16
Hello, internet!
Bertemu lagi dengan Babangse. Kangen nggak? Karena Babang kangen berat.
Akhir tahun 2019 terbilang berat buat Babang. Babang tiba-tiba demam tinggi dan dua jari di dua tangan Babang tiba-tiba nggak bisa digerakkan. Demam tinggi lagi dua minggu kemudian, tempurung kaki kanan Babang yang kena. Setelah bolak-balik berobat, tes darah, yada yada yada... Abang bisa dibilang sembuh. Meskipun begitu, tangan dan kaki nggak otomatis baikan karena ternyata Babang juga defisit kalsium. Jadi nambah lagi deh proses recovery-nya, sampai bener-bener bisa jalan normal.
Jadi baru mulai aktif menulis ya sejak awal tahun 2020 ini. Setelah nabung beberapa plot untuk novel reguler, Babang ngerasa nyaman untuk mulai lagi dengan Made For Sin.
So that's whats up. Now enjoy the latest part of this story.
Mwah!
--
Bunda sangat bangga dengan helai-helai uban yang merata warnanya di kepala. Tatanan rambut favoritnya adalah menyasak rambutnya hingga terlihat tinggi di puncak kepala, sementara rambut dari samping dan belakang digelung rapi hingga membentuk konde kecil—terinspirasi dari gaya rambut ikonik Imelda Marcos. Setiap keluar rumah, wajah Bunda pasti full make-up, tapi beliau berusaha nggak terlihat terlalu vulgar. Nggak pernah sekali pun Helen melihat bundanya itu mengenakan lipstik merah menyala—pilihannya, kalo nggak peach, ya nude.
Sebaliknya, untuk urusan pakaian dan aksesori Bunda malah menyukai warna-warna bold dan menyolok. Nggak sulit menemukan Bunda di antara pengunjung restoran hotel sore itu, yang terlihat menonjol dalam balutan baju kurung motif bunga rumput, dengan korsase kain disematkan di dada kanan dan satu set perhiasan batu berharga menghias telinga, leher, dan pergelangan tangannya.
Bunda bahkan nggak mau repot-repot berdiri ketika menyadari kedatangan Helen. Beliau hanya membuka kacamata hitamnya, lalu memberi isyarat dengan kontak mata supaya cewek itu mendekat dan memberinya kecupan hormat di kedua belah pipinya. Aroma Chanel No. 5 menyeruak masuk ke hidung Helen, sontak membuat sekujur tubuhnya merinding waspada.
"Bunda udah order duluan," kata beliau ketika Helen duduk di kursi seberangnya. "Kamu pesen lagi aja. Mas!"
Helen menerima buku menu yang disodorkan oleh Bunda. Masih menimbang-nimbang bahkan ketika salah satu pelayan restoran datang ke meja mereka. Kedua tangannya siap sedia dengan pulpen dan notes, menunggu pesanan Helen.
"Darjeeling tea dan... uhm, baba au rhum-nya satu."
"Wait," potong Bunda. "She changes her mind, please cancel the food. Jadinya cuman mesen teh aja."
"No, I absolutely want to eat it," bantah Helen cepat, sembari menatap tajam ke seberang meja. "Jadinya pesen dua ya."
Sepeninggal pelayan tersebut, beliau berkata, "Bunda nggak akan makan pesenan kamu itu."
"Memang bukan buat Bunda kok. Dua-duanya aku yang makan!"
"Are you out of your mind?! Helen, kamu sudah lupa sama nasehat Bunda tentang pengendalian diri? Makanan yang banyak gulanya itu nggak baik buat tubuh kamu—enaknya cuman semenit aja di dalam mulut. Yang ada, malah tertimbun permanen sebagai lemak di badan kamu." Bunda menggeleng-gelengkan kepala. "Gimana bisa narik perhatian laki-laki kalo kamunya... nggak bisa jaga badan?"
Helen membalas dengan dingin, "Seriusan Bunda masih akan nyalahin berat badan sebagai alasan aku nggak nikah sampe sekarang?"
"...."
"Lima tahun lalu, cowok yang Bunda jodoh-jodohin sama aku ketahuan menghamili sahabatnya sendiri," kata cewek itu lagi, tiba-tiba merasa capek. "Cowok yang Bunda bilang bakal bikin aku bahagia selama-lamanya! Cowok yang—"
"Don't be so dramatic." Bunda melambaikan tangannya di udara, menganggap lalu protes putrinya itu. "Udah lima tahun ini, baiknya kamu buka lembaran baru. Yang berlalu, biarlah berlalu."
"Yep. Termasuk hasratku buat nikah."
"Jangan sembarangan kalo ngomong. Kalo Tuhan denger terus ngabulin gimana?"
Helen bertambah geram mendengarnya. "I don't give a f—"
"Watch your language, young girl!"
Untuk waktu yang cukup lama, keduanya sama-sama menghindari untuk bicara duluan. Bunda mendadak menaruh minat pada renda-renda kecil di sepanjang sisi serbet restoran, sedangkan Helen menikmati baba au rhum dalam diam. Bunda benar, dia nggak mungkin menghabiskan dua potong kue ini sekaligus—tapi di sisi lain, harga dirinya menolak untuk mengakui itu terang-terangan di depan beliau.
Cewek itu memandangi baba au rhum-nya yang baru termakan setengah. Ketimbang terus makan, dia memutuskan untuk mengalah saja. Mungkin situasi mereka nggak akan semenegangkan ini kalo topik obrolannya lebih netral. Setelah berpikir beberapa saat, Helen membatin, gimana kalo nanya tentang kakak-kakak gue?
"Kak Hava apa kabar?" tanyanya, menyebut nama panggilan Havana, anak sulung di keluarganya.
"Oh, Hava baik-baik aja." Kening beliau berkerut, mendadak teringat sesuatu. "Dia titip sesuatu ke kamu, malah. Ingetin ya buat ngambil dari kamar hotel nanti. Bunda beneran lupa bawa."
"Aku dikirimin apa sama Kak Hava?"
Bunda mengedikkan bahu. "Kamu lihat sendiri aja nanti."
"Oh gitu."
"Jangan lupa bilang terima kasih."
Helen mengangguk. "Besok aku telepon Kak Hava deh," janjinya. "Kalo Kak Halston?"
"Minggu lalu dapet kabar baik dari dokter. Halston hamil anak kedua."
"Wah, bagus dong. Triton bakal punya adek baru."
"Yeah. Bunda bilang ke Halston, cucu Bunda itu harus diajarin pelan-pelan tentang tanggung jawab sebagai kakak sulung. Supaya jangan pecicilan lagi kayak biasanya."
Bunda jelas berbeda dengan nenek pada umumnya, yang memanjakan cucunya dengan hadiah dan masakan rumahan. Nenek yang satu ini lebih antusias menghadiahi cucunya dengan nasehat dan disiplin—hiiiy!
"Nggak usah dikasih pressure gitulah, Bun," saran Helen, meskipun tahu bakalan dicuekin juga. "Triton kan baru tujuh tahun."
"Tetep aja...." Bunda menyeruput kopinya nyaris tanpa suara. "Oh iya, kamu udah tahu belum, bulan Juni nanti, Harmony dan suaminya berencana keliling Eropa? Babymoon, katanya. Mau menikmati masa-masa terakhir sebelum serius nyoba untuk hamil."
"Good for them. Mumpung masih sempet juga—"
Bunda mendongakkan kepalanya, memandang ke arah Helen dan tersenyum. Tapi pengalaman hidup jadi anak beliau membuat cewek itu dengan cepat mendeteksi kepalsuan di balik senyuman itu.
"Kamu nggak iri sama kakak-kakakmu, Len?" tanya beliau sambil menatap lurus-lurus ke mata Helen.
"Iri kenapa?"
"Kamu nggak kepengen bahagia kayak mereka?"
"Hanya karena mereka udah nikah, bukan berarti kebahagiaan mereka permanen kan." Helen nggak kepengen ngejelek-jelekin saudari-saudarinya sendiri, tapi dia merasa Bunda butuh diingatkan. "Kak Hava sempet nyaris cerai karena terlalu lama tinggal terpisah sama suaminya. Kak Halston sempet ngalamin keguguran dua tahun setelah Triton lahir. Dan Kak Harmony, lupa dia sempet nggak direstui sama mamanya Bang Ruben?"
"Yes, but in the end they finally have their own happy endings!"
"Happy ending itu nggak benar-benar ada, Bun—karena ada struggle yang akan datang kemudian," Helen berkata.
"Jadi, kamu merasa yang kamu punya di hidupmu sekarang udah cukup? Makanya kamu berhenti mencoba buat nyari pacar lagi?"
"...."
"Bunda capek berdebat sama kamu." Ironisnya, dia mendengar statement serupa berulang kali. Nggak pernah kejadian tuh bagian 'capek'-nya. Beliau selalu punya cara untuk menaikkan tension di antara mereka. "Tapi Bunda juga butuh petunjuk dari kamu, gimana caranya Bunda bisa bantu supaya kamu tertarik untuk mencoba lagi? Bunda nggak kepengen kamu menyesal di kemudian hari."
"Bunda selalu nanya gitu, tapi ujung-ujungnya selalu maksain kehendak," ujarnya dengan nada pahit.
Bunda menggeleng. "Nggak. Sekali ini, nggak. Bunda janji akan dengerin maunya kamu."
"Bener?"
"Iya."
Setelah menarik napas panjang, cewek itu mengangguk mantap. "Oke. Kalo gitu..., Bun, aku udah putusin: aku nggak akan pernah nikah."
"APA?!"
"Kok Bunda marah sih? Bukannya udah janji bakal dengerin maunya aku!"
"Tapi maunya kamu itu salah. SALAH!"
Helen mendengus. "Tuh kan...."
--
QUESTION: Kalo kamu punya nyali lebih bilang ke Nyokap nggak kepengen married, kira-kira apa reaksi beliau?
Share your answer down below. Seperti biasa, yang terbaik jadi shoutout Babang di part selanjutnya. Ihiwww!
Mantan penjaja cinta dan Alpenliebe,
CHRISTIAN SIMAMORA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top