31. Skak Mat

Untuk 'Sebut saja dia Mawar', Mr (r), Miss (T), thx vo everything

Hal pertama yang dilihat Bayu selain rasa sakit hebat mendera bahunya adalah tubuhnya yang telanjang dan terikat di sebuah bangku. Bayu menggeliat, kemudian mengerang gila. Seluruh sendi di tubuhnya terasa ngilu dan memberikan perlawanan. Dari pelipisnya keluar tetesan darah akibat luka kecelakaan yang dia alami. Siku-siku, plus lutut, tak luput dari luka-luka kecil.

Bayu sedikit beringsut, mencoba melonggarkan tubuh, namun yang ada, dirinya yang semakin terjerat. Napas Bayu memburu, pandangan matanya hitam putih, kerongkongannya kering. Dia haus. Mungkin juga kelaparan.

Bayu tidak tahu ada di mana. Banyak bangku tidak terpakai dan rusak saling bersusun di sebrang ruang. Lantai kotor berdebu dan penuh serakan daun-daun kering. Bayu mendongak, kemudian buru-buru menyipit begitu kilau neon beberapa watt berwarna putih menyatroni pengelihatannya.

Bayu menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak ada yang bisa memberi jawaban di mana Bayu sekarang, selain ventilasi banyak sarang laba-laba berada di ujung tembok sana. Juga sebuah almari usang yang kusennya jatuh ke lantai.

Hanya ada satu pintu di ruangan entahlah apa ini, dan pintu itu terbuka. Seseorang dengan sebilah belati tajam masuk. Lalu Bayu terkesiap. Membeku di tempat. Jantungnya mencelos, keringat dingin lolos.

Orang tersebut berjalan tegas mendekati Bayu. Matanya membuat Bayu teringat akan penjara hutan menakutkan, seringaiannya membuat Bayu bergidik. Dari tubuh orang tersebut tercium aroma parfum yang sudah sangat familiar bagi Bayu. Orang tersebut berdiri menjulang di hadapan Bayu. Satu hal yang pasti. Entah alasan apa yang ada dibalik semua kegilaan yang benar-benar meledakkan ini, nyawa Bayu tidak akan selamat sekarang.

"Hello, Bay, kangen sama gue?"

Bayu merinding, giginya bergemelatuk, ketakutan yang sama saat pertama kali melihatnya, mendera Bayu. Bayu tidak pernah menyangka bahwa sekutu Yani itu adalah orang yang hampir saja membuat Bayu percaya akan cinta.

"Kevin?" terbata, dengan napas tidak beraturan, serta dentuman jantung yang menggenjot tanpa ampun, Bayu bersuara. Nyaris berbisik.

Kevin semakin mendekat, merunduk, aroma green tea menyeruak dari napasnya. Kevin menjilat leher Bayu, kemudian sebilah belati yang dia bawa tadi, dia goreskan di sisi leher Bayu lainnya. Dari pangkal leher sampai tulang selangka. Tetesan darah keluar sejalan dengan goresan belati tadi.

Bayu mengerang histeris. Rasa perih seperti dibakar dia rasakan di sekujur lehernya. Belum sembuh luka yang dia terima di bahu, sekarang ditambah lagi.

Kevin tertawa mengerikan, kemudian menjilat dan menyesap darah yang keluar akibat goresannya, rasa sakit semakin hebat, namun dalam keadaan mengenaskan seperti itu, si nobita kecil malah terangsang ama ciuman Kevin.

Kevin terkekeh, "Lo masih pengen gue entot, Bay?" dia memegang nobita kecil, mengocoknya, dan si imut itu merangsek liar. Namun, tanpa ampun, Kevin mengarahkan ujung belatinya di permukaan daging nobita kecil, kemudian menusuk kulit terluarnya.

Bayu memekik, menjerit histeris. Rasa sakit sangat dahsat dia terima di penisnya. Kevin semakin tertawa mengerikan, menjilat darah di penis Bayu, memasukkan penis Bayu yang berlumuran darah tersebut ke dalam mulutnya, kemudian dia mengulum, membelit penis Bayu dengan lidahnya yang basah.

"Enghh..." desahan Bayu lolos dari bibir mungilnya. Rasa sakit berbaur ama rangsangan luar biasa dahsyat, dia terima di seputar selakangannya. Entah mengapa Bayu merasa, dia menikmati kesakitan biadab ini.

Masih mengulum penis Bayu, Kevin arahkan ujung belatinya di biji pelir Bayu, lalu dia sayat buah zakar berambut tersebut, dan Bayu melayang di udara. Ini gila. Dia nggak pernah merasakan sensasi erotis yang sangat menyakitkan ini.

Saat penis Bayu berkedut, mau mengeluarkan spermanya, Kevin menyudahi permainannya. Dia bangkit dari selakangan Bayu, mengusap darah yang melumeri bibirnya, lalu tertawa menakutkan. Membiarkan Bayu mengerang menahan hasrat.

Kevin menancapkan lagi belati yang sudah berdarah-darah tersebut di bahu Bayu yang kemarin malam ataulah kapan itu dia tusuk.

Jerit kesakitan Bayu menggelegar, tidak ada lagi hasrat, yang ada, dirinya seperti menemui ajal yang sebentar lagi menjemput. Tawa sinis Kevin mengudara di dekat telinga Bayu. Dia melepas tusukannya, menjambak lagi Sasuke lalu menggampar Bayu kuat.

"JALANG!!!" geramnya, gigi Kevin bergemelatukan. Kilat amarah menyambar-nyambar di kedua iris gelapnya.

PLAAAKKK

Sebuah gamparan lagi, di sisi pipi lainnya. Dunia terasa berputar di sekitar Bayu. Telinganya berdenging, matanya berkunang-kunang. Sekejap hitam, sekejap putih.

"Kenapa...?" desah Bayu lirih, kepalanya dia usahakan mendongak meskipun berat. Dari jumputan rambutnya yang menimpa dahi, merembes darah pekat, lalu menetes di ujung hidung Bayu, "Kenapa lo lakukan ini ke gue, Kev?" semakin lirih, namun penuh emosi.

"KARENA GUE DENDAM AMA LO, BEGO!!" Kevin murka, meraung. Menacapkan begitu saja belatinya di punggung tangan Bayu yang dia ikat erat di pergelangan bangku kayu.

Bayu kembali menyentak, ujung belati tersebut tembus sampai bangku. Darah muncrat, memercik muka Kevin. Kevin pegang erat pegangan belatinya, kemudian menggerak-gerakkan belati tersebut di telapak Bayu. Semakin menyayat dan merobek daging Bayu.

ARRRGGGGHHHH!!!!

Bayu terus menjerit, berusaha meneriakkan tolong, namun yang ada, hanya pekikkan menyayat hati sajalah yang keluar dari mulutnya.

Kevin mencabut belatinya, kembali tertawa culas, "GUE DENDAM BANGET AMA LO, BAY!!" Kevin berjalan mondar-mandir, mengelus-elus belatinya, kemudian menjilat darah yang ada di sana.

"Tapi kenapa?" sahut Bayu lemah, tubuhnya sudah berlumuran darah. "Berapa uang yang Yani bayar buat menyewa jasa lo?"

Kevin berhenti, berpaling ke arah Bayu. Matanya memicing, keningnya berkerut, seperti mengingat-ingat, lalu tawanya meledak, kembali berjalan mengelilingi Bayu.

"Yani, yeah, hmm...," dia mendesis penuh kebencian, mendekap Bayu dari belakang dan memainkan ujung pisaunya di puting Bayu, "Dia memang pelacur sialan yang patut lo benci," tertawa lagi, dia sayat kulit di sekitar puting Bayu, hingga darah lagi-lagi meluncur bebas dari tubuh Bayu. "TAPI DIA MUSUH BRENGSEK GUE!!" masih dengan tertawa ― mengabaikan raungan Bayu ― dia berjalan di hadapan Bayu, memegang bahu Bayu, mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik di telinga Bayu, "Karena dia selama ini yang menyelamatkan lo, dan berhasil menggagalkan misi gue."

Bayu tersentak, terkejut bukan main.

Yani? Menyelamatkannya? Bagaimana bisa?

Kevin menarik tubuhnya menjauh, menyeringai, "Nggak percaya, ya, dengan kebaikan dia?" mengelilingi ruangan apak tersebut, suara sepatu convers Kevin berkeletuk rendah, "Pelacur bajingan yang membenci lo karena lo berhasil mencuri hati pujaannya, pelacur sialan yang berkali-kali mau mencelakakan Mike, dan si bego Irma itu, sebetulnya adalah orang pertama yang mengangkat bendera perang ke gue. Satu-satunya orang yang selalu menyelamatkan lo tiap kali gue hampir membunuh lo."

Bayu masih dikuasai rasa keterkejutannya. Yani? Orang yang berperang membelanya dari Kevin? Seperti mendengar Jokowi duduk satu meja dengan Prabowo, gosipin teteknya Julia Perez yang besar sebelah. Maksudnya, sangat mustahil, namun memiliki peluang kecil untuk menjadi kenyataan. Di antara rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya, Bayu berusaha melawan kondisi lemahnya. Mencoba bertahan. Dia harus mendengar penjelasan dari semua ini. Sebelum dia mati, Bayu ingin hidup peliknya selama ini menjadi transparan. Tidak ada lagi rahasia yang tersembunyikan.

"Tapi dia kan...."

"Selalu ada di setiap musibah yang menimpa lo?" Kevin mengangguk, mata kopinya berpijar mengerikan, "Karena dia dibayar untuk itu," Kevin berbisik, namun suaranya mampu membuat seluruh bulu kuduk Bayu meremang.

"Dibayar? Sama siapa?"

Kevin menyunggingkan sebelah bibirnya, menjilati lagi darah Bayu yang membasuh belatinya, kemudian ujarnya, "Satu-satunya orang yang mampu membayar dia sepuluh milyar untuk aksi heroik begoknya," Kevin mendengus.

Sebelah alis Bayu terangkat, dahinya berkerut. Sebelum Bayu menangkap maksud kalimat Kevin, ucapan Kevin sudah terlebih dulu membuatnya membeku.

"Papa, lo. Manusia bajingan dan brengsek itu."

Bayu tersentak. Siapapun tolong Bayu. Jika ini adalah sebuah lelucon, maka Bayu menginginkan untuk menyudahi semuanya. Ini sungguh tidak lucu. Mengerikan. Menakutkan.

"Semua ini berawal dari dua temen sekos lo yang kurang ajar itu."

Lipatan kerut di dahi Bayu, tambah berkali-kali lipat, cuping telinganya bergerak-gerak. Berusaha mengaduk-aduk memori di otaknya.

"Erlang dan Yasin."

Bayu terkesiap, terhenyak beberapa saat. Jadi mereka berdua ada hubungannya dengan semua ini?

"Pada saat lo nyaris dihantam motor temen gue."

Bayu semakin bingung. Dihantam motor? Kapan? Selanjutnya, Bayu benar-benar merasa bahwa, semua kegilaan yang menyandera takdirnya memang sudah direncanakan baik-baik dari jauh hari. Perkataan yang lolos dari bibir Kevin, membuat Bayu seperti digampar kenyataan menyakitkan.

"Jembatan Merr-IIC."

Napas Bayu tersendat. Antara menahan rasa sakit di semua tubuhnya, dengan kenyataan mengejutkan yang tidak tahu harus ditampung di bagian mana lagi di otak Bayu.

"Temen lo?" Bayu bersuara gamang.

"Pengendara motor jumper kuning."

Saat itu juga, detik itu juga, sebuah genta bertalu-talu di belakang otak Bayu. Laki-laki ber-jumper­ kuning. Pengendara sepeda motor yang hampir saja menabraknya, jika Erlang sama Yasin tidak meneriakkan namanya dan menyelamatkannya. Laki-laki ber­-jumper­ kuning, yang menusuk punggung David saat demo pembebasan Ibu Risma. Laki-laki ber-jumper kuning, yang diduga memasang bom di rumah sakit tempat Steven dirawat dan Bang Reza meregang nyawa.

Bayu merasa familiar dengan orang itu, karena Bayu pernah bertemu muka langsung dengannya, lebih dari itu, Bayu bahkan pernah bersenda gurau dengannya, lebih mengerikannya lagi, Bayu pernah melihat penis laki-laki tersebut. Hitam dan banyak bulunya.

Dia adalah laki-laki yang sama, dengan jumper yang sama, saat beberapa bulan lalu bermain di kosnya waktu perayaan ulang tahun Kevin. Makan bakso lontong yang sama dengan dirinya dan kawan-kawan sekosnya. Dan, nonton bokep bareng dengannya. Coli bareng Yasin, Buddy dan Erlang. Bahkan, Bayu pernah dihardik laki-laki tersebut, ketika dia tengah mendengarkan Andra sedang berceloteh penuh semangat tentang kucing temuannya bernama Meri.

Lalu kalimat Yasin saat mereka tengah menghabiskan malam di Jembatan Merr-IIC, terngiang-ngiang di telinganya begitu saja.

'Pokoknya, aku yakin seratus persen kalau orang tadi sengaja menabrak Mas Bay. Jembatan seterang gini, masa nggak bisa lihat kalau Mas Bay mau menyebrang. Kecuali matanyaa picek. Tapi orang yang matanya picek, nggak ada, sih, yang bisa membidik sasarannya dengan tepat'

Bayu baru percaya perkataan Yasin sekarang. Orang itu matanya tidak picek, karena dia sudah merencanakannya. Merencanakan pembunuhan. Dan korbannya, Bayu.

"Si sialan Yasin dan Erlang melaporkan seluruh peristiwa malam itu pada bokap lo. Dan tadaaaa bokap lo membayar Yani sepuluh milyar untuk mengawasi dan menjaga lo dari ancaman gue."

Kepala Bayu berdenyut, pusing karena tadi malam ― atau kapanlah itu tepatnya Bayu tidak ingat ― terjatuh dari Nobita, dan pusing mendengar penjelasan yang sangat menyentak tersebut. Bagitu banyak ledakan pertanyaan yang minta segera diluruskan di kepalanya. Euforianya mengerikan. Bayu sendiri tidak tahu harus mengajukan pertanyaan yang mana terlebih dahulu.

"Yasin ama Erlang?" lirih Bayu dengan kening masih mengkerut.

"Oh―" dengusan tawa menyebalkan dan menakutkan dalam waktu bersamaan tersebut, kembali terdengar dari Kevin, "Lo nggak tahu, kan, betapa sayangnya bokap lo terhadap anak semata wayangnya?"

"Gue nggak punya bokap."

Kevin masih tertawa culas, "Sayangnya, Bay, bukan seperti itu yang diharapkan dari laki-laki tua kesepian itu."

"Bokap gue udah mati."

"Tapi dia menggunakan seluruh perasaannya untuk melindungi anak menjijikkannya."

Bayu menatap Kevin tidak suka.

"Pernah nggak, sih, lo berpikir, kenapa ibu kos lo membiarkan lo melenggang gitu aja di kamarnya selama setahun lebih tanpa membayar? Dan membiarkan lo menjual semua isi perabotan kamar lo?"

Gigi Bayu gemeletukan menahan amarah. Dia tidak siap mendengar jawaban dari semua itu. Sungguh. Namun yang ada, seluruh dendam Bayu akan sosok laki-laki itu semakin menjulang dan kokoh di tempatnya, setelah mendengar jawaban yang demi Tuhan sangat dia benci keluar dari bibir Kevin.

"Itu karena, Bay, laki-laki tua sialan itu telah membeli rumah kos ibu lo. Dia juga membayar temen-temen kos lo untuk melaporkan seluruh kehidupan lo. Termasuk insiden di Jembatan Merr-IIC."

Bayu seolah berada di titik, di mana dia merasakan seluruh usaha untuk keluar dari belenggu hutan penjara itu, sia-sia. Kehidupan bebasnya, kehidupan liarnya, ada yang mengendalikan. Ada yang mengawasi. Detik ini juga, Bayu sadar, bahwa sampai kapan pun dia tidak pernah merasa bebas. Selamanya, bahkan ketika ajal bertegursapa dengan urat nadinya, dia tidak akan pernah bebas. Kepakan sayapnya tidak akan mampu menyentuh langit biru. Selamanya akan terpekur, bergeming.

"Dan dua temen bego lo itu, melapor ke bokap lo kalau lo sedang dalam bahaya. Ada yang ingin mencelakakan lo. Sialan memang."

Bayu belum bisa menarik benang merah dari seluruh bualan Kevin ― Bayu benar-benar berharap jika eksplanasi dari Kevin sekedar omong kosong ― dengan cerita heroiknya Yani di sini. Sementara Bayu masih berpegang teguh setengah mati, kalau Yani tetaplah dalang dari teror-teror yang menghantui dirinya.

"Pernah berfikir kenapa Yani memilih satu boat ama lo waktu di Songa?"

Lagi-lagi Bayu terperanjat. Dia mengabaikan semua sayatan di seluruh tubuhnya. Rasa sakit, jujur, masih dan teramat sangat merajam seluruh kulitnya, namun kenyataan yang dia dengar ini, melebihi keinginannya untuk mati.

"Jangan bilang...."

"Itu karena perempuan murahan itu, tahu kalau gue akan mencelakakan lo di sana," Kevin berdecih, memandang Bayu malas, sambil terus mengelus-elus belatinya, hingga darah Bayu yang tadi membasuhnya sudah hilang tak berbekas.

Mata Kevin berkilat sinis, "Gue nggak pernah menyangka, pepek busuk itu perenang handal dan sanggup menyeret tubuh lo yang nyaris tenggelam di dasar sungai."

Bayu menggeleng lemah, kepalanya mendongak kepayahan, "Jangan bilang kalau...."

Kevin mendekat, mengarahkan ujung belati ke pangkal lengan Bayu, kemudian menyeret benda tajam tersebut di sepanjang kulit terluar Bayu, matanya masih berkilat sinis, senyum miringnya masih tersungging.

Bayu menggeram kesakitan, menjerit memekakkan telinga.

"Perempuan jalang itu YANG MENYELAMATKAN LO, BAY!!!"

CRASHH!!!

Kevin menancapkan dengan beringas ujung belati tersebut di punggung tangan Bayu yang lain, dan tangis lolongan Bayu menghantam langit-langit bangunan yang memenjarakannya. Air mata lolos di sudut kelopak Bayu. Dia meringis, merintih.

Tawa Kevin meledak, terpingkal, sambil memegangi perutnya, dia arahkan ujung belatinya ke dagu Bayu, hingga wajah Bayu tengadah menghadapnya.

"Gue nggak tahu berapa banyak nyawa yang lo punya, hingga lo selalu selamat dari ancaman gue, Bay," Kevin mendesis, tawanya lenyap begitu saja. Mata biji kopinya berpijar penuh benci, dendam, dan kesakitan teramat. "Gue benci banget ama lo, Bay. Sebenci gue ama bokap lo," Kevin meludahi wajah Bayu, lalu mencium beringas bibir Bayu yang bengkak dan penuh luka.

Dia gigit bibir Bayu, sampai Bayu melenguh, membuka mulutnya, dengan kasar Kevin jejalkan lidahnya ke mulut Bayu, menghisap liar lidah Bayu, menyedot kuat liur Bayu. Bayu menggeram, rasa sakit yang bercampur kenikmatan, benar-benar membuatnya terasa melayang ke batas hidup dan mati.

Kevin melepas ciumannya, tertawa menyeringai, "Lo bener-bener brengsek dan murahan, Bay."

Napas Bayu tersengal, campuran antara birahi dan kesakitan.

"Pernah lo bertanya kenapa ada Yani di auditorium sastra saat lo hampir ketimpa lampu waktu itu?"

Bayu tak kuasa menjawab. Sekedar mengangguk atau pun menggeleng, dia enggan. Dia nggak siap dengan kenyataan apalagi yang akan menanti semuanya.

"Itu karena, dia mengamati Yasin."

Kening Bayu terlipat lagi, dengan dada yang naik turun tidak beraturan, serta luka sayat yang merajang tubuhnya semakin terasa perih dan panas, kemudian ujarnya lemah, "Maksudnya?"

"Wanita sialan itu menyuruh Yasin untuk memberitahu lo, bahwa boat yang lo tumpangi, disabotase orang yang ingin mencelakakan lo..."

"Kamu salah," suara Bayu nyaris tidak kedengaran, napasnya kasar, cepat, "Anjas yang memberitahu semua masalah sabotase itu pada Yasin."

"Sayangnya, Bay, scene Anjas menginformasikan hal tersebut kepada Yasin, nggak pernah ada. Itu hanya karangan Yasin semata. Semua informasi yang Yasin kasih tahu ke lo itu bersumber pada si pelacur satu itu.

"Namun, malam itu adalah malam sialnya si brengsek tersebut. Dia luput dari penjagaan terhadap lo, waktu lo hampir ketimpa lampu yang udah sengaja gue siapin buat jatoh di atas kepala lo. Dan, wow, dia memang berotak jenius, dia bela-belain ikutan demo supaya temen gue nggak bisa nusuk lo. Begonya, emang bukan lo yang ketusuk lalu mati. David si brengsek sialan itu datang tiba-tiba dan menggagalkan misi gue, dia membikin gue murka, dan Yani tersenyum penuh kemenangan."

Darah masih menetes di bawah puting Bayu, di penis, di lengan, dan lehernya. Kesadaran Bayu hilang timbul. Matanya berkunang-kunang. Rasa panas menjalari seluruh tubuh. Kedua punggung telapak tangannya koyak. Bahunya berdarah-darah. Dia membutuhkan pertolongan jika tidak ingin kehilangan banyak darah dan mati. Namun, menghadapi Kevin yang mempunyai dendam sedemikian hebat padanya, serta belati tajam itu, kesempatan Bayu meminta pertolongan nihil. Bahkan, Bayu tidak yakin dirinya bisa selamat dari ancaman Kevin.

"Masih inget hari gue nganterin lo di acara lomba robot yang lo ikutin?"

Bayu tidak kuasa menjawab. Kerongkongannya kering, bibirnya bergetar.

"Itu adalah hari yang paling gue benci selama hidup gue."

Suara dengkuran terdengar dari tenggorokan Bayu, tubuhnya berkeringat dingin, kepala Bayu terasa berat, dia tundukkan kepalanya lesu.

"Gue pikir, dengan menghancurkan robot andalan lo ama tim busuk lo itu, lo bakal menyerah untuk mengejar mimpi lo, namun gue salah, lo masih aja bisa bangkit meskipun robot lo udah remuk."

Kuncup telinga Bayu bergerak, dia mendongak lemah, "Maksud lo?" desah Bayu tak bertenaga.

"Lo tahu, Bay, semua yang ada dalam diri lo adalah kebencian buat gue. Lo suka gunung, gue benci gunung, lo suka robot, gue benci robot. Tujuan hidup gue Cuma satu, menghancurkan hidup lo. Dan salah satu tahapan gue buat menghentikan lo adalah, menghabisi apa yang menjadi prioritas hidup lo. Robot. Droone yang lo bangga-banggakan, lenyap di tangan gue. Binasa dalam sekali injakan kaki gue. Hari dimana gue melihat lo kacau di lobby fakultas lo, adalah hari dimana gue mengangkat segelas red wine buat awal kehancuran lo."

Detik itu juga, dalam keterputusasaan yang menggantung di ujung sepenggal napasnya, Bayu baru bisa menarik garis merah dari seluruh terror yang menyanderanya. Dia sangat ingat, siang itu, dalam keadaan berantakan dan amarah yang luar biasa hebat, dia memang berjumpa dengan Kevin. Bahkan, dia berpelukan dengan Kevin, mencium aroma green tea dari tubuh Kevin. Kalimat-kalimat menenangkan Kevin merayunya, membujuknya, menentramkannya.

'Bay gue nggak tahu masalah apa yang sedang lo hadapi saat ini. Gue mohon lo tenangin diri lo. Gue nggak suka lihat lo berantakan gini Bay. Gue nggak tenang. Karena gue sangat yakin, ketika seluruh perhatian lo sekarang tersita dengan masalah, lo nggak akan bisa rileks dan refresh. Lo akan terus bergelut dalam masalah lo tanpa pernah beristirahat, dan hal itu akan membuat lo jatuh sakit Bay. Gue nggak mau itu terjadi'

Bayu tersadar, bahwa semua kalimat-kalimat manis tersebut, tak ubahnya racun berbisa yang perlahan-lahan melumpuhkannya. Dan sekarang, racun itu membunuhnya, membinasakannya.

"GUE UDAH RENCANAKAN MATANG-MATANG MELIHAT KEHANCURAN LO, BAY. TAPI SIANG ITU LO NYURUH GUE NGATERIN LO BUAT IKUTAN LOMBA."

Amarah Kevin kembali merangkak, dia menendang susunan bangku-bangku yang merapat di salah satu dinding hingga berantakan. Rambutnya yang panjang dan biasa digelung rapat itu, terurai dan masai.

"LO SELALU BISA BANGKIT, LO SELALU BISA BERTAHAN, DAN GUE BENCI ITU!!" raung Kevin, mengarahkan ujung belatinya tepat di depan mata Bayu. Nafasnya tersengal gusar. Dadanya naik turun tidak tenang.

"Saat gue sabotase studio musik lo, lalu terbakar hebat, Yani lagi-lagi datang menyelamatkan lo. Saat gue suntikkan obat untuk membunuh lo dan lo hampir mati, lagi-lagi Yani datang menyelamatkan lo. Melakukan tindakan apalah itu yang membuat lo bisa bangun keesokan harinya. Saat gue ―"

"Jadi lo yang membunuh bang Reza?" Bayu berdesis, mengangkat kepala, mata madunya memicing.

Kevin menahan napas, kemudian melepaskannya pelan-pelan. Tersenyum miring sekali lagi.

"Gue nggak akan membunuh abang lo, seandainya bule sialan itu mati waktu kecelakaan parah saat temen gue menabrak tubuhnya."

Bayu mendongak seketika, "Lo yang..."

"Yes, Bay. Itu semua gue lakukan supaya gue bisa balas dendam ama lo. Bule itu cukup cerdas sampai dia pergi ke negaranya buat mentahin virus yang udah gue sebar di laptop temen lo. Di dalam laptop itu ada video gue waktu menghancurkan droone lo. Gue kira, dengan gue menyebar virus mematikan ke laptop itu, video gue bisa hilang. Namun, gue salah. Steven tahu video itu. Dia lihat siapa yang berusaha membunuh lo selama ini. Maka dari itu, gue harus melenyapkannya atau misi gue balas dendam ama lo, gagal gitu aja hanya gara-gara bajingan itu."

Bayu geram, luar biasa marah, rahangnya terkatup, matanya yang tadi sayu menatap tajam.

"Dan lo juga yang membakar bengkel bang Reza?"

Tawa Kevin membahana, masih mengusap permukaan belatinya, berjalan mondar-mandir dengan biji mata kopi yang siap menerkam, "Ya!"

"Tapi kenapa?" Bayu menggigil, luka perih yang dia rasa semakin menyayat, tubuhnya bergetar, namun sebisa mungkin dia mencoba untuk bertahan. Dia pernah mengalami kelaparan hebat saat touring ke Kalimantan, dia pernah hampir tenggelam di pedalaman laut di Raja Ampat, dan sekarang, di hadapan kuak besar rahasia hidupnya, Bayu tidak ingin limbung begitu saja.

"Apa belum puas lo bunuh dua saudara gue?"

Kevin berdecih, mendengus tidak suka, "Mereka nggak ada hubungan darah dengan lo."

"Tapi mereka melebihi keluarga yang seharusnya berhubungan darah dengan gue."

Kevin meringsek maju, menjambak rambut Bayu, menatap tajam iris madu di hadapannya. Keningnya mengkerut, alisnya terpaut. Napasnya kasar menerpa air muka Bayu. Setelah menggeram, dia melepaskan rambut Bayu. Berjalan mengitari Bayu, sambil masih mengelus-elus belatinya.

"Gue melihat Yani malam itu di sana," Bayu bergumam lirih, "Dan gue hampir membunuhnya," Bayu nggak tahu apakah yang dia lakukan itu benar atau salah.

"Ya, setidaknya berkat tindakan lo itu, walaupun gue gagal lagi membunuh lo dan anak sialan lo itu, bengkel busuk itu bisa terbakar."

"Anak sialan?"

"Gelandangan yang tahu wajah gue waktu di pemakaman."

Ting!

Satu lokus ingatan Bayu terbuka, perkataan Jupri saat di pemakaman mengurai begitu saja di sana.

"Aku sepertinya melihat seseorang bersembunyi di sana deh bang?"

Bayu sadar, jupri benar-benar melihat sosok yang bersembunyi di tempat yang dia tunjuk. Sosok tersebut adalah Kevin. Jadi seperti itu alasan Kevin berniat membakar bengkel bang Reza. Karena Kevin tidak ingin ada yang melihat gelagat mencurigakannya.

"Dan boom, bengkel yang seharusnya nggak kebakar, jadi ludes gara-gara tindakan pahlawan lo."

Bayu bergidik, "Maksudnya?"

"Pernah terpikir apa yang disembunyikan wanita jalang itu dalam tas punggungnya?" Kevin menguap malas, melihat ogah-ogahan ke arah Bayu yang nampak kebingungan lalu berdecak kecil, "Pemadam kebakaran."

"Apa?"

"Dia tahu kalau gue bakal ngebakar bengkel abang murahan lo itu, maka malam itu dia datang ke sana, berat-berat nentengin pemadam kebakaran, berniat mau padamin api, tapi yang ada, orang yang selama ini dia awasi keselamatannya, orang yang selama ini dia lindungi dan dia tolong, memukulnya malam itu, mecekiknya sampai dia nyaris mati. Oh, Bay, betapa gue seneng setengah mati, melihat lo menghancurkan musuh gue.

"Gue nggak bisa membinasakan bajingan lacur itu, karena bodyguard bokap lo, menjaga gerak-geriknya siang malam. Lo tahu alasan bokap lo memilih Yani buat ngejaga lo?" tawa Kevin kembali membahana, belatinya dia putar-putar, "Itu karena Yani sendiri yang minta."

Bayu terkejut, matanya membulat.

"Dia memang sangat mencintai dosen pedofil itu, Bay. Tapi di sisi lain, dia juga sangat mencintai lo. Dan uang 10 milyar itu, dia gunakan untuk mengembangkan yayasan kangkernya, sebagai bukti cinta dia buat kakaknya. Tiga orang yang dia cinta, tapi ketiga-tiganya dia hancurkan."

Bayu menahan napas. Demi apa Yani cinta padanya? Sejak kapan? Kenapa bisa cinta dengannya? Apa alasan dari perasaannya? Kenapa dia malah membenci Bayu jika dia memiliki perasaan cinta dalam hatinya? Kenapa? Apa? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang bergulir dalam liang otak Bayu. Semua pertanyaan itu hingar, meledak sempurna, menendang-nendang rasa keingintahuan Bayu.

Namun, sebelum Bayu sempat mengeluarkan pijaran api dari gugusan-gugusan pertanyaannya, ucapan yang keluar dari mulut Kevin membuatnya membeku. Dan semakin yakin, bahwa ajal itu sudah terbuka di hadapannya. Tinggal menunggu waktu, hingga dia benar-benar akan berakhir di liang yang sama dengan jutaan orang yang sudah terlebih dulu bermimpi di alam kubur.

"Sekarang, Bay, adalah waktunya gue buat balas dendam kepada lo," Kevin mendesis, memicing, ujung belatinya dia arahkan ke dagu Bayu, "Atau...," senyum menyeringai terkembang di sudut bibir Kevin, "Seharusnya gue panggil elo Satya."

Bayu menengang, jantungnya berdetak gila. Nama itu ― dadanya mencelos dan perut seakan melesak ke dasar sana ― adalah nama yang sudah sangat ingin dia simpan dalam ruang apak di sudut hatinya. Sudah dia kunci dan tak ingin dengar. Mata Bayu membulat, dalam sekejap ― dari bagaimana Kevin mengucapkan nama satya ― seluruh pondasi dalam diri Bayu poranda begitu saja.

Jin benar, selamanya dia tidak akan pernah bersembunyi di balik topeng sosok Bayu yang tegar. Ketika dia dihadapkan jumputan dari masa lalu, Bayu belum tahu bagaimana cara mengatasinya. Karena selama ini, yang dia lakukan adalah bertahan dari monster yang sangat dia takuti, bukan menguatkan mental untuk kembali bertegur dengan serpihan kenangan itu. Bayu belum siap. Atau lebih tepatnya, Bayu tidak pernah menyangka akan menemukan sekeping mozaik setelah hampir satu dasawarsa ini, dirinya meringkuk dalam tokoh yang dia ciptakan sendiri.

"Kenapa, Bay, ingat dengan nama satya?"

Bayu bergeming. Tak mampu menjawab. Nama itu seperti sebuah kunci yang membuka seluruh hidup Bayu selama ini. Bayang-bayang kesakitan itu berkelebat mengerikan. Tanpa ampun merajam nuraninya.

"Siapa lo sebenarnya?" Bayu menatap nanar, mencoba menenangkan hati, namun sia-sia, bibirnya bergetar, suaranya terdengar aneh.

Kevin tersenyum, senyum lembut yang terkesan dingin, namun mampu bersenyawa dengan hati Bayu. Biji mata hitam Kevin yang menyala dan sangat familiar itu, menelanjangi Bayu, melucuti semua pertahanannya.

"Gue?" tertawa lagi, mendekati bayu, lalu menjilati pelipis Bayu, dan memainkan ujung dagu Bayu dengan belatinya.

"Adalah orang yang seharusnya berada di posisi lo," Kevin berbisik di telinga Bayu, lalu menjilat telinga Bayu, "Anak laki-laki sepuluh tahun yang seharusnya dibawa mama dari panti asuhan itu, bukan lo."

Bayu mendesah, memejamkan mata.

"Anak laki-laki yang mendengar celotehan lo tentang papa biadab lo."

Dada Bayu sesak, paru-parunya terasa tercekik. Sekarang dia tahu, dimana dia pernah melihat mata kopi itu sebelumnya. Dia merasa familiar, karena dia pernah tersesat di sana. Jauh sebelum dia mengenal proses menutup jati dirinya dengan topeng. Jauh sebelum dia mengira terbebas dengan kepakan sayapnya.

"Jadi lo...."

"Ya, Bay, er― Satya, gue adalah anak mengenaskan itu. Yang mengabaikan semua celotehan lo, yang memandang iri truck baru yang dibelikan mama."

"Tapi kenapa?" Bayu tersengal, "Kenapa lo dendam ama gue? Salah gue apa?"

Kevin mendengus kasar, menarik tubuhnya menjauh dari Bayu. "Salah lo?" Kevin terbahak, namun nada kesakitan dan kekecewaan terdengar di ujung tawanya, "Salah lo?" Kevin menggeleng, menatap sinis, "SALAH LO MENJADI ADIK KANDUNG GUE, DAN HIDUP SEMPURNA DENGAN ORANG YANG MEMBUANG GUE!"

Bayu terperanjat, dengan mulut terbuka lebar. Matanya melotot, dan nafasnya tercekat.

"GUE LAHIR DARI RAHIM YANG SAMA DENGAN ORANG YANG JUGA MELAHIRKAN LO!" kemudian Kevin tergugu, menangis di antara derai tawanya, "Ibu lo melahirkan gue, tiga tahun sebelum lo lahir," belati di tangannya dia cekal erat, hingga sisi belati yang tajam menggores telapaknya, "Tapi nasib gue berbeda dengan lo, Bay. Gue nggak tinggal di rumah mewah, dengan limpahan kasih sayang. Gue dibuang di panti asuah, Bay. Gue dibiarkan besar dan tumbuh di tempat yang nggak selayaknya, sementara lo, adik kandung gue, hangat dengan kasur dan selimut tebal," Kevin tertawa dalam tangisnya, darah telapak tangannya menetes-netes ke lantai berdebu. Dia memejamkan mata sesaat, membuka dan menoleh ke arah Bayu lagi.

"Disaat lo dapat susu enak dan segar, serta bubur bergizi tinggi, gue cukup dipuaskan dengan air gula, serta nasi lembek. Disaat lo ditimang dengan mainan-mainan mahal dan banyak, yang bisa digerakkan dengan remote control, gue harus berbesar hati dengan mainan bekas dari penghuni panti lainnya. Disaat lo dibelikan baju baru, sepatu baru, lagi-lagi yang gue terima adalah barang lusuh, Bay. Hidup gue selama ini sampah dan gue benci itu," gigi Kevin bergemeletukan saat mengucapkannya, dengan rahang yang terkatup erat, serta alis yang hampir bertautan.

"Dan lo tahu hal terbaik dalam hidup gue?" Kevin mengucap parau, tatapannya nanar, ada barisan emosi kuat di tiap pemenggalan katanya, "Gue nggak diharapkan lahir dari dunia ini, Bay," dia mendesis, nyaris berbisik, "Mama lo selingkuh ama temen papa lo sendiri, sampai akhirnya ada gue di dunia ini. Papa kandung gue nggak mengharapkan keberadaan gue, mama lo juga nggak mengharapkan keberadaan gue. Gue ditelantarkan di panti asuhan, di bawah dua pengasuh biadab yang nggak pernah memberikan kasih sayangnya ke gue, ke anak-anak panti asuhan. Dua pengasuh monster yang layak disebut setan dari pada orang tua."

Tawa Kevin membahana, seiring dengan tangisan pilu yang menghujani iris kopinya, darah yang menetes dari telapak tangannya semakin banyak.

"Lo tahu setan apa yang ada di balik panti asuhan itu?" gigilan tubuh Kevin terlihat kentara, tangisnya pecah, sementara suara terbahaknya masih senantiasa menghiasi bibirnya, "Laki-laki biadab, jahanam, penghuni kerak neraka, kepala panti yang senantiasa tersenyum pada setiap donatur, namun berubah menakutkan buat kami.

"ADALAH LAKI-LAKI PEDOFIL BANGSAT YANG SETIAP MALAM MENYODOMI ANAK-ANAK ASUHNYA," dia meraung histeris, suaranya penuh amarah, menggelegar dan memenuhi ruangan itu, "Menusuk anus setiap anak laki-laki di sana. Memaksa setiap anak panti menghisap kontol menjijikkannya. Dan lo tahu berita bahagianya, Bay?" Kevin menurunkan intonasi nadanya, berubah lirih, namun benci dan dendam itu begitu kuat dan terasa dalam tiap tarikan napasnya, "GUE SETIAP MALAM HARUS RELA DIPAKSA MEMPERSEMBAHKAN LOBANG GUE UNTUK DITUSUK OLEHNYA, GUE TIAP MALAM HARUS RELA DIPAKSA MENGHISAP KONTOLNYA."

Tangisan Kevin meledak, tubuhnya bergetar hebat, dia meninju perabotan di dekatnya hingga berjatuhan ke lantai.

"Kalau gue menolak, gue nggak dapat jatah makan, Bay. Kalau anak-anak panti ada yang berani membantah, kami mendapat detensi, Bay. Dikurung di gudang selama seminggu, Cuma dikasi makan nasi putih sama air putih sehari sekali."

"Lo nggak tahu kan, Bay, betapa tersiksanya gue selama ini. Hidup gue adalah neraka, Bay. Gue nggak pernah mendapat kasih sayang, sampai kecil hingga detik ini gue ada di hadapan lo, gue nggak pernah merasa bagaimana dekapan hangat seorang ibu. Dari kecil gue nggak pernah merasa candaan penuh cinta dari seorang bapak. Hidup gue adalah kerak kesengsaraan, Bay. Hidup gue adalah mimpi buruk manusia.

"Ketika manusia merasa bahagia membuka mata dari tidur malamnya, gue selalu ketakutan membuka mata selepas tidur. Karena setiap batas malam gue berakhir, semua mimpi buruk gue menjadi kenyataan."

Kevin berjalan mendekati Bayu, dengusan napasnya menyembur-nyembur, seringainya menakutkan, matanya memicing, menatap bayu intens, sementara air mata masih berjatuhan dari sana.

Saat berada di dekat Bayu, dia topangkan kakinya di paha Bayu, penuh kedengkian dia berujar, "Dan gue, adalah satu dari puluhan anak panti itu yang terpaksa makan kotoran gue, karena gue pernah mencoba melarikan diri dari panti. Lo bayangin, Bay, gue nggak hanya dipukul, dicambuk, disiksa, tapi gue juga dikurung. Seminggu di gudang tanpa dikasih makan, tanpa dikasih minum.

"Lo tahu apa yang terpaksa gue makan, Bay?" dia memegang dagu Bayu, menengadahkan kepala Bayu untuk menghadap ke arahnya, tertawa sekali lagi kemudian berteriak, "TAI GUE, BAY!!! KOTORAN GUE, GUE MAKAN LAGI. Mungkin seharusnya gue udah mati, tapi Tuhan berkehendak lain. Gue dibiarin hidup sampai sekarang, untuk membalas dendam gue ke lo. Pangeran dingin dari kerajaan super kaya," Kevin melepas pegangannya, menurunkan kakinya, berjalan menjauh, berbalik memunggungi Bayu.

"Gue sudah membunuh bokap kandung gue, gue udah membunuh NYOKAP KANDUNG gue, dan sekarang, waktunya GUE MEMBUNUH LO."

Bayu terperanjat kaget luar biasa. Kevin membunuh nyokap kandungnya? Itu berarti Kevin membunuh mama? Air mata Bayu lolos. Kesakitan yang teramat sangat dia rasakan. Mamanya sudah meninggal. Wanita itu sudah meninggal. Wanita yang mencintainya. Wanita yang memanggil harap padanya saat papa mengajaknya pergi, wanita yang menggendongnya di dapur, wanita yang menciumi seluruh wajahnya, sudah meninggal. Sudah pergi.

Walaupun Bayu tidak pernah tahu rahasia apa yang tersemat di sudut tawa mama, tapi Bayu sayang. Bayu rindu. Rindu yang sangat. Yang membuat Bayu tiap malam remuk redam di sudut ruangnya. Rindu yang sangat. Yang membuat mimpi Bayu sangat indah dengan derai tawa mama. Bayu sangat rindu, rindu, rindu.

Dia menangis. Tak ubahnya bocah empat tahun yang ditinggal mama sendirian di rumah megah itu. Namun, tangisan Bayu sekarang berbeda. Karena sampai habis air dalam matanya, sosok itu tak akan pernah kembali, tak akan pernah balik memanggilnya, tak akan pulang untuk menggendongnya. Dia sudah mati. Tak tahu, sudah dikembalikan ke bumi, atau dihancurkan jasadnya oleh Kevin.

Namun, dalam kehilangan yang teramat sangat itu, Bayu juga meletakkan segeggam benci terhadap wanita tersebut. Hancur. Lebur. Berantakan. Itulah yang Bayu rasakan sekarang. Sosok wanita yang selalu bermain petak umpet dengannya, dan selalu berhasil menemukannya bersembunyi, sosok wanita yang selalu tersenyum penuh rahasia itu, sosok wanita yang selalu dia kagumi punggung rapuhnya itu, sosok wanita yang terlalu ringkih saat menangis di stir mobil itu, tak ubahnya menggali lubang kubur buat dua anaknya sendiri.

Ketawa haha hihi yang biasa Bayu dengar selama ini, tak ubahnya sangkakala buat dirinya dan Kevin. Dua anak Adam yang terlahir tanpa pernah mengenyam bagaimana indahnya ketulusan sebuah cinta. Dua cucu Siti Hawa, yang dalam sepanjang hidupnya, selalu bersentuhan dan bersenggama dengan kenistaan.

Bayu dan Kevin, memiliki dendam yang sama, namun tumbuh dengan karakter yang berlainan. Jika Bayu menuturkan dendam terhadap papanya dengan topeng kebaikan, maka Kevin, menuturkan dendam tersebut dengan kebencian yang sempurna. Kebaikan dan keburukan. Panas dan dingin. Yang lahir dari rahim yang sama. Yin dan Yang.

"Lo tahu, Bay, hari dimana lo minggat dari Makassar, adalah hari runtuhnya panti asuhan tempat gue tinggal," Kevin melanjutkan, berdiri menjulang di hadapan Bayu, tangannya bersedekap, kepalanya sedikit miring, kedua matanya intens memaku Bayu, "Bisa lo bayangin, hampir empat puluh anak menggembel di kolong-kolong jembatan. Makan makanan sisa, ngamen, nyopet, membunuh atau dibunuh. Menghajar atau dihajar. Menikam atau ditikam, sampai akhirnya, dalam satu hari penuh kejutan itu, sepasang suami istri mengadopsi gue. Memperkenalkan gue dengan yang namanya keluarga."

Kevin tertawa, mendekati Bayu, menumpukan dua tangan di atas kedua tangan Bayu lalu berbisik, "Lo tahu siapa mereka, Bay?"

Bayu bergeming. Napasnya tercekat.

"Keluarga besar Keraton Surakarta, Raja Surya Hadiningrat."

Bayu terperanjat. Memekik dengan mata melotot histeris.

"Orang yang lo panggil-panggil Jin itu, saudara tiri gue. Dan dia...."

Selanjutnya, yang Bayu dengar adalah sebuah pengakuan yang membuat Bayu merasa bahwa cinta itu memang tidak pernah ada. Cinta itu, bagaimanapun bentuknya, bagaimanapun rasanya, diciptakan bukan untuk Bayu.

"Adalah kekasih gue. Pangeran Cakra, tahu semua rencana balas dendam gue ke lo. Dia tahu semua target gue, dia tahu semua kebusukan gue.

"Pernah berpikir, kenapa lo dan dia bisa ketemu di Jogja?" Kevin mendengus, kembali menjambak rambut Bayu, "Itu karena gue yang nyuruh. Dia menuruti semua keinginan gue, dia cinta ama gue, dia sayang ama gue, sampai akhirnya, lagi-lagi gue harus dibuat benci ama lo, KETIKA LELAKI GUE JATUH CINTA AMA LO. KEKASIH GUE MALAH MELINDUNGI LO DARI GUE. PUJAAN HIDUP GUE, LEBIH MEMILIH LO DARI PADA GUE," Kevin menggampar Bayu keras berkali-kali, kemudian menjejak perut Bayu kuat. Ada gumpalan kebencian yang teramat sangat di dasar retinanya.

"Dia beberkan ke lo seluruh informasi yang akan gue gunakan untuk menghabisi lo," Kevin menahan napas, menghembuskannya perlahan, kembali berbisik :

"Dan gue nggak suka itu. Gue nggak suka apa yang menjadi milik gue direbut orang lain. Lo harus mati, Bay. Saat ini juga, di tangan gue."

Lalu Kevin menghunuskan ujung belatinya di perut Bayu. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Darah mengalir banyak dari sana, pun dari mulut Bayu. Semua kesakitan Bayu mengumpul jadi satu. Matanya berkunang-kunang. Berkelebat-kelebat. Hitam putih. Dia tak mampu lagi bersuara, tak mampu lagi mengambil napas. Dan ketika Kevin bersiap menghunuskan ujung belatinya di dada kiri Bayu, sebuah dobrakan dari pintu terdengar. Detik berikutnya, pintu terjeblak membuka.

Kelopak Bayu menutup, menampilkan warna hitam, kemudian membuka lagi, lalu terkejut melihat kehadiran Andis dan Bang Gahar serta seseorang yang berjalan tertatih-tatih sambil menggunakan egrang, secara tiba-tiba.

Kelopak Bayu menutup lagi, bernapas satu satu, lalu terbuka lagi, aksi Andis dan Bang Gahar berkelahi melawan Kevin terlihat olehnya. Menutup lagi mata Bayu, gelap, kembali terbuka, dilihatnya Bang Gahar dihantam Kevin, hingga limbung dengan darah muncrat dari mulut. Kembali Bayu terpejam lemah, membuka matanya perlahan-lahan, dilihatnya Andis meninju muka Kevin sambil menyodok perut Kevin. Kevin terjatuh di dekat Bang Gahar.

Tertutup lagi mata Bayu, tak lama terbuka lagi, Andis sempoyongan menyongsongnya, berusaha membuka ikatannya, namun saat lagi-lagi mata Bayu terpejam dan kembali terbuka, pemandanganya paling menyakitkan dalam hidupnya tertangkap oleh kedua mata redupnya. Kevin menusuk punggung Andis. Sekali... dua kali... tiga kali... empat kali...

Ketika untuk terakhir kalinya Bayu membuka mata, sebelum hanya gelap berkepanjangan yang Bayu lihat, tak ada lagi cahaya serta bayang-bayang, pandangan mematikan itu menusuk kalbu Bayu. Kevin menggorok leher Andis. Kemudian hitam. Benar-benar hitam. Lalu terdengar suara letusan pistol.

Dhe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top