16
Aku sedang membaca buku di temani teh dan makanan kecil tersaji di meja perpustakaan ketika Pierre mengetuk pintu. Kusuruh ia untuk masuk lalu ia berjalan mendekat.
"My lady, Her Grace Duchess of Cambridge ingin menemui anda"ujar Pierre.
Aku terkejut. Ibu Henry? Kenapa ia datang kemari?
"Oh baiklah, di mana Her Grace menungguku?"
"Her Grace menunggu di ruang tamu"
"Baik, aku akan segera menemuinya"
"Baik, my lady"sahut Pierre sambil beranjak keluar untuk memberitahu sang duchess.
Aku berdiri dengan gugup. Berjalan keluar sambil merapikan gaunku. Serta bertanya dalam hati ada apakah gerangan beliau kemari? Kulihat Pierre sudah menungguku di depan ruang tamu. Membantuku membuka pintu.
"Apa aku terlihat rapi?"tanyaku pada Pierre. Gugup karena ia ingin menemuiku secara pribadi.
Pierre tersenyum. "Anda selalu cantik, my lady"
Aku tertawa kecil. "Terimakasih...."
Lalu Pierre membukakan pintu dan aku masuk ke dalam ruang tamu. Kulihat ia sedang duduk seraya menyesap teh dengan anggunnya.
"Your Grace...."sapaku.
Marieanne menoleh. "Oh sayang, kau sudah datang. Maaf kalau aku mengganggu sepagi ini..."
"Tidak apa-apa, Your Grace, maaf sudah membuat menunggu"sahutku seraya duduk
"Panggil aku ibu. Jangan terlalu formal begitu."
"Ta..tapi...."
"Tidak apa, panggil saja aku ibu. Sebentar lagi kau akan menjadi bagian keluarga kami bukan?!"
Aku mengangguk tersenyum. "Baik, bu..."
"Nah, apakah kau sekarang sedang senggang? Maukah kau menemani aku jalan-jalan sebentar?"
"Oh baiklah, aku akan bersiap sebentar dulu, bu"
"Kau sudah rapi dan cantik, Madeleine. Ayo kita langsung pergi saja. Tak usah cemas. Aku yang akan mentraktirmu"kata Marieanne dengan semangat.
"Tapi...."
"Ayolah, kita jalan sekarang!"ujar Marieanne beranjak berdiri dari sofa dan menungguku mengikutinya.
Dengan enggan aku berdiri dan mengikutinya keluar rumah di mana kereta kuda sudah menanti. Pierre membantu kami naik kereta kuda. Kereta melaju menuju kota. Melaju di jalanan kota yang sudah ramai dengan para pejalan kaki maupun kereta kuda.
Marieanne mengajakku berhenti di sebuah toko pakaian Madame Giselle. Toko pakaian indah dan mewah yang selalu menjadi banyak incaran para wanita bangsawan. Pejalan kaki yang melihat kami berjalan bersama memberi hormat. Marieanne membalas mereka dengan anggukan serta senyum seraya menarik tanganku ke dalam toko.
Asisten toko menyambut kami dan menyuruh kami untuk duduk di sofa sementara ia akan memanggil Madame Giselle. Mataku menatap gaun indah yang terpajang di rak maupun etalase. Mendadak teringat pada kakakku yang menyenangi gaun indah. Aku yakin Gabrielle pasti akan girang bila diajak kemari.
"Your Grace...."
Aku mendongak dan melihat seorang wanita berkacamata dengan rambut putihnya berdiri di depan kami seraya memberi hormat. Ah pasti madame Giselle, batinku
"Giselle..."
"Anda tak perlu berdiri, Your Grace. Bagaimana kabar anda?"
"Baik, Giselle. Kenalkan... Ini Madeleine. Tunangan anakku"
Giselle melihatku. Mulutnya menyunggingkan senyum
"Tunangan lord Henry, pastinya?!"
"Ya. Aku ingin kau merancang gaun pengantin untuknya. Kumohon buatkan gaun terindah dan tercantik untuknya"
"Ibu..."ujarku kaget.
Marieanne menoleh padaku. Ia menepuk tanganku. "Sudah waktunya kau mempersiapkan gaun pengantinmu, sayang. Tenang saja. Gaun ini aku yang akan mengurus biayanya, kau tak usah khawatir"
"Oh ibu, ibu baik sekali...terimakasih..."sahutku terharu.
"Sudah, tak usah mengucapkan terimakasih"
"Suatu kehormatan bagiku bisa merancang gaun pengantin indah untuk anda, my lady"ujar Madame Giselle tersenyum.
"Ayo bangun, biar Giselle bisa mengukur badanmu"kata Marieanne dengan semangat.
Menjelang sore kami baru selesai berbelanja di madame Giselle setelah aku melakukan pengukuran badan. Marieanne membelikanku gaun indah, sarung tangan, syal, serta mantel. Aku bersikeras menolak pemberiannya. Tapi Marieanne adalah wanita yang gigih hingga aku tak bisa menolaknya lagi.
"Kalian sudah selesai belanja?"
Aku menoleh kaget. Suara khas pria yang kukenal dan selalu kurindukan. Henry! Ia berdiri di belakangku yang hanya bisa terdiam saat Marieanne memilih syal untukku. Sosoknya berdiri seraya tersenyum melihat kami yang begitu sibuk hingga tak menyadari kedatangannya.
"My lord."sapaku dengan nada senang yang sangat kentara dalam suaraku.
"Ah my lord, anda sudah datang...."
"Oh ibu, janganlah menggodaku di depan Madeleine."ujar Henry tertawa mendekati kami. Ia mengecup pipi Marieanne dan mengecup tanganku.
"Kenapa kau mendatangi kami kemari? Ibu sedang menyiapkan gaun untuk pernikahan kalian!"ujar Marianne.
"Kejutan untukku?"tanya Henry seraya mengangkat satu alisnya.
"Ya, lain kali kau tak usah menyusul kemari!"tukas Marieanne dengan nada galaknya.
Henry tertawa. Ia tahu ibunya hanya menggodanya. "Baiklah, bu. Lain kali aku akan menanti di rumah"
"Nah, selagi kami sudah selesai belanja, bagaimana kalau kau mengantar Madeleine pulang, anakku?!"
"Tapi...bagaimana dengan ibu?"tanyaku.
"Kau tak usah cemas. Ibu bisa pulang sendiri dengan kereta.... Henry, kukembalikan Madeleine padamu. Bantu ia bawa belanjaannya!"ujar Marieanne seraya beranjak pergi dari toko.
Aku mengantarnya hingga masuk kereta kuda. Tak lupa mengucapkan terimakasih atas hadiahnya. Lalu kereta kuda itu pun melaju pergi. Kini hanya ada kami berdua.
"Kuantar kau pulang, my lady."ujar Henry menyodorkan lengannya.
Aku menyelipkan tanganku pada lengannya seraya tersenyum. "Baiklah, my lord...."
Henry membantuku menaiki kereta kuda. Aku melihat bagian dalam kereta kudanya yang bersih mengkilap. Dengan lambang keluarga Duke of Cambridge terpampang di bagian samping kereta. Kali ini ia duduk di sampingku. Kehangatan tubuhnya menulariku. Kereta bergerak maju membuat badan kami bertubrukan hingga kami tertawa.
Lalu Henry mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah yang terbuat dari beludru halus di tangannya. Ia menyodorkan kotak itu padaku. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Apa ini?"
"Bukalah."sahut Henry
Aku mengambil kotak mewah itu. Bahannya begitu halus dan lembut di tanganku. Kubuka tutupnya dan detik berikutnya mataku terbelalak lebar. Aku terpana menatap benda di dalam kotak itu. Sebuah rantai kalung mewah dengan diamond berwarna biru aquamarine serta intan berkilau yang mengelilingi rantainya. Warna birunya mengingatkan aku pada warna mata Henry.
"Henry...."gumamku mengusap kalung itu seraya menatapnya. Mata birunya yang mirip dengan diamond di kalung.
"Hadiah untukmu, anggap saja hadiah pertunangan kita."ucap Henry dengan lembut menatapku.
"Oh...terimakasih, Henry. Ini indah sekali....terlalu mewah bagiku sebenarnya"kataku
"Pantas untukmu, Madeleine, apalagi sebentar lagi kau akan menjadi istriku. Aku ingin kau menjadi istri yang tercantik,"ujar Henry membuatku tersipu malu.
"Akan kupakaikan kalung ini"
Henry mengambil kalung itu. Membuka kaitnya. Ia mendekati wajahku. Dan dengan mudah memakaikannya di leherku. Kurasakan desiran di dadaku saat kepalanya berada di samping wajahku. Terasa hembusan napasnya di telinga serta leherku. Membuat jantungku berdebar-debar dengan kencangnya.
Lalu aku terdiam ketika mata Henry menatapku. Deg...deg...deg...kembali jantungku berdetak dengan sangat kencangnya. Jaraknya begitu dekat hingga hidung kami nyaris bersentuhan saat kereta bergerak. Ia hanya menatapku dengan diam. Hanya terdengar suara kereta, suara kuda meringkik serta suara lainnya yang berasal dari luar kereta kuda.
Mata Henry turun menatap bibirku. Pria itu menelan ludah, mengingat saat berciuman di danau dulu. Lalu ia memandang ke atas, menatap mataku lagi seakan meminta ijinku. Sorot matanya menyiratkan kerinduan serta permohonan.
Aku menutup mataku dengan jantung berdegup kencang. Sedetik kemudian kurasakan bibir lembutnya menyapu bibirku. Ciuman ke dua tapi rasanya tetap memabukkan. Bagaikan candu. Henry menikmati dan mengecap bibir ranum Madeleine sebanyak yang ia bisa. Henry mengerang senang merasakan bibir gadis itu terbuka dan menyusupkan lidah ke dalam mulut mungil Madeleine. Bibir mereka saling berpagutan. Semakin lama semakin panas dan liar.
Madeleine memeluk leher Henry. Membalas ciumannya seraya menyusupkan tangan ke sela rambut ikal Henry. Jarak di antara mereka yang sudah dekat tidak cukup bagi Henry. Hingga pria itu mengangkat tubuh mungil Madeleine duduk di pangkuannya. Dan kembali menciuminya dengan lebih menuntut. Henry mengerang merasakan tangan Madeleine mencengkeram rambutnya. Sementara ia mengusap punggung Madeleine. Merasa frustrasi karena kain yang menghalangi mereka.
Bibirnya bergerak turun ke arah dagu. Menciumi dagu serta leher jenjang Madeleine. Membuat gadis itu mendesah merasakan kenikmatan di lehernya. Madeleine merasa makin sesak napas. Mendadak merasakan hawa begitu panas dalam kereta ini. Tidak ada suara lain dalam kereta selain suara bibir mereka yang saling mengecup.
Henry mendadak tersadar saat terjadi benturan lembut kereta. Madeleine merasa kecewa saat Henry melepaskan pagutan bibirnya. Menyisakan napas tersengal ke dua anak manusia itu. Mata Henry tampak berkabut.
"Kita tak akan melakukannya lebih jauh sampai kita menikah nanti..."ujar Henry dengan suara seraknya mengusap bibirku yang merah dan bengkak akibat ciumannya. "Maafkan aku tadi tak bisa menahannya"
Aku tahu ia menahan dirinya. Ia memelukku. Mengecup dahiku. Kepalaku bersandar pada dada bidangnya. Merasakan kehangatan serta detak jantungnya. Aku tersenyum merasakan ia mendekapku dengan erat. Kereta terus melaju hingga aku jatuh tertidur dalam pelukannya.
Henry menunduk merasakan Madeleine tertidur. Ia mengutuk dalam hati, bagaimana bisa gadis polos ini tertidur? Ia menggeser kaki perlahan. Bagian tubuhnya yang menegang membuatnya sengsara. Madeleine bergerak dalam tidurnya. Bokongnya bergerak dalam pangkuannya menguji kesabaran Henry. Napas gadis itu berhembus mengenai leher Henry. Henry menggertakkan gigi untuk menahan gairahnya. Ia tak mengira gadis sepolos Madeleine bisa mempengaruhi dirinya seperti ini.
Sepanjang sisa perjalanan Henry hanya bisa berhitung dalam hati untuk mengalihkan pikirannya. Mencoba memikirkan hal lain. Menenangkan gairah liarnya seraya mengutuk dalam hati kenapa perjalanan kereta ini begitu lambat dan lama.
❤❤❤❤
To be continue.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top