2. Nobita
Ini adalah hari keempat Bayu tidak menelan sebiji karbohidratpun. Asupan nasi pecel Madiun waktu transit di kota brem beberapa hari lalu, rasa-rasanya sudah seabad saja usianya. Lima botol air mineral isi ulang 1,5liter di kosnya juga sudah tidak sanggup menahan remasan lambungnya yang menggila.
Tubuhnya lemas. Berkeringat dingin. Matanya sedikit berkunang-kunang. Dia benar-benar kelaparan saat ini. perutnya sampai membesar akibat kebanyakan angin. Begah dan seperti penderita busung lapar. Sementara sudah tidak ada apa-apa lagi barang dikosnya yang bisa ditukar dengan uang.
Kasur ibu kosnya juga telah diam-diam Bayu jual dua minggu sebelum travellingnya ke Jogja. Saat itu dia lagi sama kere-nya namun mulutnya yang asem akibat tidak bertemu batangan nikotin tiga hari sudah tidak bisa ditolelir lagi. Alhasil itu kasur apak di jual ke tetangga kos seharga dua puluh lima ribu. Pas buat sebungkus rokok Dji Sam Soe, sebotol Sosro dingin dan snack Taro rasa barbeque yang dia beli di minimarket dua puluh empat jam.
Sekarang kamar kos Bayu kosong melompong. Almari, meja belajar, dan kipas angin beserta properti lain fasilitas yang dia dapat milik ibu kos yang gendut dan berambut jagung, juga sudah raib beberapa tahun belakangan ini. Tapi Bayu tidak ambil pusing. Dia seperti mendapatkan keajaiban berkali-kali. Walaupun kantongnya kering kerontang tapi dia selalu bisa mendapat makanan gratis dimanapun. Baik dari traktiran teman klub vespanya, hibahan dari klub skateboardnya yang bermarkas di Taman Bungkul, hadiah dari klub mapalanya, pokoknya rejeki buat Bayu walaupun dia tidak pernah meminta-minta selalu mengalir, datangnya dari arah tak terduga-duga.
Namun kali ini perutnya sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi. Sudah tak sanggup menunggu rejeki tak terduga lagi.
Tadi selepas sholat subuh Bayu muntah-muntah di masjid dekat kosnya. Perutnya yang tidak terisi apa-apa hanya memuntahkan cairan bening yang sangat menyakitkan dan membuat seluruh isi mulutnya didominasi rasa pahit.
Sebenarnya hari ini Bayu tidak punya tenaga lagi buat ke kampus meskipun dia memiliki jadwal dengan dosen pembimbing skripsinya. Tapi, kemampuan bertahan hidupnya menolak untuk bebaringan di atas kardus mie instan dalam kamar kosnya yang diagunakan sebagai pengganti kasur. Dia bisa meregang nyawa dengan sangat mengerikan dan memalukan di dalam kos. Kan nggak keren banget ada berita mahasiswa tua mati kelaparan di dalam kos.
Bayu memacu gegas flat soes hitam kumalnya ke pelataran kampus. Hari ini dia hanya memakai kaos oblong tanpa jahitan tepi, berkerah longgar dan berwarna hitam pudar yang ngeblend ama warna coklat keemasan akibat keseringan dicuci, dipadupadankan ama setelan jeans belel yang robek dibagian paha, lutut dan tulang keringnya.
Bagi sebagian orang, setelan kampungan macam Bayu tersebut bisa sangat norak dan nggak berkelas, tidak pantas untuk diajak masuk kedalam kampus, tapi entah kenapa, pakaian kampungan dan terkesan kere itu sangat cocok dan pas di tubuh kerempeng Bayu. Rasa-rasanya pakaian apapun yang melekat di tubuh Bayu kelihatan cocok-cocok saja. Malah menjadi trendsetter beberapa waktu lalu.
Rambut kriwil panjang Bayu berkibar-kibar. Dari dekat, orang-orang pasti bisa mencium aroma belerang yang didapatnya dari kawah Gunung Merapi dua minggu lalu. Rambut itu belum dicuci, membikin sengatan sulfur yang tersimpan disurai gimbalnya melompat-lompat tiap dia berlari atau berjalan tergesa.
Dia melewati halaman kampus yang disepanjang jalannya bertaburkan gundukan-gundukan batu kali kecil-kecil yang dicat dengan warna coklat tua mengkilap. Di kanan-kiri jalan yang dilewatinya itu terdapat tiang-tiang besi penyangga kanopi yang terbuat dari kain berjaring-jaring warna hitam. Di samping tiap pasak tiang tersebut ditanami tumbuhan markisa yang dahan, daun serta buahnya merambat di atas dan menjuntai di sekeliling kanopi. Kanopi tersebut terjulur dari parking area dan meliuk berkelok-kelok sampai ke gedung utama bangunan tiga lantai Kampus G, gedungnya Fakultas Hukum. Destinasi tujuan Bayu saat ini.
Gedung Fakultas Hukum memang memiliki taman indah nan menentramkan di halaman depannya. Di dalam lorong berkanopi tersebut sinar matahari yang selalu memanggang daerah Surabaya bisa tersamarkan oleh dauh-daun markisa. Di sisi kiri dan kanan jalan berpayung jaring-jaring tersebut terhampar halaman berumput jepang luas.
Tumbuhan-tumbuhan beringin dan cemara diletakkan manis dan harmonis. Membuat siapa saja yang ingin menuju kampus bisa menyejukkan matanya dengan tumbuhan hijau. Tepat di tengah-tengah taman juga ada gazebo lumayan besar yang ada fasilitas free wifinya, sehingga jika tidak ada jam pelajaran, gazebo tersebut akan ramai dengan mahasiswa.
Bayu memiliki hobi menghabiskan jam luangnya di sini. Sambil menggenjreng gitar dengan sebatang rokok terselip di bibir pucatnya, biasanya dia menghabiskan waktu berjam-jam bareng teman-temannya. Tapi saat ini Bayu sedang tidak ingin berrekreasi walaupun godaan taman buatan yang dilaluinya sangat kuat.
Perutnya berkerontangan lagi. Kulit tubuhnya semakin menggigil. Tangannya tremor. badannya limbung beberapa saat. Dia berlari tergesa menuju lantai dua, kelasnya Andis. Namun, belum sampai menaiki anak tangga ke lantai dua, seseorang terlebih dulu menyenggol bahunya, membuat mata berkunang-kunangnya sekelebat menampilkan warna hitam menakutkan. Tahan. Jangan sampai pingsan di sini.
Bayu menoleh dan mendapati pemuda setinggi dengannya yang memiliki tubuh proporsional dengan setelan kaos jersey kebanggaan tim voli kampus tengah tersenyum sumringah. Andra, nama pemuda tersebut, langsung memberi brohug dan ciuman di kening Bayu. Sontak Bayu terkekeh sedikit kaget. Sudah lama dia tidak bertemu dengan laki-laki penuh cinta yang selalu memeluk dan menciumi siapa saja yang dijumpainya.
"Yo Mas Bay.... lama nggak ketemu. Gue kangen banget nih," sapanya ceria, kulitnya yang emang putih keturunan asli suku Buton blesteran Betawi bersemu merah saking semangatnya, "Kemana aja sih? Trus gimana kabarnya Mas Bay?"
Bayu tetap melajukan langkah, membuat junior Andis tersebut mengikuti jejak kakinya.
"Aku baik-baik aja kok," sahutnya terburu-buru.
"Mas Bay ada yang ingin gue omongin nih. Penting banget," tambah Andra antusias, wajahnya berseri-seri, gigi kelinci yang menyembul di depan nampak menggemaskan dalam kemasan mainly.
Bayu menoleh. Lambungnya menggerus, asam lambungnya naik gila-gilaan. Diulasnya senyuman hangat yang membikin mahasiswa tingkat dua di sampingnya tersebut blushing tanpa sebab.
"Aku lagi sibuk banget ni Ndra. Ntar sore aja kamu main ke kosan aku," jawabnya kalem takut mengecewakan adik tingkatnya. Tapi yang ada, Andra malah spontan menghentikan langkah. Wajahnya cemberut. Mukanya ditekuk.
"Masa gue mau ngomong sebentar nggak ada waktu sih Mas Bay. Gue udah nyariin Mas Bay dari bulan lalu tapi Mas Bay nggak nongol-nongol. Penting banget Mas Bay," rajuk Andra dengan kening berlipat-lipat.
Bayu ikutan berhenti. Menghela nafas berat. Dipegangnya kedua bahu pemuda itu.
"Ntar sore aku tunggu kamu dikosan aku. Janji. Lepas maghrib. Jangan sampai telat. Aku juga kangen sama kamu. Pengen bagi-bagi cerita panjang lebar tentang petualangan aku ke Jogja. Kamu mau dengar kan?" Bayu tersenyum lebar yang langsung menghangatkan hati cowok 19 tahun di hadapannya, tapi bibir pemuda ganteng itu masih manyun. Bayu mendekat lalu tau-tau mendaratkan kecupan sekilas di puncak kepala Andra. "Aku pergi dulu ya. Buru-buru banget nih."
Dan Bayu langsung menaiki anak tangga dengan kekuatan yang tersisa di tubuhnya, meninggalklan Andra yang semakin bersemu merah pada wajahnya. Dia tersipu dan bahagia dalam waktu bersamaan.
Badan Bayu semakin lemas. Penglihatannya ngeblur. Keringat-keringat dingin semakin giat berselancar di sekujur tubunynya, membuat bulu romanya Merinding. Dia kepayahan nyampai di lantai dua. Dilihatnya Andis lagi bergabung ama sekumpulan mahasiswa beralmamater yang di lengannya melingkar handband warna merah dan hitam, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki jabatan tinggi diantara mahasiswa lainnya. Dia berjalan di antara kerumunan tujuh mahasiswa itu menuju ruang senat.
Gontai Bayu menghampiri. Dipanggilnya nama Andis dengan suara serak. Kali ini tidak ada kesan seksi dalam seuaranya. Yang tersisa hanya kesakitan memilukan akibat kelaparan. Andis menoleh, bercakap sebentar dengan teman-temannya lalu mendatangi Bayu.
"Kenapa lo Yu?" tanyanya dengan raut khawatir.
Bayu Meringis seraya memegangi perut, "Kamu lagi sibuk ya Ndis?" pupilnya menciut dan kelopak mata bagian dalamnya pucat pasi, senada dengan bibir Bayu yang bergetar seperti terkena penyakit Parkinson.
"Iya, gue mau rapat ama anak-anak BEM. Mau mendiskusikan acara malam inagurasi penerimaan mahasiswa baru akhir bulan ini. Kenapa?"
Sial!! Umpat Bayu dalam hati. Dia nggak mau merepotkan sahabatnya. Dia sudah akan bilang nggak ada apa-apa dan akan berbalik saat kedua kaki lemasnya tak kuasa menopang tubuh kerempengnya. Bayu limbung. Spontan Andis memegangi tubuh Bayu.
"Woi,, Yu lo sakit? Gue bawa ke klinik ya?" tanya Andis cemas, memandangi sahabat yang selama sebulan ini mengganyang hatinya dengan takut-takut.
"Sebenarnya aku lapar Ndis. Mau minta makan ke kamu tapi kamunya repot. Aku pulang aja."
"Ya allah. Kenapa nggak bilang dari tadi sih?" Andis mengalungkan kedua tangan kurus Bayu di lehernya, memposisikan tubuhnya membelakangi Bayu sejurus kemudian dia sedikit merundukkan tubuh, kedua tangan kokohnya menarik lulut-lutut Bayu hingga terselampir di kanan kiri tubuhnya.
Andis menengok ke arah pejabat kampus yang masih melakukan diskusi ringan di depan ruang senat, "Gas lo gantiin gue rapat ya. Gue ada perlu penting nih," teriak Andis.
'Gas' yang dipanggil adalah cowok bertubuh tambun dengan kepala pelontos. Dia menyahut oke dengan suara keras sembari melambaikan tangannya.
Andis berbalik lalu turun ke lantai satu, berlari secepat mungkin menuju kantin yang bangunannya terpisah dari gedung fakultas.
Suasana kantin sedikit sepi karena sekarang memang jamnya kuliah pertama. Andis mendudukkan tubuh lemas Bayu di salah satu bangku kosong, lalu dia berjalan menuju stand penjual makanan. Memesan bubur manado, nasi soto lamongan, nasi rawon, sate madura, teh hangat, sebungkus rokok Dji Sam Soe, dan sebotol besar air mineral sambil sesekali menolehkan kepala melihat Bayu yang sedang menjatuhkan kepalanya di meja makan.
Begitu berondongan pesanan makanannya selesai dan dibantu kang penjaga standnya, Andis balik lagi nyamperin Bayu bersama senampan manu pesanannya. Piring-piring dan mankok-mangkok diletakkan di atas meja mengelilingi Bayu. Setelah mengucapkan terimakasih kepada kang-nya tadi, Andis meletakkan tangan besarnya di kepala Bayu, mengusapnya perlahan, dipanggilnya berkali-kali nama Bayu dengan suara pelan.
"Yu.. makan dulu gih. Ntar gue antar ke klinik biar lo bisa istirahat di sana."
Bayu mengerang perlahan, menengadahkan kepalanya yang sudah pucat kepalang tanggung. Namun begitu melihat banyaknya penampakan makanan lezat terhampar di penglihatannya, netranya kontan membulat penuh nafsu, dan tanpa mengucapkan sepatah katapun apalagi basa-basi disantapnya makanan-makanan favoritnya secara lahap.
Andis Cuma menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah senior sekaligus sahabatnya saat makan. Mendesah berat. Pandangan memilukan yang membuatnya bermonolog sendiri 'sudah berapa lama ni anak monyet nggak nyentuh makanan'.
Bayu rakus banget menyantap hidangan mewahnya kali ini. Nyaris tersedak berkali-kali yang membuat Andis kembali ngomel-ngomel sendiri sibuk mengambilkan teh hangat dan meminumkannya ke Bayu. 'apa nih anak monyet selalu kelihatan kek anak-anak ya saat makan'. Kembali batinnya berseru, seraya melap sudut bibir Bayu dengan ibu jarinya yang belepotan kuah bumbu kacang dari sate ponorogo yang dalam waktu sekejap sudah habis tinggal tusuk-tusuknnya doang.
Bayu sekarang menjamah semangkok soto lamongan, makanan favoritnya sepanjang masa saat Andis merogoh saku celana, mengambil smartphone sebesar sandal jepit melly warna kuning dan memanggil kontak Gempita dari sana.
Lima belas menit kemudian dua anak adam itu Cuma terbengong-bengong menatap nanar ke arah Bayu yang baru saja menghabiskan seporsi rawonnya hanya dalam waktu tujuh menit.
Gempita menelan ludahnya berkali-kali. Bukan karena pengen makan, karena dia selalu disuruh mami sarapan sebelum berangkat kuliah, namun karena siapa saja yang melihat aksi Bayu menggasak makanan pasti air liur secara naluri membuncah dari dalam rongga mulut. Jakun mungil Gempita naik turun. Dipalingkan wajahnya ke arah Andis yang hanya bisa berdecak.
Tak lama berselang seluruh pesanan Andis ludes berpindah tempat di perut Bayu. Dia bersendawa keras banget. Membuat aroma rempah bumbu makanan yang berubah bau dari mulut Bayu menyembur tidak tahu malu. Disulutnya sebatang rokok Dji Sam Soe sambil mencungkil sisa-sisa makanan yang nyempil di sela-sela giginya dengan tusuk gigil. Lalu bersendawa lagi. Menyedot dalam-dalam rokok kretek di bibir ungunya dengan hidung, mengendapkannya agak lama di rongga mulut lalu perlahan lingkaran-lingkaran kecil asap rokok keluar dari sana.
Di bawah putaran kipas angin yang menggantung di langit-langit kantin, ditambah sesekali hembusan udara yang menggesek daun-daun Pohon Vicum yang dahannya sedikit terjulur ke arah kantin, plus dapat bonus suara cicitan Burung Gereja, membikin Bayu seperti diselipkan seutas nyawa lagi ke dalam tubuhnya. Sejuk, tenang, teduh. Dia nyengir nista di hadapan kedua sahabatnya yang menatapnya dengan tatapan jijik dan mual. Giginya yang menguning akibat zat adiktif terpampang nyata dari cengiran yang tak kunjung susut di muka binalnya.
"Jujur deh, sebenarnya lo udah berapa hari sih nggak makan?" tanya Andis tak habis fikir, ikut menyulut sebatang rokok Esse menthol yang diambil dari dalam tas punggungya. "Ngeri banget lihat lo kesetanan gitu ketemu makanan. Kayak udah berhari-hari aja nggak makan lo."
"Belum genap seminggu sih," jawab Bayu enteng.
Andis langsung tersedak asap dalam mulutnya. Dia terbatuk-batuk. Gempita yang ada di sampingnya langsung mengangsurkan sebotol softdrink dingin rasa raspberry kesukaannya.
Asap yang seharusnya keluar dari mulut atau hidung itu tiba-tiba tergelincir di saluran pernafasannya, membuat mata Andis berair saking nyeri. Dia kelabakan menenggak minuman dari Gempita. Bayu hanya nyengir bangga di sebrang.
"Biasa aja kali," kata Bayu tanpa dosa. Menaik-naikkan sebelah alisnya. Pamer. Entah apa yang dipamerkan pemuda tak berotak tersebut.
"Biasa aja kepala lo peyang?" sentak Andis menatap galak, "Lo mau bunuh diri lo?" tanyanya penuh emosi.
"Gila apa aku mau bunuh diri. Ya nggak mungkin lah," logat Jawa Timur Bayu yang medok mengalun renyah.
"Kalau lo nggak mau bunuh diri kenapa lo nggak makan selama seminggu hah?" tuntut Andis menggebrak meja, mengakibatkan beberapa mahasiswa yang berada di kantin menoleh ke arah mereka.
"Aku bilang kan belum ada seminggu."
"Persetan dengan hitungan hari lo. Sehari lo tu beda ama sehari gue," Andis sewot bukan main.
"Mas Bayu kapan terakhir makan memangnya?" akh Bayu selalu senang tiap makhkota namanya diucapkan dengan suara merdu cantik dari bibir Gempita. Membuat dadanya menghangat dan kekawatiran kelaparannya menyusut perlahan.
Gempita memegang tangan Bayu yang ada di hadapannya. Tangan kecilnya yang mulus meremas pelan tangan kasar Bayu, membikin Bayu kembali melayang ke langit sap tujuh. Kok ada ya cowok imut dan manis seperti dia? Mana mukanya masih kelihatan kayak anak SD lagi. Bayu mengurut dadanya. Makhluk antik kayak Gempita pasti bikin ibu kosnya terpekik girang kalau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Bayu nyengir, mengetuk ujung rokoknya beberapa kali, membuat abu rokok di ujung batang jatuh berhamburan ke lantai keramik, lalu menghisap lintingan daun tembakau tersebut lebih nikmat, "Tiga atau empat hari lalu deh kayaknya. Waktu aku ama Nobita transit di alun-alun Madiun."
Jawabannya refleks membuat Andis menjatuhkan rahang. Dia melongo lebar. Sementara Gempita memekik tinggi sembari menyembunyikan bibir cipokablenya yang basah dengan kedua tangan kecilnya. Raut wajahnya histeris.
"Lo bener-bener bukan man—tunggu dulu deh.." ucapan Andis terhenti saat tiba-tiba mengingat sesuatu, dipicingkannya kedua mata agak sipitnya, menatap Bayu lebih menyelidik, "Maksud lo 'transit' di Madiun apa?" tanyanya penuh kepo.
Bayu tak menyusutkan senyum yang sepertinya sudah melekat di wajahnya. Dia menggerak-gerakkan kedua alis yang bersembunyi di balik juntaian rambut kriwil baunya. Tapi sebelum dia menjawab, Andis sudah terpekik heboh dahulu. Bangkit mendadak, membuat kaki-kaki kursi tempatnya duduk berdecit nyaring kegesek ama lantai. Lagi-lagi mahasiswa penghuni kantin menoleh ke arah mereka dengan tatapan sebal. Tapi tak dihiraukan Andis. Pemikirannya sudah sangat gawat sekarang. Telunjuknya teracung tepat di depan hidung Bayu. Salah satu tangan lainnya menumpu pinggiran meja.
Gempita yang tidak tahu apa yang ada di pikiran Andis ikut berdiri. Memegangi bahu Andis yang mencodong ke arah Bayu.
"Jangan bilang lo transit di Madiun itu, maksudnya istirahat sejenak dari perjalanan pulang dari Jogja ke Surabaya?" desisnya sengit.
Gempita menggigit bibir bawahnya.
Bayu mengangguk mantap. Membusungkan dada tak berdagingnya. Masih setia memasang mode pamer yang entah apa ingin dipamerkannya.
Andis kembali menggeram, kedua alis lebatnya sampai bertubrukan di pangkal hidung, jari-jarinya yang berotot tetap menuding Bayu, "Jangan bilang lo... lo ke Jogja pulang pergi Cuma pakai Nobita?"
Kini giliran Gempita berseru heboh. Menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Dia terkejut. Sangat.
Siapapun gerangan yang mengenal Bayu, walaupun Cuma sedekat say hello pasti juga mengenal sesosok Nobita. Karena sejauh ini, belum ada yang bisa menggeser sisi Nobita dari samping Bayu. Nobita adalah kawan setia Bayu. Susah senang bersama. Panas hujan berduaan. Memagu kemesraan yang mesra. Membuat iri siapa saja. Pun gadis-gadis kampus para penggemar Bayu. Bahkan kesetiakawanan yang ditawarkan Andis ama Gempita tak mampu menggantikan posisi Nobita.
Nobita adalah serangkaian besi tua berwarna merah maroon yang berbentuk kendaraan bermotor. Ya, Nobita adalah nama skuter Bayu yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun. Hadiah ulang tahun dari eyang dan sudah terdaftar namanya di Kanvas (Komunitas Nasional Vespa Sepanjang).
Nobita sering diajak touring ama Bayu bersama anak-anak Kanvas lainnya. Mengelilingi seputar Jawa Timur, berjalan-jalan di sepanjang Jalan Pantura. Bertemu dengan komunitas sesama vespa yang ada di Bandung. Touring penggalangan dana buat korban letusan Gunung Kelud beberapa waktu lalu. Pokoknya, pemuda pemuja doraemon yang sempaknya pun gambar doreamon itu selalu seia sekata dengan Nobita. Walaupun Nobita sudah sangat tua, sering terbatu-batuk mengeluarkan darah hitam tapi Bayu tak pernah terpikir sekecilpun untuk mengganti belahan jiwanya.
Bayu nyengir dengan seraut wajah tanpa dosa membenarkan ucapan Andis.
Andis sedikit shock menjatuhkan kembali bokong kenyalnya di bangku tempatnya duduk, "Benar-benar sakit jiwa lo," umpatnya sarkas yang dibalas tawa menjengkelkan oleh Bayu, "Sumpah gue nggak tahu apa yang ada dipikiran lo saat ini. Otak ama pemikiran lo di luar jangkauan gue," dia menggeram tak suka. Cita-citanya dulu saat bertemu pertama kali dengan Bayu yang waktu itu menjadi ketua pelaksanaan ospek di masa ospeknya adalah ingin menjadi sahabat dari si periang dengan wajah beribu-ribu senyum tersebut. Tapi begitu dia sudah menjadi sahabat Bayu, ternyata Andis masih belum bisa menyelami seluk beluk dunia Bayu. Bayu seperti potongan-potongan puzzle yang ketemu di satu sisi tapi hilang di sisi lainnya.
Teringat sesuatu entah apa, Andis berdiri lagi, mencengkeram kaos Bayu dengan beringas. Gempita susah payah menengahi. Dia nggak mau Mas Bayunya mendapat tonjokan lagi. Luka tinju di wajahnya yang kemarin aja masih membekas di sudut bibir seniornya tersebut.
"Udahlah Andis, jangan marah-marah. Kasian Mas Bayu. Kamu jangan nonjok Mas Bayu lagi. Kalau kamu nekat nonjok Mas Bayu aku gigit penis kamu."
Kontan dua cowok di hadapannya yang tengah berseteru tinggi memalingkan muka melongo mereka ke arahnya. Gempita gelagapan. Nyengir se-innocent mungkin.
"Gue nggak mau nonjok dia lagi kok Pit. Lo tenang aja. Gue Cuma mau kasih dia sedikit pidato," jawab Andis tidak tahan ama kepolosan Gempita yang udah diracuni otaknya sedikit demi sedikit dengan video hentai yang memenuhi isi laptopnya.
"Iya iya Gempita tahu. Tapi Gempita takut kalau Andis mukulin Mas Bayu lagi," dia merajuk. Astaghfirullah. Itu kenapa malah tambah unyu wajahnya. Andis istighfar berkali-kali, menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat supaya pemikiran untuk membungkus tubuh mungil Gempita pake kertas minyak enyah dari otaknya. Dia kembali menghadapi Bayu.
"Dengerin gue nyet," cengkeraman tangannya di kaos Bayu menguat.
Bayu kebit-kebit. Walaupun Andis juniornya tapi sungguh dia tidak bisa melawan tubuh serupa king kong tersebut.
"Gue udah mau mati aja liat lo sekarat tadi pagi. Rasanya gue pengen ngebunuh diri gue kalau gue sampe lihat lo kenapa-kenapa. Sekarang lo bilang enteng banget pake cengiran yang nggak gue suka kalau lo ke Jogja Cuma bawa Nobita? Lo mau bikin gue jantungan mikirin kesalamatan lo apa huh? Ingat ya. Mulai sekarang. Nope, mulai detik ini juga kemanapun lo mau pergi lo harus hubungin gue. Telpon gue kalau lo nggak bisa nemuin gue. Itu perintah, bukan permintaan. Gua bakal nganterin lo kemanapun lo pergi, ke Jogja kek, ke Banda kek, kalau perlu ke neraka pun gue jabanin. Yang penting harus sama gue. Gue nggak mau denger lo memperkosa Nobita lagi di perjalanan jauh. Lo dengerin gue Njing? Kalau sampai lo nggak nurutin perintah gue bakal gue bejek-bejek jadiin peyek lo. Cam kan itu."
Bukannya terkesima, meleleh badai, ataau paling nggak ketakutan mendengar nada mengintimidasi Andis, Bayu malah ketawa keras. Menyulut rokoknya lagi. Menghembuskan asap baunya tepat di muka Andis yang menatapnya intens. Sepertinya ada yang geser di otak pemuda awut-awutan itu.
"Lo benar-benar sinting," sungut Andis illfeel.
"Kamu yang aneh-aneh aja sih Ndis. Emang kamu supir aku apa pakai mau ngantar aku kemanapun aku pergi? Ya nggak mungkin lah aku mau ngerepotin kamu kayak gitu. Lagian mau hubungin kamu gimana? Orang hape aja nggak punya. Pakai pos? JNE? Tiki? Atau pakai pager?"
Andis tertohok kenyataan memilukan. 2015 tanpa smartphone seperti Homo Sapiens di era modern. Sungguh Andis nggak bisa menebak isi otak Bayu. Bisa-bisanya pemuda tangguh seperti dia tidak memiliki ponsel pintar dalam genggamannya. Cengkeraman tangan di kerah Bayu mengendur kesempatan ini digunakan Gempita untuk menarik tubuh Andis yang masih linglung dengan takdir misterius mahasiswa Teknik Elektro di hadapannya.
"Kamu jangan keterlaluan deh Ndis. Mas Bayu kan Cuma nggak punya hape bukan nggak punya otak. Ekspresi kamu berlebihan banget," tata Gempita sewot, "Mas Bayu nggak usah khawatir. Besok Gempita kasih smartphone terbaru buat mas. Mas Bayu pengennya tipe apa? Gempita beliin. Yang penting perintah Andis kudu mas ikutin. Gempita tu kasian sama Mas Bayu yang kemana-mana ama vespa tua. Gempita bukannya nggak suka. Tapi Gempita lebih memikirkan keselamatan dan kesehatan Mas Bayu."
Bayu gelagapan, menggeleng berkali-kali, "Stop. Perhatian kalian berlebihan. Lagian Cuma ke Jogja gini nggak bakalan bikin aku mati. Nobita malah pernah aku ajak ke Jakarta waktu aku masih SMP. Dan lihat aku masih sehat sampai sekarang. Masih mampu melihat tingkah konyol kalian yang—aduuuhhh!!!!" Bayu mengerang kesakitan. Menjepit rokok di belahan bibirnya, lalu buru-buru menarik kaki kirinya yang ditendang tanpa ampun ama Andis ke atas. Mengusapnya berkali-kali dengan muka cemberut.
"Konyol lo bilang?" bentak Andis menakutkan, dia mematikan rokoknya, membuangnya ke asbak, "Kalau lo masih inget, orang konyol ini udah menyelamatkan hidup lo beberapa jam lalu. Bukannya gue mau mengungkit hal itu, tapi omongan lo benar-benar kelewatan. Gue ama Gempita Cuma mau kasih perhatian ama lo. Apa susahnya sih lo nerima perhatian dari kami? toh Kami nggak akan meminta balasan dari lo."
"Selama perhatiannya wajar sih aku fine-fine aja. Tapi ini?? Berlebihan bleh. Aku nggak mau jadiin kamu supir aku. Aku juga nggak mau menerima hadiah hp dari kamu Pit. Persahabatan kita ini udah berarti banget buat aku tanpa musti bikin kalian kerepotan. Aku nggak—AAWWW!!!"
Bayu memekik lagi yang spontan menjatuhkan rokok kreteknya saat tangan kanannya reflek menarik kaki kanannya ke atas. Ketua BEM pemarah itu menendang betisnya lagi.
"Bisa nggak sih nggak ada kekerasan di sini?" emosi Bayu mulai tersulut. Menatap sebal wajah Andis yang terus memberi death glare, "Aku baru saja terselamatkan dari maut kelaparan, dan sekarang mau mati aja mendapat tendangan dari penyelamatku sendiri."
"AAAAAWWWWWW!!!!!!" sebuah jeritan suara tenor menggelegar ke seluruh kantin yang udah mulai ramai. Itu bukan dari Bayu, teriakan tersebut terlucuti begitu saja dari mulut Andis. Dia mengerang kesakitan. Tubuhnya melengkung. Kedua tangannya refleks memegangi daerah selakangannya. Mukanya memerah menahan sakit. Dilihatnya Gempita yang memasang smirk menakutkan dengan tangan bersedekap di depan dada kecilnya, "Kok lo tega ngeremas adik gue sih?" lirihnya tertahan. Junior di selakangannya sana sangat ngilu mendapat betotan tiba-tiba dari Gempita.
Bayu yang mengetahui apa yang sedang terjadi, nyengir kecil. Membuka bungkus rokok dan menyulut sebatang lagi.
"Itu hukuman buat Andis karena udah melakukan kekerasan ama Mas Bayu," suara mencicit itu melengking tinggi, "Seharusnya nggak Gempita betot, mau Gempita gigit sampai patah sekalian, tapi Gempita sadar itu sudah cukup buat peringatan. Kalau sampai kamu ngasarin Mas Bayu lagi, Gempita bakal gigit beneran penis Andis sampai loyo berdarah-darah."
Ini adalah ancaman menakutkan yang pernah Andis terima. Dia bergidik ngeri. Tapi nggak mau kalah, "Menghadapi bacotnya Bayu nggak bisa dengan tindakan halus sayang. Lo dengar sendiri kan kita kasi perhatian, kita kasi peduli dia malah ngatain kita konyol. Niat gue jadi supirnya itu tulus. Dan gue tahu niat lo ngasih dia ponsel juga tulus, tapi lihat apa yang malah dia ucapkan. Ngatain kita konyol? Nolak perhatian kita aja udah nyakitin banget. Ditambah ngatain konyol lagi. Emang hati lo nggak sakit apa dikatain kayak gitu?" sungguh kalau Andis berprofesi sebagai sales atau MLM pasti gurita kekayaannya besar banget. Kemampuan membujuknya tak tertangguhkan.
Gempita terlihat berpikir. Sejurus kemudian raut mukanya terlihat menyesal setengah mati. Dipengangnya kedua tangan Andis yang masih di selakangan dengan lembut.
Andis tersentak. Matanya melotot. Sentuhan hangat dari telapak tangan Gempita yang mulus banget mengirimkan sejuta volt listrik yang langsung menyengat dadanya berkali-kali.
"Andis maafin Gempita ya. Gempita janji nggak akan jahatin penis Andis lagi. Gempita bakal sayang-sayang penisnya Andis."
UHUK!!! Giliran Bayu tersedak asap rokok. Dia terbatuk berkali-kali. Serentetan kalimat ambigu Gempita bikin orang kembang kempis saja. Bayu menyambar segelas teh yang sudah dingin di hadapannya. Ditandaskan sampai habis. Dadanya sakit. Hidung ama tenggorokannya nyeri. Sungguh tersedak asap rokok bukan hal yang patut dicita-citakan.
Muka Andis semakin memerah. Sudah bukan karena menahan sakit. Tapi akibat ucapan polos Gempita yang entah si pengeluar statement berbahaya tersebut ngerti atau tidak maksud dari ucapannya barusan.
"Andis kok diem aja. Maafiin Gempita ya....." aduh Gempita Adi Putra usia kamu berapa sih nak kok unyu-unyu gemesin gitu?
Andis mengangguk kaku. Jantungnya masih gedebak-gedebuk. Itu tangan Gempita masih nangkring di atas tangan Andis. Tapi kemudian kejadiannya berjalan cepat. Bayu yang melirik adegannya sampai nyaris tersungkur karena terpingkal. Entah kesurupan jin binal mana Gempita saat ini, dia begitu saja menepis telungkupan tangan Andis yang melindungi juniornya. Lalu bermilyar-milyar volt listrik menyengat Andis tanpa ampun saat tangan mungil nan mulus milik Gempita mengelus-elus selakangannya. Memijat dengan sayang penis Andis yang tiba-tiba mengeras. Ini sumpah bahaya banget.
Andis berkeringat sekarang. Ya allah dia bisa kalap. Walaupun dia meyakinkan dirinya seorang straight selurus tiang listrik yang sukses memiliki mantan cewek cantik nan bahenol sebanyak tujuh orang, tapi mendapat perlakuan senista berasa manis dari pemuda manis seperti Gempita saat ini, membuatnya nggak akan sungkan-sungkan untuk menerjang Gempita. Menjatuhkan ribuan ciuman. Menyodominya, memuntahkan isi spermanya, membuatnya hamil, me—
Mata Andis melotot histeris. Pemikirannya sangat tidak aman saat ini. Ini bahaya stadium akhir yang kata dokter diradiasi beberapakali pun nggak akan sembuh. Nggak!!! Andis masih lurus. Masih menyukai payudara montok dan kenyal. Tapi Gempita—
Manis. Sayang rasanya. Cinta rasanya. Eh—
Andis menggeleng kuat. Menepis tangan Gempita kasar membuat si empunya manyun bersenti-senti meter. Dia melirik Bayu yang malah tertawa-tawa jalang. Ini nggak bisa dibiarkan. Fokus. Fokus.
"Kok Andis malah nyingkirin tangan Gempita sih," Gempita cemberut nggak suka, "Andis nggak maafin Gempita ya. Gempita minta maaf udah ngebetot penis Andis. Sekarang ijinin Gempita membayar kesalahan Gempita.."
Tubuh Andis mengejang kaku seiring juniornya yang semakin menyembul kepermukaan, gemuk, membikin ngilu, membuat celana dalamnya kesempitan.
"Itu penis Andis kok membengkak sih? Betotan Gempita tadi kecang banget ya sampai penis Andis gedhe."
Andis rasanya mau mati saja. Sahabat tua disebrang mejanya menggebrak-gebrak meja melihat ulah nista dua anak adam tersebut. Gempita turun dari tempat duduknya lalu berlutut dihadapan selakangan Andis. Mengusap junior Andis penuh sayang dan rasa bersalah tinggi.
Jantung Andis langsung dilorot dari tempatnya saja. Sentuhan Gempita sukses bikin penisnya merangsek liar. Membengkak seukuran jumbo. Membuat Gempita yang ada di hadapannya memasang wajah sedih, mau nangis.
"Andis kok malah makin gedhe sih. Kamu belum mau maafin Gempita ya? Gempita mohon maaf," Gempita mendongak, memasang puppy eyes yang daya imutnya di atas rata-rata. Bikin si junior mendesak-desak. Kesusahan Andis menahan hasratnya. Tapi—
"Ahhkk..." satu desahan lolos dari mulut Andis, spontan dia menutup bibirnya dengan dua telapak tangannya. Itu tadi Gempita baru aja menciumi penisnya. Ya Tuhan, dosa apa manusia imut super polos tersebut? Gempita menunduk lagi, menggesekkan ujung hidung bangir lancipnya ke bongkahan selakangan Andis. Dipegangnya senjata segedhe basoka itu, diciuminya berkali-kali dengan bibir basanya
"Akhh...." Andis benar-benar tidak kuat. Rasa sakit, dan ngilu dari betotan tangan Gempita yang membaur ama ciuman lembut benar-benar membawa aroma nikmat yang memabukkan. Penisnya berlumuran precum saat ini. Dia menatap penuh mohon ke arah Bayu yang masih ketawa, memohon bantuan dari mata menderitanya.
Bayu berdeham menyusutkan tawa, bangkit dari tempat duduknya, menarik tubuh kecil Gempita, mengajaknya kembali berdiri dan duduk di tempatnya.
"Itu penis Andis nggak apa-apa kok. Andis juga udah maafin Gempita. Jadi Gempita nggak usah kepikiran. Iya kan Ndis?"
Andis mengangguk kaku. Nafasnya ngos-ngosan, keringat bermunculan dari pelipis. Ini siksaan. Demi Tuhan ini siksaan. Dia mau menyelesaikan permainan berbahaya yang dimulai Gempita di toilet kantin, tapi urusannya dengan Bayu belum selesai. Dia mengambil nafas berkali-kali menghembuskannya perlahan. Disambarnya botol mineral yang tadi dibeli ama pesanan sarapan untuk Bayu. Dia membuka tutup botol berwarna biru tersebut, menenggak isinya sampai tinggal seperempat. Mengibas-kibas tangan ke dekat lehernya yang juga ikutan memerah menahan nafsu.
Dia melayangkan tatapannya ke arah Gempita, mengulas senyum, "Udah nggak ... apa-apa kog Pit. Lo tenang aja. Yang penting kejadian tadi jangan diulang lagi. Ini aset masa depan. Bisa berabe kalau cedera. Mengerti?" ucapnya tegas seraya mengusap rambut halus Gempita yang udah menjadi hobinya akhir-akhir ini.
Gempita menurut. Mengangguk berkali-kali.
Andis melirik Bayu tajam. Yang dilirik Cuma tersenyum binal, memainkan asap rokok dalam mulutnya, "Urusaan gue ama lo belum kelar," pungkas Andis, "Terserah lo mau nolak kek gimana perhatian yang gue ama Gempita kasih ke lo, kami akan tetap maksa lo. Kami akan selalu membuntuti kemanapun lo pergi."
"Ah elah, masih inget aja. Tadi nawarin jadi supir sekarang pengen jadi bodyguard."
"Bodo amat," tukas Andis kesal.
"Ngomong-ngomong Mas Bayu kenapa sih kok sampai tidak makan empat atau tiga hari? Mas Bayu nggak punya duit?" tanya Gempita yang sepertinya kekhawatiran berlebihannya pada penis Andis sudah tergantikan.
"Seratus buat kamu Pit. Aku lagi kere banget nih. Sekarat. Makan yang di Madiun aja itu ditraktir ama anak Kanvas yang kebetulan lagi main di sana. Aku benar-benar nggak punya duit sekarang."
"Lo aneh tahu nggak. Sekarang kan tanggal muda masa orang tua lo nggak ngirimin lo duit sih? Tega banget orang tua lo."
Tubuh Bayu sedikit menegang. Raut mukanya berubah. Dihisap lagi rokok kretek yang terjepit jari telunjuk ama jari tengah tangan kanannya. Mengendapkan asapnya cukup lama di rongga mulut kamudian dihembuskan perlahah melalui hidung. Tiga kali berturut-turut. Mengabaikan pertanyaan Andis yang langsung mengernyitkan kening.
"Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini. Aku butuh kerja supaya aku nggak meregang nyawa kelaparan lagi."
Andis yang mengerti arah pembicaraannya dialihkan, mendelik tajam mata Bayu yang entah kenapa nggak mau terlibat kontak mata dengannya.
"Emang Mas Bayu pengen kerja apa?"
"Apa aja deh. Cariin donk. Orang tua kamu kan punya banyak koneksi, siapa tahu ada lowongan gitu buat aku. Kalau bisa sih yang tidur dan makan di sana. Berapapun gajinya aku sih nggak masalah. Selama jadwalnya nggak berbenturan ama kegiatan kampus aku."
"Mas Bayu kan masih kos, kenapa malah pengen tidur di tempt kerjaan? Hayoo pengen kabur dari uang sewa kos ya?" Gempita tersenyum nakal, memain-mainkan telunjukknya ke hadapan Bayu.
Bayu tertawa cengengesan, "Ya nggak lah. Biarpun utang aku menumpuk segunung aku nggak akan lari dari tanggung jawab. Nggak nyaman aja tidur di kos. Nggak ada kasur. Masa tiap malam tidur di atas kardus mi instant, bisa sempor punggung aku."
BRAAAAKKKK!!!! Andis menggebrak meja lagi. Kali ini lebih keras. Sampai Bayu kasihan sendiri ama mejanya. Kalau meja itu bisa ngomong ekarang pasti dia lagi jejerit histeris. Mata Andis membulat lagi-lagi, emosi kali ini mendamprat tempurung kepalanya, "Maksud lo tidur di atas kardus apa Nyet? Lo nggak lagi syuting sinetron hidayah gelandangan masuk kubur kan? Lo bikin gue jantungan aja sih?" umpatnya kesal, mengurut dada berkali-kali untuk meredam emosi.
"Heheh...." Bayu garuk-garu rambut gimbalnya, "kasurnya udah aku jual buat beli rokok. Jadi sekarang di kos nggak ada tempat tidur."
Andis shock. Kali ini benar-benar tidak mampu berkata apa-apa. Dia memijit keningnya. Pening bukan main. Semakin dia ingin mendekatkan diri ke Bayu, semakin menjauh Bayangan Bayu di hadapannya. Dia nggak habis fikir, masih aja ada mahasiswa semengenaskan Bayu di kota metropolitan Surabaya.
Tapi ulah Bayu mengalihkan topik bahasan mengenaiorang tuanya. Nggak bisa diabaikan gitu aja. 'sebenarnya lo siapa sih yu?Semakin gue deket ama lo semakin gue nggak mengenal lo?'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top