2

Keesokan harinya, Helen terbangun dengan ekspresi horor dan keringat dingin membasahi kedua telapak tangannya. Barusan dia mimpi buruk—buruk banget, malah. Melibatkan orang yang paling kepengen dia tujes-tujes pake ulekan.

Helen meraba-raba permukaan side table hingga menemukan segelas air putih, lalu menandaskan isinya dalam sekali tegak.

Masih, keluhnya dalam hati. Bukannya sedikit demi sedikit memudar, detail mimpi buruknya itu malah semakin jelas seolah Helen mengalaminya sendiri. Padahal, ingatan kepala tiganya adalah saksi yang nggak terbantahkan, sudah lama yang seperti itu nggak terjadi dalam hidupnya. And she kinda misses it, actually—but not with him.

Abso-fucking-lutely not with him.

Ketika menurunkan pandangan dan menatap tangannya sendiri yang terlipat di atas bedcover, Helen malah terngiang ucapan cowok di mimpi tadi.

"Nice hands, Kak Helen."

Jijik banget kan? Perasaan, baru hitungan beberapa jam lalu deh berkonfrontasi langsung dengan Jonan a.k.a. fuckboy a.k.a. douchebag a.k.a. aselole di ruang tengah, dan cowok bangke itu jadi tamu tak diundang, sembarangan masuk ke mimpinya?! Taik banget!

Lebih taik lagi, karena Helen mengingat persis seperti apa dia membalas cowok itu.

"Thank you for the compliment, Sexy." Helen tersipu-sipu malu sambil memamerkan kedua tangannya di udara. "Nggak percuma kan french manicure-an dua minggu sekali di nail salon langganan?"

Helen membekap wajahnya dengan dua tangan. Bener-bener nggak tahu malu, ejek suara hatinya sendiri.

Entah referensi apa yang menginspirasi Helen untuk menggambarkan ekspresi wajah Jonan ketika balas menatapnya dalam-dalam. Matanya berkobar-kobar seperti api neraka. Memberi isyarat tahu sama tahu tentang hal berdosa apa yang sedang dia rencanakan untuk mereka lakukan bersama.

"I bet your lips look better wrapped around my—"

Thank God Helen langsung bangun sebelum Jonan-versi-mimpi berhasil meneruskan ucapannya!

Setelah merasa lebih tenang, Helen memutuskan untuk menggeser tubuhnya ke tepi ranjang dan menyurukkan kedua kakinya satu per satu masuk ke sandal kamar. Dia melirik gelas kosong di side table, lalu menghela napas bete. Harus keluar kamar ya, keluhnya malas.

Dengan mood yang tersisa, Helen memaksakan dirinya untuk berjalan menuju pintu. Tapi ketika melewati lemari pakaian, langkahnya terhenti. Berbalik dan menatap bayangannya sendiri terpantul di cermin yang di-built in di pintu lemari. Lalu... bengong lagi.

Well, lebih tepatnya sih melamun. Kembali teringat mimpi nggak senonohnya tadi, tapi kali ini Helen mengerti.

Udah berapa lama sejak kali terakhir deket sama cowok, hmmm? Helen bisa mendengar suara hatinya setengah bertanya, setengah menyindir.

Lama banget.

Suara hatinya tertawa, lalu pelan-pelan suaranya terdengar seperti mau menangis. Lama banget? Apa lo segitu nggak menariknya?!

Helen mengamat-amati bayangannya, kali ini lebih intens dan serius daripada sebelumnya. Well, kalo liat gue pagi ini—dengan rambut berantakan, muka yang masih ada sisa krim anti-jerawat, kaus kebesaran dan udah belel pula—tentu aja jawabannya: iya. Tapi kalo gue udah pake make-up dan pakaian bagus, I still can make boys stare at me and have impure thoughts. Not that I endorse such behavior ya....

Kalo gitu, kenapa lo belum punya cowok sampai sekarang? Udah nyerah?

Nggaklah!

Terus apa dong alasannya?

Gue sibuk!

Untunglah, sebelum suara hatinya terus menginterogasi sampai bikin Helen merasa terpojok dan nangis mewek pagi itu, sayup-sayup dia mendengar suara seksi Luc Wolff, vokalis Expectation, membawakan lagu favoritnya:


'Kiss her crazy, kiss her stupid.

And when I ask for her name and she doesn't answer,

that's the sign to kiss her more.'


Saking sukanya, sekali denger aja udah cukup jadi alasan untuk men-download lagu itu dan memilihnya sebagai ringtone—menggantikan Open Bar-nya Pabllo Vittar.

"Halo, Len," sapa Kiki, di sela suara kresek-kresek ganggu di seberang sana.

"Halo juga."

Setelah mencabut kabel charger, Helen membawa handphone-nya serta rebah-rebah lagi di tempat tidur.

"Gue nggak ganggu bobok lo kan?"

"It's okay. Udah pukul enam lewat juga—memang udah saatnya buat bangun."

Tazkia Kamaratih Jayasurya terdengar anggun dan sepintas seperti nama bangsawan, sebagian besar yang mikir kayak gitu bakal kecewa berat ketika bertemu langsung dengan orangnya. Kiki memang cantik dan berpenampilan menarik, tapi jauh dari kata anggun. Daripada menghabiskan waktu di salon, cewek itu lebih suka menghabiskan waktunya berjam-jam di perpustakaan atau, sekarang, di depan laptop—karena informasi di internet jauh lebih lengkap. Kiki suka menonton dokumenter, film yang terinspirasi dari kisah nyata, dan belakangan... acara true crime. Dia punya satu external harddisk yang berisi koleksi episode lengkap true crime dari berbagai sumber. Sebisa mungkin Helen menolak dengan halus dan cepat-cepat melipir setiap kali Kiki mengajaknya menonton true crime bareng. No way, Jose!

Tapi... masa-masa kuliah bakal terasa hambar tanpa dirinya. Saking berkesannya, Helen bisa dengan cepat membuat daftar hal-hal berkesan yang pernah dilewatinya bersama Kiki. Biasanya dimulai dengan fakta kalo kamar Kiki dan Helen dulu bertetangga di Pondok Serena, nama tempat kost mereka dulu. Kiki rela bolos kuliah sehari demi merawat Helen yang kena gejala tipus. Waktu Helen nggak masuk daftar penerima beasiswa di fakultasnya, Kiki nggak membiarkan Helen meratapi nasib di kamar. Cewek itu memaksanya ikut naik ke motor Yamaha-nya, lalu bersama-sama menghabiskan waktu semalam suntuk dengan nongkrong dan keliling-keliling Jakarta. Waktu Helen beli komputer PC lebih dulu, Kiki rajin membangunkannya tiap pagi demi meminjam komputernya sebentar hanya untuk mendengarkan lagu favoritnya di Winamp: Mirae-nya Kiroro. Hanya Kiki yang berhasil bikin Helen menyukai sebuah lagu sampai benci banget (karena diputar ratusan kali) dan balik suka lagi. Kalo Kiki dan Helen karaoke bareng, Mirae adalah lagu pertama sekaligus lagu terakhir yang mereka nyanyikan dengan penuh penghayatan.

Kiki adalah sahabat terbaik yang pernah Helen miliki dan nggak ada yang bisa membantahnya. Jadi ketika suatu hari Kiki mengusulkan mereka untuk membeli apartemen berdua, Helen langsung mengangguk setuju tanpa berpikir panjang lebih dulu. "Kayak kita dulu," imbuh Helen ketika itu, yang diamini Kiki dengan anggukan penuh semangat.

"Eh, Yogyakarta apa kabar? Udah ke mana aja lo?"

"Kemaren gue keliling Malioboro, tapi anehnya nggak belanja sama sekali. What's wrong with me?"

"Hahahahaha, mungkin karena lo-nya fokus buat nyari pabrik baru di sana, jadi nggak mood buat belanja."

"Iya kali ya."

Oh, Helen belum cerita ya, kalo Kiki itu sama-sama girlboss seperti dirinya. Malah, keduanya tertarik terjun ke dunia bisnis karena terpicu cerita inspiratif seorang girlboss. Bedanya, kalo Helen terinspirasi oleh perjuangan founder Nasty Gal, Sophia Amoruso, Kiki kagum banget sama sejarah berdirinya merek kosmetik asal Australia, Bloom Cosmetics. Natalie Bloom memulai dengan paket gift dan kartu ucapan yang dia kerjakan sendiri di rumah orangtuanya. Kecintaan Natalie pada bahan-bahan alami dan obsesinya pada kemasan segera mengubah proyek hobi itu menjadi bisnis kosmetik serius.


<<

Sebagai lulusan teknik kimia, cerita sukses Natalie Bloom itu dengan mudah menggelitik semangat di dalam diri Kiki. Setelah riset dan mencoba terus selama tiga bulan, Kiki menjual produk pertamanya: lipstik matte beraroma buah. Karena belum terlalu pede, beraninya baru berjualan ke teman-teman dekat. Nggak disangka, produk buatan Kiki itu langsung sold out dalam kurun waktu tiga hari. Mereka bilang, lipstik matte cenderung bikin bibir kering dan pecah-pecah, tapi yang seperti itu nggak terjadi ketika memakai produk buatan Kiki. Malah, saking puasnya, salah satu pembelinya mengaku berniat terus memakai lipstik Kiki ketimbang merek terkenal yang dipakainya selama ini. "Gue bakal ngerekomendasiin lipstik lo ini ke temen-temen gue di kantor," katanya. "Lipstik lo ini mereknya apa, Ki?"

Setelah terdiam cukup lama, Kiki menjawab, "Kissing Friends."

And the rest is history.

Setelah setahun lebih berjualan lipstik secara gerilya, Kiki memutuskan untuk mendirikan perusahaan kosmetiknya sendiri. Nggak ragu sama sekali ketika menggunakan seluruh isi tabungannya untuk memesan satu batch lipstik liquid-to-matte dari pabrik di Cina. Rencananya, Kissing Friends akan merilisnya sebagai koleksi Naughty Boys, yang terdiri dari tiga varian warna: neon pink (yang dikasih nama: Friends with Benefits), ungu (Rockstar Hunk), dan firetruck red (Hot Boyfriend). Bagi yang kurang familier, liquid-to-matte lipstick adalah lipstik cair dengan kandungan pigmentasi tinggi, jadi cukup dipulas satu kali saja. Nggak hanya tahan lama, lipstik jenis ini tetap terasa ringan di bibir meskipun dipakai seharian. Hebatnya lagi, kalo kepengen dibuat lebih matte, tinggal dihapus sedikit aja dengan tisu.

Sadar produk inovatifnya masih terdengar asing ketika itu, Kiki memutuskan untuk menghindari teknik marketing tradisional dan sepenuhnya mengandalkan jasa sejumlah influencer di Twitter dan Instagram, serta seorang beauty vlogger bernama Santi Sharmila—yang punya channel di Youtube dan jutaan subscriber fanatik.

Keputusan itu membuahkan hasil karena hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja, Kiki harus memesan batch baru lagi. Kali ini, dengan jumlah tiga kali lipat lebih banyak daripada sebelumnya. Nggak cuman datang dari para subscriber yang menonton Santi memuji-muji lipstik Naughty Boys-nya di salah satu episode vlog-nya ("The best part is: pas lagi nyium pasangan—or in my case, mah boyfriend—lipstik ini nggak bakalan ninggalin bekas di pipinya! Which is oke banget, secara selama ini, abis dicium, mah boyfriend biasanya langsung pasang tampang risih dan ngelap-ngelap pipinya pake tangan. Bener kan, Bae? Hayo, ngaku deh!" Si pacar, yang lagi diajak ikut syuting hari itu, sampai tersipu-sipu karenanya), pesanan juga datang dari sejumlah toko kosmetik—baik lokal maupun dari negeri tetangga.

Promosi mouth-to-mouth itu juga berhasil menarik perhatian media mainstream. Majalah remaja Framboise memajang ketiga lipstiknya di rubrik kecantikan mereka, majalah fashion Corsette Indonesia memberi bintang lima dan reviu penuh pujian, dan pencapaian terbesar adalah ketika majalah Mascara menubuatkan Naughty Boys-nya Kissing Friends sebagai Matte Lipstick of the Year.

Ketika Kissing Friends mengumumkan preorder untuk tujuh varian baru Naughty Boys, pemesannya mencapai ribuan bahkan melewati kuota yang ditetapkan. Ketika itulah Kiki akhirnya benar-benar menyadari, mimpinya sebagai girlboss benar-benar tercapai.

>>


Setelah membuktikan kualitas kosmetiknya nggak kalah dengan merek terkenal, pada awal Januari tahun lalu Kissing Friends merilis lini perawatan tubuh. Mengawali dari yang paling basic dulu: sabun mandi, produk 2-in-1 shampoo & conditioner, dan facial wash. Sekali ini, semua produk perawatan tubuhnya diproduksi di Indonesia. Keputusan yang tepat... sampai kabar buruk datang ke e-mail perusahaan Kiki sebulan yang lalu.

Pabrik di Surabaya yang selama ini memproduksi lini perawatan tubuhnya dijual dan pemiliknya yang baru merombak manajemennya habis-habisan, termasuk dengan mematok harga lebih tinggi untuk pesanannya. Kiki pun memutuskan untuk mengakhiri kerja sama mereka dan bergegas mencari pabrik baru. Setelah mencari bersama stafnya, Kiki berhasil membuat janji meeting dengan representatif dari tiga pabrik kosmetik di Yogyakarta. Dia juga diundang untuk berkunjung ke ketiga pabrik itu, dalam hari yang berbeda tentunya.

"Semoga aja cocok, jadi gue nggak usah perlu order dari Cina, kayak plan B gue sebelumnya," kata Kiki, lalu cipika-cipiki dengan Helen sebelum berangkat ke bandara. "Oh iya, hampir aja lupa: titip adek gue ya, Len. Dese kan bela-belain terbang dari Singapura demi acara reuni angkatannya. Karena gue juga dah lama nggak liat batang idungnya, ya sekalian gue suruh liburan aja. Nggak pa-pa kan kalo dia bakal tinggal bareng di apartemen kita sampai dua minggu ke depan?"

Waktu itu sih, Helen mengiyakan saja. Sesuatu yang sangat dia sesali sejak kemarin.

"Tapi, janji deh, sebelum ke bandara nanti, gue sempetin balik ke Malioboro lagi," kata Kiki. "Mood atau nggak mood, gue mau belanja. Gue butuh belanja!"

Helen tertawa kecil, nggak sadar kalo Kiki serius dengan ucapannya. Sesuatu yang baru dia sadari ketika mendengar cewek itu melanjutkan ucapannya, "Buat gue dan oleh-oleh buat lo juga—itung-itung ucapan terima kasih karena lo dah berbaik hati ngizinin adek gue nginep."

"Yeah, about that."

Mata Kiki langsung menyipit curiga di seberang sana. "K-kenapa, Len?" Suaranya langsung khawatir. "Jonan nggak bikin masalah kan?"

"Bikin masalah sih nggak." Helen sempat merasa nggak enak harus mengadu kayak gini. Tapi melihat sikap songong Jonan tadi malam, satu-satunya cara untuk menjinakkan adik cowoknya itu memang harus dengan melibatkan Kiki. "Cuman kemaren... gue kesel karena dia sembarangan ngajak cewek dan make out di ruang tengah. Gue komplain langsung ke Jon dan, euh, end up-nya malah nyebelin."

"Oh God, so, so, SO sorryyyy! Adek gue emang pain in the ass—nggak elo doang kok, keluarga gue juga ngakuin."

Oh ya?

Terus terang, selama bersahabat dengan Kiki, dia nggak banyak mendengar cerita tentang Jonan. Kalopun ada, cuman yang baik-baiknya; macam Jonan dan tiga orang temannya memenangi juara satu di kompetisi ilmiah tingkat mahasiswa dengan perangkat portable yang bisa mendeteksi kandungan daging babi dalam makanan (which is, hebat kan ya?), lulus kuliah dengan predikat cum laude (hebat banget!) dan merupakan pendiri start-up yang sukses (luwarrr biasahh!).

Cerita-cerita yang, by the way, membentuk bayangan tertentu di dalam kepala Helen. Cewek itu mengira, Jonan adalah cowok cerdas yang menyukai hal-hal nerdy. Yang bakal superexcited setiap kali Merriam-Webster mengumumkan serenceng kata baru di awal tahun. Yang setiap malam minggu lebih suka tinggal di rumah, memikirkan cara baru untuk menerapkan Dijkstra's algorithm (jangan tanya itu apaan, Helen cuman pernah denger sekali disebut-sebut di salah satu episode serial TV, entah itu Numb3rs atau The Big Bang Theory). Pokoknya jauh bangetlah dari cowok yang dia pergoki lagi pangku-pangkuan sama cewek di ruang tamu tadi malam!

"Nggak kehitung berapa kali Jonan dan bokap berantem, terus kedengaran ke tetangga sebelah. Itu sebabnya dia lebih milih buat stay di apartemen kita daripada nginep di rumah Bokap dan Nyokap di Bekasi. Meskipun gue dah nyindir-nyindir kelakuannya itu sebelas-dua belas dengan Malin Kundang, masih aja dia bersikeras sama keputusannya."

"Gue sama sekali nggak keberatan dia mau hook-up sama siapa aja, asal ngelakuinnya di kamar—jangan di ruang tengah."

"Setuju," ujar Kiki membenarkan. "Sesuai kesepakatan kita dulu itu kan."

"Exactly! Gue juga bilang gitu ke adek lo. Dan tahu nggak, sebelum akhirnya gue maksain diri buat ganggu Jonan sama ceweknya—atau siapa pun dese yaaa—gue sempet bertahan untuk stay di kamar selama satu setengah jam lebih! Laper masih bisa gue tahan, ada sisa satu bungkus Lay's di kamar. Tapi makan keripik kentang berbumbu micin kan bikin cepet haus—sesuatu yang mana mungkin bisa gue tahan. Masa iya gue terpaksa minum air nggak matang dari wastafel hanya karena segan gangguin adek lo lagi grepe-grepean di ruang tengah? Yawdahlah ya, gue keluar deh akhirnya—buat ngambil minum, sekalian negur dia juga."

"Sekali lagi gue minta maaf ya. Gue janji, abis ini gue bakal nelepon Jon dan negur dia langsung. Gue juga nggak kepengen dia bikin lo nggak nyaman sama kehadiran dia selama tinggal di tempat kita."

"Makasih, Ki. Nggak usah dikerasin kalo masih bisa diomongin baik-baik."

"Lo serahin aja semuanya sama gue. Love you, Sis."

"Love you too, Sis. Jaga kesehatan ya selama di sana!"

"Okie dokie."

Klik.


Sori part 2-nya telat publish. 

Babang nggak ngerti kenapa publish pake Firefox susah banget. Ini sampe pindah browser lho saking udah nyerah nungguin loading-nya Firefox. 

Anyway, enjoyyy!


Mwa mwa,

CHRISTIAN SIMAMORA


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top