28. Punakawan

Setelah memastikan keadaan anak-anak sanggar baik-baik saja, dibawah asuhan Bang Gahar dan Kak Seto yang sengaja dipanggilkan dinas sosial untuk membantu memulihkan psikis anak-anak sanggar akibat kematian Bang Reza dan kebakaran, Bayu memandikan Nobita.

Hanya dengan memakai singlet warna hitam kusamnya, dan celana boxer yang lagi-lagi, entah beli di mana, bergambar doraemon, Bayu bersenandung lagu asal. Untuk menentramkan hatinya yang berantakan.

Bayu sekarang sedang berada di tempat pemandian motor deket kampus. Karena Bayu nggak mau mengeluarkan uang lima ribu untuk memandikan Nobita, dia memilih memandikan Nobita sendiri.

Pemilik salon motor Cuma bisa geleng-geleng. Dua orang mahasiswa semester empat jurusan Teknik Perkapalan. Mereka sudah terbiasa (dibaca: sangat terbiasa) dengan tabiat Bayu yang suka mencuci Nobita sendiri,.

"Mau kemana, sih, Mas Bay? Semangat bener nyuci Nobitanya? Tumben-tumbenan nih dicuci?" salah satu pemilik pencucian motor berwajah oriental bertanya, sebut saja nama dia Engkos. Perawakannya kurus ceking, suka makan emping.

"Mau ke Solo, biasa, treck-treckan bareng Nobita," Bayu nyengir, memeras lap penuh sabun ke dalam timba, mengusap-usap tubuh Nobita dari bagian luar sampai bagian terdalamnya. Diselingi dengan menyeka keringat yang menetes satu-satu di dahi, Bayu berusaha menata hatinya.

Beberapa kali menghela nafas berat. Berharap, dari sekian teror yang mencekiknya beberapa bulan ini berakhir dengan terbaringnya Yani di rumah sakit. Masih terus mengusap ekor Nobita, dan bersenandung entah apa lirik bait yang menyenggol langit-langit lidahnya, Bayu mencoba untuk bertahan. Berdiri di atas dua kaki atas goncangan hebat yang mendera hari-harinya.

Bayu sadar, hari-harinya sudah berbeda. Walaupun Dji Sam Soe dan Nobita selalu senantiasa mengiringinya, namun, semangat yang menyala di ujung keretakan rokoknya sudah tak lagi sama. Abu yang meretas pun memiliki cerita lain.

"Emang skuter tua bisa digunakan buat treck-treckan mas Bay?" itu pertanyaan dari Waluyo, pemuda cebol yang bercita-cita pengen jadi presenter gosip. Dengan lengan pendek dan kaos kedodoran, dia menyemprotkan selang air pada sebuah motor bebek yang menjadi tanggungan tugasnya.

Sambil mencelupkan kain basah ke dalam timba yang sudah diisi shampo khusus motor, Bayu cengengesan mengerikan. Dia belum mandi selama lima hari, kalau ada yang ingin tahu hal ikhwal pertemuannya dengan sabun.

"Enak aja kamu," Bayu membasuh knalpot Nobita, "Jelek-jelek gini. Tua-tua gini, tapi kalau buat treck-treckan mah, jawaranya," jawab Bayu sangat tidak bisa dipercaya. Jangankan buat treck-treckan, buat pergi ke Kanvas yang berada di daerah Sepanjang saja, Nobita bisa terbatuk parah.

"Tapi kok nggak meyakinkan gitu, ya, penampilannya. Lawan ngetrecknya odong-odong kali," Engkos membilas motor dibawah pengasuhannya, tertawa keras sampai tubuhnya berguncang.

Bayu manyun, berdiri dari posisi jongkoknya, meraih selang dari tangan Waluyo lalu menyemprotkan airnya ke tubuh Nobita. Menyeka keringat yang lagi-lagi meluncur di jidatnya, "Bukan odong-odong," sahutnya asal, "Tapi sepeda roda tiganya anak-anak kecil," sedikit menyembur di ujung kalimat.

Kedua adik tingkatnya tergelak, pun dua pengunjung yang motornya lagi dimandikan Waluyo ama Engkos dan seorang pengunjung yang sedang menunggu antrian.

Masih menyemprotkan air, Bayu menggerutu, mendumel tidak suka, "Puas kalian meledeki aku?"

Surabaya semakin terik. Bayu segera menyudahi mencuci Nobitanya, mematikan sambungan air, melap Nobita dengan kain kering, setelahnya dia memoles bodi Nobita dengan Kit. Bayu tersenyum, Nobitanya sudah ganteng, dan dia harus bergegas melakukan perjalanannya ke barat menuju Solo kalau nggak ingin kehujanan di tengah jalan, dan Nobita kembali jelek. Sekarang ini cuaca sangat sulit ditebak. Sebentar panas, sebentar hujan lebat.

Bayu menyisirkan pandangannya. Lampu merah di dekat salon pencucian motor menyala hijau, dan serentetan mobil, motor yang terpaksa menanti giliran berjalan, saling menyalip sambil membunyikan klakson. Dua pengguna sepeda gowes sedikit bersenggolan saat sebuah Kijang Innova menyalip sangat dekat dengan mereka. Para penjaja koran yang kelelahan dipanggang matahari dan putus asa di jam sesiang ini korannya masih banyak, memilih menepi, melepas topi, kemudian menggunakannya untuk kipas.

Bayu meregangkan otot. Melirik jam dinding yang sengaja dipasang Engkos dan Waluyo di salah satu tiang penyangga bangunan salon mereka, lalu segera nyamperin kaos oblong yang dia gantung di bawah jam dinding.

Engkos ama Waluyo masih asik bercengkerama dengan para pelanggannya. Sesekali tertawa mendengar lelucon yang bahkan menurut Bayu tidak ada kadar humornya, sampai sebuah kalimat yang melompat dari salah satu pengunjung salon tersebut membuat seluruh tubuh Bayu membeku di tempat. Matanya terbelalak, dan gerakannya kaku.

Bayu berbalik, mendekati seorang mahasiswa yang menggunakan almamater kampusnya kuliah, "Maaf boi, tadi bilang apa?" ulang Bayu. Dia nggak percaya dengan apa yang didengarnya. Sangat!! Demi Tuhan, bahkan demi segala dewa kalau itu memang ada di bumi dan langit, seluruh indera Bayu tidak akan sudi mendengar kalimat yang sangat kurang ajar menjajah pendengarannya tersebut.

"Yang mana mas Bay?" mahasiswa itu terbengong, menggaruk tengkuk, melirik temennya yang duduk di sampingnya.

"Yang baru saja kamu katakan. Yani? Yani kenapa tadi?" mengambil karet gelang yang melingkar di salah satu pergelangan tangannya, Bayu mengikat rambut gondrongnya, membentuk gelungan ketat dan memampatkannya di atas. Dia mendekati Engkos, menadah air jernih yang keluar dari selang, dan membasuhkannya ke muka.

"Dia mendirikan yayasan kangker?" mahasiswa tersebut mengulangi pertanyaan, menggaruk tengkuk,kembali melirik temannya.

"Yani? Yani ayam kampus itu?"

Kini giliran teman mahasiswa yang sedari tadi dilirik itu yang tersenyum, berdeham, dan Bayu baru menyadari jika dia, cowok berkumis tipis tersebut, memakai seragam putih-putih serta sepatu putih, yang menandakan dia mahasiswa keperawatan.

"Kebetulan aku teman sekelas Yani, mas Bay," ujarnya, tersenyum manis, "Kegiatannya menjajakan seks memang sangat mengganggu dan sangat membuat nama keperawatan ternodai. Tapi percayalah mas Bay, dia memiliki niat yang mulia di balik itu semua."

Niat mulia taik babi apa? Bayu mengernyit, duduk di antara dua pemuda tersebut. Dengan kening berlipat-lipat dia memandangi satu-satu dua cowok itu.

"Kayaknya tadi aku mendengar kalau kamu menyebut Yani memiliki sifat mulia deh. Coba kamu ulang sekali lagi, mungkin telingaku lagi bermasalah."

Cowok berseragam perawat tertawa keras, menepuk bahu Bayu, "Perkenalkan dulu nama aku Iwan, dan yang ada di kanan mas Bayu, Dewa."

Dewa tersenyum kecil sambil mengangguk, menggaruk tengkuk kikuk, melempar pandangan ke Waluyo yang sedang menggerayangi motor bebeknya.

"Yani seangkatan ama aku mas Bay. Aku udah kenal dia dari sejak mas Bay meng-OSPEK kita di awal kuliah dulu. Dan, well, entah aku beruntung atau malah sial, aku ama Yani menjadi sahabatan dari hari itu. Kegiatannya menjajakan seks memang sangat disayangkan mas Bay. Tapi itu semua untuk sebuah kebaikan yang hanya dia sendiri dan orang-orang terdekatnya yang tahu."

Kening Bayu berlipat, menumpukan kedua sikunya di lutut, sambil terus memantengi Iwan dengan tatapan tidak percaya.

"Yani adalah wanita terjahat yang pernah aku temui di bumi ini. Dia membunuh saudaraku, hampir membunuh ibu Panji, menjahati anakku, bahkan, dia juga membunuh kakak kandungnya. Sekarang dari serentetan kejahatannya yang manakah yang menunjukkan dia memiliki sebuah kebaikan?"

Mata Bayu memicing, menghela setengah nafas. Mengedarkan pandangannya, lampu lalu lintas menyala merah. Penajaja koran kembali mencoba peruntungan, berjalan di sisi-sisi mobil yang berhenti. Mengetuk kaca sambil menyodorkan koran harian Jawa Timur, beralih dari satu mobil ke mobil lainnya saat korannya tak ada yang melirik. Para pengamen dan pemilik jasa membersihkan kaca mobil, ikutan menyumbang perempatan tersebut jadi penuh sesak.

Penjual batagor melintasi salon motor Engkos, mendorong gerobak sesekali membunyikan kentongan untuk menarik minat calon pembeli.

"Tidakkah mas Bayu memperhatikan polanya? Pola dari tindak kejahatannya?"

Pola? Seketika itu juga perkataan Bang Reza saat mengunjungi David beberapa waktu lalu melintas begitu saja tanpa bisa dicegah. Dan Bayu merinding sekarang. Bang Reza benar. Dia selama ini memang benar.

"Ndis, kalau kita tahu latar belakang kehidupan Bayu, kita bisa menebak, siapa dalang di balik semua kekacauan ini. Kita juga bisa mencegah korban-korban yang mungkin berjatuhan semakin banyak lagi. Kita bisa memeta pola pikir si pelaku, kita bisa menerka marabahaya apalagi yang dia siapkan di depan untuk Bayu, dan orang-orang di sekitar Bayu. Kita butuh masa lalu Bayu, Ndis. Kita butuh segala keterangan tentang dia."

Pola? Ternyata selama ini pelakunya memiliki pola. Yani memiliki pola, betapa bodohnya Bayu kenapa selama ini tidak menyadari hal tersebut.

"Polanya seperti apa?" Bayu menegakkan punggung, matanya menerawang kosong. Seandainya dia bisa membaca pola kejahatan Yani selama ini, kematian Bang Reza bisa dicegah, menghilangnya Steven juga bisa dicegah, dan semua korban serta kekacauan dalam hidupnya beberapa bulan terakhir ini bisa diantisipasi.

"Mas Bay, Yani itu akan bergejolak dan emosi jika dia merasa Pak Mada akan lepas dari tangannya. Dia sangat mencintai Pak Mada, dari dulu. Rasa posesifnya membuat dia gelap mata. Dia mengidap suatu gangguan kejiwaan mas Bay. Dan gangguan kejiwaannya ini yang menuntunnya melakukan kejahatan tiap kali dia merasa orang yang sangat dicintainya lepas dari genggamannya.

"Dia bisa depresi luar biasa jika Pak Mada mengabaikannya. Dia bisa stress setengah mati, kalau Pak Mada lari dari hidupnya. Dia bisa melakukan segala cara agar orang yang sangat dicintainya tersebut selalu berada di dekatnya. Yani sakit Mas Bay. Dan semua orang yang berada di dekatnya tahu. Termasuk Pak Mada maupun Budhe Irma. Bahkan jika membunuh bisa mengembalikan Pak Mada ke dalam genggamannya, Yani tidak akan segan-segan untuk melakukan itu."

Lo pasti bercanda kan? Begitulah kira-kira tatapan mata yang Bayu hunuskan pada Iwan. Kepalanya berdenyut, pusing, berita mengejutkan ini membuatnya benar-benar membuatnya terkejut bukan main.

"Gangguan kejiwaan apa?" tanya Bayu lirih. Antara percaya dan tidak. Ternyata orang yang menerornya selama ini memiliki kelainan penyakit jiwa. Dan Bayu sedikit tidak terima, jika kejahatan Yani yang sangat merugikan banyak pihak tersebut didasari oleh sebuah penyakit. Demi apa?

"Erotomania, mas Bay."

Suara klakson dari mobil yang melintasi salon motor Engkos membuat Bayus sedikit terperajanjat. Kemacetan di perempatan tak terelakkan. Lampu menyala merah dengan detik 120. Para pedagang asongan dan penjual koran tadi, bertebaran menjajakan dagangan mereka.

Para pejalan kaki menepi di trotoar, menelangkupkan tangan di depan kening untuk menghalau sengatan matahari siang tersebut. Sebagian berjalan terburu dengan menggunakan payung, sebagian berjalan lunglai sambil mengkibas tangan di depan leher untuk mendapatkan angin.

"Itu adalah gangguan kejiwaan cinta berlebihan yang diderita seseorang."

Bayu nggak tahu harus menanggapi bagaimana, Erotomania? Sebuah penyakit gila yang diderita wanita sableng yang menyebabkan kematian Bang Reza, menghilangnya Steven, terbakarnya bengkel, dan gangguan psikis anak-anak sanggar? Penyakit sangat brengsek yang mengorbankan begitu banyak nilai berarti dalam hidup Bayu. Dia nggak terima, sungguh!!

"Erotomania adalah sebuah penyakit kejiwaan yang membuat seseorang merasa bahwa orang lain jatuh cinta kepadanya atau mempunyai hubungan yang intim dengannya," Iwan melanjutkan, menggeser pantatnya dan menyandarkan tubuhnya pada tiang penyangga salon motor di sampingnya, "rasa cinta yang dimiliki Yani terhadap Pak Mada membuatnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan Pak Mada. Posesif berlebihan. Keinginan sangat kuat untuk memiliki Pak Mada."

"Tapi memang selama ini Panji jatuh cinta sama Yani, kan? Kalau nggak jatuh cinta ngapain dientot kanan kiri? Yani nggak perlu melakukan tindakan kejahatan bajingan itu karena selama ini Panji memang mencintai dia. Bahkan, sebentar lagi mereka akan menikah. Kurang bukti apa lagi coba?" Bayu mengusap satu dua jumput anak rambut yang menempel di jidatnya, dia melirik Dewa yang terdiam seribu bahasa dan duduk kikuk di sampingnya.

"Sayangnya," Iwan tersenyum gamang, "Itu Cuma anggapan Yani saja mas Bay. Pak Mada nggak pernah sekalipun jatuh cinta padanya. Dia menerima Yani karena dua alasan besar. Satu alasan, aku nggak tau itu apa. Tapi yang satu lagi, aku yakin mas Bayu akan terkejut mendengarkannya."

Bayu meremas kedua tangan, sedikit menyipitkan mata, terkejut bukan main. Demi apa Panji tidak mencintai Yani? Jadi, romantismenya selama ini ternyata hanya sebuah kebohongan? Kemesraannya selama ini hanyalah ketiadaan dari sebuah kondisi? Rencana pernikahannya? Fitting bajunya? Untuk apa? Untuk apa?

Lalu, sebuah genta dalam dasar ingatannya bertalu-talu begitu saja. Yani memiliki pola, kejahatannya terpeta, ada bentuknya, ada tabelnya.

Dan Bayu baru menyadari, sebuah kenyataan yang membuat Bayu diayun dilema hebat. Semua kejadian gila ini, memang bermula dari dia memulai debut kerjanya sebagai juru masak dan baby sitter di rumah Panji. Semua marabahaya yang mengancamnya, memang terpantik di hari dia menginjakkan kaki untuk pertama kali di halaman rumah Panji.

Bayu terpengarah di tempatnya. Itu berarti? Dari awal Yani tahu jika keberadaannya di rumah Panji mengancamnya? Itu berarti, dari awal Panji memang mencintainya? Memiliki perasaan kepadanya? Benarkah?

Bayu nggak tahu pasti, kepalanya semakin berdenyut-denyut. Dipijatnya pelipis seraya menghela nafas berat.

"Apa itu?" gumam Bayu kacau, "Alasan Panji menerima begitu saja keberadaan Yani dalam kehidupannya?"

"Sebelumnya, kita luruskan anggapan mas Bayu tentang Yani yang ayam kampus," Iwan menghela nafas besar, "Ada hal besar yang disembunyikan Yani selama ini mas Bayu. Orang tuanya, satu-satunya om-nya yang seorang Menteri Perikanan, Pak Mada, Budhe Irma, semuanya nggak ada yang tahu. Cuma aku dan Dewa saja yang mengetahui polah tingkahnya. Alasan dari kegilaannya."

Bayu bergeming, membiarkan informasi mengejutkan yang diterimanya siang itu, berpusing ria di lokus otaknya.

"Dia menjajakan seks selama ini untuk sebuah yayasan yang dia bangun sejak dulu. Yayasan kangker. Segala macam kangker yang menjangkiti para wanita terkumpul di yayasannya. Uang dari hasilnya menjual diri selama ini, untuk membiayai pengobatan puluhan wanita yang tergabung dalam yayasannya. Dan mas Bayu tahu, landasan dia mendirikan yayasan kangker yang mungkin tak ada satupun anggota keluarganya ketahui itu?"

Bayu menggeleng frustasi, sama sekali tidak memiliki clue, padahal dia menginginkan sebuah kejahatan besar dibalik kegiatan seks-nya Yani. Bayu ingin membuat Yani semakin menjadi tokoh antagonisnya, namun, dengan alasan sebesar tersebut, Bayu jadi urung menyudutkan Yani, ditambah kenyataan bahwa Yani mengidap gangguan kejiwaan. Tuhan ―ada yang lebih drama dari ini nggak?

"Yuni, Mas Bayu. Kakak kandungnya. Yuni terserang kangker rahim stadium lanjut saat dia menikah dengan Panji. Penyakit yang diderita Yuni, membuat Yuni kehilangan rahimnya. Dan membuat Yuni tidak memiliki kesempatan memiliki anak."

Bayu terbelalak, terkejut bukan main. Yuni tidak memiliki rahim? Bagaimana bisa? Lalu Mike? Anak kecil itu? Anak siapa?

"Penderitaan Yuni melawan kangker membuat Yani terketuk pintu hatinya untuk menguatkan para wanita di luaran sana yang juga menderita kangker. Kangker payudara, kangker serviks, dan masih banyak lagi. Kegigihan Yuni melawan penyakitnya, menumbuhkan sisi sosial Yani, Mas Bayu."

"Tapi bukankah Yani membunuh Yuni? Kakak kandungnya?"

Iwan tersenyum kecut sebelum menjawab, "Itu atas permintaan Yuni sendiri mas Bay. Yani memang sangat mencintai Pak Mada, tapi, dia juga sangat mencintai dan menyayangi Yuni. Yani akan melakukan segala cara untuk membahagiakan kakaknya, termasuk menyuntikkan obat yang membuat Yuni langsung meregang nyawa. Mas Bayu tahu, Yani dilema hebat saat kakaknya menginginkan mati.

"Hari itu, hari dimana Yani menginjeksi doppamin di selang infusnya Yuni, Yuni berada di masa-masa kritisnya, dia bisa bertahan hidup karena banyaknya alat yang menyokongnya. Yuni putus asa, sebagai manusia dia merasa kalah. Sebagai wanita dia merasa gagal. Dia memohon-mohon dengan sangat kepada Yani untuk dimatikan. Semua tahu tentang itu. Pun Pak Mada."

Bayu berjengkit. Ini apa-apaan sih? Semua info ini? Benarkah? Atau memang, arrggghhhh!!!

Bayu menggusak rambut frustasi, ada kesedihan yang mengakar tidak tahu asalnya di hati Bayu. Bayu nggak tahu, kesedihan itu seperti apa, kenapa bisa bercokol di sana? Apakah dia merasa kasihan kepada Yuni? Atau kepada Panji? Atau malah pada Yani?

"Tapi.. kenapa? Maksudku kenapa Yuni sangat ingin mati? Bukankah dia memiliki alasan kuat untuk bertahan hidup? Dia memiliki Panji, kan? Satu-satunya laki-laki yang benar-benar jatuh cinta kepadanya?"

"Mas Bayu, wanita akan menjadi sempurna jika dia sudah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Yuni memang telah menjadi seorang istri, namun, dia belum menjadi seorang ibu."

"Maksud kamu?"

"Wanita tidak bisa hamil tanpa memiliki rahim, mas Bayu."

"Lalu Mike?" Bayu terbata, pandangannya menerawang, rohnya berada di ambang batas. Ini benar-benar mengejutkan. Sangat!! Dia ingin tidak percaya, namun, Bayu tidak memiliki sumber terpercaya untuk menjawab semua keanehan Yani selama ini.

Dan jawaban yang keluar dari mulut Iwan, sama sekali jawaban yang tidak ingin dia dengar seumur hidup. Jangankan ingin mendengar, memikirkannya sepercik pun Bayu nggak pernah. Seluruh bulu kuduknya meremang, tubuhnya membeku, darahnya berdesir, dan paru-parunya terasa menyempit.

"Mike itu lahir dari rahim Yani, mas Bayu. Dia dikandung sembilan bulan sepuluh hari sama Yani. Itulah salah satu alasan mengapa Pak Mada terpaksa menjalani kehidupan asmaranya dengan Yani."

Dunia seolah berhenti, dan lupa caranya berotasi. Mike itu lahir dari rahim Yani. Mike itu lahir dari rahim Yani. Mike itu lahir dari rahim Yani.

Demi apa???

===

Bayu melajukan Nobita dengan kecepatan sedang, melewati daerah Mojokerto. Tangan kanannya mengendalikan laju gas Nobita, tangan kirinya mengetuk-ngetuk rendah stang motor. Angin yang melawan, menerpa kaos oblongnya yang bergambar Vespa Endog, vespa klasiknya Jogja.

Berkali-kali bus Mira dan Sumber Selamat jurusan Solo Jogja menyalip Nobita, pun bus-bus jurusan Ponorogo-Pacitan, saling susul menyusul, menyalip dari sisi kanan Bayu.

Minibus-minibus saling berkejaran saat melewati jalanan bypass. Suara klakson dan suara deru mobil saling bertebaran. Langit semakin sore, dengan kecepatan 40Km/Jam, bisa dipastikan Bayu nyampai Solo besok subuh.

Bayu tak ambil pusing, di dalam tas ranselnya yang pinjem Yasin, sudah tergulung rapi sebuah tenda ama selimut. Rencananya Bayu mau menginap di daerah Maospati atau Ngawi, namun, jika memungkinkan dia ingin menginap di Sragen.

Sambil menyulut rokok di bibir merah ungunya, Bayu sudah memantabkan hati bahwa dia sedang tak ingin memikirkan informasi mengejutkan dari Iwan. Tadi, sebelum dia berangkat menemui Jin, Bayu sempat mendapat pesan dari Jin, sahabat chatting-nya. Dan, Bayu tersenyum mengingat isi dari pesan Jin.

Jin

Letakkan dulu masalahmu di langit Jun, pulang dan peluklah aku, lalu kita akan selesaikan semuanya.

Sesederhana itu, sesimple itu, Bayu cukup meletakkan semua pikirannya di langit Surabaya, meninggalkan untuk sementara waktu, lalu dia hanya perlu mengendarai Nobita ke Solo. Ke kediamannya Jin. Sahabat setengah dukunnya, yang mencintai Jun luar dalam.

Memasuki Kabupaten Jombang langit sudah semakin gelap. Bayu memacu gegas Nobita, rokoknya sudah habis dari kapan taun. Di daerah Brakan, lalu lintas macet parah. Ditambah lewatnya kereta api, membuat Bayu membuang waktu berharganya tiga jam di sana. Padahal dikit lagi daerah Kertosono, dan perjalanan dipastikan lancar seperti di Mojokerto.

Namun, Bayu harus mengelus dada supaya lebih sabar, pasalnya baru pukul delapan malam Bayu baru bisa keluar dari macet. Bayu membelokkan Nobita ke kanan saat melewati perempatan lampu lalu lintas, lalu menepikan Nobita di Jalan Ahmad Yani, di sebuah warung nasi pecel tumpang. Perutnya keroncongan minta diisi, dan Bayu bisa pingsan jika dia menganggurkan cacing-cacing di lambungnya.

"Bukan orang Kertosono kelihatannya, Le," seorang bapak-bapak sekitar tujuh puluh tahunan menyapa Bayu, meskipun banyak keriput di wajahnya, namun wajahnya bersih dan berkarisma, sisa-sisa kejayaannya pas muda masih terlukis di sana.

Bayu tersenyum, mengangguk. Setelah mendapat pesanannya, Bayu duduk lesehan bersama puluhan orang yang memadati warung tersebut.

Bapak-bapak tadi duduk di samping Bayu, tangan kanannya menangkup pincuk nasi pecel, sementara tangan kirinya meletakkan dengan hati-hati segelas teh hangat di depannya. Dia ikut bersimpuh, lesehan di dekat Bayu.

"Orang mana?" lanjut bapak itu, tertawa lebar, menunjukkan barisan gigi putih kuatnya.

"Surabaya, Pak, kebetulan mau ke Solo, tadi sempat terjebak macet di daerah sebelum jembatan," Bayu mengangguk santun, memasukkan suapan nasi pecel tumpang favoritnya selain nasi soto Lamongan.

Bapak tadi kembali terbahak, guratan di wajahnya semakin kentara, "Akhir pekan ini Brakan-Kertosono memang sering macet, Le. Ngapain ke Solo? Liburan ya?"

Bayu mengangguk, "Mengunjungi teman, Pak. Sudah lama nggak ketemu, kangen." Bayu terkekeh.

"Oh, kira saya lagi lari dari masalah."

Bayu sukses tersedak remahan peyek, seluruh isi dalam mulutnya berhamburan, bapak tadi menepuk-nepuk punggung Bayu, lalu menyodorkan teh hangat miliknya yang langsung ditandaskan Bayu.

Susah payah Bayu meredakan kerongkongannya yang terasa terbakar akibat tersedak barusan. Mengelap tetesan air teh di sudut bibirnya, Bayu mengernyit, memandangi Bapak tadi tak percaya.

"Apakah di wajah saya sangat terlihat begitu banyak masalah yang menumpuk, Pak?"

Bahu bapak itu berguncang, tertawa sekali lagi, sepertinya bapak tersebut gemar tertawa, sama seperti Bayu sebelum kegilaan hidup menerpa takdirnya.

"Manusia itu memang tempatnya masalah, Le. Besar kecil, yang namanya masalah pasti ada."

"Tapi saya sedang tak lari dari masalah, saya hanya―

"Meletakkan masalah kamu di langit?" tukas bapak itu yang sukses membuat Bayu kehilangan selera makan.

Bayu meletakkan pincuk nasi pecelnya di atas tikar, mengambil gelas teh hangat miliknya, meneguk minuman melegakan kerongkongan tersebut lalu memfokuskan pandangannya pada bapak tadi. Oke, ini agak mengerikan, ucapan bapak tadi sama persis dengan isi pesan dari Jin. Siapapun bapak itu, dia bener-bener mampu merebut seluruh perhatian Bayu sekarang ini.

"Kamu tahu Punakawan, Le?" bapak tadi masih memegangi pincuknya, namun, tak satu butir nasi pun yang beliau sentuh.

Bayu menaikkan sebelah alis, menggeleng ragu.

"Punakawan adalah tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan yang lucu-lucu. Tokoh-tokoh ini dalam sejarahnya tidak ditemui dalam kisah Mahabharata asli. Konon, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam."

Bayu tidak tahu inti dari percakapan ini, namun dia membuka lebar-lebar telinganya. Siapa tahu, di antara jutaan manusia di Indonesia, Bayu menghadapi manusia jenius lagi, yang membuka pemikiran kolotnya selama ini. Bagaimana kabar Bang Toyib, ya?

"Punakawan terdiri dari empat tokoh dengan berbagai karakter unik di dalamnya," lanjut siapapun bapak itu, "Ada Semar si bijak yang kayak ilmu, Nala Gareng si pendiam tapi memiliki pemikiran yang cerdik, Petruk yang tidak memiliki kelebihan apa-apa selain banyak omong, dan Bagong si kritikus pedas."

Bayu menangguk. Walaupun dia tidak memilik orang tua yang mau mendongenginya dengan kisah pewayangan, namun, Bayu pernah mendengar nama tokoh-tokoh Punakawan tersebut.

"Kamu tahu, Le, hidup itu harus memiliki pegangan. Sama seperti kamu mau ke Solo, kamu harus tahu arahnya biar tidak tersesat. Empat tokoh Punakawan ini melambangkan pegangan hidup manusia di muka bumi.

"Semar berasal dari bahasa Arab simaar atau ismarun yang artinya paku. Paku adalah alat untuk menancapkan suatu barang agar berdiri tegak, kuat dan tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain yaitu Ismaya, dari kata asma-Ku atau simbol kemantapan dan keteguhan.

"Sama halnya dengan manusia, Le. Menjadi manusia harus kuat, tidak mudah goyah dengan guncangan masalah sedahsyat apapun. Manusia harus berdiri tegak, ikhlas dan sabar menghadapi setiap masalah yang menimpanya. Manusia harus memiliki kemantapan hati dan keteguhan jiwa. Bumi itu sudah tua, Le, semakin banyak usia bumi, semakin bangsat kelakuan anak bumi, kalau kita tidak memiliki sifat Semar dalam hidup kita, kita akan mudah ditindas, menjadi manusia lemah, dan mudah dikalahkan."

"Sepertinya saya tidak memiliki sifat Semar dalam diri saya ,Pak. Saya lemah, dan sangat mudah dikalahkan."

Bapak tadi menepuk bahu Bayu lembut, tatapan matanya bijaksana, beliau tersenyum kemudian tertawa lebar.

"Yang kedua Nala Gareng, Nala Gareng sejatinya berasal dari kata naala qorin, yang artinya memperoleh banyak kawan, memperluas sahabat. Setiap manusia memiliki batas kemampuan bertahan hidup, Le, titik dimana dia merasa putus asa dengan guncangan masalah dalam hidupnya. Saat itulah peran dari sahabatnya sangat dibutuhkan. Manusia itu makhluk sosial, Le, kalau kamu tidak sanggup menghadapi masalahmu, larilah ke sahabatmu.

"Mungking sahabatmu tidak memberi jalan keluar yang terbaik, tapi percayalah, dengan berbagi, menceritakan masalah kita kepada sahabat kita, gunungan masalah yang ada di bahu manusia bisa sedikit lengser."

Sahabat? Nama Andis dan Gempita tak pelak memenuhi seluruh rongga dadanya. Dua anak adam yang setia menemani dimanapun Bayu berada, dalam kondisi seperti apapun seorang Bayu. Dalam keadaan nelangsa, kere, pun di puncak kebahagiaannya.

"Lalu, Petruk. Nama Petruk diadaptasi dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek. Petruk juga disebut Kanthong Bolong, artinya kantong yang berlobang. Kamu pasti sadar, Le, bahwa di dunia ini begitu banyak kejadian dan masalah. Gusti Allah membekali manusia dengan kemampuan memilih, yang benar atau yang salah. Jika masalah yang menghantam hidupmu menjerumuskanmu ke jalan yang salah, kamu harus meninggalkannya ,Le. Dengan cara apa?

"Arti nama Petrukyang lain Kanthong Bolong. Maknanya, manusia harus berbagi, bersedekah, berzakat, 'Barang siapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain.' Hadis Riwayat: Imam Ahmad.

"Kalau kamu ingin gusti Allah mengangkat masalahmu, Le, angkatlah masalah orang lain, ringankan kesulitan orang lain, dengan bersedekah, membagi sebagian hartamu, sebagian kekayaanmu."

Bayu tertohok kenyataan. Bersedekah? Itu hal yang jarang Bayu lakukan selama ini, bahkan bisa dibilang hampir tidak pernah. Apakah ini hukuman dari Gusti Allah karena dia jarang berbagi ke sesama? Apakah kegilaan dalam hidupnya adalah ganjaran yang harus dia terima atas segala keangkuhannya?

"Tokoh terakhir Bagong, berasal dari kata bagho yang artinya pertimbangan makna dan rasa, antara baik dan buruk, benar dan salah. Maknanya, Le, kamu harus bercermin, instropeksi diri. Masalah yang kamu hadapi saat ini pasti berasal dari salah satu akibat dari perbuatan mu di masa silam. Pasti ada kekasalah yang pernah kamu lakukan tapi kamu tidak sadar telah melakukannya, sehingga lahirlah masalah-masalah dalam hidupmu."

Karena sangat nggak mungkin, hidup lo yang selama ini tenang, tiba-tiba diusik ama orang yang pengen ngehancurin dan ngebunuh lo, kalo dia bukan dari salah satu orang di masa lalu lo. Jujur ama gue Bay. Jujur ama kita semua. Siapa lo sebenarnya? Bagaimana latar belakang keluarga lo selama ini?

Kalimat Bang Reza tercetus begitu saja dalam ingatannya. Ya, Bayu selama ini tidak pernah instropeksi diri. Ini yang membuat dirinya luput dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dia lakukan.

Segala tindak kriminal Yani adalah buah dari perbuatannya. Perbuatannya merebut hati Panji, walaupun dia sendiri tidak sadar telah berhasil mengacaukan hidup Yani, namun, kegiatan bercintanya dengan Panji lah yang membuat bumerang bagi dirinya.

Ya Tuhan, padahal Bayu tidak tahu menahu soal cinta. Jika Panji benar-benar mencintainya, lalu sejatinya seperti apakah cinta tersebut? Kenapa dampak dari cemburunya bisa sangat maha dahsyat seperti ini?

Bayu membayar nasi pecel yang nggak dihabiskannya sama teh hangat yang masih meninggalkan sisa di gelas.

Tersenyum pada penjual nasi pecel sambil mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dompetnya.

"Saya perhatikan dari tadi ngomong sendirian, Le, pasti lagi melamun , ya?"

Bayu terkekeh mendengar pertanyaan dari penjual nasi pecel tersebut, "Maksud ibu apa sih? Jelas-jelas dari tadi saya sedang ngobrol dengan bapak-bapak gitu, lho."

Ibu penjual nasi pecel itu menggeleng, "Dari tadi yang beli nasi pecel saya Cuma kamu lho, Le. Semalaman ini warung saya sepi, sampean pelanggan pertama saya. Tidak ada bapak-bapak di sini selain sampean sendiri. Jadi, ya tadi saya ketawa-ketawa geli melihat sampean ngomong sendiri."

Tubuh Bayu menegang, mematung, keringat dingin langsung menderas dalam tubuhnya. Takut-takut dia menoleh ke belakang. Dan, matanya terbelalak.

Bapak-bapak dan pincuk nasi pecelnya tidak ada, puluhan orang tadi juga tidak ada. Kosong. Sepi. Senyap.

"Tapi saya sedang tak lari dari masalah, saya hanya―

"Meletakkan masalah kamu di langit?"

Jadi, laki-laki tadi siapa?

Jin kah?

Bayu merinding.

===

Setelah melewati malam penuh mistis di daerah Kertosono dan memilih bermalam di terminal Madiun, pukul sepuluh pagi akhirnya Bayu menapakkan kaki di bumi Solo.

Udara segar tercium di hidungnya, merentangkan tangan lebar, mencumbui oksigen Solo yang sudah lama tidak dia sesap, seusai sarapan, Bayu buru-buru membawa Nobita ke ISI di Jalan Ki Hadjar Dewantara.

Sebuah gapura yang pada bagian atasnya berbentuk kapal, menyambut kehadiran Bayu. Suasana ISI ramai bukan main, berbagai macam suara musik gamelan, maupun modern saling berseliweran, puluhan bahkan ratusan penari, berlenggak-lenggok di seluruh penjuru ISI. Ribuan penonton memadati, menyaksikan pagelaran seni tari yang luar biasa megah ini.

Bayu memarkirkan Nobita di tempat parkiran, kemudian masuk halaman ISI, ikut berbaur dengan ribuan penonton. Sebuah panggung besar di muka Gerbang Kapal dipadati para penari yang menarikan tari tradisional dengan pakaian adat. Ratusan penonton sambil membawa kamera tengah asik menikmati suguhan penari di panggung tersebut.

Bayu berjalan ke kiri, ke sebuah pendopo yang terletak di depan gedung teater kecil. Lalu, tersenyum tidak jelas seoarang diri, melihat sepasang penari yang menarikan sebuah tarian apik di sana.

Bayu berjalan mendekat, menyeruak puluhan penonton yang tengan kusu' menikmati sajian tari tersebut.

Seorang laki-laki berparas rupawan dan seorang wanita cantik. Memakai pakaian adat Solo yang sangat pas dan anggun. Gerakan kedua penari tersebut sungguh indah, mengesankan, penuh asmara dan nuansa romantis. Memikat dan mampu merenggut perhatian puluhan pasang mata di sana.

Bayu lagi-lagi tersenyum

"Sumpah deh, dilihat sedang apapun dia, memakai pakaian apapun dia, Pangeran tetap ganteng, ya."

"Iya, Ras. Kyaaaa..... Pangeran ganteng banget. Beruntung banget deh cewek yang berhasil menjadi pacarnya."

"Aku juga mau kali jadi pacarnya pangeraan. Kyaaaa...."

Seliweran suara memenuhi saraf pendengaran Bayu, dan senyum Bayu semakin merekah mendengarnya.

"Pangeran itu siapa sih?" Bayu ikutan nimbrung, sedikit mencondongkan bahunya di dekat kerumunan wanita tadi.

Mereka menatap Bayu tidak percaya, seolah-olah Bayu adalah alien dari negara antah berantah.

"Pasti mas ini bukan orang Solo, ya, sampai nggak tahu siapa itu Pangeran," gadis bertubuh mungil menukas gemas, dia menunjuk penari laki-laki di pendopo tersebut sambil berujar menggebu-gebu, "Itu lho mas, Pangeran. Raden Cakra Hadiningrat, putra mahkota keraton Surakarta. Dia ganteng banget kan mas? Uh, pokoknya saya seratus persen jamin sampean bakal iri ama Pangeran Cakra. Udah guanteng, baik pula orangnya."

Bayu meluruskan pandangannya ke arah penari laki-laki yang menggunakan baju adat tersebut. Dadanya telanjang, menunjukkan lekukan tubuhnya yang terpahat sempurna, putih mulus, dengan dua puting merah kecoklatan menyembul gemas.

Wajahnya bersahaja, putih ala-ala orang Jawa Tengahan, dengan sepasang mata sendu, selarik alis indah, hidung mancung, dan segaris bibir merah delima. Terdapat barisan kumis tipis di atas bibirnya yang membuat kegantengan laki-laki tersebut semakin merekah. Rahangnya tegas, tulang pipinya mencuat indah.

Kemudian, dalam satu detik penuh pesona, laki-laki tersebut berpaling. Menatap Bayu, menelisik, lalu tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top