5
Be a business woman, they said. It will be fun, they said....
Sekitar pukul delapan kurang beberapa menit, Helen tiba di lobi apartemen. Tampak kewalahan dengan barang bawaannya—tiga binder yang masing-masing berisi sketsa rancangan, sampel bahan, dan dummy katalog look book yang harus dicek ulang malam ini dan tas tangan—yang ternyata lumayan berat kalo dibebankan di satu tangan. Tapi cewek itu nggak punya pilihan lain karena yang satunya lagi digunakan untuk mendekatkan handphone ke telinga, saat sedang menghubungi pengrajin perhiasan di bilangan Tangerang.
"Saya berharap semua pesanan saya bisa selesai seminggu sebelum show." Suara di speaker langsung berdengung ngeles. "Iya, saya mengerti Bapak juga nggak bisa diburu-buru kerjanya, tapi saya mohon sekali Bapak dan tim bisa memahami situasi saat ini. Nggak hanya customer, akan ada beberapa buyer dari luar negeri juga. Nggak hanya untuk label saya, event ini juga akan ber-impact besar bagi kelanjutan kerja sama kedua perusahaan kita. Saya berharap masih bisa ngandelin perusahaan Bapak untuk mass production-nya juga."
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya beliau berkata, "Oke. Akan saya usahakan. Tapi sejauh ini, gimana komentar Mbak tentang sampel kloter pertama?"
Huft.
Helen berjongkok dan meletakkan semua bawaanya di atas lantai. Cewek itu lalu merogoh laci tas tangan Lulu Guinness-nya dan mengeluarkan notes kecil bersampul hologram. Ketimbang menggunakan fasilitas Notes di handphone, dia lebih suka mencatat dengan pulpen—kebiasaan yang belum ada tanda-tanda akan punah sampai detik ini.
"Berdasarkan paket yang kami terima sore tadi, progress koleksi sudah mencapai 60%." Helen membaca tulisan tangannya dengan hati-hati, takut ada informasi yang terlewat. "Kabar buruknya, sampel item—sebentar, Pak, saya cek report staf saya di e-mail dulu. Ini dia: koreksi untuk produk berkode H-189 dan H-200."
Sesuai instruksi, tak hanya laporan tertulis, staf yang mengecek kiriman tadi juga menyertakan foto perhiasan yang dimaksud di dalam attachment.
"H-189 itu kalung model chandelier dan H-200 adalah cocktail ring bergaya art deco dengan berlian European cut di tengahnya. Yang H-189 mesti diperbaiki lagi kesimetrisannya, sedangkan yang H-200 sepertinya ada kekeliruan di tim Bapak. Saya sampai mengecek ulang e-mail orderan saya dan benar, di situ jelas-jelas tertulis: 'thirty-two French cut natural sapphire accents, slightly violetish blue color, slightly included clarity, approximately 1,04 carats.' Sampel yang saya terima jelas nggak pake sapphire, juga bukan French cut."
"I see. Oke, oke. Besok, akan ada kurir saya yang datang untuk menjemput kedua item tadi. Mohon maaf atas kekeliruan tim saya."
"Terima kasih atas pengertiannya," ujar Helen. "Kalo ada apa-apa lagi, kita berkabar lagi ya, Pak."
"Baik. Terima kasih, Bu Helen."
"Sama-sama."
Klik.
Baru saja berniat memasukkan notes beserta handphone ke laci tas, satpam apartemen menghampirinya dengan wajah khawatir. "Perlu dibantu, Bu?"
Helen menggeleng pelan. "Nggak usah repot-repot. Saya masih bisa sendiri kok."
"Oh. Oke."
Meski begitu, Helen merasakan tatapan satpam itu mengawasinya hingga dia berada di dalam lift. Untuk meyakinkan kalo dirinya memang baik-baik saja, cewek itu merasa perlu melayangkan senyuman ramah ke satpam itu beberapa saat sebelum pintu besi lift tertutup secara otomatis.
Ting!
<<
Nggak satu pun teman seangkatan Helen yang bekerja sesuai dengan jurusan mereka, Hortikultura. Hardianti Islan misalnya, malah keterusan menekuni modeling setelah menjadi pemenang runner up di kompetisi cover girl majalah remaja Framboise. Atau Galih Ostaza, a.k.a. cowok paling ganteng di angkatannya, diterima masuk di sebuah bank swasta. Atau Jenny Lalo yang bikin spaneng orangtuanya ketika bilang kepengen jadi tattoo artist (yang cuman bertahan selama satu tahun karena Jenny kemudian dihamili bassist band metal indie gitu—she's a proud stay-at-home mommy now). Atau Nurmi Lizriandy yang nggak kalah eksentrik, menjadi influencer ber-follower ratusan ribu berkat Konro, Zelda, dan Lorde, tiga ekor anjing samoyed peliharaannya sejak kecil. Nggak hanya meng-endorse produk, akun Instagram-nya juga diberdayakan sebagai lapak berjualan merchandise—mulai dari stiker sampai print legging berilustrasi wajah unyu ketiga anjingnya.
Helenka Elora Yugasanti juga tak ragu meneruskan tradisi sebagai 'pengkhianat jurusan' ketika melamar posisi junior fashion editor di majalah franchise asal Kanada, Stun. Kecintaannya pada fashion sudah dipupuk sejak kecil, ketika Helen senang mengoleksi gambar-gambar dari majalah milik ibunya, yang kemudian ditempel di buku gambar. Ketika duduk di kelas empat SD, nggak hanya scrapbooking, cewek itu juga mulai belajar menggambar ilustrasi fashion—awalnya dilakukan dengan meniru. Kelas enam SD, Helen datang ke malam perpisahan dalam balutan gaun selutut berwarna pink rancangannya sendiri.
Jadi, kebayang dong gimana bahagianya Helen ketika akhirnya diterima masuk Stun. Pekerjaannya persis seperti yang dia bayangkan; bekerja dengan model-model cantik dan ganteng, pakaian-pakaian bagus rancangan desainer, dan sesekali melakukan perjalanan dinas ke luar kota dalam rangka pemotretan atau liputan fashion event. Profesinya juga memungkinkan dirinya untuk mendapatkan diskon spesial di department store dan butik desainer. Teman-temannya, termasuk Kiki, sering menggunakan privilege itu saat berbelanja pakaian dan make-up.
"Temenin gue belanja sepatu dongs!"
"Eh, dapet undangan buat sample sale di Haute & Co. nggak?
Kalo iya, gue boleh nebeng ikut nggak?"
"Thanks to you, aku bisa dapetin baju pengantin yang aku mau dengan harga miring. Vera Wang, dua juta doang! Can you believe it?!"
Nggak enaknya, Helen juga mengalami banyak hal yang sepertinya 'lupa' disebutkan saat wawancara terakhir; jam kerja yang nggak tentu karena sering lembur apalagi saat harus bersiap-siap untuk pemotretan keesokan harinya, kartu kredit yang overlimit karena pengeluaran untuk belanja pakaian yang nggak bisa direm, dan oh bunion di kaki karena seharian pake sepatu berhak tinggi. Ouch!
*
Sayangnya, karier Helen di Stun nggak berlangsung lama. Entah karena tergerus persaingan dengan majalan fashion lain atau karena kurang mampu menarik minat perusahaan-perusahaan besar untuk membeli slot iklan di halaman majalahnya, satu setengah tahun kemudian editor-in-chief Stun menulis editorial yang mengharu biru di edisi terakhirnya. Seperti teman-temannya, Helen bergiat mencari pekerjaan baru. Sebulan sejak dia resmi di-PHK, Helen memang pernah dipanggil untuk wawancara sampai beberapa kali—but that's all. Nggak ada panggilan kedua.
Helen sempat merasa putus asa hingga terpikir untuk menerima tawaran pekerjaan dari omnya yang memiliki perkebunan sayur hidroponik di Tangerang Selatan. "Daripada terus nganggur," kata beliau, yang menambah perasaan hopeless di dalam diri Helen.
Tapi suatu hari, dia nggak sengaja bertemu dengan Kelli. Cewek itu baru saja menerima gelas kertas berisi green tea latte ketika mengenali Helen di antara antrean yang mengular—menunggu giliran dilayani oleh barista kafe.
Titiek Sunday adalah salah satu desainer lokal yang sering meminjamkan pakaiannya untuk pemotretan fashion. Saat mengurus administrasi terkait izin peminjaman pakaian dari butik, Helen biasanya menghubungi Kelli. Nggak hanya membuat urusan peminjaman pakaian jadi mudah dan cepat, cewek itu juga mengusulkan jasa laundry yang sering dipakai oleh Titiek Sunday untuk mencuci bersih semua koleksinya selepas fashion show. Plus, dengan kepribadian ceria dan wajah yang rajin senyum, Kelli adalah sosok yang gampang disukai. Sebentar saja, Kelli dan Helen langsung merasa akrab, nggak ubahnya seperti sahabat lama.
"Girl, how are you?" tanya Kelli—yes, with an i—dengan suara antusias.
Bekerja untuk desainer senior yang sedang go international mengharuskan cewek itu untuk tampil modis setiap harinya. Seperti siang itu, Kelli mengenakan two-piece bergaya athleisure yang dipadupadankan dengan scarf motif chevron. Cewek itu terlihat berkilauan, dibanding Helen yang 'biasa banget' dengan kombo t-shirt dan sweatpants. Telinganya bahkan bisa mendengar dengkingan minder sandal Havaianas-nya ketika bersisian dengan platform wedge boots yang menghiasi kaki jenjang Kelli.
"Not good. Gue nggak bermaksud terdengar dramatis, tapi begitulah keadaannya."
Setelah menyerahkan selembar lima puluh ribuan untuk membayar caramel frappuccino-nya (dan dapat kembalian sekeping uang logam seribuan), Helen mengekori Kelli yang kemudian memilih duduk di meja booth yang kebetulan sedang kosong. Satu per satu cewek itu meletakkan barang bawaannya, gelas green tea latte dan vintage saddle bag Christian Dior yang sempat tenar banget di masanya—thanks to Sex and the City.
"Hah? Kenapa emangnya?"
Helen mengernyit bingung. "Lho, jadi lo belum tahu? Gue nganggur, Kel."
"OMG, sorry, sorry!" Wajah imut Kelli merona saking paniknya. "Gue nggak bermaksud terdengar ignorant."
Helen menggeleng pelan sambil tersenyum. "That's okay. I know you don't mean it."
"Dan, by the way, gue kaget waktu baca pengumumannya di official website-nya Stun."
"Oh, diumumin di sana juga toh. Baru tahu gue," aku Helen sebelum menyesap caramel frappuccino-nya. Rasa manis karamel dan kopi enak menciptakan sensasi menenangkan di lidah cewek itu. Caramel frappuccino adalah favoritnya sepanjang masa, berada di top three bersama nasi goreng nanas dan Coca-Cola Black Cherry Vanilla (yang udah berhenti diproduksi sejak 2007).
"Serius begitu doang solusinya? Nggak niat buat usaha dulu dengan strategi baru—kayak Eighteen tuh. Mereka berhenti nerbitin majalah versi cetak sejak setahun lalu dan seratus persen fokus di online. Buktinya bisa bertahan tuh sampai sekarang."
Helen mengangkat bahu. "Nggak tahu deh. Mungkin keadaan finansial Stun segitu messed up-nya, sampai nggak mampu bertahan lebih lama lagi. Gosip terakhir yang gue denger, manajemen Stun terlilit utang sampai puluhan miliar rupiah."
"Ouchie! Itu sih kebangetan namanya."
Helen hanya menanggapi dengan senyuman.
"Terus, lo gimana sekarang?" tanya Kelli ingin tahu. "Udah dapet kerja lagi belum?"
"Belum," aku cewek itu lirih. Sedikit desperate, malah. "Kalo lo tahu ada lowongan pekerjaan, kabar-kabarin ya. Gue lagi butuh banget nih."
"Gitu ya? Padahal gue justru kepengen nyemangatin lo punya usaha sendiri."
"Hah? Gue?" Helen tertawa nervous. "Dapet ide dari mana gue punya potongan jadi pengusaha?"
"I've seen your works in Stun, juga impact-nya ke baju-baju yang lo feature di situ." Matanya yang berbingkai bulu mata panjang menatap Helen sungguh-sungguh. "Lo masih inget nggak dress pink beraksen rimpel yang gue becandain kayak lengan baju pemain mariachi?"
"Inget, inget. Kenapa memangnya?"
"Gue nggak bilang ya ke elo kalo dress itu paling slow penjualannya di gudang. Gue dan anak-anak sales juga sepakat, dese emang udah pantes masuk sale bin akhir bulan depan. Tapi waktu lo mutusin buat milih dress itu ketimbang sejumlah pilihan new arrival yang gue saranin, entah kenapa waktu itu gue ngerasa lo agak sinting. Kreatif tapi sinting."
"Hahahahahaha!"
"Dan tebakan gue bener," Kelli melanjutkan ceritanya. "Kesintingan lo terbukti ketika mutusin buat majang Nadya Hutagalung dengan dress itu di sampul majalah kalian. But it looks so damn good, gue dan anak-anak sales nggak percaya itu adalah produk yang mau kita jual dengan potongan harga besar. Gue lalu mutusin untuk majang dress itu di maneken toko dengan styling kurang lebih mirip dengan yang lo buat. Tahu nggak apa yang terjadi kemudian?"
Helen mengerjap dua kali sebelum balas bertanya, "A-apa?"
"Stoknya di toko gue hampir sold out dalam kurun waktu satu minggu. Dan ketika ide gue ditiru sales di toko-toko Titiek Sunday lain, angka penjualannya meroket hingga jadi top two di bulan itu."
"Wow, I don't know about that."
"Makanya gue ceritain sekarang. Ternyata yang gue kira kesintingan adalah insting lo yang brilian tentang fashion."
"Yes, tapi kan sama sekali nggak ada hubungannya sama kualitas untuk jadi pengusaha." Helen menggeleng pelan. "I'm no Titiek Sunday."
"Bitch, please. She's like the Madonna in fashion world. Lo nggak akan pernah bisa sampai di level yang sama dengan beliau yang punya segudang prestasi dan pengalaman di bidang desain," kata Kelli, terang-terangan memuji bosnya sendiri. "But that doesn't mean you can't be as successful as her. You totally can. There's nothing impossible in fashion world."
Sekarang, Helen yang gantian ngerasa kalo Kelli itu sinting. Bisnis fashion butuh modal gede dan nggak ada jaminan berhasil juga. Selama satu setengah tahun bekerja di Stun saja, Helen menjadi saksi atas sejumlah desainer yang berhenti berkarier setelah merilis koleksi pertamanya—alasannya simpel: karena keterbatasan dana. Dia juga bisa mengingat beberapa toko favoritnya yang kemudian ditutup oleh pemiliknya karena angka penjualannya nggak mampu mengimbangi besarnya biaya operasional dan gaji karyawan.
Bisnis fashion itu sinting. Cuman orang yang bernyali gede dan berkantong tebal yang berani mengambil risiko untuk terjun ke dunia sinting itu.
*
Malam berikutnya, ketika sedang menonton televisi di ruang tamu kost, tante Helen menelepon—lagi-lagi tentang tawaran pekerjaan di perkebunan hidroponik omnya. "Memang nggak glamor kayak pekerjaan kamu di majalah dulu, Len. Tapi gajinya lumayan. Dan kamu nggak perlu keluar kantor. Nine to five, Senin sampai Jumat."
Helen terdiam untuk beberapa saat. Setelah menghela napas panjang, akhirnya cewek itu akhirnya berkata, "Terima kasih atas tawaran pekerjaannya, Tan. Tapi aku memutuskan buat nyoba buka usaha sendiri."
Hening. "Buka usaha apa, Len?" tanya beliau akhirnya.
Ucapan Kelli kembali terngiang di telinga. "Jualan baju."
*
Awalnya, semuanya Helen lakukan seorang diri; memesan tag baju, berburu bahan bagus di Tanah Abang dan Pasar Mayestik, sampai bolak-balik mengawasi proses produksi di tukang jahit dekat tempat kost. Untuk pemotretan look book pun, Helen menggunakan kamera pinjaman dan Kiki sebagai model. Kedengaran desperate memang, tapi waktu itu Helen benar-benar nekat dan nggak peduli sama sekali. Apalagi ketika tahu Sophia Amoruso, muse-nya, juga melewati hal serupa ketika merintis Nasty Gal-nya.
Cut to lima tahun kemudian, bisnis pakaiannya terbilang lumayan sukses. Dia menamai toko dan brand-nya dengan inisial namanya sendiri HEY!—simpel dan juga gampang diingat. Pegawai Helen mencapai sudah ratusan orang sekarang, punya gudang sendiri dan sepuluh toko yang tersebar di kota-kota besar Indonesia. Dia menjual produknya via website, dengan menawarkan diskon spesial bagi yang kepengen jadi reseller atau dropship. Saat ini, HEY! menjalin relasi dengan hampir empat ratus reseller dan dropship, yang menjual produk-produknya di Facebook dan Instagram, juga online market seperti Yobiyo, Marketpedia, dan BelanjaYuks.
Setelah membuka toko ketiga, Helen merasa harus merombak business model-nya. Terinspirasi fast fashion yang sedang tren ketika itu, Helen membuka lowongan untuk desainer sebanyak-banyaknya. Prinsipnya sederhana saja: ketimbang menyetok produk dengan jumlah besar, lebih baik melipatgandakan variasi produk dengan stok terbatas. Selain itu, Helen juga membuat SOP (Standard Operating Procedure) baru yang jauh lebih efisien. Jadi, mulai dari desain, proses produksi, sampai distribusi yang biasanya makan waktu berbulan-bulan, kini dibatasi hanya empat minggu saja.
Helen juga memanfaatkan teknologi logaritma untuk mengetahui selera pasar. Transaksi penjualan setiap harinya dicatat dengan program komputer, yang menerjemahkannya menjadi data solid tentang preferensi konsumen di masing-masing toko. Dengan begitu, divisi marketing bisa dengan mudah menyimpulkan kalo toko yang satu menjual dress lebih cepat daripada toko lainnya, atau item mana saja yang perlu dikurangi jumlah produknya karena ternyata kurang laku.
Setelah beberapa tahun, Helen memutuskan untuk menambah satu pabrik lagi yang akan meng-handle tambahan kapasitas produksi HEY! setiap bulannya. Dia membentuk tim marketing sendiri yang tugas utamanya adalah menjajakan produk fashion mereka dalam partai besar, dengan layanan OEM (Original Equipment Manufacturing) dan private labelling. Dengan angka minimal tertentu, klien bisa memesan produk dengan label atau brand mereka sendiri. Setelah beberapa kali mempromosikan servisnya di acara trade show tingkat Asia, pesanan OEM rutin datang nggak hanya dari negara-negara di Asia, juga dari beberapa klien besar di Amerika Utara dan Eropa Timur.
Sukses besar untuk kali kedua, Helen terdorong untuk mencoba tantangan baru: masuk ke pasar high-end fashion.
Sadar kalo ini adalah target market yang paling susah dipuaskan, Helen jauh lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Rencananya, HEY! DELUXE akan memproduksi formal wear, gaun pengantin, dan perhiasan mewah. Launching-nya akan direncanakan awal bulan depan, sekaligus merayakan ulang tahun HEY! juga.
>>
Nggak terhitung berapa kali Kiki menasehati Helen untuk mendelegasikan sebagian pekerjaannya. "Percuma banget dong lo punya karyawan segitu banyak kalo lo-nya rempongria sendiri kayak gini." Helen kemudian beralasan, dirinya sudah terbiasa dengan gaya micro management. Segala keputusan, besar maupun kecil, yang menyangkut operasional perusahaan harus dibuatkan surat resmi dan mendapat approval dari meja Helen.
"Semuanya harus ikut maunya gue atau nggak sama sekali," kata cewek itu.
Sisi jeleknya sistem yang diterapkan oleh Helen ya kayak sekarang ini. Cewek itu jelas-jelas super ribet dengan persiapan launching HEY! DELUXE dan tetep aja lho dengan keras kepalanya dia masih bilang nggak butuh bantuan orang lain.
Dilarang ngeluh, Helen menghibur diri sendiri. Memang harus kerja keras supaya bisa terus sukses. Jadi dilarang ngeluh!
....
....
Sniff, sniff.
Helen tertegun ketika membuka pintu apartemen dan indra penciumannya langsung disambut oleh aroma sedap yang familier.
"Jon?" panggil cewek itu dengan suara nggak yakin.
"Di dapur."
Catatan:
Bunion terbentuk ketika tulang atau jaringan di sendi di bagian bawah jempol kaki bergeser keluar dari tempatnya. Gerakan abnormal dan tekanan selama bertahun-tahun—misalnya, karena sering memakai sepatu hak tinggi—memaksa jempol kaki untuk tertekuk ke arah yang lain, yang menyebabkan benjolan yang menyakitkan di bagian sendi (diterjemahkan bebas dari www.clevelandclinic.org).
-
Kecapekan Ennichisai, tidurnya kayak kebo!
Haghaghag~ enjoy the (very late) update of MADE FOR SIN!
CHRISTIAN SIMAMORA
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top