18. Paradoks

Ini chapter yang paling ane suka. Berasa ada di dekat Bayu gitu. haha Oke lupakan

Btw, Selamat Hari Pahlawan

"Lo udah deal jatuh cinta ama tuh duda!!" suara tenor Andis tegas, kuat, keras, mengultimatum dan tak bisa dibantah. Bola mata abu-abu taik kucingnya menyorot galak ke pemuda bertubuh kerempeng di hadapannya. Sementara Gempita yang sedang duduk di sampingnya dan sedang menikmati red velvet white chocolate nampak manggut-manggut membenarkan ucapan Andis.

Bayu membuang setengah nafas, menyeruput signature chocolate hazelnutnya. Menyesap aroma coklat yang memagu lidahnya dan membiarkan minuman menenangkan itu melegakan kerongkongannya yang terasa tercekat saat dia menceritakan hubungannya dengan majikannya dan Mike.

"Ini keajaiban dan kesialan lo Nyet." Andis menambahi, "Sekali lo bisa jatuh cinta eh ama dosen pedofil sakarotul maut yang udah punya tunangan lagi. Apa nggak bisa dipindahin gitu rasa cinta lo? Cowok cewek terserah lah asal nggak sama bajingan satu itu."

Bayu menghembuskan nafasnya pelan, uap dari minumannya membumbung tipis membentuk garis siluet kegamangannya yang tersamar. Siang itu mereka sedang berada di starbucks yang ada di Ciputra World Jalan Mayjen Sungkono. Menghabiskan minggu liburnya sebelum nanti sore ada latihan band ama Elek Yo.

"Nggak Ndis," telak Bayu tersenyum kecut, menyandarkan tubuhnya di punggung sofa, matanya menatap lampu neon yang berpendar di langit-langit, "Aku hanya menikmati hubunganku dengannya sebagai fuck buddy doang. Nggak lebih."

"Bullshit!!! Nggak ada fuck buddy yang pakai manggil-manggil dia daddy segala. Emang lo anaknya?"

"Dia yang suruh manggil gitu, dari pada gajiku dipotong mending aku turutin aja kemauannya." Imbuh Bayu cengengesan. Mulutnya asem karena beberapa hari ini tidak mengganyang lintingan tembakau.

"Jangan-jangan Pak Mada suka lagi sama Mas Bayu," suara lembut Gempita berbunyi.

Bayu menegakkan tubuh, tersenyum simpul masih terpaten di sana, mengambil cangkir coklat kemudian menyesapnya lagi, "Ya enggaklah Gempita, dia sudah punya tunangan ingat? Dan kabar bahagianya tunangannya sudah tinggal di rumah Panji sekarang."

"Jangan bilang lo cemburu melihat kenyataan mengenaskan itu Nyet." Andis menyelidik dengan telunjuk menghunus permukaan wajah Bayu.

Bayu terkekeh kecil, bahunya berguncang, jari telunjuknya menyusuri luBang cangkir yang dia genggam, "Ya nggak lah, ngapain coba? Aku kan sudah bilang hubunganku dengannya sekedar fuck buddy doang. Menguntungkan buat aku kan, nggak perlu cari duit lagi kalau nobita kecilku minta di emut." Gigi kuning kecil-kecilnya terpampang saat dia terkekeh.

"Lo yakin Nyet? Nggak ada getaran-getaran gitu saat ditusuk ma dia? Atau pas lo ciuman ama dia, jantung lo nggak jumpalitan gitu?" Kata Andis masih tidak percaya, mata sipitnya yang memicing jadi terlihat seperti dua garis berhimpitan, dia kemudian menyeruput caffe lattenya.

Bayu terpekur. Getaran? Kayak dag dig dug gitu?

"Nggak Ndis, sama aja dengan hubungan badanku dengan orang-orang di klub. Cuma bedanya dia pencium ulung dan sangat hebat di ranjang itu doank. Aku sama sekali nggak bermain perasaan di sana. Lagian, kalau aku suka sama dia aku juga tidak tahu bagaimana rasanya. Cinta itu seperti apa sih? Taik kucing kah? Taik babi kah? Aku juga tidak tahu."

"Lo ternyata bukan hanya mahasiswa tolol rupanya tapi juga manusia apatis yang mati rasa. Masa lo nggak tahu sih cinta itu apa?"

"Heh, kamu sendiri kan tahu dua puluh tiga tahun hidupku nggak pernah bisa menjalin hubungan ama orang lain. Menurutku cinta itu ciptaan Tuhan terajaib yang pernah ada di dunia ini, sayangnya aku belum pernah dan nggak tahu kenapa merasa tidak percaya dengan hal begituan."

"Jangan naif lu Nyet."

"Aku nggak naif Ndis. Cuma memang seperti itulah yang aku rasakan. Apasih itu cinta sebenarnya? Apakah cinta mengakibatkan dua orang pada akhirnya memutuskan untuk membuat komitmen? Mengabaikan lingkungannya dan terus menjalin sebuah frasa bernama cinta tanpa peduli orang-orang di sekitarnya tersakiti atau tidak? Apakabar dengan egoisme?"

Andis mengernyit, menyilangkan kaki, "Gue nggak tau maksud lo apa. Kita buat lebih sederhana saja. Selama lo nyaman dengan dia, selama lo bahagia dekat dengannya kenapa lo harus memperdulikan lingkungan sekitar lo? Gue sayang ama Gempita, gue cinta ama dia, gue menjalin komitment ama dia, dan persetan dengan omongan orang yang menilainya gimana. Selama gue dan orang yang gue sayangi bisa bahagia kenapa repot-repot memikirkan sakit hati orang gimana. Yu, hidup itu ada dalam genggaman kita. Kita sendiri yang menentukan apakah kita ingin bahagia atau stuck di satu titik dimana lo masih ragu menentukan kemana arah kaki lo melangkah."

"Hidup itu bukan cerita dongeng Ndis," Bayu berkilah, senyum tulusnya tercederai, "setelah kamu mengalahkan mak lampir lalu kamu bisa happily ever after ama pasanganmu gitu? Nonsense! Itu Cuma imajinasi para pengarang dan pendongeng saja. Nyatanya hidup itu tak ubahnya secangkir kopi, senikmat apapun kamu menyesapnya, sebahagia apapun lidah kamu mengecapnya, semuanya akan berakhir pada ampas yang terasa pahit. Sekarang kamu bisa menikmati kebahagiaan dengan Gempita, bagaimana dengan hati orang lain yang juga terikat dengan Gempita, yang juga memiliki hak atas Gempita tapi tidak menginginkanmu yang menjadi pasangannya? Apakah kamu akan terus melanjutkan komitment kamu? Apakah cinta memang diciptakan berbanding lurus dengan egoismenya manusia?"

"Yu lo harus realitis menjalani kehidupan ini. Anut apa yang menurut kata hati lo benarkan. Mungkin lo harus egois untuk meraih kebahagiaan lo, karena kadang, kalau kita terus mengalah yang ada hidup malah menginjak-injak dan mempermainkan takdir kita. Di dunia ini nggak ada tokoh protagonis ala sinetron yang merelakan kebahagiaannya demi melihat orang lain tidak tersakiti. Bullshit itu. Omong kosong taik anjink itu. Lo hidup nggak sehari dua hari Yu, tapi untuk selamanya. Apakah lo akhirnya akan bahagia juga jika pada akhirnya lo melepas cinta lo demi melihat kebahagiaan orang lain? Apakah orang yang lo perjuangkan kebahagiaannya dengan mengorbankan perasaan lo akan selalu berada di sisi lo selamanya? Menemani lo apapun keadaan lo? Asal lo tahu Yu, manusia di belahan bumi manapun akan selalu mencari sebuah kondisi bernama bahagia. Dan kalau manusia sudah bahagia, dia tidak perlu menambahnya lagi. Cukup itu untuk melengkapi hidupnya."

"Aku tahu Ndis, tapi bagaimana jika kondisinya orang yang kamu cintai udah melakukan kekerasan buat keluarga kamu? Merugikan keluarga kamu, menyakiti anggota keluarga kamu? Apa kamu akan melanjutkan hubungan kamu hanya demi tujuan hidupmu menuju bahagia? Itu egois Ndis. Kamu harus bisa membedakan cinta dan nafsu. Karena sejujurnya cinta dan nafsu bersinggungan dalam satu garis tipis."

"Mas Bayu..!!" Gempita menukas, membungkam mulut Andis yang sudah membuka, kilatan matanya tegas, posisi duduknya pun sudah tegak, "Pertama, Gempita bukan orang jahat. Gempita tidak pernah menyakiti orang lain terlebih keluarga Andis. Kedua, Andis mencintai Gempita tulus, terlepas hubungan tusuk ditusuk kami selama ini. Dan ketiga, ada yang tidak sejalan dengan obrolan kita. Cinta dan nafsu versi siapa yang Mas Bayu sedang bicarakan?"

"Aha.." pekik Andis. Mengambil gelas caffe lattenya kemudian meneguk kecil-kecil sampai tinggal separuh. Dia menggunakan punggung tangannya untuk membersihkan sisa-sisa kopi yang menempel di ujung bibirnya, "Jadi pembicaraan kita sedari tadi ini sedang membahas siapa heh Nyet?"

Bayu bergerak gelisah, tersenyum sumBang. Menyenderkan kembali punggungnya kemudian mendesah berat. Memalingkan perhatiannya pada seluruh penjuru cafe yang mulai ramai. Para pengunjung yang kebanyakan remaja itu mengisi sofa-sofa dari sudut ke sudut. Aroma kopi menusuk hidungnya. Kepulan asap kopi menjadi pemandangan unik tersendiri buat Bayu.

"Ca-" Bayu merogoh saku celana jeansnya, mengambil iphone dari sana dan melihat nama Bang Gahar sedang berkedip memanggilnya. Buru-buru Bayu menggeser warna hijau lalu menempelkan benda tipis itu di telinganya.

"Bay, anak-anak ketangkep Satpol PP." Suara Bang Gahar langsung menyapa daun telinga Bayu begitu sambungan telfon terhubung.

"Hah, kok bisa sih Bang? Apa nggak ada yang tahu jika akan ada razia?" Bayu mengernyit heran, sedikit terkejut.

"Nggak ada Bay. Benny yang biasanya tahu info razia sedang sakit. Tuh anak-anak ngamen buat beliin dia obat ama makanan. Obat yang gue kasih udah habis dan mereka nggak mau minta ke gue atau anak-anak Kanvas lain untuk menebus obat di apotek."

"Astaga Bang, memang Benny sakit apa?"

"Belum ada yang tahu Bay. Kadang panas, kadang dingin. Trus di kulitnya keluar bintik-bintik merah. Gue udah nyoba bujuk buat berobat ke rumah sakit tapi dia nggak mau, padahal gue ajak sekompi anak Kanvas buat ngangkut badan gentongnya tapi Benny tetap ngeyel nggak mau beranjak dari kasurnya. Reza ama Steven beberapa kali membujuk dia tapi hasilnya tetap nihil. Dia maunya ke rumah sakit bareng abangnya."

"Terus kenapa nggak ada yang ngasih tahu aku sih Bang? Udah jelas-jelas Benny pengennya ke rumah sakit bareng aku. Kalau dia kenapa-kenapa gimana Bang?" Bayu mendumel sebal. Kedua sahabat di hadapannya menatapnya kepo.

"Sorry Bay, sebenarnya gue udah mau ngasih tahu lo tentang sakitnya Benny ini dari kapan hari, tapi kata Reza ama Steven lo lagi ada masalah besar di kampus. Robot ama program lo katanya disadap orang gitu atau gimana gue nggak begitu nyimak, makanya gue nggak mau nambahin beban pikiran lo. Benny terus nyariin lo, gue udah kasih tahu dia kalau lo ada masalah kampus makanya gak bisa nengok. Eh dia malah ngambek. Nggak mau makan, nggak mau minum, nelen obatpun sulit."

"Ya Allah Bang, terus sekarang gimana kabarnya Benny?"

"Tadi Jupri sebelum ketangkep Satpol PP sempat telfon gue dan bilang kalau Benny masih lemas. Masih belum mau makan Bay. Gue bingung Bay. Sekarang gue lagi di Lampung buat penyuluhan narkoba ama BNN di kampus-kampus sini selama semingguan jadi gue nggak bisa mantau keadaannya. Reza ama Steven ketemuan ama programer se Jatim di Malang selama tiga hari. Sementara anak-anak Kanvas lain pada sibuk. Lo sibuk nggak Bay? Kalau lo lagi nggak sibuk bisa tolong lo jenguk dia, dan ajak dia berobat ke rumah sakit? karena Cuma omongan lo doang yang dituruti tuh bocah."

"Aku nggak sibuk Bang, ini lagi nongkrong ama temen kampus. Habis ini aku mau langsung cabut ke sanggar. Mau paksa dia buat ke rumah sakit. Demam berdarah kayaknya. Kalau nggak cepet-cepet disembuhin bisa berabe. Terus anak-anak yang ketangkep Satpol PP gimana Bang? Udah bebas atau belum?"

"Gue baru ditelfon Pak Sauki, dia nyuruh gue buat buruan menjemput mereka, kalau tidak mereka bakalan direhap di panti. Lo urusin mereka dulu Bay, baru ke tempat Benny. Kalau lo ada duit kasih mereka duit Bay, anak-anak setan itu pada nggak mau duit dari gue, Reza ama Steven padahal udah gue bujuk mereka kalau tuh duit dari lo tapi mereka tetap nggak percaya. Katanya lo nggak pernah ngasih mereka duit tapi sering ngajak mereka ngamen. Dasar anak-anak mental tempe, gedek gue. Kalau duitnya bukan buat hal penting sih nggak apa mereka tolak, lah ini buat berobat Benny, buat beli makanan bergizi buat dia apalagi sekarang obatnya udah habis, tapi mereka tetap nggak mau. Cuma lo yang bisa membujuk dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Karena lo hari ini free jagain mereka di sanggar. Suruh mereka untuk mau nerima duit dari gue dan anak-anak Kanvas lainnya. Kita-kita kan juga orang tua mereka elah. Heran gue, kenapa tuh anak-anak Cuma nurutnya ama lo sih?" Suara Bang Gahar terdengar bersungut-sungut di seberang sana.

Bayu mendesah nafas berat, tangannya yang bebas dari ponsel dia gunakan untuk mengusap mukanya, "Ya udah deh Bang, aku langsung ke sana aja. Udah siang ini, ntar sore aku juga ada latihan band lagi. Malamnya ada acara kampus. Mungkin aku nanti mau ngajak mereka ke kampus biar nggak stress habis ketangkep."

"Oke. Thanks Bay. Ya udah gue cabut dulu, acaranya mau dimulai lagi."

Sambungan telfon terputus, Bayu memandangi layar ponselnya sambil berdecak. Dia kemudian menghabiskan coklatnya dan buru-buru memasukkan iphone-nya kembali ke saku tatkala benda tersebut membunyikan notifikasi dari aplikasi watsapp.

Ada dua pesan di sana.

Jin

My Jun gue punya firasat nggak enak tentang lampu. Lo hari ini ada kegiatan yang berhubungan dengan lampu?

Skip. Lagi terburu-buru malah ngomongin lampu. Pesan ke dua dari Yasin.

Yasin

Mas Bay, aku bth ngmong srius ma ms Bay. Ini mnyngkut infrmsi yg q dpt dr Anjas. Ntar mlm ms Bay ikt acra pncak ingrsi?

Yasin lagi? Udah berkali-kali dia nge-watsapp Bayu pengen ngobrol tapi sama Bayu belum pernah dibales. Paling juga masalah onderdilnya cewek-cewek yang berhasil dia entot. Tapi kali ini dia bawa-bawa nama Anjas. Bayu mengernyit kemudian buru-buru bales.

Me

Ya, ntar mlm q ngsi acra pncak. qt ktmuan d audtrium gedung sastra lw gtu.

"Tadi siapa yang telpon Nyet?" tanya Andis begitu melihat Bayu nampak tergesa-gesa setelah menerima telfon dari Bang Gahar barusan.

"Bang Gahar Ndis, anak-anak sanggar ketangkap Satpol PP pas ngamen."

"Hah kok bisa Mas Bayu?" tanya Gempita dari balik kopinya.

"Iya nih, Benny yang biasa kasi info razia sakit jadi anak-anak nggak tau kalau akan ada razia. Ini aku mau ke Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial) untuk menjemput mereka, kalau nggak segera dijemput mereka akan direhab di sana. Habis itu aku mau ngajak Benny ke rumah sakit, demam berdarah kayaknya tuh anak."

"Oke, gue ama Gempita ikut. Pake mobil gue aja."

"Tapi nobita?"

"Diparkir di sini dulu elah. Kalau naik mobil bisa cepet nyampe ngurusin anak-anak di Liponsos dan juga bisa cepet ke tempat Benny."

"Iya Mas Bayu, pakai mobil Andis aja. Kalau pake nobita malah nyita waktu."

Bayu nampak berfikir sejenak, mempertimBangkan usulan Andis ama Gempita, kemudian dia mengangguk dan langsung cabut dari sana.

Jadi gini bleh Komunitas Vespa Sepanjang bukan sekedar komunitas tempat kongkow-kongkow para penggila skuter yang ada di sekitar daerah Sepanjang. Selain mereka melakukan touring penjelajahan dan melakukan baksos di beberapa kesempatan, dibawah asuhan Bang Gahar, komunitas tersebut juga mengasuh beberapa anak jalanan yang tidak memiliki rumah dan orang tua. Bang Gahar mendirikan Sanggar Jalanan yang digunakan sebagai tempat tinggal buat para anak jalanan yang sempat menggelandang. Nggak Cuma itu, Bang Gahar beserta anak-anak Kanvas juga memberi mereka pelajaran sekolah yang tidak pernah mereka kenyam selama ini, membekali mereka dengan berbagai ketrampilan. Bang Gahar yang seorang pelukis itu mengajari mereka seni lukis yang kebanyakan temanya mengangkat kehidupan kolong jembatan. Kemampuan mereka ternyata diluar ekspektasi Bang Gahar, bahkan kemampuan melukisnya si Jupri di atas rata-rata.

Sementara Bang Reza ama Steven yang mengabdikan dirinya pada seluk-beluk komputer, mengajari mereka dengan ketrampilan mengolah data dan sedikit-sedikit memberi ilmu programer. Nah di sini Benny yang paling hebat kemampuannya. Sedangkan Bayu, dialah favoritnya anak-anak. Mengajari mereka bermain musik yang baik terutama gitar. Bayu juga sering mengamen bareng mereka. Itulah mengapa di antara anggota Kanvas, Bayu yang paling dekat dengan anak-anak.

Mobil Andis berhenti di depan Liponsos. Bayu, Andis, ama Gempita keluar dan langsung masuk menjumpai Pak Sauki selaku pimpinan razia gepeng (gelandang-pengemis). Di sana sudah ada Jupri, dan beberapa anak sanggar. Begitu mereka melihat sosok Bayu, keenam remaja tanggung tersebut langsung menyongsong Bayu dengan sumringah.

"Bang Bayuuuu!!!" seru Jupri langsung memeluk tubuh ceking Bayu, hingga membuat Bayu sedikit terhuyung.

"Ya ampun jup, tubuh kamu udah gedhe masih aja namplok-namplok kayak cicak." Bayu menggusak rambut gondrong Jupri sambil tertawa.

"Habis Bang Bayu nggak pernah main ke sanggar lagi beberapa bulan ini. Kangen tahu Bang. Kemana aja sih Bang? Gentong nyariin mulu tuh," Kata Jupri melepas pelukannya dan menyalimi Gempita ama Andis, "ya ampun Bang gempi masih mungil aja ya, padahal udah lama nggak ketemu."

Gempita tertawa renyah, gigi kecil-kecilnya terpampang lucu, "tahu nih udah makan banyak tapi masih aja segini-gini."

"Bang Andis juga juarang Banget ke sanggar, udah pengen diajari latihan thai boxing lagi Bang." Imbuh Jupri ber-highfive ama Andis.

"Gue sibuk ngurusin aBang ngeselin lo tuh, yang dua bulan lalu minggat nggak ngomong-ngomong. Lo masih ngidolain tuh anak monyet? Mending idolain gue aja elah. Bagusan gue kemana-mana lagi timBang dia." Andis menjawab kecut sambil meninju pelan lengan Jupri.

Sebenarnya nama asli tuh bocah bukan Jupri bleh melainkan Jupiter, karena kata teman-temannya nama Jupiter terlalu aneh jadi deh dia dipanggil Jupri. Dia sama dengan anak-anak gelandangan di sanggar Bang Gahar, nggak punya rumah dan nggak tahu orang tuanya udah mati atau masih hidup. Mungkin, jika Bayu boleh lebai, jupiter a.k.a Jupri ini adalah gelandangan yang sekarang berprofesi menjadi pengamen tersebut adalah gelandangan paling ganteng seantero SuraBaya. Wajahnya yang paling bersih diantara teman-temannya. Dia memiliki garis wajah tegas, dan sedikit berbau timur tengah, mungkin orang tuanya ada keturunan Arab, tak tahu juga lah bleh.

Jupri memiliki hidung Bangir kayak Steven, matanya tajam, alisnya lebat, dan dia memiliki hobi aneh. Aneh bleh soalnya dia memiliki hobi meniru gaya Bayu. Segala tindak tanduk Bayu dia ikuti. Mulai dari pintar main gitar, hebat bernyanyi, sampai sempaknyapun bergambar doraemon. Idolanya memang Bayu kemana-mana. Dia terobsesi Banget jadi Bayu. Bayu rambutnya panjang dan keriwil, dia ikuti. Cuma karena rambutnya lurus jadi nggak bisa kriwil, terbersit mau mengkriting rambut tapi dimarahin Bang Gahar soalnya menghamburkan uang. Dia juga sempat diet ketat supaya punya badan kurus kerempeng kayak Bayu tapi sampai sekarang obsesiny nggak pernah kesampaian. Yang ada tubuhnya berkemBang subur, berotot dan sekarang meskipun usianya baru enam belas tahun dia memiliki tubuh setinggi Bayu. Saking ngefansnya ama Bayu dia juga hampir pernah merokok dji sam soe, dan Bang Reza lah orang pertama yang menempeleng dia karena berani-beraninya merokok.

Bayu mengurusi segala administrasi untuk pembebasan anak-anak asuhnya. Pak Sauki yang sering merazia mereka seperti biasa memberi pidato panjang lebar pada Bayu dulu sebelum mempersilahkan Bayu untuk membawa mereka pergi.

"Bang, tadi malam gentong ngigo nama aBang." Jupri berujar pas mereka sudah berada di dalam mobil Andis dan meluncur ke sanggar yang lokasinya beberapa blok dari Kanvas.

"Ya habis ini kita ajak dia berobat ke rumah sakit," balas Bayu tersenyum. Kelima anak lainnya sedang sibuk memakan camilan yang sempat dibelikan Gempita tadi di minimarket, "Ndis, ac-nya matiin dong, mau ngerokok dulu."

Andis bergumam, mematikan ac, Bayu menurunkan kaca mobil dan sejurus kemudian asap rokok dji sam soe terproduksi dari mulut Bayu.

"Terus kalau gentong dibawa ke rumah sakit kita-kita gimana ngamennya Bang? Persediaan beras sudah habis nih Bang."

Bayu menghembuskan asap rokoknya, matanya menjelajah jalanan yang sedang mereka lewati. Belum juga dia menjawab pertanyaan Jupri ponselnya berdering lagi. Bayu buru-buru merogoh saku dan mengeluarkan hpnya.

Jin

Jun, reply my mssge, do u hve a job related to lamps? I think u hv to be crful with the lamps. I hv a bad feeling abt it

Bayu memicing, membenarkan posisi duduknya. Dia menutup aplikasi watsapp, mengabaikan lagi pesan dari Jin. Nggak penting. Dia berpaling kepada Jupri dan anak-anak lainnya.

"Gentong minta dibuatin soto mulu Bang, dan kita nggak punya uang buat masakin." Kata salah satu dari anak itu yang memiliki badan kurus, dan kepala botak. Namanya Adam berusia tujuh belas tahun, pinter Banget bikin lagu ama puisi-puisi.

"Kalau kita kedapatan ngamen di jalanan lagi Pak Sauki bakal ngerehab kita sebulan," gerutu Carli, anak asuh Kanvas paling tinggi, berbadan proporsional dengan mata sipit dan rahang tegas serta memiliki kulit sawo matang eksotis. Dia seusia Gempita dan merupakan satu-satunya anak sanggar yang memiliki kehebatan menari walaupun nggak ada satupun anggota Kanvas yang menurunkan bakat tersebut, "nggak enak Banget Bang di panti. Penuh sesak, orang-orang pada bejibun. Tapi kita-kita juga nggak mau nerima uang dari aBang-aBang Kanvas Bang. Kan Bang Bayu sendiri yang ngajarin kita buat tidak berpangku tangan kepada orang lain."

"Ndis, kamu ada ide nggak enakan ngamen dimana anak-anak ini?" Bayu menepuk bahu Andis yang sedang fokus menyetir.

Andis nampak berfikir sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke stir mobil, "gue sebenarnya nggak begitu respek sih Nyet lu ngajari anak-anak lu ngamen gitu." Sahutnya kemudian, melirik Bayu melalui kaca spion yang ada di tengah.

"Kenapa? Suara Jupri bagus, musik yang mereka bawakan juga oke, nggak sumBang. Selama ini memang itu kan mata pencaharian mereka?"

"Tapi lo sadar kan kalau Jupri bukan hanya hebat di tarik suara ama main musik doang? Dia ahli melukis, Benny meskipun baru berusia tiga belas tahun tapi kemampuan komputernya udah nyamain mahasiswa perguruan. Adam pinter bikin lagu dan puisi, Carli penari hebat, anak-anak lain juga punya kelebihan sendiri-sendiri."

"Terus maksud kamu apa?"

"Kenapa nggak lo ajak anak-anak lo bikin pameran aja. Pameran kontemporer. Kita gabungin kemampuan mereka, bahasa kecenya kolaborasi. Seni lukis, seni teknik, seni sastra, seni tari, sama seni musik. Pasti bakal ciamik itu. Lo nggak usah bingung dengan kanvas-kanvas yang bakal buat ngelukis. Ngelukis nggak harus di atas kanvas kan? Cari media lain, seperti stereofom, banner bekas, apapunlah, gue yakin Jupri pasti bisa memanfaatkannya sebaik mungkin."

"Betul itu Mas Bayu," sahut Gempita yang duduk di samping Andis, "ntar Gempita bantuin pembuatan undangan dan sebarin ke relasi bisnis mami papi. Kita juga bisa undang pak burhan, diakan selain rektor dan pebisnis hebat juga seorang penikmat seni."

Penikmat seni? Bayu berdecih, mengisap rokoknya lagi, tatapannya menerawang, "bakal aku pikirin ama anak-anak Kanvas lainnya. Ide bagus itu. Tapi prosesnya bakal butuh waktu lama. Nyusun tema, konsep, seni yang dipamerkan, alat dan bahannya. Apalagi dananya belum ada sama sekali."

"Aku juga setuju Banget Bang. Biar keahlianku ama anak-anak dalam bidang seni ada yang menghargai gitu. Dan supaya dunia tahu bahwa anak jalanan juga bisa berkarya, nggak hanya menjadi sampah masyarakat doang." Kata Jupri bersemangat, melirik teman-teman lainnya yang mengangguk antusias.

"Ya, ya, kita pikirkan itu nanti aja, sekarang yang lebih penting kemana nanti kalian harus mengamen. Persediaan makan kalian habis dan kalian juga nggak mau menerima uang dari kami."

"Nyet, bukannya lo nanti ada acara latihan ngeband ama Elek Yo?"

Bayu mengangguk, membuang abu rokok ke luar jendela.

"Udah, latihannya digabung aja dengan ngamen."

"Hah?"

"Ya lo ajak anak-anak Elek Yo buat ngamen sekalian. Ngamen profesional. Pakai alat-alat band lengkap, di-blend ama alat-alat musik anak-anak lo. Ngamen di depan kampus aja, jadi ntar bisa langsung ke auditorium sastra buat acara malam puncak inagurasi. Sekali jalan kan."

"Wess, sip lah. Enakan gitu. Kalau latihan di studio males, nggak bisa ngerokok."

Rumah adat jawa yang memiliki joglo besar di depannya itu adalah Sanggar Jalanan. Rumah mendiang eyang Bang Reza yang digunakan untuk menampung anak-anak jalanan. Baru di pintu masuknya aja kita udah disuguhkan berbagai macam lukisan yang ada di badan kayu joglo tersebut. Gambarnya sadis-sadis, pemilihan warnanya cenderung cadas dan mengikat. Ada lukisan ikan suro ama boyo yang menjadi ikon SuraBaya berada di atas jembatan rusak, dan di bawah jembatan itu ada dua orang anak gelandangan lagi makan sambil tertawa. Lukisan gedung-gedung pencakar langit di atas laut hitam. Semua lukisannya di dominasi warna hitam, gelap, suram. Tepat di daun pintunya ada sebuah bait puisi yang ditulis dengan menggunakan cat kayu berwarna merah.

Oksigen kami adalah asap bernomor merah

Hidup kami adalah mimpi buruk Garuda Pancasila

Kita berbeda dan bersatu tapi jejak compang-camping kami melukai Bhinneka Tunggal Ika

Undang-Undang Dasar adalah Landasan Negara tapi bagi kami tak ubahnya baik-baik kosa kata berirama yang bertasbih pada kuasa berkuasa

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, tapi Indonesia mencampakkan kami dari kesetaraan manusia

Maju tak gentar membela yang benar, wahai pahlawanku bahkan tangisan larat yang memperkosa sanubari kami tak pernah ada yang menjaga

Benny, bocah tiga belas tahun berbadan kayak galon air itu meringkuk di salah satu bilik. Kedua tangan dan kakinya merapat. Tubuhnya menggigil, bibirnya yang bergetar pucat. Begitu manik matanya menjumpai sosok Bayu yang berdiri di amBang pintu, dia langsung tersenyum lebar. MeRegangkan tubuh, berniat untuk memeluk Bayu tapi tubuhnya keburu limbung.

"Ya Tuhaan Benny." Bayu langsung menyongsong si gembul. Membantunya berdiri. Kulitnya yang bersentuhan dengan Bayu terasa panas.

"Bang Bayu kangeen," suaranya lemah, hanya berupa bisikan tapi pendar kebahagiaan sederhana yang mencuri perhatian di kedua irisnya tak bisa disembunyikan, "kemana aja sih Bang?"

"Bang Bayu ada sedikit urusan Ben. Kita ke rumah sakit ya."

Benny mengangguk lemas, kedua tangannya erat menggenggam lengan Bayu.

===

Trombosit Benny menyentuh angka terendah, 10. Hemoglobinnya pun mentok di angka 5. Dia sedang berada di masa kritisnya siklus demam berdarah, terlambat dibawa berobat sedikit bisa lewat kata dokter yang mengangani Benny di RS. DR. Soetomo. Apalagi selama ini Benny tidak mendapat perawatan medis sama sekali, makan ama minum pun jarang Banget, jadilah kondisi tubuh Benny semakin menurun drastis kekurangan cairan.

Benny dimasukkan ruang ICU karena pembuluh darahnya pecah, dan dia tidak sadarkan diri waktu berada di mobil Gempita. Untungnya stok trombosit ama darah di rumah sakit tersebut mencukupi kebutuhan Benny, jadi Bayu nggak kelimpungan mencarinya di PMI. Masalahnya sekarang biaya rumah sakit yang harus ditanggung, walaupun Andis ama Gempita sanggup membiayai semuanya tapi Bayu tetap merasa tidak enak. Mau mengurus BPJS? Persetan kampret apa!! Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tersebut mengharuskan calon pendaftarnya memiliki KK. What the hell, anak-anak jalanan tidak memiliki waktu untuk mengurusi segala caruk maruk catatan sipil yang bakal menuliskan namanya di selembar kertas putih bertajuk KK. Lagian, kalau nama mereka diukir cantik di KK, hidup mereka bakal ada perbaikan gitu? Minimal memiliki kesempatan kerjalah meskipun di antara mereka ada yang masih di bawah umur, itu jauh lebih baik dari pada harus mengamen diBayang-Bayangi Satpol PP. Selain itu proses pengurusan BPJS ribet Banget, kudu memiliki rekening juga. Rekening? Uang buat makan aja kadang ada kadang tidak. Apanya yang penyelenggara jaminan sosial? Penyelenggara jaminan taik anjink? Bayu dongkol bukan main.

Dia berjaga dengan anak-anak sanggar lainnya di depan ICU. Gempita ama Andis masih setia menemani mereka. Dilihatnya Jupri yang sedang jongkok terpekur memeluk gitar tuanya. Adam lesehan, Carli baring-baring di atas ubin keramik, sementara yang lain nampak tidak bersemangat sama sekali.

Bayu mendesah, dia harus berbuat sesuatu agar anak-anak itu tidak sampai tertekan dengan segala macam masalah yang menggerogoti mereka hari ini. Usul Andis buat ngamen di depan kampus patut dicoba itu.

"Ndis, kamu ama Gempita nungguin Benny dulu di sini ya ama anak-anak? Aku mau pergi dulu ama Jupri dan Carli," suara serak Bayu menginterupsi pergerakan tangan Andis yang sedang mengelus-elus rambut Gempita.

"Mas Bayu mau kemana?" tanya Gempita khawatir.

"Aku mau ngajak anak-anak ngamen dulu di depan kampus. Mereka sedang butuh Banget banyak duit sekarang."

"Demi Tuhan Nyet, bisa nggak sih otak bego lo bersih dulu dari pikiran duit sekarang?" tukas Andis menggertak, "Benny sedang butuh aBangnya, sedang butuh lo, kenapa malah lo tinggalin hah? Kalau dia nyariin lo gimana?"

"Aku tahu Ndis, tapi ini demi dia juga, biaya perawatan rumah sakit pasti sangat mahal. Dan aku sebagai aBangnya harus mengusahakan yang terbaik buat dia."

"Kuping lo budek hah?" Andis Bangkit dari tempatnya duduk, menghampiri Bayu dengan perasaan gusar, "Gue jamin semua biaya rumah sakit Benny. Lo nggak usah berlagak sok jadi aBang baik buat anak-anak sanggar sekarang. Keberadaan lo jauh lebih dibutuhkan mereka saat ini. Bukan uang sampah yang lo puja-puja."

Tangan Bayu mengepal, matanya memicing, "kamu bukan terbit dari lingkungan jalanan Ndis," desis Bayu tegas, "kamu tidak tahu bagaimana rasanya kesakitan dan nggak punya uang. Perut kamu sudah terbiasa kenyang selama ini, kamu bahkan nggak tahu rasanya kelaparan dan terpaksa puasa itu seperti apa."

"Gue sediain makan yang enak-enak buat mereka. Lo nggak usah pusing-pusing memikirkan makanan mereka. Paling juga uang hasil lo ngamen nggak lebih bisa buat beli nasi bungkus doang. Lo tetap di sini nungguin Benny, apapun keadaannya."

"Ndis," rahang Bayu mengeras, giginya bergemelatukan, dia menunjuk dada Andis dengan jarinya, "Nasi bungkus itu lebih nikmat rasanya jika dibeli pake keringat mereka sendiri. Lo nggak tahukan bagaimana sakitnya diremehkan? Selamat lo baru saja meremehkan anak-anak asuh gue. Hidup di jalanan nggak ada yang bisa diBanggakan Ndis. Setiap hari yang lo dapat Cuma caci maki, sumpah serapah, kata-kata kasar. Dan sekarang satu-satunya keBanggaan mereka bertahan hidup sudah sukses lo sepak. Hebat lo, lo emang sahabat gue paling kaya. Paling mengertian selama ini." Bayu mendengus kasar, "Ayo Pri, Car kita pergi mengamen sekarang. Benny biar ditungguin Bang Andis ama Bang Gempita. Yang lain tinggal di sini ya, biar Benny kalau sadar ada yang nungguin."

Bayu berjalan menahan amarah yang sempat meletup-letup menyusuri koridor rumah sakit, tangannya terus terkepal sementara Jupri ama Carli kelimpungan menjejari langkah kaki panjang-panjangnya. Dia sampai di ujung koridor dan sudah akan menekan tombol lift untuk turun ke lantai satu tatkala matanya bersirobok ama sosok Panji ama Budhe Irma yang sedang duduk di depan sebuah poli. Kening Bayu berkerut, dia menyuruh kedua anak asuhnya untuk menunggu sementara dia berjalan sembunyi-sembunyi mendekati mereka.

"Kenapa jadi tambah parah sayang?" suara Budhe Irma sayup-sayup diterima alat pendengaran Bayu.

"Nggak tahu mah, aku sudah minum obat secara rutin selama ini. Sering konsultasi ama Dokter Fajar juga, tapi nggak tahu kenapa penyakitku jadi semakin sering kambuh belakangan ini." Panji tampak frustasi, kemeja yang dipakai pun berantakan, rambutnya juga acak-acakkan nggak kelimis seperti biasa.

Bayu tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Bisa dilihat dari tempat persembunyiannya jika Budhe Irma nampak begitu sayang memperlakukan anak semata wayangnya. Beliau mengelus punggung Panji halus, raut wajahnya menampakkan kesakitan terdalam. Satu pertanyaa besar menghantam tempurung Bayu. 'Panji minum obat? Sering konsultasi ke dokter? Jadi dia sakit selama ini? Sakit apa? Sakit apa???'

Otak Bayu belum mampu mencerna segala informasi ini tatkala suara Budhe Irma berikutnya menegangkan sel-sel tubuh Bayu.

"Kamu sudah membicarakan ini baik-baik dengan Bayu, sayang? Mamah tidak keberatan jika Bayu menjadi bagian dari masalah kamu."

What???

===

Sebuah tanda tanya besar bergelimang di sekat-sekat otak Bayu saat dia melihat Marvin turun dari motor bebek Andra sambil menggendong Meri yang nampak semakin sehat wal a fiat. Tubuhnya yang mungil sebelas dua belas ama Gempita itu hampir tersungkur dari boncengan yang alhamdulillahnya Andra dengan sigap mendekapnya.

"Marvin, ngapain ke sini? Hari minggu nggak ada kuliah kan?" tanya Bayu sambil senyum-senyum.

Marvin tersipu, pipi chubbinya bersemu, "aku lagi taruhan ama Andra Mas Bay."

Andra langsung membuang muka, sok berlagak tidak peduli gitu sambil nge-tem senar bassnya.

"Taruhan apa?"

"Andra ama Marvin taruhan Mas Bayu, jadi siapa yang bisa jatuh cinta duluan diantara kami, dia  memiliki hak kepemilikan atas Meri, karena aku senang banget ama Meri jadi aku mau aja diajak taruhan ama Andra. Mas Bayu doain aku ya, supaya Andra bisa jatuh cinta dulu sama aku ."

Ini sumpah pertaruhan terkonyol yang pernah Bayu dengar selama ini. Like seriuos, njink? Pertaruhan siapa diantara lo ama temen lo yang bisa jatuh cinta duluan demi memperebutkan trofi seekor Meri? Jenis kucing yang Bayu tahu dari curhatan Andra adalah jenis kucing Maine Coon? Bayu geleng-geleng kepala. Bertambah lagi spesies aneh di sekitar Bayu.

Ponsel Bayu berbunyi lagi. Notif dari Jin? Ngapain sih tuuh bocah.

Jin

Dmi Tuhan rplay my msgs Jun, u r in big dangerous right now. Pls be crefull of the lamps around u

Ya ampun, ada apa dengan lampu yang Jin katakan seharian ini? Ayolah setidaknya lampu tidak akan menenggelakan Bayu. Bayu menutup aplikasi pesan singkatnya. Mengabaikan lagi pesan dari jin yang nggak penting Banget menurut Bayu.

Segala peralatan ngeband diboyong Andra, Rega ama Ferdi di halaman kampus. Para mahasiswa yang kebetulan sedang ada kegiatan hari minggu berbondong-bondong mendekati Bayu cs. Jarang-jarang Banget lihat latihan Elek Yo Band langsung di area kampus.

Bayu berdeham di depan mic, dia melirik Jupri ama Carli yang nampak kikuk di sampingnya, lalu ke arah Andra yang udah siap dengan bass, Rega dengan gitarnya dan seperti biasa Ferdi nampak gagah duduk di balik drum. Kemudian mata Bayu menyapu ke arah para mahasiswa yang sudah mengerubuni mereka. Mengangkat sebuah senyum yang langsung disambut pekikan para mahasiswa cewek.

"Saya disini mewakili seorang anak jalanan bernama Benny yang sedang terbaring tak berdaya di ruang ICU. Dia sedang kritis demam berdarah. Membutuhkan tranfusi trombosit ama darah agar dia bisa selamat. Saya minta teman-teman berdoa semoga adik saya bisa selamat melewati masa kritisnya. Dan sakaligus saya meminta sedikit kerendahan hati untuk membantu pembiayaan rumah sakit adik saya," Bayu menarik nafas, mengerling lagi ke arah Jupri yang akan berduet dengannya, kemudian lanjutnya, "Sebuah lagu kekecewaan anak kolong jembatan buat Bangsanya." Dia mengangguk pada Rega yang langsung menekan chord C.

Galang rambu anarki anakku

Lahir awal januari menjelang pemilu

Galang rambu anarki dengarlah

Terompet tahun baru menyambutmu

Galang rambu anarki ingatlah tangisan pertamamu

Ditandai BBM membumbung tinggi

Maafkan kedua orang tuamu

kalau tak mampu beli susu

BBM naik tinggi susu tak terbeli

Orang pintar tarik subsidi

Mungkin Bayi kurang gizi

Galang rambu anarki anakku

Cepatlah besar matahariku

Menangis yang keras janganlah ragu

Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku

Doa kami di nadimu

Suara bariton Bayu yang kawin dengan suara bass milik Jupri mengikat kuat isi dari lagu yang mereka bawa. Ditunjang dengan genjrengan Rega yang asik serta bass milik Andis, dentuman pelan tapi emosi waktu masuk chorus dari Andis membuat para mahasiswa yang melihat live performance mereka tak sungkan memberi uang dalam jumlah banyak. Carli yang kebagian tugas menerima uang-uang itu sampai menunduk berkali-kali berucap terimakasih.

Malam puncak inagurasi berjalan meriah dan lancar di auditorium gedung sastra. Karina sang ketua pelaksana penerimaan mahasiswa baru tahun ini memberikan sambutan-sambutan yang kemudian disusul sambutan dari Pak Burhan ama Pak Mada a.k.a Panji.

Bayu menanti gilirannya tampil sambil menikmati segala macam pertunjukan yang disuguhkan dari panitia di kursi penonton. Di sampingnya Jupri ama Carli nampak tengah kelelahan. Personel Elek Yo Band lainnya berada di belakang stage minta jatah makanan kecil katanya.

Yasin yang dari tadi duduk di samping Bayu memberi informasi yang sampai detik ini sangat sulit diterima oleh akal sehat Bayu.

"Demi Tuhan Mas Bay, Anjas nggak bohong. Dia ama tim safety guide udah mengecek berulang-ulang masalah boat Mas Bay yang pecah kemarin itu. Dan hasilnya murni karena sabotase." Ucap Yasin meyakinkan, memegangi bahu Bayu yang tegang, "ada yang sengaja membuat boat Mas Bayu bocor halus, jadi begitu bertemu jeram yang deras dan dindingnya tipis boat langsung pecah karena tidak bisa menahan gesekan."

Bayu menghela nafas panjang. Pernyataan Yasin sangat mengejutkannya. Sabotase? Jadi tersangka utamanya ada yang menginginkan satu atau lebih dari kelima orang dalam boat tersebut mati? Siapa yang menjadi sasaran utamanya? The big question is siapa yang begitu menginginkan salah satu orang dalam boat tersebut mati? Pertanyaan demi pertanyaan berpusing ria membentuk black hole dalam pusaran menghanyutkan di pikiran Bayu. Ini nggak bisa dinalar, benar-benar nggak masuk akal. Bagaimana bisa hah? Bagaimana bisa?

Belum sempat Bayu mencerna kalimat Yasin, pembawa acara malam puncak inagurasi sudah memanggil namanya terlebih dahulu untuk mempersilahkannya tampil. Bayu buru-buru Bangkit membawa kalut yang membendung gerak-geriknya. Dan ketika dia sudah akan naik tangga untuk naik ke panggung ponselnya kembali berdering.

Jin

Goddamn Jun, watch out the lamps!!!!

Bayu kontan menengadah, dan-

Great tepat di sana, di atas kursi yang sudah disiapkan panitia buat Bayu bermain gitar akustik sambil menyanyi, terdapat dua buah lampu gantung besar yang bergeming angkuh. Bulu tengkuk Bayu meremang. Apakah ini yang dimaksud Jin?

Dia melangkah ragu menuju kursi, melesakkan bokongnya di sana, mengambil gitar yang berdiri di samping bangku kemudian menggenjreng perlahan. Kejadiannya begitu cepat, Bayu yang entah mengapa seperti dihipnotis watsapp-watsapp dari Jin seharian ini bergerak refleks menggulingkan badannya ke sisi panggung, tepat ketika dua buah lampu besar itu jatuh dan berderai sempurna di atas bangku. Kacanya pecah berkeping-keping, suara yang ditimbulkannya memekakkan telinga, menggema di seluruh ruang. Bangku yang ditimpa lampu terguling dan patah.

Kemudian Bayu menyadari, mengambil benang merah dari ucapan Yasin dan watsapp dari Jin. Bahwa sasaran itu, korban yang ingin dibuhun itu. Dirinya sendiri. Bayu S. Lencana. You will die.

Bayu mengedarkan matanya ke penjuru auditorium. Orang-orang berlari ketakutan melihat jatuhnya lampu tersebut. Bergerak tidak tenang di dalam ruang. Suara jerit, teriakan, saling membentur, kacau balau dan berantakan. Tapi sejurus kemudian tubuh Bayu menegang, keringat dingin meluncur tidak sabar. Di sana, di salah satu sudut ruang dekat pintu keluar, berdiri dengan sangat anggun sosok Yani yang tersenyum menyeringai ke arah Bayu, matanya berkelit sinis kemudian pergi begitu saja.

Jupri ama Carli menghampiri Bayu yang masih tersungkur di panggung, membantunya berdiri meskipun mereka sendiri masih gemetaran dengan insiden yang nyaris merenggut nyawa Bayu. Terseok Bayu mengikuti ke arah manapun anak asuhnya aja. Tubuhnya pegal-pegal, tadi kehempas begitu kuat di atas papan panggung. Dia mengalungkan kedua tangannya di pundak Jupri ama Carli, namun tiba-tiba seluruh sendinya serasa disusupi tiang-tiang besi begitu telinganya mendengar percakapan Jupri ama Carli. Seluruh darahnya seperti dihisap dan dia merasa kedinginan sangat. Matanya membulat tak percaya, bahkan gerik tapaknya mematung di atas bumi.

"Car, tadi kamu lihat cewek yang ada di dekat pintu keluar nggak? Itu kayaknya Mbak Yani deh."

"Iya Jup, aku lihat. Dia kuliah di sini toh rupanya?"

"Kalian kenal Yani?" tanya Bayu terbata, nyaris anggota tubuhnya tidak percaya dengan kenyataan yang terlontar dua anak sanggarnya.

"Kenal banget lah Bang. Dia kan perek yang sering kejaring razia PSK ama Pak Sauki. Sering di bawa ke Liponsos sebelum dibarak ke panti rehabilitasi khusus PSK."

WHAT THE---!!!




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top