30. Sahabat Bayu yang Meninggal Tujuh Tahun Silam
Gan, ane butuh jamu nih, diminta kritikan pedasnya dong buat cerita absurd ane. Caci maki yang bertanggungjawab tentang tulisan ane. Sumpah serapahnya yang membangun. Kalau nggak mau nelurin kata-kata pedasnya di kolom komen, bisa kok ente lewat pm atau bbm.
Ane mah apa atuh.
En, ane juga mau ketularan syndrome selametan ah. biar kekinian gitu, ahahaha...
Pertama buat Mr. (r) yang udah mau dengerin celotehan ane, dan mau ane repotin, uhuhu
Buat dua silent readers ane. Miss D & Mr. H, tengs somad udah mau review cerita gaje ini.
hahaha.... bacot banget siihhh,,,, biarin lah, biar pada penasaran. hihihi
penasaraan... ea... cuzz baca, vote, komennya ane tunggu :)
Makassar, 1996
Seorang bocah laki-laki berusia empat tahun, berlari-lari kecil dengan tapak mungilnya di dalam rumah megah yang banyak benda porselain mahal. Rambut hitamnya berurai lembut, bergerak seirama dengan ayunan kakinya. Matanya berpijar imut, bibirnya merah basah, ada liur menetes di sudut. Sebelah tangannya memegangi mainan, sebelah lagi mengepal liat.
Dari mulutnya terdengar suara racauan meneriakkan mama, suaranya kecil, melengking, memekakkan telinga. Sepatunya yang tiap kali mengjinjak lantai menyala merah dan berbunyi, berdecit-decit nyaring. Berbenturan dengan nama 'mama'.
Begitu sampai di dapur, dan mendapati sosok wanita anggun berparas cantik tengah sibuk memotong wortel, bocah tersebut langsung memeluk lutut wanita itu, kemudian tertawa lepas sambil mendongak, membuat liur yang menetes di sudut bibirnya semakin banyak.
"Satya sayang, manja banget sih!" seru wanita itu tersenyum gemas, meletakkan pisau pada tatakan, mengelap kedua tangan pada apron biru laut yang sedang dia kenakan, kemudian menarik tubuh si bocah dan menggendongnya.
"Habis mama tidak pernah pulang, Satya kan kangen mama..." si bocah merajuk, memeluk leher mama dan mengerucutkan bibir.
"Mama kan ada misi rahasia, sayang, makanya mama sering pergi keluar kota."
Satya kembali manyun, mencebik lucu.
Mama terkikik geli kemudian mencubit pipi Satya sayang, sambil mengecup kecil-kecil wajah Satya.
"Tapi kan Satya kesepian, mama, tidak ada yang nemenin Satya di rumah, Satya bosen main ama robot-robotan."
Mama menghela nafas, masih tersenyum, "Kan ada bibi yang bisa nemenin Satya main, biasanya kan Satya sering main sama bibi."
"Bibi tidak bisa nemuin Satya kalau lagi main petak umpet, mama, tidak kayak mama yang selalu bisa nemuin Satya. Pokoknya, tidak seru ah bibi," Satya bersedekap, berseru jengkel, mainan yang tadi dia bawa, dipegang kuat.
Mama kembali tergelak, mencubit kuncup hidung Satya, dan akan menjawab pertanyaan bawel anaknya, tatkala sebuah ponsel yang dia simpan di saku celana bahan, berdering menyela. Mama buru-buru meraih HP-nya, menekan sebuah tombol di sana kemudian menempelkannya di telinga.
Percakapan orang dewasa yang tidak dimengerti Satya terjadi antara mama dengan orang entah siapa di seberang telpon sana. Diselingi ketawa-ketiwi membahas hal entahlah apa itu, mama menurunkan Satya dari gendongannya, dan ― tanpa mengucap kata perpisahan pada Satya ― pergi begitu saja meninggalkan dapur setelah sebelumnya melepas apron dan menggantungnya di gantungan.
Satya mengekor, menatap punggung mama yang sangat dicintainya. Dilihatnya mama mengambil tas bermerk mahal yang tergeletak di atas meja, hal berikutnya, seperti yang sudah-sudah ― masih dengan mengabaikan Satya yang menatap harap padanya ― mama berjalan keluar dari rumah, lalu suara deru mesin mobil terdengar bersamaan perginya haha hihi mama dengan orang di seberang telpon.
Satya kembali sendirian di sana. Di rumah megah itu. Terperangkap dinding dingin yang sepi dan lengang. Mainan Satya terhempas dari tangan mungilnya, lalu satu tetes air mata lolos dari kelopaknya. Selanjutnya, tubuh bocah mungil itu bergetar, sesenggukan, dengan derai air mata yang sekali lagi mencatat hari sepi itu.
===
Satya terbangun kaget saat mendengar suara benda berjatuhan di dalam kamarnya. Mata kecilnya mengerjap, masih merah, berembun. Sambil menguap berkali-kali dia mengedarkan matanya. Dan tersentak hebat saat melihat sosok laki-laki yang menjulang penuh amarah di ambang pintu. Dari tangan laki-laki tadi terserak sebuah vas bunga yang pecah berkeping-keping di lantai.
Satya tergigil di tempat, meringkuk menempel headboard, kedua tangan mungilnya mencengkeram selimut tebal kuat. Wajahnya pucat, ada air mata yang menganak di sana. Bibirnya bergetar.
"Papa..." lirih Satya ketakutan, sebelum dia mendapatkan seluruh nyawanya yang kocar-kacir di langit kamar, laki-laki tadi sudah terburu memburunya, merenggut piyama Satya dan menariknya kasar. Tangan kiri laki-laki itu mengepal selembar kertas putih, kemudian mencampakkannya di hadapan Satya.
"Apa ini Satya?" raungnya murka, urat-urat tersembul di pelipis, matanya melotot, dari mulutnya tercium aroma alkohol meskipun tipis, "Nilai aritmatikamu Cuma dapat delapan? Belajar apa saja selama ini kamu, Satya? Dipake untuk apa otak kamu? Papa tidak terima dengan nilai ini. Papa sangat kecewa sama kamu Satya. Kamu anak papa satu-satunya, dan papa tidak menginginkan anak papa menjadi anak yang bodoh."
"Ta...tapi pah, itu nilai tertinggi di kelas. Teman-teman Satya tidak ada yang mendapat nilai setinggi itu. Bu guru Nurani saja, sampai memberi Satya pujian, Pa," terbata, dengan genangan selembar titik-titik air di sudut matanya, Satya menjawab takut-takut. Nafasnya cepat, keringat dingin membasahi tubuhnya.
"Kamu harus ingat, Satya, tidak ada yang terbaik di dunia ini. Yang ada hanya kesempurnaan. Papa kecewa berat sama kamu. Mulai besok kamu tidak mendapat jatah makan malam selama tiga hari."
"Tapi pa―"
"Papa benar-benar marah sama kamu, Satya. Sebelum kamu mendapat nilai sempurna di ujian aritmatika, kamu tidak akan mendapat uang jajan."
Lalu, sebuah tamparan kasar, tak pelak Satya terima di pipinya.
Papa mendengus jengkel, berdiri, merobek kertas ujian Satya dan menghamburkannya di atas kepala Satya. Kemudian dia pergi begitu saja, membanting pintu kamar Satya sebelum enyah.
Mata Satya terpejam, air mata itu kembali lolos, melinggas pipinya. Dadanya terasa sesak. Rasa kesakitan itu, tidak hanya Satya rasakan di pipi. Lebih dari itu, yang bocah empat tahun tersebut rasakan adalah sebuah kepedihan tak terhingga.
Kamar besar tempat Satya tidur, ranjang besar, peralatan mewah di dalamnya, adalah saksi bisu yang setia menemani hari-hari kesakitan bocah mungil itu.
Dia benar-benar kecil, hingga dia tidak pernah merasa kehadirannya adalah sebuah keberadaan, selain bayang hitam yang tidak pernah berdiri sejajar dengan si pemilik bayang.
Satya masih terus menangis. Sesenggukan. Seorang diri.
===
Pukul 15.43, mobil mama tak kunjung datang di tempat Satya kursus. Bocah itu sendirian menanti sambil bermain ayunan. Suara besi karat yang berbenturan, terdengar berderik tiap kali Satya menjejak kakinya ke tanah. Kedua tangannya memegang erat pinggiran ayunan. Dia celingukan ke kanan ke kiri.
Tempat kursus yang khusus buat para anak indigo dengan tingkat kejeniusan di atas rata-rata dan IQ minimal 150 tersebut, lengang. Ibu bapak gurunya sudah pada pulang. Pun para murid yang kebanyakan berumur di bawah 10 tahun.
Satya sendirian, menunggu dari jam satu siang. Kotak bekal nasi goreng bikinan bibi sudah habis dari tadi, pun sandwich yang bibi selalu tambahkan. Perut Satya keroncongan. Papa benar-benar serius dengan hukuman itu. Uang jajan Satya ditahan tanpa ampun. Papa benar-benar keras ama Satya. Tapi Satya sayang papa. Bahkan, sekarang Satya sedang merencanakan membeli hadiah buat kado ulang tahun pernikahan papa ama mama, kalau uang jajannya sudah kembali saat dia mendapat nilai sempurna.
Mengingat itu, Satya kembali murung, cemberut. Mendesah kecil, lalu menghentikan laju ayunannya. Melepas tas punggung berbentuk mobilnya, membuka resleting, dan mengeluarkan selembar putih kertas ujian aritmatika.
Di sana, tertulis dengan spidol warna biru, dua angka besar yang dipenggat koma. 9,7. Tertinggi di tempat kursusnya, bahkan, tadi bu guru Nurani sempat memberinya soal khusus kelas di atas levelnya. Dan Satya lagi-lagi berhasil menjawab semua dengan benar. Tapi itu semua, tidak akan bisa merubah mood papa. Papa tidak suka yang terbaik. Papa maunya sempurna. Sempurna itu seratus. Tidak ada cacatnya.
Satya sedikit berpikir. Bagaimana kalau aku buang saja kertasnya, jadi nanti kalau ditanya papa, aku jawab tinggal jawab kalau hari ini tidak ada test aritmatika.
Tanpa pikir panjang Satya meremas kertasnya, namun, belum semua kertas ujian itu dia remas, sebuah suara menginterupsinya terlebih dulu.
Satya melonjak, nyaris tersungkur dari ayunan. Dia menoleh, dan mendapati kakak pembimbingnya tersenyum manis ke arahnya.
"Kenapa mau disobek?" kakak pembimbing itu jongkok di hadapan Satya.
Satya bingung, matanya berputar-putar, mau jawab tapi ragu dan takut. Dia sembunyikan nilai hasil ujiannya di balik punggung, satu kakinya menyaruk-nyaruk tanah.
"Jelek kak nilainya. Pasti nanti papa marah kalau Satya kasih tunjuk ke papa...," ujarnya setelah selang beberapa waktu tak kunjung mau bicara apa, sementara kakak tadi masih setia menunggu dengan senyumannya.
"Jelek gimana sih? Jelas-jelas tadi kamu nilainya paling unggul di tempat kursus gitu."
"Tapi papa tidak suka nilai unggul, kak, papa maunya sempurna. Sempurna itu seratus, gitu lho, kak," Satya manyun, masih menyaruk tanah dengan ujung sepatunya.
Kakak itu tergelak, kemudian meraih pundak Satya dan meraub kertas ujian Satya.
"Anak baik tidak boleh bohong sama papa. Mau dapat berapa pun nilai yang kamu peroleh, kamu harus menunjukkannya ke orang tuamu," si kakak mengacak rambut Satya, melipat kertas ujian Satya dan memasukkannya kembali ke dalam tas Satya. Kemudian, masih dengan tersenyum, dia mengambil kotak bekal dari tas selempang yang tersimpan di bahunya.
Mata Satya berbinar seketika, menerima uluran bekal dari kakak, membuka kotak biru tersebut dan semakin bertambah ceria saat melihat nasi telor ceplok di sana. Kemudian, setelah dipersilahkan si kakak buat menghabiskannya, Satya langsung memakan bekal itu dengan antusias di bangku ayunan.
Si kakak ketawa-tawa geli melihat bagaimana Satya makan, sesekali, saat ada satu atau dua biji nasi keluar dari mulut Satya, dia tidak sungkan-sungkan buat mengambilnya. Kadang pula, ketika Satya tersedak, si kakak buru-buru mengeluarkan air mineral dari tas selempang, meminumkannya pada Satya, sambil membelai lembut punggung kecil Satya.
Masih setia berjongkok di depan Satya, sambil pegang pojokan bangku ayunan supaya tidak goyang-goyang, si kakak intens memperhatikan Satya, tersenyum lembut, mengusap kepala Satya sayang. Kemudian, tanpa memperdulikan lagi di mana, dan tanpa melihat keadaan sekitar, si kakak mengecup kening Satya. Halus, dan lama.
===
Lagi-lagi Satya terperanjat dari tidurnya, suara geraman papa yang sedang marah mengusik nyenyaknya tanpa ampun. Satya terkejut, beringsut, meringkuk di tempat tidurnya.
"Paah...."
"Lagi? KAMU DAPAT NILAI CACAT LAGI? OTAK KAMU SUDAH MATI? BABII!!!"
Papa meraung, matanya merah, aroma alkohol itu menyembur-nyembur dari mulutnya.
"Maafkan Satya, paa...."
"MAAF, MAAF, MAAF, TIDAK ADA LAGI KATA MAAF BUAT KAMU SATYA!! ANAK BRENGSEK!! BEGO! SIALAN!!" papa melepas gespernya, merenggut piyama Satya kemudian menghempaskan Satya ke lantai begitu saja.
Satya memekik, menangis, rasa sakit mendera tubuhnya. Namun, seperti belum cukup kesakitan yang Satya derita, papa sudah menjulang terlebih dulu di dekanya. Kemudian, dalam satu gerakan tangan, gesper yang ada di tangan papa sukses melesak di punggung Satya.
Satya menjerit melengking. Tangisnya semakin pecah.
"ANJING!! BEGO!! PAPA TIDAK PUNYA ANAK BEGO KAYAK KAMU!!!" satu lagi cambukan gesper dengan kepala dari platina tersebut, mencederai punggung Satya. Piyama bagian belakangnya koyak, berdarah.
"Ampuun paah...."
Lagi, lagi, dan lagi cambukan menghantam tubuh mungil Satya. Ampunan Satya tak ubahnya suara kemerosok radio yang tak patut didengar. Papa seperti kerasukan, tangannya sangat terampil mengayunkan gespernya, membuat si kecil tersebut terkapar tak berdaya.
Dan ketika Satya benar-benar tak ubahnya seonggok binatang yang tergeletak tanpa nyawa, pukulan papa berhenti. Keringat sebiji jagung lolos di sekujur muka papa. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun.
"Kamu ingat, Satya, tidak ada yang terbaik di dunia ini. Yang ada hanya kesempurnaan!! Kamu harus menjadi sempurna kalau kamu ingin menggenggam dunia. Dan selama ada papa di sisi kamu, papa tidak akan membiarkan kamu berada di puncak terbaik di dunia ini. Papa akan menjadikan kamu manusia paling sempurna, predator pemangsa semua. Pemimpin segala bangsa!!! Kamu harus ingat Satya, kamu adalah anak papa yang harus menjadi sempurna."
Lalu papa melempar gespernya, melangkah pergi, membanting pintu kamar, dan minggat.
Satya meringis, terisak-isak dengan suara rengekan tanpa tenaga. Pipinya menempel di dinginnya ubin, jari-jarinya bergerak lemah. Piyama bagian punggungnya koyak, dengan darah merembes tanpa henti, menggenangi punggung Satya, kemudian menetes di ubin sekitar Satya.
Tangisan Satya terdengar semakin lirih, membentur dinding-dinding kamarnya. Dinginnya AC, sunyinya malam yang terpekur, diamnya perabotan pengisi kamar Satya, seolah berduka, bersimpuh akan nasib si kecil. Air mata yang meniti kelopaknya seperti sebuah teman setianya.
Dia Satya. Bocah empat tahun, tak berdaya, meringkuk tanpa jiwa, dengan suara isakan menyayat hati, yang sampai kapan pun , sejak malam ini, sebuah dendam dan benci mulai merangkak dalam dirinya, perlahan-lahan, sangat tenang, namun berdampak besar.
"Paahh... Satya sakiiit... tidak kuat paah... sakiit... sakiitt..."
===
Makassar, 1999
Suasana Panti Asuhan Rahmatullah yang terletak di Jl. Nuri Baru, ramai dan penuh dengan suara celoteh anak-anak. Mama sedang ngobrol entah apa dengan ibu panti yang hari ini mengenakan baju seragam biru, membiarkan Satya bermain dengan seorang anak pendiam yang dikenalkan mama sejak Satya menapakkan kaki di panti tersebut.
Satya berceloteh sepanjang jam, namun si anak itu Cuma bergeming dengan dagu terangkat. Kedua tangan anak tersebut terlipat di dada, seolah-olah memberi pertahanan terhadap dirinya, siapa tahu saja dia mendapat serangan dari Satya.
Satya mengajak anak itu keliling-keliling panti, sambil menceritakan kartun P-Man yang baru dilihatnya tadi pagi, kedua tangannya memegangi mainan truck yang baru dibelikan mama tadi pagi, sambil berkali-kali menoleh ke arah si anak dengan memberikan senyumnya.
"Kok, kamu diam saja sih dari tadi? Kamu sakit?"
Si anak mengangkat kedua bahu, kemudian berjalan melintasi halaman dan duduk di gazebo. Satya berlari kecil mengejarnya, lalu menghempaskan pantatnya di samping si anak.
"Kamu kenapa tinggal di sini?" tanya Satya yang lagi-lagi hanya dibalas desingan angin. Satya memutar bola mata, mencari bahan bicaraan. Si anak di sampingnya mukanya datar, tak ada senyum, tak ekspresi.
Dia melirik Satya yang sangat hiperaktif, mendengus kemudian membuang tatapannya.
"Aku tidak pernah lo akrab ama orang asing sebelum ini, eh...," Satya teringat sesuatu, buru-buru meralat omongannya, "Aku tidak pernah akrab ama semua orang. Papa melarang aku deket ama orang-orang."
"Kamu punya papa?"
Satya berjengkit mendengar ucapan si anak, Satya menoleh ke arahnya seketika, namun seperti tadi, si anak tetap memaku matanya lurus ke depan.
"Ya... aku punya papa. Kenapa?"
Dengusan kecil dari si anak yang menjawab Satya.
"Tapi papa Satya galak orangnya, suka marah-marahin Satya kalau Satya dapat nilai jelek di sekolah, suka pukul-pukul Satya kalau Satya tidak dapat nilai seratus, suka―"
"Itu karena kamu bego!!"
Satya tersentak, fokusnya sekarang sudah seratus persen untuk siapapun nama dari si anak di sampingnya itu.
"Papa tidak akan menjahatin kamu kalau kamu bego, dasar goblok!!"
Satya geram, mencengkeram truk mainannya, "Enak saja kamu ngomong, aku tidak bego, ya. Aku tidak goblok. Kamu tuh yang jahat, sama kayak papa. Pokoknya ―"
"Karena kita serupa!!!"
"Maksudnya?" Satya melotot
Sebelum si anak menjawab, suara ribut dari ruang tengah menginterupsi mereka. Lalu mama keluar dari pintu belakang, mendekati Satya dan si anak. Mama mendengus gusar ke arah si anak, lalu buru-buru mencekal pergelangan Satya, menggeret Satya begitu saja tanpa memperdulikan kawan bermainnya.
"Kenapa, ma?"
Mama bergeming. Marah. Saat melewati ruang tengah dan menghadapi ibu penjaga panti yang pakaiannya kayak prajurit tersebut, mama berhenti sebentar, mengangkat dagu angkuh, membusungkan dada.
"Kamu dengar ya, Ir, tidak ada yang bisa mengatur-ngatur hidup aku. Meskipun aku pernah membuat kesalahan di masa lalu, tapi aku sudah menguburnya jauh-jauh. Baik kamu, suami kamu, tidak ada yang bisa mengubah keputusan ku. Aku tidak akan pernah membawanya. Aku tidak tahu maksud dari omongamu apa? Kamu mau mengambil suamiku hah? Jangan harap, Ir. Aku sudah merebutnya dari kamu, dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengembalikannya padamu."
"Bukan itu maksudku, Ken, kamu tenang dulu, kita omongin ini baik-baik―"
"Aku tidak mendapat nilai baik dari obrolan kita ini, Ir. Kamu menjerumuskan ku. Kamu menjebakku. Dari dulu kan aku bilang, semuanya sudah selesai. Tidak usah diungkit-ungkit lagi!!!"
"Tapi ―"
Dan obrolan orang dewasa yang tidak dimengerti Satya, tak lagi dihiraukannya, tangan Satya masih erat dicekal mama, tapi fokus Satya tidak ada di sana. Satya menengok ke arah pintu belakang, dan mendapati si anak tadi tengah menatap datar ke arahnya. Sorot mata anak itu menakutkan Satya tanpa sebab, dia kemudian berbalik, dan meninggalkan tempat itu.
Lalu, setelah menuangkan segenap kemarahannya pada ibu penjaga panti, mama mengajak Satya pergi. Menghampiri mobil, membuka pintu pengemudi yang disusul Satya, kemudian mama meletakkan kepalanya di stir mobil, dan menangis.
===
Satya terbangun kaget saat tangannya ditarik paksa. Mata Satya perih, masih ngantuk, dia mengerjap berkali-kali dan tersentak saat melihat papa dengan luapan emosi.
"Paa―"
"Tidak usah banyak ngomong!!!" gertak papa, mengajak Satya ke walk in closet, mengambil dua koper besar lalu memasukkan semua baju Satya di sana.
"Paa kena―"
"DIAM!!!"
Satya meringis, berdiri takut-takut di belakang papa. Saat dua koper besar tersebut sudah terisi penuh, papa menggengong Satya di belakang punggung, lalu menarik pegangan koper tadi dan keluar dari kamar Satya.
Mama terlihat berantakan dengan lelehan maskara akibat air mata saat papa melintasi ruang tengah. Begitu melihat papa dan Satya, mama meraung histeris, berlutut di depan papa. Tangisannya tak terbendung, rambutnya acak-acakan.
"Mama kenapa menangis?" tanya Satya bingung.
"Satya jangan tinggalkan mama, mama sayang kamu Satya, mama mohon kamu temenin mama di sini, mama sayang Satya, mama cinta Satya, mama―
"Sudah?" desis papa memotong suara mama, papa menatap tajam ke arah mama, "Satya anakku, sampai kapan pun akan tetap jadi anakku. Jangan pernah sekalipun kamu berani-beraninya menyentuh anakku. Kamu ingat ya, Ken, sekali kamu menyakitiku, maka aku akan jauh membuatmu sengsara. Ada kata yang lebih menyakitkan dari menderita? Selamat, akan kuhadiahkan kata itu untukmu."
"Pah... aku bisa jelasin semuanya, ini salah paham, pah. Ini tidak seperti yang kamu pikir."
"Kalau kamu bisa lenyapkan sakit hatiku dan anak laknat itu, aku baru bisa memaafkanmu. Satu lagi...," papa mendengus, matanya menyorot mengerikan, "Laki-laki itu sudah tewas di tanganku. Karena dia sudah berani mencuri apa yang menjadi hartaku, maka dia wajib mendapatkan hal yang setimpal atas perbuatannya. Dan cepat atau lambat, kamu beserta anak sialan itu juga akan menyusulnya," lalu papa pergi, meninggalkan rumah, meninggalkan mama.
Mama menjerit, memanggil-manggil nama papa, pun nama Satya. Saat papa memasukkan koper di bagasi dan melesakkan Satya di kursi penumpang di samping kursi pengemudi, Satya nangis sesenggukan. Menyembunyikan mukanya di kedua telapak kecilnya. Ingusnya turut berlelehan.
"Kenapa pah?"
Papa memundurkan mobil, keluar dari halaman rumah megah di hadapannya.
"Satya tidak mau pisah sama mama, pah."
"Dia bukan mama kamu lagi, Satya."
"Tidak peduli. Satya maunya mama. Turunin Satya di sini. Satya tidak mau pisah sama mama!!"
"DIAM kamu Satya!!!"
Dug.. Dug.. Dug..
Satya menggedor kaca mobil berkali-kali sambil terus nangis meneeriakkan nama mama. Mukanya merah, penuh air mata dan ingus. Dia tidak peduli dengan raungan papa yang memarahinya. Saat mobil berhenti di stopan lampu merah, papa mencekal bahu Satya kemudian menggampar muka Satya hingga berdarah ujung bibir Satya.
"Kamu harus ingat!!! Mama bukan lagi mama kamu. Mulai sekarang lupakan kamu pernah punya mama. Dia itu wanita biadab Satya. Tanam pada otakmu. Mama sudah mati. Karena cepat atau lambat, wanita brengsek itu akan nyusul selingkuhannya ke neraka!!"
"Papa jahat, papa―"
PLAKKK
Satu gamparan lagi di pipi Satya, kali ini lebih kuat, membuat kepala Satya terantuk dashboard. Lampu menyala hijau, setelah diklakson mobil berkali-kali dari belakang, papa melanjutkan perjalanannya.
Satu hal yang pasti, ketika Satya mengelus dahinya yang berdenyut, sambil mengusap darah di sudut bibirnya, rambatan kebencian itu secara bertahap merangkak dengan halus menyusuri otaknya. Mengendap dan mendekam di sana. Baik Satya, mama, maupun papa tidak pernah tahu, endapan itu bakalan menjadi boomerang buat mereka semua. Meledak dan tak bisa dibendung.
===
Surabaya, 2004
Satya naik ke podium begitu namanya dipanggil sebagai pemegang juara umum di sekolahnya. Suara tepuk tangan bergemuruh, para orang tua sedikit iri dengan kepintarannya, para teman sekelasnya pada keki ama si kutu buku, sementara para guru merasa bangga memiliki anak didik berprestasi seperti dia.
Mata Satya menyisir ratusan orang yang ada di auditorium SMP-nya, namun, seperti yang sudah-sudah, orang yang dia cari tak kunjung datang. Satya menghela nafas berat, mukanya datar, tanpa ekspresi, tanpa senyum, dingin. Seperti keinginan papa. Mendidik dan menjadikan Satya manusia arogan dan sempurna.
Di depan sebuah mic Satya berdeham, meredakan suara tepukan di sana, mic berdenging sebentar kemudian hening.
"Saya bosan dengan juara satu. Tidak ada yang spesial. Pelajarannya terlalu mudah buat saya," Satya menghela nafas lagi, kemudian pergi begitu saja sambil tersenyum miring.
Papa pasti senang dengan sifat dingin dan angkuh Satya. Papa tak pernah mengijinkan Satya bergaul dengan orang-orang, papa tak pernah mengijinkan Satya bertegur sapa. Satya harus menjadi predator, pemangsa semua hal, pemimpin semua bangsa. Dan sekarang impian papa terkabul, bocah 12 tahun tersebut, benar-benar seorang predator. Manusia dingin, nerd paling ditakuti di sekolahnya.
Satya masuk ke sebuah mobil limosin, menghempaskan dirinya di sana, bersender di kursi dan menengadahkan kepalanya. Dia memencet tombol interkom ― alat untuk berbicara dengan supir ― di dekat tempatnya duduk, seraya mengambil sekaleng softdrink, membuka penutupnya dan meneguknya sampai tinggal separuh.
"Ya, Tuan Muda, kita meluncur ke perusahaan Tuan Besar. Tuan Muda punya agenda menemani Tuan Besar meeting dengan pengusaha dari Turki."
Satya mendesah. Di usia masih dua belas tahun sudah harus bergelut dengan dunia kerja? Ya Tuhan, padahal Satya sangat ingin tau rasanya bermain layang-layang, main gundhu, petak umpet. Meskipun ini kota metropolitan, tapi dia ingin sekali memainkan permainan tradisional yang sering dia lihat di Youtube. Namun, dengan keadaan yang dimiliki sekarang, keinginan itu hanyalah impian semata. Impian? Hahaha... kadang menertawakan nasib itu adalah hal yang harus dilakukan Satya supaya dia tidak gila dengan impian yang tidak bakal dia raih.
Satya tahu itu.
Mobil berhenti di stopan lampu merah saat Satya melihat beberapa pelukis jalanan tengah menjajakan hasil lukisannya di trotoar. Satya mengernyit, menekan sebuah tombol di dekatnya, kemudian membuka pintu mobil dan mendekati satu dari pelukis di sana.
Seorang pemuda sangar bertampang galak yang menjepit rokok di belahan bibirnya, mengangguk ke arah Satya, melepas rokoknya, kemudian tersenyum.
"Ada yang bisa saya bantu, Dek?" tanya si abang.
Satya mengerutkan kening di hadapan sebuah lukisan merpati terkepung di lebatnya hutan. Ujung sayap merpati tersebut meleleh. Tangan Satya menunjuk ke lukisan itu.
"Itu tentang apa?"
"Oh, ini tentang proses kebebasan," si abang menjelaskan, "Merpati itu lambang kesucian, sementara hutan adalah penjara. Sebuah kesucian yang berusaha keluar dari penjara hidup selama ini, karena dia tidak memiliki kemauan yang besar, tekad yang kuat, lama-lama kesucian itu akan meleleh, melebur, dan mati."
Satya terhenyak, memiringkan kepala lalu mendesah berat. Berarti sebentar lagi gue bakal mati di tangan papa.
"Adek mau beli?"
"100 juta kurang?"
Si abang terbatuk, buru-buru menggeleng, "Itu kemahalan, harganya tidak segitu―
Satya merogoh saku sekolahnya, mengambil dompet, memberikan abang itu sebuah kartu ATM.
"Isinya tinggal seratus lima puluhan juta, nomor pinnya 772959, kembalinya buat abang."
Kembalinya buat abang? Lima puluh juta? Si abang melongo, kemudian cepat-cepat membungkus lukisannya sambil berkali-kali mengucapkan kata terimakasih.
"Oh, ya. Tolong abang kasih tanda tangan, nama abang dan alamat abang di sudut lukisan itu."
Si abang mengangguk antusias, saat nomor di lampu merah menunjuk angka 007, Satya sudah duduk manis di dalam mobilnya. Lukisan tadi ada di pangkuannya. Satya menyobek kertas pembungkusnya, kemudian meraba tekstur cat lukisan tersebut, kasar-lembut di berbagai tempat. Sangat hidup. Benar-benar mampu mengimplementasikan kepribadian Satya.
Jemari Satya berhenti di sudut lukisan, di atas sebuah tanda tangan dan nama sang pelukis.
Tulisannya latin, miring, terdiri dari lima huruf...
Gahar
===
Surabaya, 2005
"Ampuuun paa, ampuun,,, aw... sakit pa... sakiit.. arghhhh!!!!"
Satya terus menjerit tatkala sebuah balok kayu itu dengan kasar dihantamkan papa ke seluruh tubuhnya. Darah segar terciprat dari dada dan punggungnya. Dia tergolek, meringkuk.
"BODOHHH!!!! Bagaimana bisa kamu menandatangani thender perusahaan bodong, Njing? Kamu tidak riset dulu perusahaan lawanmu? Kamu tidak cari latar belakangnya dulu? Main tanda tangan aja!!!"
ARRRGGGGHHHHHH!!!!
Satya kembali menjerit, balok itu melukai luka yang masih basah dan baru. Rembesan darahnya semakin banyak. Tubuh Satya terhempas membentur dinding. Papa mendekat. Mukaya beringas, cipratan darah Satya mengotori jas abu-abu yang dikenakannya. Seperti belum puas menyiksa Satya, papa menendang perut Satya hingga Satya terbatuk dan memuntahkan darah segar. Rasa sakit luar biasa mengaduk perut Satya. Tubuh kecilnya babak belur. Air matanya berderai campur darah. Tulang-tulang dadanya terasa nyeri, membuat Satya merasa kesakitan teramat sangat saat dia menghela nafas.
"Ratusan milyar melayang atas kegoblokan mu. Dasar anak bego!! Untung kondisi finansial perusahaan papa menguat, jadi papa tidak sampai bangkrut, kalau sampai bangkrut, mati kamu ditangan papa!!"
Dug!!!
Sadukan lagi, mengenai rahang Satya. Suara ringisan Satya tenggelam dengan rasa sakit hebat yang dia rasa. Darah merah segar membaluri tubuh Satya. Sayatan-sayatan dari balok membuat kulit Satya mengelupas. Tangisnya lemah, matanya sayu, nafasnya tersengal.
Papa menjambak rambut Satya, kemudian menyeret bocah kecil tersebut keluar dari rumah, lalu menghempaskan Satya di halaman. Kedua tangan papa bertolak pinggang. Matanya mengancam, balok yang juga berlumuran darah itu, papa cekal kuat.
"Hukuman, Satya, hukuman!! Dua hari ini kamu dilarang pulang!! Renungkan kesalahan kamu. Dua hari baru boleh pulang. Jika dua hari kamu tidak juga menunjukkan batang hidungmu di hadapan papa, kamu akan menyesal pernah dilahirkan dari perut wanita bajingan itu!! PERGI KAMU!!!"
"Pah... Satya... mohon... Satya...."
Namun, sebuah tamparan keras yang Satya terima dari rengekannya tersebut. Papa mendengus gusar, masuk ke rumah sambil membanting pintu di hadapan Satya.
Terseok-seok, membawa tubuh penuh luka dan rasa sakit tiada tara yang merajam jasad dan psikisnya, Satya pergi dari rumah megah itu. Sebelum dia benar-benar hengkang, ketika berada di gerbang, Satya kembali membalikkan tubuhnya, menatap sendu rumah yang selama ini tak pernah memberikan kehangatan buatnya. Rumahku Surgaku. Cih!! Satya tidak percaya dengan tagline bajingan seperti itu. Rumah Satya adalah neraka baginya. Makamnya, tempatnya menemui ajal. Satya yakin, perlahan-lahan dia akan mati di rumah itu. Akan tumbang di sana.
Menjadi boneka manusia angkuh seperti papa, sama sekali tidak bisa membuat Satya nyaman. Papa mengharuskan Satya menjadi anak arogan, dingin, tidak boleh berteman dengan siapapun, tidak boleh bersilangsapa dengan siapapun. Papa mendidik Satya menjadi manusia tak memiliki hati, satuan kehidupan Satya hanyalah kejeniusannya. Papa melarang Satya menggunakan hatinya, bahkan, papa mendoktrin Satya untuk menjadi manusia tak memiliki perasaan. Dan itu semua membuat Satya meringis, benar-benar menderita, tak memiliki kebahagiaan.
Satya berdecih. Kebahagiaan? Oh, itu adalah sebuah kata ajaib yang berada di belahan bumi manapun tempatnya, tidak akan pernah Satya temukan dalam hidupnya. Kebahagiaan bagi Satya seperti kata surga. Ada, menjadi issue semua umat, tapi Satya tidak pernah menemukannya. Dari kecil, dari dia masih balita, hidupnya adalah kerak neraka. Semua kesengsaraan dan derita adalah teman setianya. Tidak ada yang lain, dan bahagia itu tidak akan pernah bisa masuk ke celah kesengsaraan tersebut.
Darah menetes dari ujung rambut Satya, Satya masih memandang sendu rumah angkuh di hadapannya. Kemudian berbalik, tertatih-tatih, membawa kebencian yang semakin menganak dan mengendap luar biasa besar di otaknya, bukan di hatinya.
===
Saat mata Satya terbuka, yang pertama kali dilihatnya adalah seraut wajah laki-laki tua dengan guratan-guratan keriput di mukanya. Laki-laki tersebut memilik kumis serta jenggot keperakan. Beliau tersenyum teduh, kemudian tangannya menjangkau segelas besar teh jahe yang terletak di nakas samping tempat tidur.
Satya beringsut, dan mengerang gila begitu seluruh persendian di tubuhnya memberikan perlawanan dengan rasa sakit luar biasa hebat.
"Hati-hati, Le," kakek membantu Satya bangun, mengambil bantal untuk mengganjal punggung Satya, kemudian sambil meniup teh jahenya, beliau meminumkan teh tersebut buat Satya.
"Saya di mana ini ...."
"Eyang, Le, panggil kakek ini eyang."
Satya mengangguk, menyeruput teh takut-takut, "Saya di mana ini eyang?"
Eyang tersenyum, senyumannya teduh, menghangatkan, sesaat Satya terhanyut, merasakan sebuah ketenangan dalam hatinya. Mata Satya terpejam. Rasa sakit yang bertransformasi menjadi kebencian dalam hidupnya, melebur entah kemana. Senyum eyang itu adalah senyum sebuah ketulusan dan keikhlasan yang tidak pernah Satya temukan dalam hidupnya. Senyum yang dia kenal selama ini adalah senyum mama. Namun, Satya sadar, di balik senyum mama tersebut, ada sebuah rahasia besar yang sampai detik ini tidak pernah Satya tahu.
Satya membuka kelopaknya, lalu tersenyum. Satu hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini. Kedua sudut bibirnya melengkung dengan sendirinya ke atas. Dadanya menghangat.
Satya tidak pernah menyadari, bahwa laki-laki di hadapannya, pemilik senyum sejuta ketenangan tersebut, adalah guru pertama Satya menjalani kehidupannya. Guru benar-benar guru. Orang yang pertama kali menyadarkan Satya akan sebuah perasaan. Sebuah kehidupan. Panutan Satya memiliki senyum menawannya, panutan Satya memiliki senyum tulusnya.
Kristal arogan yang membeku atas didikan papa, meleleh di hadapan si eyang. Embunan keangkuhan Satya, menjadi titik-titik air indah atas didikan eyang.
Satya berterimakasih sangat pada eyang. Siapa yang menyangka, ketika dia membawa tubuh tak berdayanya akibat dihajar habis-habisan sama papa, Satya yang limbung di dekat pom bensin, ditemukan dan dibawa eyang pulang. Dirawat dan diobati. Eyang adalah pahlawan bagi Satya. Bisa saja eyang berlaku buruk pada Satya: menjual Satya, memperbudak Satya. Namun lagi-lagi, Satya Satya kehabisan kata-kata saat eyang tersebut berkata,
"Le, sebuah hadits dari HR Abu Dawud no. 4941 dan At-Thirmidzi, Rasulullah bersabda 'Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit'.
"Artinya, Le, tak peduli sebagaimana kamu dijahati oleh manusia yang menyebabkan kamu hampir meregang nyawa, kamu harus tetap menyayanginya. Allah itu cinta jika umatnya saling mengasihi, karena Allah akan melimpahkan lipatan kasih sayangnya kepada kita. Jangan pernah dendam, Le, jangan pernah benci. Ada Allah yang ada di sampingmu. Jika dunia menjerumuskanmu, Allah adalah satu-satunya Maha Penolong.
"Sabar, Le, ikhlas, legowo. Dunia memang seperti ini. Semakin tua usia bumi, semakin bangsat ulah anak Adam. Kalau kowe tidak bersabar, menurutkan dendam, kowe yang akan hancur."
===
Surabaya, 2008
"Papa sudah mengurusi berkas pemindahanmu, Satya. Besok kamu terbang ke London. Nama kamu sudah tercatat sebagai mahasiswa di Oxford."
Satya yang sedang menandatangani beberapa dokumen perjanjian kerjasama dengan perusahaan asing di balik meja kerjanya, mendongak. Memandangi papa yang tengah membuka lembaran Harian Jawa Timur di sofa. Satya meletakkan pena di atas map, kemudian bersandar di kursi jabatannya.
"Maksud papa?"
"Papa tidak setuju kamu kuliah di tempat itu. Universitas kamu terlalu kampungan. Kamu akan selamanya jalan di tempat jika kamu mengenyam pendidikan di sana. Dan dunia tidak akan bisa kamu genggam jika kamu stuck di situ."
"Tapi, Satya sudah nyaman di sana, Pa. Satya menjadi unggulan di sana. IP Satya 4, Satya menjuarai beberapa macam olimpiade. Di Rusia, Yunani. Masih kah kurang, Pa? Kenapa Satya harus dipindah ke Oxford sih, Pa?"
Papa mendelik ke arahnya seketika, melipat surat kabar, dan meletakkannya di atas nakas. Kedua tangan papa bersedekap, mendengus kasar dengan dada terbusung.
"Tidak ada yang namanya unggul di dunia ini Satya. Jika kamu mau menguasai dunia, kamu harus menjadi sempurna. Dan buat papa, sempurna itu adalah sebuah kewajiban. Mau atau tidak, besok kamu pergi ke London. Hilangkan keinginanmu untuk tinggal di universitas sampah seperti itu."
"Tapi pa―"
"Tidak ada kata tapi, Satya. Jika papa sudah memutuskan, itu artinya adalah keharusan."
===
Satya menatap pasrah pantulan mukanya di cermin. Beberapa jam lagi pesawat yang akan ditumpanginya akan berangkat, namun Satya masih enggan. Dirinya sesak, menjadi robot dari papa benar-benar membuat perasaan Satya kacau. 16 tahun dan dia tak pernah merasakan kebebasan. Apakah nantinya nasib Satya sama seperti nasib merpati yang terkurung hutan itu? Meleleh lalu mati?
Satya lelah, lelah dengan semua doktrin ini, dia ingin terlepas, namun Satya sadar, kekuatan yang dimiliki papa tidak akan dengan mudah ditaklukkan. Bukan! Bukan tidak mudah, lebih dari itu, kekuatan papa tidak akan pernah bisa dilawan.
Satya mencuci muka frustasi, mengusap berkali-kali wajahnya supaya segala penat yang melandanya segera hilang. Namun, Satya berjengkit. Terkejut bukan main, begitu mendongak dan kembali menghadapi cemin, pantulan tubuh papa terlihat di sana. Satya berbalik takut-takut. Kemudian meringsek di sudut ruangan.
"Pa...."
PLAKKK!!!!
Gamparan keras tangan papa yang menjawab suara terbatanya. Papa mendelik menakutkan, "Kamu mau kabur dari papa, Satya?" desis papa murka.
Satya menggeleng ketakutan, sebelum dia menjawab, satu lagi tamparan keras dia dapat di pipinya. Sudut bibir Satya berdarah, kepalanya berdenging. Pandangannya ngeblur beberapa saat.
"Ngapain saja kamu di toilet?" raung papa mengintimidasi.
"Satya Cuma... Cuma...."
"Cepat bereskan keperluanmu. Jika kamu berani kabur dari papa, jangan harap kamu bisa selamat dari tangan papa," kemudian papa pergi.
Satya berbalik menghadapi cermin. Air matanya meleleh tanpa bisa dia bendung. Rasa sakit, kecewa, marah, bercampur jadi satu. Dipegangnya pinggiran westafel kuat. Dan tubuhnya bergetar menahan isakan yang menyayat.
"Kalau orang tua gue aja tidak menginginkan kehadiran gue sendiri, buat apa gue hidup? Hidup tanpa kasih sayang dan cinta sama saja terperangkap dalam bangkai mayat. Lebih baik gue menjadi mayat, dengan begitu tidak akan ada lagi luka yang gue derita. Lebih baik gue menjadi mayat supaya gue tidak merasa dicampakkan tiap kali orang tua gue mengacuhkan gue. Gue sakit. Gue sakit!!!"
Bibir Satya bergetar, kemudian dalam satu pukulan keras, Satya meninju cermin di hadapannya hingga pecah berkeping-keping. Satya tertawa lepas di antara tangisnya. Mengambil satu keping pecahan kaca, dengan mata memicing dingin serta endapan kebencian yang sudah menyelubungi otaknya, dan mematikan seluruh perasaannya, Satya menggoreskan kaca tersebut di pergelangan tangannya.
"Mati lo Satya. Mati lo Satya!!"
==
Hal pertama yang Satya lihat saat matanya terbuka adalah seorang suster cantik yang sedang mengecek tanda-tanda vitalnya, lalu susul menyusul sebuah bangsal rumah sakit menyatroni pengelihatannya. Satya mengerang, membuat terkejut si suster.
"Dek Satya sudah bangun? Puji Tuhan...."
Si suster berteriak histeris, kemudian memencet sebuah tombol yang berada di atas ranjang Satya. Tak berapa lama kemudian, seorang dokter dan beberapa orang suster datang mengecek kondisi Satya.
Satya bingung, membiarkan mereka mengecek tubuhnya, ketika dokter tadi dan beberapa suster pergi lalu menyisakan suster yang berteriak, Satya membuka suaranya.
"Papa mana, Sus?"
Si suster tersenyum, mengelus rambut Satya, menggeleng lirih sambil menjawab, "Sedang sibuk, mungkin...."
Satya mendengus. Kebencian dan dendam sudah sempurna meracuni otaknya. Hati dan perasaan Satya sudah mati. Dia sudah tidak ingin menjadi robot papa lagi. Dia harus berdiri di atas kakinya sendiri. Dia harus―
Satya mengangguk. Dia tahu apa yang akan dilakukannya.
===
Berbekal sebuah alamat yang dia ingat di sudut kanvas lukisan yang pernah dia beli beberapa tahun silam, Satya berdiri di sebuah bangunan kumuh di mana terdapat sebuah skuter terpakir di terasnya.
Satya mengetuk pintu, lalu seseorang yang menandatangani lukisan merpati tersebut muncul dari sana.
"Satya...."
"Satya sudah mati, Bang Gahar."
Laki-laki tersebut sedikit terkejut mendengar pengucapan Satya memanggil namanya.
"Maksudnya―"
"Ajari aku, Bang. Ajari aku menjadi manusia yang berbeda dengan Satya. Aku tidak mau menjadi Satya. Dia sudah mati. Aku ingin menjadi diriku yang lain. Kumohon, Bang. Ajarin aku!!"
"Tapi, bagaimana...."
"Apapun akan kulakukan, Bang. Asal aku bisa menjadi orang yang bisa dibenci sama manusia laknat itu. Aku mohon, Bang. Aku mohon...!! Bantu aku keluar dari penjaraku. Akulah merpati itu, Bang. Aku lah yang terpenjara selama ini."
==
Surabaya, 2009
Bang Gahar benar-benar menepati janjinya. Tidak ada lagi Satya manusia angkuh, tidak ada lagi Satya manusia tutorial. Satya bebas. Sayapnya tak lagi meleleh di kurungan hutan selama ini. Mengepak dan terbang bebas di udara. Senyumnya tersembul, menyapa setiap orang.
Langkah-langkah kaki Satya mengayun ringan, berbelok ke sebuah ruang. Tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu, Satya langsung masuk. Dan mendapati papa yang terkejut dengan kehadirannya. Papa bangkit dari tempatnya duduk, geram, gusar, marah, namun sebelum semua emosi papa tersembur, papa sudah dibuat terkejut dengan percakapan pertama Satya.
"Satya―"
"Satya sudah mati, papa!!"
"Maksud kamu?"
"Saya sudah bebas. Sudah tidak ada Satya lagi di muka bumi ini. Dia sudah mati, setahun lalu sejak bangun dari koma tiga bulannya dan tidak mendapati orang tua di sampingnya."
"Satya apa-apaan ini?"
"Jangan pernah panggil aku Satya. Mulai sekarang aku bukan anakmu. Satya sudah tewas," Satya tertawa culas, berbalik dan sudah akan meninggalkan ruangan saat dia urung, lalu menghadapi papa lagi, "Mulai sekarang papa ku tersayang, panggil aku Bayu."
t
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top