12

Hulahaloooooooo~

Part 12 ini didedikasikan untuk pembaca tersayang dumaisce

Enjoy, Boo~

XS

--




Mamakopi Cabang Kedua, Rawamangun, Jakarta Timur,

Jonan tetap membenci Despacito—nggak pas kali pertama rilis, nggak juga saat mendengarnya lagi berdentam-dentam dari speaker Mamakopi, kafe yang disewa sebagai tempat reuni kecil-kecilan oleh teman-teman seangkatannya.



<<

By the way, udah tahu belum ya kalo ini bukan reuni resmi? Ide untuk kumpul-kumpul tercetus justru ketika sama-sama menghadiri pemakaman salah satu teman baik mereka—Rustama, yang punya nama panggilan Jenggot karena, ugh, pas zaman sekolah dulu dia memelihara jenggot?—yang meninggal karena leukimia. Percakapan mengenang mendiang kemudian berujung pada kesadaran kalo mereka ternyata benar-benar lost contact satu sama lain.

Salah satu mantan teman sekelas Jonan mengusulkan untuk membuat WhatsApp group, yang dengan cepat langsung ditolak oleh yang lainnya.

"I have enough group in my phone," keluh Beatrice. Saat zaman SMA pun, cewek itu paling vokal di kelas. Dan seksi rempong juga—begitu semangat mengajukan diri sebagai ketua kelas.

"Sama."

"Sama."

"Terus, ada usulan lain nggak?"

"Bikin acara reuni aja gimana?" usul Beatrice kemudian. "Kita set-up enam bulan dari sekarang biar persiapannya lebih matang. Dan kalian-kalian juga bisa ngosongin jadwal dari jauh-jauh hari, jadi nggak satu pun yang bisa ngeles berhalangan hadir."

Terdengar dengung persetujuan.

"Kalo semuanya bersepakat, yuk tentuin siapa aja yang bersedia jadi panitia."

>>



Nggak seorang pun yang membantah ketika nama Beatrice keluar sebagai ketua panitia reuni. Meskipun bawel dan OCD, track record cewek itu membuktikan kalo dia memang bisa diandalkan. Terbukti dari dekorasi meriah yang ditambahkan di interior Mamakopi, termasuk sebuah backdrop besar yang dibentangkan nyaris menutupi salah satu sisi dinding, dengan tulisan: WELCOME, SMA MODERN SUPERSTARS! Orang-orang bergantian berfoto di depannya—selfie, wefie, suka-suka deh pokoknya—dengan ekspresi bahagia karena bisa kembali bersua dengan teman-teman semasa sekolahnya.

Dari tempatnya berdiri sekarang, Jonan mengidentifikasi para undangan reuni yang masih asyik bersosialisasi sambil menikmati hidangan yang disajikan secara buffet di tengah-tengah area kafe. Mustika Supardi—bahkan mengingat nama lengkapnya saja sudah membuat Jonan terbuai nostalgia—adalah teman sebangkunya dulu. Tanpa bermaksud merendahkan, cewek itu sama sekali nggak menyolok. Nggak suka berdandan dan memakai aksesori, juga satu-satunya cewek di kelas Jonan yang nggak bereksperimen dengan panjang rok seragamnya. Orangtuanya berjualan di kafetaria kampus nggak jauh dari SMA Modern, jadi Mustika sering membawa bekal gorengan seperti bakwan dan amris (american risoles) ke sekolah. Jonan sering kebagian meskipun nggak pernah minta.

And look at her now, berkeliling dari kerumunan yang satu ke yang lain dengan senyuman puas diri tersungging di wajahnya. Mustika benar-benar seperti kisah itik buruk rupa yang bertransformasi menjadi angsa anggun. Rambut panjang yang biasa dikepang dua kini dicat cokelat madu dan dipotong model french bob. Saat bertemu dengan Beatrice di meja es buah, dengan rasa jealous ditahan-tahan cewek itu bercerita kalo suami Mustika adalah pengusaha ayam goreng tepung dengan franchise mencapai ratusan, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.

Kebalikan dari Beatrice yang pangling banget dengan perubahan Mustika, Jonan justru masih nggak percaya saat Made memperkenalkan diri tadi. Cowok itu dulu paling sering terkenal di angkatannya—bukan karena prestasi, obviously. Made juga paling rajin dipanggil ke ruang kepala sekolah karena beragam alasan, mulai dari bikin masalah dengan guru, nilai ulangan jeblok, bikin tindik di lidah, sampai kepergok mau bolos lewat pagar belakang sekolah.

Made versi sekarang benar-benar nggak bisa dikenali. Rambutnya kini gondrong hingga harus dikucir kuda, membingkai wajah perseginya yang kini mengenakan kacamata minus berbingkai tebal. Cowok itu mengaku dirinya menganut gaya hidup vegan selama lima tahun terakhir dan berhenti merokok juga. Kalo itu aja nggak cukup bikin tercengang, saat mengobrol dengan Jonan, entah gimana caranya hingga percakapan mereka bisa diselipi kata-kata bijaksana Seneca dan Epicurus, kutipan dari Infinite Jest ("'Cobalah membiarkan ketidakadilan mengajarimu....'"), dan cerita tentang perjalanan spiritualnya ke Nepal. Perubahan cowok itu terlalu drastis dan mencengangkan hingga membuat Jonan merasa harus melipir pergi dari hadapannya begitu ada kesempatan.

Tapi Jonan nggak bisa dibilang selamat karena nggak lama kemudian malah 'tertangkap' oleh Donna Hutagalung. "Jon, kok kita belum temenan sih di Facebook?" tanya cewek itu, alih-alih mengucapkan halo seperti orang-orang pada umumnya.

"Euh, anu—"

"Lo nggak diam-diam nolak friend request gue kan?" Mata berlensa kontak hijau itu tiba-tiba tampak intimidatif.

Jonan menggeleng cepat. "Gue udah lama nggak aktif di Facebook. Makin males sejak timeline didominasi opini politik dan isu agama yang supersensitif. Nggak nyaman gue bacanya."

"Iya sih." Donna tampak sedikit kecewa. "Padahal tujuan awal Facebook kan buat mempererat tali silaturahmi dengan keluarga dan temen-temen dekat."

Jonan mengangguk aja. Awalnya, dia mengira bisa menoleransi Donna. Tapi cewek itu ternyata adalah versi bernapasnya Facebook. Kurang dari lima belas menit, dia me-recap timeline hidup sebagian teman-teman seangkatan mereka selama beberapa tahun terakhir; siapa aja yang udah nikah, yang udah punya anak, yang lagi di ambang perceraian, yang punya bisnis sukses, yang lagi pengangguran, dan—

"Eh, Don," potong Jonan cepat, "gue pamit ngambil es buah lagi ya. Gelas gue udah kosong nih."

"Oke, oke. Nanti balik lagi ke sini ya. Lanjut cerita lagi kita!"

Over my dead body, balas Jonan dalam hati.

'It's Britney, Bitch!'

"FINALLY, MY JAAAAM!" Sadar teriakan spontan barusan membuatnya jadi pusat perhatian, Fendi malah tersenyum lebih lebar. Beberapa menanggapinya dengan cool, sedangkan beberapa malah menunjukkan ekspresi nggak suka lalu berbisik-bisik dengan sesamanya.

Saat masih sama-sama berseragam putih abu-abu pun, Fendi sudah too much bagi sebagian orang. Alih-alih bersembunyi di balik topeng straight acting, cowok itu begitu bangga dengan sisi femininnya. Hebatnya, Fendi sengaja bergabung dengan geng cewek-cewek populer sehingga terbebas dari ancaman di-bully selama tiga tahun bersekolah di SMA Modern.

That boy is really a rainbow-farting unicorn—sampai sekarang pun masih. Dan Jonan sama sekali nggak merasa risih ketika cowok itu mengenalinya dari seberang ruangan, lalu menghambur ke arahnya untuk memberi pelukan.

"Long time no see!" seru Fendi setelah melepaskan pelukannya.

Cowok itu menghias kepalanya dengan bowling hat dan hair extension warna-warni, kemeja kegedean, dan celana hitam. Entah sengaja atau nggak, Fendi mengingatkan Jonan pada penampilan Boy George di videoklip Karma Chameleon.

"Apa kabar, Fen?" tanya Jonan ramah.

"Masih kerja di Furnitureland—beda nasiblah sama lo yang miliuner muda."

"Eek!" Jonan terbahak-bahak.

"Jrit, kok lo makin ganteng aja sih?"

"Ya, mau gimana?" Jonan mengangkat bahu. "Udah nasib—gue cuman bisa nerima aja."

"Hahahahaha! Gue ada kesempatan buat bikin lo belok nggak?"

"You can try, but prepare for a failure. Dari dulu sampai sekarang, gue sukanya cewek doang, Fen."

"Kan lo bisa jadi bi."

"Tetep ya usaha!" Jonan tersenyum lebar. "Lagian, yakin lo ada waktu buat bereksperimen sama gue, secara lo sendiri lagi mesra-mesranya sama pacar. Siapa namanya?"

Wajah Fendi langsung tersipu-sipu babi. "Ben."

"Sampai muak gue ngeliat kemesraan kalian berdua di Instagram. Lo dah pacaran berapa lama sih? Kok masih kayak pengantin baru aja."

Nggak kepengen kebahagiaannya terusik oleh para homophobic, sejak awal pun Fendi sudah menggembok akun Instagramnya. Jonan adalah salah satu dari sekelumit orang yang Fendi percaya untuk bisa mengakses foto-foto yang kebanyakan adalah food porn dan dokumentasi hubungan Fendi dengan pacar tersayangnya.

"Jalan tiga bulan."

"Cie, cie." Jonan menyeringai.

"Shuddup!"

Ketika lagu Britney berakhir dan diganti dengan lagunya Lady Gaga, Fendi langsung mengajak Jonan duduk. "Kenapa? Bukannya Lady Gaga tuhannya lo juga?"

"Sori ya. Dari dulu sampai sekarang gue tetep setia nyembah Godney." Fendi menepikan helai rambut yang menjuntai menutupi mata kanannya. "Dan lagi, ini lagu dari album Joannewhen Gaga was trying hard to be a country singer. Gue juga kecewa sama Artpop-nya, tapi yang ini asli nginjek-nginjek ekspektasi gue sebagai penggemar. Abisan, kayak bukan albumnya dese tuh. Ugh!"

"I see."

"Lagian, nggak keberatan kan ngobrol-ngobrol bentar sama gue—itung-itung sambil nunggu Isti."

"Isti jadi dateng?" tanya Jonan penuh harap.

"Tadi dia kirim pesan WhatsApp, katanya sih lagi otewe. Jadi tenang yaaa, tinggal nunggu waktunya aja sampai lo ketemu lagi sama Isti-nya lo."

"She's not mine," aku Jonan cepat.

"And that's her biggest mistake, right? Karena dia bakal lebih bahagia kalo waktu itu nikahnya sama lo."




Keterangan:

Godney: salah satu panggilan sayang fans fanatik untuk Britney Spears.



--

Uwuwuwuwu~

Happy Sunday, Beyches!

Sekalian mau ngingetin soal vote and comment, Babang juga mau bilang kalo novel  "jadi kita ini apa?" udah kelar dan sekarang lagi nunggu jadwal editing. I'm so excited to introduce JAMAL ORPHEUS SUDIRO, the newest #jboyfriend, to the world. Semoga kalian menyukai Jamal kayak abang-abangnya yang lain yaaaa~ *aminnnn*

Sementara itu, Babang lagi mikir mau nulis apa lagi buat sisa tahun ini. Hmm, ada ide?


Pepperoni stress-eater,

CHRISTIAN SIMAMORA


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top