4
Bahkan setelah dua hari berlalu pun, Jonan masih belum mendapatkan jawaban yang dia cari.
Buat cowok itu pribadi, sahabat kakaknya itu tetap pantas dianggap pain in the ass. Tapi, waktu itu, ketika meringis menahan sakit karena kakinya terantuk meja, Jonan merasakan gelenyar ganjil karena cewek itu. Out of the blue, tiba-tiba komentar 'cute' melompat keluar dari benaknya. Begitu random sehingga Jonan nggak menyangka sama sekali, sekaligus begitu out of context karena yang berada di hadapannya ketika itu nggak lain dan nggak bukan adalah Helen.
Hell-len, remember?
Gue harus berhenti mikirin Helen, putus Jonan, kalo gue mau bikin si junior nggak ngaceng sembarangan (dan nggak dibantai sampai mati sama Kak Kiki) selama numpang tinggal di apartemen ini!
*
Sekitar pukul delapan (lewat beberapa menit, kayaknya), Jonan memutuskan untuk keluar kamar. Lapar—sesuatu yang nggak bisa ditahan lama-lama, apalagi oleh cowok bernafsu makan besar seperti dirinya.
Ketika membuka pintu, dalam hati dia berdoa pada Tuhan nggak usah ketemu dengan Helen. Tapi sepertinya Tuhan mendengar permintaannya itu dan memutuskan untuk memberi yang sebaliknya—sebagai hukuman karena jarang kebaktian or something.
Kurang dari satu menit, Jonan berpapasan langsung dengan Helen. Sekujur tubuhnya langsung meremang waspada—tapi penampilan rapi cewek itu berhasil membuatnya bengong untuk beberapa saat. Seperti bunglon, Helen beneran beda banget saat berangkat kerja—sampai sulit dikenali. Dari ujung kepala hingga ujung kaki... wow! Cewek itu mengenakan baret merah, yang tampak serasi dengan rambutnya yang juga dibiarkan tergerai. Atasan asimetris dan celana panjangnya juga sewarna, tapi nggak tampak menyolok mata karena dipadankan dengan trench coat warna khaki yang disampirkan di kedua bahunya. Helen tampak kewalahan dengan barang bawaannya di satu tangan: tas tangan, handphone, dan kacamata oversized. Dia bahkan dengan lancangnya bertumpu di bahu Jonan ketika harus memperbaiki strap sepatunya.
"Ahhh, all better now!" kata Helen, lalu memakai kacamatanya.
Jonan nggak percaya kalo cewek yang dia lihat selama kurang dari 24 jam terakhir ini adalah seorang desainer ternama. Tapi sekarang... yeah, no doubt about it. She really looks like a woman of taste, batinnya.
Helen menghela napas panjang, seolah nggak yakin harus mengatakan sesuatu yang bukan merupakan kata-kata umpatan. Tapi kemudian Jonan melihatnya tersenyum sedikit, sepertinya merupakan usaha cewek itu untuk menoleransi eksistensinya. Tapi bisa jadi juga senyuman barusan adalah ilusi. With her, you never know, batinnya.
"Mau sarapan ya?"
Jonan mengangguk. "Ada makanan apa di sini?"
"Kalo lo mau roti, ada di bawah tudung saji. Mentega dan selai juga di situ. Kalo lo kepengen masak mi instan, ada beberapa di tempat penyimpanan bahan makanan... right there." Helen menunjuk ke rak pantry yang berada tepat di atas blender. "Gue berharap, setelah sarapan lo nyuci piring dan gelas bekas makan lo. Sisa makanan langsung dibuang ke tempat sampah."
"Oke."
Ketika tinggal dua langkah lagi menuju pintu, Helen tiba-tiba berhenti. Cewek itu membalikkan tubuhnya hanya untuk menambahkan, "Oh ya, lupa bilang: pipa bak cuci piringnya agak bocor, jangan dipake dulu. Lo nyuci piringnya pake wastafel kamar mandi aja ya. Cuman buat hari ini aja kok. Orang maintenance udah janji bakal datang besok buat memperbaiki. Hari ini dia berhalangan karena ada urusan keluarga mendadak."
"Kenapa nggak minta tolong sama gue aja?"
Helen mengernyit. "Why?"
"Sebelum terjun ke dunia start-up, gue sempet nyoba macem-macem pekerjaan. Salah satunya adalah bagian umum. Memperbaiki sambungan listrik, pipa air yang bocor—you name it, pernah gue lakuin semua."
Mata Helen menyipit. "But... are you good at it?"
Jonan mendesah. "For your information, gue memutuskan resign dari pekerjaan itu—bukan gara-gara dipecat karena nggak becus kerjanya."
"Cuman buat mastiin aja." Amazing, cewek itu bisa terus merasa nggak bersalah meskipun baru aja terang-terangan meremehkan kemampuan Jonan bertukang. "Fine, you can fix it. Tapi kalo bingung, mending nggak usah lo lanjutin. Gue udah manggil tukang beneran, soalnya."
"Gue juga tukang beneran, Kak Helen."
Helen manggut-manggut saja. Sepertinya lagi nggak kepengen menghabiskan waktunya yang berharga untuk berdebat dengan Jonan.
*
Untuk memastikan kali terakhir, Jonan memutar penuh keran bak cuci piring dan airnya melewati pipa di bawah tanpa menetes sedikit pun. Cowok itu tersenyum puas. Ternyata memang segampang dugaannya, cuman butuh dikencengin aja. Malah, sebagai bonus servisnya, Jonan membersihkan bagian dalam pipanya. Jadi sekarang, nggak hanya bebas bocor, sabun cuci dan sisa makanan juga mengalir lancar menuju saluran pembuangan.
Ketika menyadari kemejanya basah kuyup, Jonan berencana untuk langsung mandi setelah ini. Tapi... tunggu dulu. Jonan mengendus aroma manis berada di sekitar dirinya. Dari mana ya asalnya?
Sniff, sniff.
Aroma itu tercium lebih jelas ketika Jonan mengendus bahu kanannya. Dan kalo nggak salah, di situlah tadi Helen menumpangkan tangannya.
Cowok itu terdorong untuk mengendus bahunya sekali lagi. Aroma manis itu mengingatkannya pada buah tertentu. Nanas? tebak Jonan dalam hati, nggak terlalu yakin juga.
♪ 'I won't feel dirty and buy into their misery
I won't be shamed cause I believe that love is free
It fuels the heart and sex is not my enemy....' ♬
Potongan lagu Sex is not the Enemy-nya Garbage dengan cepat menyadarkan Jonan dari lamunan dan kemudian menggerakkan tangannya untuk merogoh bagian dalam saku celana. Nama dan foto tengil kakaknya terpampang besar-besar di layar sentuh handphone-nya.
"JONTOR!" sapa suara di seberang sana, kalah cepat dengan sapaan Jonan.
"Jrit, kaget gue!"
"Whatev." Kiki tertawa sendiri. "Gue cuman mau nanya, lo dan temen gue baik-baik aja kan di apartemen?"
"Kenapa? Helen ngadu apa lagi sama lo?"
"Justru karena nggak laporan sama sekali, gue mikirnya lo dah bunuh dia pas lagi tidur."
"Astaga, fitnah lo kebangetan banget, Kak! Dan tragis ya... lo yang jelas-jelas darah daging gue sendiri justru lebih berat ke Helen ketimbang adek lo satu-satunya ini."
"Shuddup!" Suara ngakak Kiki terdengar stereo banget di speaker handphone. Dia yang dengerin dari sini aja merasa keganggu, apalagi yang lagi ada di sekitar Kiki saat itu. Semoga aja gara-gara kakaknya itu nggak sampai bikin Yogyakarta menyatakan diri darurat kuntilanak.
"Beneran nanya nih gue: kalian nggak berantem kan?"
"So far sih nggak." Shit, aroma manis tadi lagi-lagi nggak sengaja terhirup dan sempat merusak konsentrasi Jonan. Untungnya, dia bisa mengendalikan diri dengan cepat dan melanjutkan ucapannya, "Apalagi karena gue memang sengaja meminimalisir interaksi gue sama temen lo itu."
"Terus, lo sendiri gimana? Nggak hook-up lagi kan di apartemen?"
"Gue nggak nerima tamu siapa pun selama beberapa hari ini." Jonan menghela napas panjang. "Segan gue. Thanks to Helen—no, Hell-len."
"Pertahankan keseganan lo itu sampai gue pulang dari Yogya," kata Kiki. "Dan teruslah lo ngebaik-baikin Helen. Dia cewek awesome dan sahabat paling awet yang gue punya. Ke orang lain juga dia biasanya ramah kok. Pokoknya asal nggak ditengilin aja—"
"Maksud lo bilang gue tengil?"
"Lo cuman dua minggu di sini, Jontor! Nggak bisa ya lo ngelatih burung perkutut lo itu buat puasa nafsu sampai lo balik ke Singapura?"
"Eek lo, Kak!"
"Bodo!"
"Dan ngebaik-baikin Helen itu persisnya kayak gimana sih?" tanya Jonan sambil berselonjor di atas meja makan. Sesuatu yang hanya bisa dia lakukan kalo nggak ada ibu tiri Helen berkeliaran di sekitarnya. "Temen lo itu kayak ibuk-ibuk robot di buku Stepford Wives, kaku banget sama aturan. Gue yakin definisinya bersenang-senang itu ngerapiin isi lemarinya berdasarkan urutan warna. Atau nyusun koleksi bukunya berdasarkan Dewey decimal."
"Sialan lo! Helen gue nggak seburuk itu." Meskipun begitu, Kiki enggan mengakui kalo tebakan Jonan nggak meleset dari kenyataan yang sebenarnya. Kapan pun kalo lagi senggang, sahabatnya itu menghabiskan waktunya dengan merapikan isi kamar dan lemarinya. Meskipun nggak berdasarkan urutan warna, baju di lemari pakaian Helen sebelas-dua belas rapinya dengan di display butik.
Begitu juga dengan koleksi buku di rak besi di ruang tengah, disusun berdasarkan ukuran. Yang paling kecil macam koleksi komik shoujo terjemahan berada diatur dengan posisi berdiri di sebelah kiri, begitu terus sampai yang paling tinggi—seperti bundelan majalah Vogue lama dan coffee book berisi dokumentasi rancangan couture Christian Dior. Hanya Helen yang masih rajin berbelanja buku hingga sekarang, berbeda dengan Kiki yang merasa cukup puas dengan memanfaatkan aplikasi e-book reader di handphone semaksimal mungkin.
"But she is definitely a different kind of woman," kata Jonan, masih belum menyerah mengotak-ngotakkan Helen seenak udelnya.
"Kalo itu gue setuju," timpal Kiki. "She is special, to be exact. Dan karena Helen itu spesial, lo juga wajib memperlakukan dia dengan beda. Dia nggak kayak serenceng bimbo yang lo ajak telanjang-telanjangan selama ini."
Jonan mendengus. "Tenang aja, gue bahkan nggak kepikiran sama sekali buat telanjang-telanjangan sama temen lo itu. She's sooooo not my type."
"Thank Goooood! Makin lega deh gue jadinya."
"Eek!"
"Awww, love you too, Lil Bro," balas Kiki sambil tersenyum semanis sakarin. "Eh, talk to you later yaaaa—tamu lunch meeting gue baru aja dateng nih!"
"Oke, oke. Selamat rapat! Bye—"
Klik.
Testimoni Kiki tentang sahabat slash teman seapartemennya barusan bener-bener nggak masuk akal. Gimana mungkin kakaknya yang cool itu bisa cocok dengan Helen yang notabene superduper serius. Mood-nya gampang rusak hanya karena hal-hal kecil. Dan setiap kali berduaan dengannya, Jonan merasa seperti membawa balon di taman kaktus. Apa pun yang dia lakukan—bahkan bernapas sekalipun—selalu dianggap salah sama Hell-len. Makanya dia berharap Kiki cepetan balik dari perjalanan dinasnya di Yogyakarta. Kehadiran Kiki pasti bisa mengalihkan perhatian tajam cewek itu dari dirinya. Jonan pun bisa tinggal dengan nyaman di apartemen ini hingga saatnya pulang nanti.
Setelah membuat Indomie telur kornet untuk dirinya sendiri (quite delicious, actually), Jonan mencuci piring bekas makan dan panci penggorengan, lalu menyusunnya serapi dan sehati-hati mungkin di rak piring. Untuk kali pertama, cowok itu bahkan terdorong untuk membersihkan permukaan stainless bak cuci piring dengan kain lap kering—takut diomeli Helen lagi.
Pandangan cowok itu beredar ke sekeliling apartemen hingga akhirnya tertumbuk pada rak buku merangkap tempat menaruh pajangan di ruang tengah. Jonan berjongkok untuk melihat-lihat judul buku yang tersusun rapi di situ.
Koleksi buku yang menarik, didominasi oleh buku-buku tentang fashion dan desain—topik yang nggak terlalu menggelitik minatnya. Jonan lebih menyukai buku biografi atau nonfiksi yang berhubungan langsung dengan dunia start-up yang sedang digelutinya.
Tangannya kemudian terulur pada buku kumpulan resep Nigella Lawson. Jonan nggak berencana untuk membacanya, hanya kepengen membolak-balik sembari menikmati foto hasil jadi masakan dengan kualitas artistik yang konsisten di setiap halamannya.
Jonan tiba-tiba terpikir sesuatu, yang mendorongnya untuk mengeluarkan handphone dari saku celana. Jari-jarinya seperti menari di atas layar sentuh, mengetikkan pesan cepat untuk Kiki via WhatsApp.
Jonan Vilokan Jayasurya : Kak, mau nanya. Temen lo itu sukanya makan apa?
-
Sorry for a very late update. Babang keasyikan nonton drakor, haghaghag!
Enjoy the update, pepperoni lovers!
Mwa mwa,
CHRISTIAN SIMAMORA
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top