalam kehidupan Bayu. Saya nggak pernah mempunyai saudara, dan saya bahagia memiliki abang seperti dia. Mungkin saya nggak bisa memberikan dia cinta sebagai lover, tapi saya akan membuat dia mengenal bahwa ada begitu banyak bentuk cinta di dunia ini. Dia nggak mengenal cinta dari orang tuanya, maka dia akan mengenal cinta dari sahabatnya. Dan sahabat itu saya. Adiknya sendiri.'"
Lalu Bayu menyadari, cinta yang nggak pernah dia percayai selama ini, yang selalu dia cari maknanya, sejatinya sudah ada di depan mata. Di sampingnya. Mendekapnya lembut, hangat, penuh perlindungan. Cinta dalam bentuk cerita lain, dan cerita itu... persabatannya dengan Andis. Dengan Gempita. Sesederhana itu, namun sangat indah.
Pintu kamar terbuka. Bang Gahar masuk. Lalu diikuti seorang laki-laki menggunakan egrang. Dan Bayu terkesiap melihatnya. Laki-laki tersebut tersenyum sendu. Tertatih-tatih mendekati Bayu terbaring.
"Steven...."
"Hai, Bay. Nice to meet you," Steven mengacak-acak rambut Bayu, tersenyum penuh luka, menghela napas berat, kemudian berpaling kepada Bang Gahar yang nampak bengap mukanya.
Pak Burhan pergi setelahnya, meninggalkan ketiga pemuda yang dibebat luka tersebut sendirian.
"Papa lo menyelamatkan gue, Bay," Steven bergumam lirih, "Tapi gue kehilangan Reza sebagai gantinya."
Bayu mengangguk, kemudian menatap Bang Gahar, "Bang, Andis, adik gue, gimana kabarnya?"
Bang Gahar memejamkan mata, mendesah berat. "Dia sudah pulang, Bay. Sudah tenang di sana."
===
Andis Genta Buana adalah nama yang Bayu baca pada sebuah nisan. Ditulis dengan huruf yang sangat Bayu kenal kepemilikannya. Dan pemilik huruf tersebut, berdiri menjulang di sisi makam. Gempita, memakai kemeja hitam, serta menggenggam pegangan payung hitam. Di samping Gempita, berdiri Steven yang merangkul bahu kurusnya.
Bayu turun dari kursi roda yang sedari tadi didorong Bang Gahar, lalu bersimpuh di makam Andis. Matanya terpejam beberapa saat. Dan kilasan masa lalunya dengan Andis, bergulir begitu saja di kelopak matanya.
"Woi,, Yu lo sakit? Gue bawa ke klinik ya?"
"Sebenarnya aku lapar, Ndis. Mau minta makan ke kamu tapi kamunya repot. Aku pulang aja."
"Ya allah. Kenapa nggak bilang dari tadi sih?"
"Yu.. makan dulu gih. Ntar gue antar ke klinik biar lo bisa istirahat di sana."
"Kenapa... Kenapa... Ndis, kenapa lo tinggalin gue secepat ini? Kenapa lo pergi di saat gue tau semuanya? Lo udah janji ke gue, Ndis, kalau lo mau nganterin gue kemanapun gue pergi. Ke Bandung, ke Jogja, ke neraka, tapi kenapa lo ninggalin gue duluan?"
"Gue nggak tau maksud lo apa. Kita buat lebih sederhana saja. Selama lo nyaman dengan dia, selama lo bahagia dekat dengannya, kenapa lo harus memperdulikan lingkungan sekitar lo? Gue sayang ama Gempita, gue cinta ama dia, gue menjalin komitment ama dia, dan persetan dengan omongan orang yang menilainya gimana. Selama gue dan orang yang gue sayangi bisa bahagia, kenapa repot-repot memikirkan sakit hati orang gimana. Yu, hidup itu ada dalam genggaman kita. Kita sendiri yang menentukan apakah kita ingin bahagia atau stuck di satu titik dimana lo masih ragu menentukan kemana arah kaki lo melangkah."
"Maret lo nikah, Ndis. Dua bulan lagi. Dan gue bakal jadi saksi pernikahan lo, tapi kenapa lo yang malah mengingkari janji lo sendiri, Ndis? Gue bakal ada di samping lo ama Gempita, gue bakal ada di sisi lo selamanya, melihat kelahiran anak pertama lo, meskipun Gempita nggak bakal punya anak, nyuapin anak-anak lo. Gantiin popok anak-anak lo. Itu kan yang pengen lo inginkan? Tapi kenapa? Kenapa seperti ini?"
"Yu lo harus realitis menjalani kehidupan ini. Anut apa yang menurut kata hati lo benarkan. Mungkin lo harus egois untuk meraih kebahagiaan lo, karena kadang, kalau kita terus mengalah, yang ada hidup malah menginjak-injak dan mempermainkan takdir kita. Di dunia ini nggak ada tokoh protagonis ala sinetron yang merelakan kebahagiaannya demi melihat orang lain nggak tersakiti. Bullshit itu. Omong kosong taik anjink itu. Lo hidup nggak sehari dua hari Yu, tapi untuk selamanya. Apakah lo akhirnya akan bahagia juga jika pada akhirnya lo melepas cinta lo demi melihat kebahagiaan orang lain? Apakah orang yang lo perjuangkan kebahagiaannya dengan mengorbankan perasaan lo akan selalu berada di sisi lo selamanya? Menemani lo apapun keadaan lo? Asal lo tahu Yu, manusia di belahan bumi manapun, akan selalu mencari sebuah kondisi bernama bahagia. Dan kalau manusia sudah bahagia, dia nggak perlu menambahnya lagi. Cukup itu untuk melengkapi hidupnya."
"Lo harus bangun, Ndis, lo harus bangun," Bayu menangis histeris. Kenangan dimandikan Andis, dihanduki Andis, parfum mahal yang diberikan Andis, dan kenangan bermain hujan-hujanan di balkon apartement Andis dengan dia berada digendongan Andis, berputar satu-satu sangat menyakitkan di kepalanya.
Tawa cekikikan Andis, haha hihi Andis, aroma rokok Esse Andis, umpatan Andis, saling tumpang tindih dan berseliweran di benak Bayu.
"Gue sediain makan yang enak-enak buat mereka. Lo nggak usah pusing-pusing memikirkan makanan mereka. Paling juga uang hasil lo ngamen nggak lebih bisa buat beli nasi bungkus doang. Lo tetap di sini nungguin Benny, apapun keadaannya."
Bayu menggenggam gundukan tanah di hadapannya, meremas, menciumnya, dan membiarkan air mata luruh di atas tanah. Dadanya terasa sesak. Ini sangat menyakitkan. Demi Tuhan, ini sangat menyakitkan.
"Gue ingat waktu gue beliin lo korek itu pas gue sedang berlibur ke Roma, orang tua gue sampai gemas mencari gue yang tak kunjung balik ke hotel, sementara gue masih bekeliaran di Turin hanya untuk membelikan lo ama Gempita oleh-oleh. Lo sebuah korek dan Gempita sebuah pembatas buku."
Tubuh Bayu bergetar, menengadah, melihat gemawang awan hitam yang menggantung rendah di langit Surabaya. Dicaruknya lagi tanah dengan kedua tangannya, kembali dicaruk, terus dicaruk, membabi buta, mencoba menggali makam Andis dengan kedua tangannya yang diperban. Bang Gahar mendekap tubuh Bayu dari belakang, mencoba menenangkan, namun sia-sia. Bayu menggigil hebat, kemudian meraung histeris. Seberapa banyak dia berusaha menggali kubur Andis dengan kedua tangannya, gundukan tanah itu akan tetap terbujur dingin, menyimpan jasad Andis ― manusia yang sangat disayang Bayu, adik yang nggak pernah diketahui oleh Bayu ― di dalamnya.
"Sandal yang lo kasih waktu malam inagurasi penerimaan mahasiswa baru," Andis menghembuskan napasnya lelah, menimang sandal tersebut dalam genggamannya, "Waktu itu saat kita kemah di kampus, gue kebingungan mencari sandal gue buat ambil air wudlu di masjid yang letaknya agak jauh dari tempat perkemahan. Lagi-lagi saat gue kebingungan, lo datang sambil terkekeh dan sulutan rokok terjepit di bibir lo. Sandal yang sedang lo pake tahu-tahu lo lepas gitu aja dan lo kasihkan ke gue, membuat lo akhirnya nyeker di sepanjang kegiatan perkemahan," Andis mengedarkan pandangannya, wajahnya terlihat sangat frustasi, "ketika gue ngembaliin sandal ini ke lo, lo ngomong kalimat yang sampai saat ini masih dan akan terus terpatri diingatan gue."
"Ndis, katanya lo ingin gue kasih nama anak lo. Katanya lo ingin gue ada di setiap moment bahagia lo. Katanya lo bakal jadi sahabat sehidup semati gue, Ndis. Gue mohon, Ndis. Jangan tinggalin gue. Jangan tinggalin Gempita. Gue belum siap, Ndis. Gue belum siap untuk kehilangan orang yang gue sayang lagi. Sudah cukup gue kehilangan Bang Reza, ama mama kita, dan sekarang gue kehilangan lo," Bayu mencekal batu nisan Andis, memeluknya penuh haru. Sesenggukan. Kemudian matanya beralih di samping nisan. Ke sepasang sandal yang dulu pernah dia berikan kepada Andis. Tergeletak manis di sana. Permukaannya sudah terepes. Serampatnya longgar. Warnanya pun pudar. Diambilnya sandal itu, kemudian diciuminya. Mencoba mencium jejak telapak kaki Andis yang sudah terkubur. Mencoba mengais ingatan adik semata wayangnya dengan sandal tersebut.
'Sandal itu kamu simpan saja. Nanti, siapa tahu salah satu di antara kita ada yang lupa, kamu bisa menggunakannya untuk mengingatku atau mengembalikannya padaku untuk mengingatmu,'
"Dan percaya atau tidak, gue selalu memakai sandal ini setiap gue mau ambil wudlu di manapun itu berada. Gue selalu menempatkan semua yang ada hubungannya dengan lo ke dalam wadah suci, Yu. Gue kembaliin satu sandal ini pada lo Yu, karena kelihatannya ada yang lupa di antara kita. Biarkan satu sandal ini menceritakan kisah persahabatan kita selama ini, dan kembali mengingatkan lo bahwa kita: gue, lo dan Gempita pernah memiliki cerita susah senang di langit Surabaya yang sampai kapanpun tak akan ada satu orang pun menghapusnya."
Masih menciumi sandal tersebut, kilasan masa lalu dengan Andis menderas kuat dari dasar sanubari Bayu, bahu pemuda kurus itu bergetar, seirama dengan tiap sengguk air matanya menetes. "Gue mohon, Ndis. Bangun. Lo masih punya hutang ama gue. Lo masih punya hutang rokok Dji Sam Soe ke gue. Enam puluh bungkus, Ndis. Bayar hutang lo, Ndis. Lo nggak lupa kan, waktu kita di Lapangan Kodam V Brawijaya. Lo nggak lupa kan?"
"Enam puluh bungkus rokok Dji Sam Soe seharga 840.000 untuk permen kapas warna hijau lo seharga 10ribu yang tinggal separoh dan sekarang udah mau kempes," Andis terlihat ogah-ogahan menatap Bayu yang kini dari matanya langsung mengeluarkan gambar-gambar tembakau menggiurkan.
"Hiks.. Hiks..." Gempita nangis kejer waktu melihat baskomnya berisi sedikit ikan, dia merajuk pada Andis, "Andis, ikan aku dikit banget nih. Aku kalah ama mas Bayu kan jadinya," dia mengelap lelehan air mata yang turun romantis di belahan pipinya.
"Semangat, semangat, semangat!!!" mantra Bayu ke kail, mencomot ikan yang lagi-lagi nyangkut di mata pancingnya. Dia menatap Andis dan Gempita sinis, tersenyum miring. Membanggakan kemampuan nggak masuk akalnya kali ini. "Jangan pernah sekali-kali meremehkan kemampuan seorang Bayu S. Lencana anak muda," ujarnya menyeringai.
"Cih, lalalalala, Andis Genta Buana berencana mengalahkan Bayu dalam hal memancing ikan mainan?" Bayu melinting kaos kusamnya ke atas, sehingga lengan tulangnya terekpos nyata.
"EH ADA ALIEN NGENTOT AMA TUYUULLL!!!" teriak Andis tiba-tiba, sambil menunjuk langit malam. Semua orang yang ada di sana spontan menengadah. Pun Bayu, dan kesempatan itu digunakan Andis untuk memindahkan ikan-ikan di baskom Bayu ke wadahnya.
Bayu mendekap sandalnya, kemudian memeluk makam Andis, membiarkan tubuhnya yang masih kesakitan, belepotan tanah yang masih basah akibat diguyur hujan tadi malam. Matanya terpejam lagi, membiarkan air mata terus menasbihkan kesedihannya. Ini adalah kehilangan yang sangat menyakitkan buat Bayu. Semasa hidupnya dia tak pernah merasa apa itu cinta. Dan sekarang, ketika dia sadar bahwa ada cinta sedemikian hebat dalam hidupnya, dia malah kehilangan cinta itu. Cinta dalam porsi lain. Porsi itu bernama sahabat.
"Bayu Suck Lencana adalah sahabat gue, Bang. Kemarin, sekarang, besok, bahkan sampai gue menjadi bangkai di bawah tanah, manusia anjing satu ini akan tetap menjadi sahabat gue, manusia bangsat satu ini, di dalam takdir Tuhan, bakal menjadi wali buat anak-anak gue kelak kalau gue udah meninggal."
Dengan disaksikan puluhan balita dan orang-orang dewasa yang mengerubuti mereka, satu scene persahabatan antara Bayu, Andis dan Gempita kembali tertulis dalam jilid kehidupan. Nanti, sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, dan entah berapa puluh tahun lagi, ketika mereka tak lagi mampu menghitung lembaran uban, dan nilai usia semakin merajut benang-benang kehidupan mereka, tempat itu, Lapangan Kodam V Brawijaya, akan menceritakan keromantisan mereka dalam diam angkuhnya, sebuah sejarah persahabatan manis tiga pemuda yang akan semakin legam, semakin liat tiap rotasi waktunya.
"Mas Bayu...," Gempita bersuara lirih.
Bayu menengadah. Melihat Gempita yang menatapnya kosong. Mata marmut itu mati. Tak ada kehidupan lagi di sana. Semua cinta yang dulu berpijar penuh pesona di dasar retinanya, sekarang larat. Tak ada senyum. Tak ada kepolosan. Tak ada keimutan lagi. Gempita berdiri kokoh. Bak manusia tangguh dalam tubuh ringkihnya.
Pemuda mungil itu nggak menangis. Nggak juga sedih. Semua yang ada pada wajahnya adalah pias. Tak berekspresi dan datar.
"Gempita sudah melakukan tugas Gempita, menulis nama Andis dengan tangan Gempita sendiri. Sekarang giliran tugas mas Bayu. Menuliskan kata-kata di nisan Andis," Gempita mengangsurkan sebuan marker kepada Bayu.
Bayu meraih marker itu. Mengusap air matanya. Kemudian secara perlahan namun pasti, sebuah rangkaian kata yang pernah dia ucapkan kepada Andis dia tulis.
Surabaya, Kiblat, dan Sesuatu Bernama Kita
===
Steven berjalan timpang dengan kedua lengan menjepit egrang menuju jendela kaca, membukanya, kemudian dia mematikan pendingin ruangan. Merogoh saku celana kargonya, dan mengeluarkan sebungkus rokok dari sana. Memasukkan lagi bungkus rokok setelah mengambil sebatang lalu mengeluarkan pemantik. Menyalakan api, dan tak berapa lama kemudian, asap tembakau meluncur dari mulutnya. Dia sandarkan dua egrang di sisi tembok, lalu dia tumpukan sebelah tangannya di pembatas jendela.
Dia berpaling ke arah Bayu yang nampak semakin segar di pembaringan pasien. Menghisap rokok, menghembuskannya ke arah luar jendela, lalu kembali menatap Bayu lurus-lurus.
"Siang itu, gue punya teman di Auckland sana, sudah bisa menghancurkan virus laptop temen lo, Bay," Steven mengetuk ujung rokoknya di luar jendela, sehingga abu yang menggumpal di ujung batangnya berhamburan diterpa angin, "Gue cepat-cepat bergerak. Lari-lari untuk balik ke apartement dan menunjukkan ke lo siapa yang ada niat mencelakakan lo," aksen Bahasa Indonesianya yang aneh terdengar berat. "Tapi tiba-tiba boom, ada truck box menabrak gue. Kecelakaan besar. Beruntun. Gue setengah hidup, tapi dalam kondisi buruk pun, gue bisa Whatsapp lo, tapi setelah itu, gue nggak ingat apa-apa. Gue operasi, operasi, lagi. Gue nggak tahu operasi apa. Sampai Reza datengin gue, lalu boom lagi, ledakan hebat, Reza mati, dan gue berada di ambulance yang akan merujuk gue ke rumah sakit entah di mana."
Bayu mengambil bantal, menyandarkannya di punggung, mengubah posisinya, mendengarkan cerita Steven. Sementara Bang Gahar terlihat mengenyakkan pantatnya di sofa berlengan.
"Sampai seorang laki-laki ada datengin gue. Ngaku-ngaku Burhan, whateva, gue nggak tahu. Dia biayain semua gue operasi. Dia pulangin gue ke Surabaya, dan ngomong kalau lo sebentar lagi tewas."
"Jadi laki-laki biadab itu tahu kalau anaknya sedang dalam bahaya?" tukas Bang Gahar nggak suka, kedua tangannya bersedekap, matanya mendelik gusar.
"Lebih dari tahu. Dia kasih gue informasi tentang bokapnya Kevin yang udah Kevin bunuh."
"Maksud lo?" Bayu mengernyit
"Terdengar konyol memang. Tapi inilah yang gue terima dari info Pak Burhan atau mulai sekarang kita panggil aja dia papa lo, Bay?"
"Eh, serius lo udah baikan ama dia, Bay?" Bang Gahar menarik sebelah alis ke atas, tersenyum geli di sudut bibirnya, sebelah tangannya mengelus rahang.
"Mati aja lo dua," Bayu mendengus sebal, kemudian berdecak kesal. Masih melihat Bang Gahar yang tersenyum menjengkelkan, dilemparnya sebuah bantal ke arah Bang Gahar, yang langsung menangkapnya kemudian tersenyum geli.
"Lupakan Burhan Satya Lutung Kasarung Bajingan Taik Babi itu sekarang. Gue mau tahu silsilah keluarga gue. Rektor bajingan itu nggak ngungkapin siapa bokapnya Kevin, dia Cuma ngasih tahu gue kalau Andis adik itu gue dari selingkuhan mama ama orang kewarganegaraan Cina. Bahkan gue anak dari sperma si Burhan itu aja gue nggak tahu."
Tawa Bang Gahar semakin lepas, mukanya yang mengerikan terlihat jenaka beberapa saat, "Oh jadi lo berharap, lo nongol ke muka bumi ini hasil hidayah sperma Burhan?"
"Mati aja lo, Bang. Bener-bener kampret lo tuh, Bang."
"Kata-kata lo mengarahkan gue untuk berfikir ke sana," Bang Gahar mengerling Steven yang juga nampak tersenyum geli.
"Denger ya, Bang. Gue udah nggak peduli dengan apa yang gue miliki sekarang. Persetan dengan siapa itu bokap gue. Persetan dengan hubungan darah taik anjing yang mengalir dalam diri gue. Sama seperti dulu waktu abang mengeluarkan gue dari penjara hutan, gue tetap dan akan selalu menjadi manusia bebas, walaupun Burhan biadab itu bakal selalu ngawasin gue. Nggak ada yang bisa ngikat gue, Bang, walaupun gue tahu mata picek laki-laki brengsek itu bakal selalu memantau gue.
"Gue tetap Bayu S. Lencana. Satya tetap udah gue anggap mati dalam hidup gue, Bang. Kalau gue bisa, gue hapus tuh Satya dalam nama gue, supaya gue benar-benar lepas dari masa lalu gue. Puluhan tahun gue tersiksa, puluhan tahun gue dihancurkan ama bokap gue sendiri, dan semua itu nggak akan bisa berubah hanya dalam sebaris kalimat penyesalan. Bullshit taik anjing itu, Bang," ucap Bayu berapi-api, mengambil segelas air putih di nakas samping ranjangnya, lalu meminum air tersebut untuk melegakan kerongkongannya.
"Lanjutkan cerita lo, Steve," kata Bayu, mengelap bibirnya dari cipratan air, kemudian mengembalikan gelas tadi ke tempatnya.
"Lo ingat nggak lo pernah ketemu Burhan di parkiran Fakultas Teknik?" tanya Steven, menghembuskan asap rokok dari dua lubang hidungnya.
Bayu mengangguk, menyandarkan kepala di headboard ranjang.
"Dari gue dapat cerita Pak Burhan, siang itu begitu lo nuduh dia yang ngerusak droone serta jangkitin laptop temen lo dengan virus, si Burhan langsung waspada. Dia cari tahu apa yang terjadi di laborat elektro lo. Cari tahun kenapa CCTV di seluruh gedung teknik mati, sampai sebuah jawaban merujuk dia ke Kevin. Dicari tahulah latar belakang keluarga Kevin, dan dia bilang terkejut saat mengetahui Kevin anak dari mama lo ama seorang laki-laki yang nggak dikenal bokap lo. Bocah laki-laki di panti asuhan siapa yang menyangka gedhenya jadi pembunuh, huh? Dan lo tahu kebenaran apa yang bokap lo dapatkan? Ayah kandung Kevin ternyata seorang hecker bajingan yang pernah bobol situs Mabes Polri, pernah dipenjara. Penjahat jaringan komputer musuh Indonesia. Mungkin itu kali ya, yang bikin Kevin secara otodidak paham tentang dunia jaringan."
Sebelah alis Bayu terangkat, bola matanya berputar beberapa saat, mengangguk-angguk kecil, "Lalu apa yang terjadi di gudang atau apalah itu, tempat gue disekap Kevin?"
Bang Gahar berdeham, menyilangkan sebelah kaki, "Temen lo yang ngaku bernama Jin, yang menghubungi Andis."
Bayu terkejut, berjengkit, dipalingkan kepalanya ke arah Bang Gahar, "Jin?"
Bang Gahar mengangguk.
"Kapan?"
"Sehari setelah lo berangkat ke Solo. Bertepatan dengan kedatangan Steven, yang langsung ngomong kalau Kevin lah dalang di balik semua ini. Kami mendatangi keraton Solo, menemui Jin, dan pria menawan itu memberitahu alamat lo disembunyikan. Seketika itu juga kami ke sana, dan boom lo nyaris saja mati."
"Bodohnya gue kenapa sampai bisa menyimpan pistol pemberian bokap lo di saku celana," Steven tersenyum kecut, kembali mengembuskan asap rokok, "Coba kalau gue pegang tu pistol pasti kejadiannya nggak kayak gini."
"Udahlah, Steve," Bayu tersenyum kecil, dadanya terasa sesak, ada lubang menganga besar di sana, kehilangan terbesar dalam hidupnya benar-benar membuatnya terpuruk. "Jadi sekarang Kevin udah dipenjara dan sedang menjalani proses persidangan," gumamnya lirih. Kenyataan bahwa Kevin adalah abangnya sendiri, belum bisa membuat Bayu memaafkan segala macam teror yang dibawa Kevin. Laki-laki bangsat itu telah membunuh tiga cinta dalam hidupnya. Mama, bang Reza, dan terakhir yang sangat memukulnya, Andis, adik kandungnya sendiri.
"So, apa rencana lo-lo pada setelah ini?" Bang Gahar menggeliat, membuka bungkus rokok yang terletak di atas nakas depan sofa, mengambil sebatang dan menyulutnya.
Bayu menatap Steven yang hanya cengar-cengir nggak jelas.
"Reza adalah lelaki terindah gue," dibuangnya puntung rokok ke luar jendela, kemudian menyulut sebatang lagi. "Mungkin gue mau menata hati gue untuk bisa berdamai dengan sakit hati gue," sebelah tangannya bersedekap, sebelah lagi menjepit rokok di ruas jarinya. "Gue belum pernah ke Jogja selama tinggal di Indonesia. Mungkin gue mau mencoba travelling ke sana," asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya. "Kalau lo, Har?"
"Melanjutkan cita-cita Andis," balas Bang Gahar terkekeh, "Pameran seni jalanan. Untuk membangkitkan semangat anak-anak sanggar setelah meninggalnya Reza ama insiden terbakarnya bengkel," dibuangnya abu rokok ke asbak almunium yang dia selundupkan diam-diam, kemudian menghisap lagi rokoknya, "Anak-anak sanggar kalau nggak dikasih semangat bakal terus-terusan down. Itu nggak baik untuk psikis mereka. Mereka harus bangkit. Dan pameran jalanan nanti adalah titik awal untuk kebangkitan mereka."
"Bang Gahar udah mendapatkan tempat untuk acara pamerannya?"
"Sebelum kegilaan ini terjadi, gue udah dapat ijin dari penata kota Surabaya untuk menggunakan bungkul sebagai tempat pameran. Yah, syaratnya sih nggak boleh rusuh. Menjaga ketertiban, supaya kejadian bagi-bagi es krim gratis yang merusak taman waktu lalu nggak keulang lagi."
"Semua sponsor, jenis-jenis kesenian yang mau dipamerkan, apa udah fix, bang?"
"Gue udah mendapat beberapa sponsor yang mau mendanai acara pameran nanti, Bay. Untuk apa yang bakal dipamerkan nanti, lo harus lihat sendiri. Kemampuan anak-anak asuh kita memang nggak bisa dipandang sebelah mata. Jupri ama Charli master piece nya lah."
"Kalau lo sendiri, Bay?" ucap Steven, mengapit lagi dua egrangnya, lalu berjalan timpang mendekati Bang Gahar, kemudian ikutan melesakkan pantatnya di sana, "Apa resolusi lo setelah ini?"
Bayu membuang napas lelah, melirik tetes-tetes infus, sebelum menjawab dalam gumaman lirih: "Mungkin gue mau cari anak gue dulu."
Bang Gahar ama Steven seketika tersedak asap rokok begitu mendengar kalimat Bayu barusan.
"Lo apa?" lantang Bang Gahar nggak percaya.
"Gue punya anak, Bang. Tapi gue nggak tahu anak gue itu siapa. Anak gue di mana. Setelah gue sembuh bener, gue mau cari anak gue. Kalau anak gue ternyata bahagia dengan keluarga yang sekarang, gue bisa bernapas lega, dan melanjutkan tujuan hidup gue. Namun, kalau ternyata anak gue hidupnya tersia-sia mungkin gue bakal membawa anak gue."
"Wait a minute. For god's sake, do you have a child? I mean really a kid who has eyes and hair?"
"Hahaha lucu sekali, Steve," Bayu mendengus sebal, "Gue punya anak, tapi gue nggak tahu, gue peroleh seperti apa tu anak."
"Dengan cara ngentot lah, Njing," sela Bang Gahar antusias yang langsung mendapat lirikan tajam dari Bayu, "Trus kalau lo nggak pernah tahu jika selama ini lo punya anak, dapat informasi dari mana lo tentang berita kocak ini."
Bayu menggeliat sebentar, minum lagi, membiarkan pertanyaan Bang Gahar tawar begitu saja. Ketika tetap nggak mau juga dia jawab, Bang Gahar berdecak sebal, mengalihkan pertanyaannya.
"Kalau lo pada akhirnya nggak menjumpai anak lo itu, apa yang bakal lo lakukan?"
Bayu mendesah, sedikit berfikir, "Ngurus skripsi lagi deh kayaknya. Bosan juga lihat kertas-kertas sampah itu numpukin kos-kosan gue."
"Lembar revisian lo maksudnya?"
Bayu tergelak.
"Lo tetap nggak mau berdamai dengan bokap lo? Lo tetap nggak mau menjadi pewaris kekayaan Satya Lencana?"
Bayu terkekeh kecil, menerawang ,"Bang, gue mengalami hal-hal buruk akhir-akhir ini. Kematian ibu gue, kenyataan bahwa masa kecil ibu gue tak ubahnya gue waktu kecil yang sering disiksa bokapnya sendiri, kematian Bang Reza, kenyataan Kevin adalah abang gue, kemudian kenyataan Andis adalah adik gue, kematian Andis, kenyataan gue punya anak, semuanya membuat gue benar-benar gila. Kegilaan yang sangat menyakitkan. Gue butuh pelipur supaya gue bisa melanjutkan hidup gue yang nggak pernah berjalan normal ini.
"Mungkin gue munafik menjadi orang, tapi yang jelas, selama dua puluh tiga tahun hidup gue, uang dan kekayaan belum pernah berhasil membahagiakan gue. Gue nggak sudi memakai kekayaan itu, Bang. Gue nggak sudi membawa embel-embel Satya Lencana. Gue memang pengin sukses. Sekarang, siapa sih yang nggak pengen sukses? Tapi, gue mau kesuksesan itu gue raih dengan cara gue sendiri. Mungkin gue kudu merangkak untuk mencapainya, atau mungkin gue kudu jatuh berkali-kali dan berdarah untuk meraihnya, bisa saja gue harus terjungkal dan terjerembab dulu di dasar jurang untuk bisa mencicipinya. Tapi, itu jauh lebih sempurna, Bang, dari pada gue duduk manis dengan segelas kopi manis dan menikmati hasil yang udah jadi. Kesuksesan gue bukan hasilnya, Bang. Tapi prosesnya," disisirnya rambut panjangnya dengan jari-jari tangan. Kemudian lanjutnya:
"Dan well Nobita kayaknya butuh hiburan, gue juga berniat membuka bengkel Bang Reza kembali. Kasihan Gaple, di sini nggak ada kerjaan selain kuliah. Dan dia butuh dana untuk membiayai hidupnya. Gue juga mau bikin perpustakaan buat anak-anak jalanan yang nggak kita tampung di sanggar. Sekolah buat anak-anak jalanan yang masih punya orang tua tapi hidupnya hanya untuk ngamen untuk mencukupi kebutuhan hidup."
"Resolusi yang sangat bagus, Bay. Nanti biar anak-anak Kanvas yang menjadi pembimbingnya. Lo tahu, kan. Manusia-manusia gimbal pemuja skuter itu, otaknya encer-encer semua."
Bayu terkekeh. Sebuah resolusi untuk mencoba bangkit dari kesakitan yang dia sembunyikan di dasar hatinya. Semoga Bayu bisa.
==
Pemuda bertubuh ramping itu berdiri di ambang pintu. Memakai tshirt hitam yang pas dengan badannya, serta celana khaki. Dia masuk mendekati Bayu. Tersenyum hambar lalu menghambur ke pelukan Bayu. Membenamkan wajahnya di sana. Tak ada tangis maupun isakan, yang ada hanya senyuman pahit yang sangat menyakitkan Bayu.
"Pit―"
"Gempita mau melanjutkan S2 di UGM, Mas Bayu," bisik Gempita di dada Bayu, semakin mengeratkan pelukannya, "Gempita nggak mau mengkhianati persahabatan kita. Gempita nggak mau mengingkari langit Surabaya. Gempita nggak mau meninggalkan Mas Bayu. Gempita nggak mau meninggalkan An―"
"Sayang...," Bayu bergumam lirih, mencoba melepas pelukan si marmut, namun pemuda ramping tersebut semakin mendekap Bayu.
"Andis nggak pernah menyakiti Gempita, Mas Bayu," dihela napas panjang, kedua tangan mungilnya meremas punggung Bayu, "Selama ini Andis selalu menyayangi Gempita, melebihi apa yang Gempita inginkan," dia masih nggak menangis, menggigit bibir bawahnya kuat, matanya masih bening, hitam, nggak ada tanda-tanda butiran indah tersebut pernah menjatuhkan air, namun lingkaran di bawah matanya, mampu menunjukkan kepada siapa saja jika dia sudah lama nggak bertegursapa dengan tempat tidur.
"Andis adalah laki-laki yang tahu bagaimana menghormati Gempita. Andis adalah laki-laki yang dengan segenap tenaganya tahu bagaimana caranya mengistimewakan Gempita. Andis nggak pernah menghardik Gempita, mas Bayu. Andis nggak pernah menaikkan suaranya jika di hadapan Gempita. Andis selalu tahu apa mau Gempita tanpa Gempita ngomong, Andis selalu tahu perasaan Gempita tanpa Gempita tunjukkan. Andis―" masih menggigit bibir bawahnya kuat, Gempita menarik napas dalam-dalam, kedua tangannya semakin kuat meremas baju rumah sakit yang Bayu pakai, "Andis adalah cinta pertama Gempita, mas Bayu. Andis adalah ciuman pertama Gempita. Andis adalah malam pertama Gempita. Andis selalu mencium Gempita tiap pagi. Andis selalu memeluk Gempita tiap Gempita sedih. Andis selalu membelai punggung Gempita tiap Gempita resah. Andis selalu mengusap kepala Gempita jika Gempita susah tidur. Andis selalu mengusap pipi Gempita jika Gempita merajuk.
"Mas Bayu, Andis sangat tahu cara mencintai Gempita, sehingga seluruh hidup Gempita, Gempita sandarkan pada Andis. sehingga apa yang Gempita lakukan selalu mendapat pertimbangan dari Andis. Sehingga Gempita bergantung pada Andis. Hidup Gempita itu Andis, mas Bayu. Cinta Gempita itu Andis, mas Bayu. Udara yang Gempita hirup itu adalah harapan menjadi satu dengan Andis, mas Bayu.
"Tapi tiba-tiba, semuanya berubah begitu saja. Andis nggak pernah menyakiti Gempita mas Bayu, tapi melihat tubuh Andis dikubur, hati Gempita nggak rela, hati Gempita sangat sakit, mas Bayu. Mungkin jika Gempita ditusuk, lukanya bisa disembuhkan pak dokter. Namun yang Gempita rasakan sekarang, sakit melebihi ditusuk mas Bayu. Gempita nggak bisa meraba luka Gempita. Gempita nggak tahu bagaimana cara menutup luka Gempita. Bahkan mungkin, luka dan rasa sakit yang Gempita rasakan nggak pernah bisa sembuh. Gempita nggak tahu, mas Bayu. Gempita nggak tahu."
Bayu menghela napas panjang. Kemudian mencium puncak kepala Gempita. Ya Tuhan, pemuda kecil yang berada dalam dekapannya kali ini, hanya tahu bagaimana cara mencintai. Dia belum tahu bagaimana cara menyembuhkan luka. Akankah Gempita bertahan? Akankan gempita mampu mengobati rasa sakit yang dia rasakan saat ini? Pemuda polos yang sampai detik ini tak juga meneteskan air matanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top