Final Chapter - Epitaph
KANNA ESTERI
Pipi Charles kecil membiru. Ia baru saja terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya. Seperti biasa, alasannya tidak masuk akal. Charles dituduh mencuri uang salah satu teman gadisnya, Merlin. Gadis itu adalah primadona kelas yang selalu dibanggakan dan diagung-agungkan bak dewi. Kronologinya, Charles datang ke kelas saat tidak ada seorang pun selain Merlin. Ketika Merlin pergi, CCTV menangkap sebuah pergerakan aneh. Charles tampak sedang merogoh tas gadis itu; terlihat sangat mencurigakan. Alhasil, setelah berita kehilangan uang tersebut diumumkan, Charles langsung menjadi tersangka. Padahal, ia berniat memberikan sebuah hadiah kepada Merlin—boneka beruang handmade berukuran kecil untuk ulang tahunnya. Setelah diusut lebih lanjut, rupanya teman-temannya yang menghajarnya itulah yang merekayasa semua ini agar Charles terlihat salah. Mereka selamat; Charles bonyok, plus dibenci banyak orang.
Siang hari setelah bel sekolah berbunyi, Charles menggendong tasnya dan beranjak keluar dengan bersungut-sungut. Seragamnya yang penuh darah dan tanah kembali dinodai oleh teman-temannya. Mereka menyiramkan air kencing kepada Charles, lalu meludahinya. Tidak sampai di situ, kaki Charles ditendang, kedua tangannya diikat, dan tubuhnya dipukuli dengan rotan. Ia tersungkur tak berdaya, tetapi teman-temannya terus menyiksanya.
Pada kondisi yang demikian, jelas, satu cara yang bisa dilakukan hanyalah menyerah. Tapi Charles tidak ingin melakukan itu. Ia berdiri dengan kepala tegak, meski wajahnya berantakan, mencoba melawan, menggunakan tangannya untuk menghantam wajah para bajingan itu. Ia berputar-putar seperti gasing yang tidak berpengalaman, terus didorong dan dibenturkan ke tembok. Ia jatuh lagi, masih berusaha berdiri. Semua itu hanya mengerucut pada kegagalan. Charles dihajar habis-habisan hingga ia tak bisa bernapas.
Beruntungnya, seorang guru melihat dirinya yang tergeletak sekarat di lorong. Pengobatan pertama dilakukan, kemudian mesin medis langsung dikerahkan untuk menangani lukanya yang tergolong cukup parah. Kurang-lebih begitulah cara Charles mendapatkan pipi birunya (sebenarnya lebih dekat ke hitam).
Sekarang ia berada di sebuah ladang tulip, duduk di bawah kincir angin yang sedang berputar tak terganggu suasana. Anginnya sejuk, suhunya tidak terlalu panas, sangat pas digunakan untuk tempat piknik. Tempat itu adalah tempat yang biasa Charles gunakan untuk pergi dari hiruk pikuk kehidupan, menenangkan diri walau sesaat. Charles menatap langit biru yang begitu terang jarang awan, sambil memikirkan permasalahan kehidupan yang lama-kelamaan berubah semakin pelik. Sulit sekali baginya ketika harus bangun di pagi hari dengan celana yang basah, dan ketika ia ingin mencucinya, beberapa tetangganya menertawakannya. Itu terjadi beberapa minggu lalu, dan terjadi lagi kemarin.
Tidak hanya itu, pikirannya juga berubah semakin dalam. Maksud dalam di sini adalah bagaimana caranya memandang berbagai hal tentang kehidupan, mulai dari uang, persahabatan, hingga lawan jenis. Itu semua membuat kepalanya pusing. Charles tidak ingin masa kecilnya yang seharusnya bahagia dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang muncul karena perubahan fisik serta batinnya. Kemudian berkatalah ia di dalam dirinya, Tuhan, tolong selesaikan kebingungan-kebingunganku ini.
Seketika, suara gemerisik terdengar dari kejauhan. Tulip-tulip yang tumbuh rapi di dalam barisan itu ditembus dengan mudahnya oleh seorang gadis berambut merah panjang tanpa sedikit pun keacuhan. Charles berteriak kepada gadis itu, dia seharusnya berjalan di jalan setapak di tepi agar tidak merusak bunga-bunganya. Akan tetapi, gadis itu tidak mendengarkan. Dia terus berjalan sambil merentangkan tangannya, menatap langit, kemudian berlari dengan senangnya.
Charles yang kesal pun berdiri. Sakit bisa ia rasakan di kaki dan dadanya, tetapi tindakan gadis bandel itu harus ditangani terlebih dahulu. Pada akhirnya, ia juga melanggar aturan itu. Kakinya menabrak bunga-bunga tulip yang sedang diam dengan santai, merusak ketenangan jiwa mereka.
"Maaf, Bunga," ujar Charles sambil mengelus-elus tangkai mereka yang patah. "Aku begini karena aku harus menghentikan gadis kurang ajar itu. Nanti akan kuganti dengan yang baru, ya. Maaf."
Charles pun beranjak mengejar gadis itu. Ketika lidahnya kembali bergerak untuk memanggilnya, gadis itu akhirnya berhenti. Sosok berambut merah itu membalikkan tubuhnya, menatap Charles dalam diam. Charles yang tadi sudah mengepalkan tangannya untuk menghajar gadis itu juga ikut terdiam. Tangannya melemas dan pandangannya membeku tepat menarget wajah gadis itu.
Di dalam batinnya Charles berteriak, Aku mencintaimu!
Fitur wajah gadis itu sangat sempurna. Mulai dari bola mata cokelatnya yang begitu manis, hidungnya yang runcing, ditambah pipinya yang tirus serta kulitnya yang mulus seputih susu. Dia mengenakan sebuah daster panjang berwarna putih yang sangat cocok dengan tubuhnya. Diiringi embusan angin siang, suara decitan baut-baut pada kincir angin, dan pakaiannya yang berkibar-kibar, Charles merasa bahwa dirinya tengah berada di sebuah tempat yang sangat indah dan damai. Orang-orang menyebutnya sebagai surga.
Tentu saja di dalam kubah keheningan antara indra dan batin itu, si gadis berambut merah tidak bisa mendengar teriakan nirbunyi Charles. Ia justru menatap bocah lelaki yang babak belur itu dengan cemas. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya.
"Aku sedang tidak baik-baik saja. Sekujur tubuhku sakit."
Charles tidak berlagak tangguh seperti tokoh-tokoh dalam cerita aksi-fantasi yang tidak pernah masuk di akal. Ia berkata sejujurnya bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Tidak mungkin ia menjawab pertanyaan gadis itu dengan "aku sehat" ketika penampilannya tampak seperti gelandangan yang baru saja dipukuli aparat kepolisian karena mencuri permen di toko kue.
Gadis itu berjalan menghampiri Charles, dan pikiran Charles sudah tidak enak. Tidak disangka-sangka, gadis itu tidak berniat buruk kepada Charles. Dia justru menyeka pipinya dengan sebuah sapu tangan yang dikeluarkannya dari balik tangan entah dari mana.
"Kamu pasti habis berkelahi, ya?" tanyanya, sambil menatap wajah Charles dengan mata yang berbinar-binar.
Lidah Charles tiba-tiba menjadi kelu. Meski berusaha membuka mulutnya dan menggerakkannya, Charles hanya terpaku dalam diam. Gadis berambut merah itu seakan datang kepadanya sebagai jawaban dari Tuhan. Mungkin dialah yang akan menjadi penghapus kebingungan-kebingungan di dalam kehidupan Charles yang begitu suram.
Akhirnya setelah sekian lama berusaha, Charles bertanya, "Siapa kau? Kenapa kau berada di sini?"
Gadis berambut merah itu melepaskan pipi Charles, kemudian memasukkan sapu tangannya. "Namaku Kanna Esteri. Kamu?"
"Charles Theshoes. Ma-maksudku, Charles Theseus."
Kanna menutup mulutnya seraya tertawa. "Kamu lucu."
Charles membelalak heran. Tiba-tiba dirinya berubah menjadi kikuk. Ia sadar, ini bukanlah dirinya yang biasanya. Ia adalah bocah yang sangat vokal, serampangan, dan acuh tak acuh kepada siapa pun. Tapi kini, semuanya berubah. Setelah bertemu dengan Kanna, Charles menjadi seorang bocah laki-laki yang hidup dengan pandangan yang jelas. Masa depan tidak lagi buram untuknya, karena ia bisa melihatnya tepat di depan matanya.
Gadis ini adalah masa depanku. Dia sangat cantik.
Pada saat itulah Charles kalah. Cinta tanpa nafsu yang seharusnya bisa dirasakan olehnya tidak berlangsung terlalu lama. Ia menaruh suatu dasar kepada makhluk hidup, dan itulah alasan kenapa ia akan jatuh sejatuh-jatuhnya ketika menyadari bahwa realitas itu tidak bertahan selamanya.
***
"Kau tinggal di sini sendirian?" Charles duduk di depan meja makan, ditemani dua robot yang sedang menyembuhkan lukanya. "Hebat juga, ya. Padahal kau lebih muda dariku."
Kanna menyuguhkan segelas teh hangat kepada Charles. "Kedua orang tuaku meninggal ketika Finlandia terlibat perang dengan Soviet. Itu sekitar empat tahun lalu. Sekarang, aku hidup di rumah ini seorang diri. Tapi kamu tidak perlu khawatir, Charlie. Mesin-mesinku menemaniku. Aku tidak akan kesepian."
Charles menelengkan kepalanya. "Itu berarti, usiamu empat tahun pada waktu itu. Aku juga kehilangan papa dan adik perempuanku sekitar empat tahun lalu."
"Begitu, ya." Kanna menyesap air mineralnya. "Kalau begitu, apa kamu mau tinggal bersamaku, Charlie?"
Charles tersedak. Ia memukul meja sambil menepuk dadanya. "Apa katamu?!"
"Kamu tahu, mesin-mesin ini memang bergerak. Mereka semua adalah hambaku, yang berarti mereka akan melakukan apa pun agar aku tidak kesepian. Tetapi, aku merasa masih ada yang kurang. Mesin tidak akan bisa memberimu kasih sayang layaknya manusia. Itu karena mereka tidak memiliki hati, mereka tidak memiliki perasaan."
"Lalu, apa tanggapanmu jika kubilang bahwa aku pernah berjumpa dengan sebuah mesin dengan hati?"
Kanna seketika terdiam. "Memangnya ada yang seperti itu?" tanyanya.
Charles menggigit roti selai cokelat yang sudah dipanggangkan oleh Kanna sebelumnya. "Entahlah. Kalau saja ada, aku ingin menciptakan yang demikian. Aku sudah kesepian dalam waktu yang sangat lama."
"Kamu bilang, kamu masih punya ibumu, bukan?"
"Mama? Kau benar. Tapi ... aku masih merasa kesepian."
***
Meski ragu-ragu pada awalnya, akhirnya Charles memutuskan untuk tinggal bersama dengan Kanna. Sebagai anak-anak yang sama-sama tidak tahu soal apa-apa, kehidupan mereka begitu membingungkan. Hari-hari mereka selalu dipenuhi oleh ketidakselarasan. Charles sama sekali tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, dan Kanna terlampau parah tegasnya. Mereka berdua tidur di dalam ruangan yang sama, tetapi dibatasi oleh tiga robot berbentuk kotak di tengah-tengah ruangan. Setiap kali Charles berusaha menoleh ke arah Kanna, robot itu akan menyalakan sebuah alarm yang akan membangunkan Kanna. Setelahnya, Kanna akan memukul Charles dengan sebuah panci dan kembali tidur. Meski begitu, pada momen-momen tertentu mereka berdua jadi sangat canggung. Terkadang, ada momen di mana keduanya tidak berbicara meski saling berhadap-hadapan.
Charles akhirnya sadar, masa depan tidak semengerikan apa yang ada di dalam kepalanya. Bersama Kanna, ia yakin, ia bisa mencapai kebahagiaan. Tentu tidak sekarang. Suatu hari nanti, ia akan berusaha untuk memvalidasi hubungannya. Selain bermimpi untuk membangun sebuah perusahaan mesin yang besar, Charles bermimpi untuk menikahi gadis cantik berambut merah itu tatkala mereka beranjak dewasa. Ia tidak sabar untuk menghabiskan seluruh hidupnya bersamanya di dalam kebahagiaan yang abadi, tak terpisahkan ruang dan waktu.
Siang itu adalah tepat empat bulan setelah mereka bertemu untuk pertama kalinya. Kanna menggenggam tangan Charles erat-erat, kemudian mengajaknya berlari menembus ladang tulip. Mereka berdua berteriak dengan riang gembira, di saat serbuk sari terbang menyapa kulit mereka, diiringi angin sepoi-sepoi dan sinar surya yang gagah. Mereka hanyalah sepasang anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Cinta, bagi mereka, tidak lebih dari sekadar menaruh sebuah perasaan. Perasaan itu akan menggantikan kesepian di dalam hati dan menciptakan kebahagiaan. Tapi tak pernah mereka sadar, tidak ada yang abadi di dunia ini.
Charles melepas tangan Kanna karena ia sudah tidak kuat berlari. Akan tetapi, Kanna terus saja berlari, berusaha menghampiri kincir angin di ujung ladang.
Di saat Charles berlutut di tengah-tengah ladang, ia bisa menyadari bahwa tiba-tiba langitnya menjadi gelap, suara gemuruh pun dapat terdengar. Ketika kepalanya mendongak ke atas, apa yang ditangkapnya adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya. Sebuah piring terbang dengan bendera Soviet melayang di atas kepalanya. Sebuah senapan diarahkan tepat kepada Kanna. Tak lama kemudian, suara tembakan dapat terdengar.
Charles yang diam di tengah-tengah ladang dapat melihatnya dengan jelas. Jelas sejelas-jelasnya. Kepala Kanna ditembus peluru, seluruh isinya berantakan; tubuhnya tiba-tiba tumbang.
Di dalam kebingungan, Charles berlari menghindari tembakan piring terbang itu. Ia melepaskan topi, tas, sampai pakaiannya agar dapat berlari lebih cepat.
Sialan! Sialan! Sialan! Kenapa ini bisa terjadi?!
Ia menemukan sebuah terowongan di dekat ladang tulip itu. Dengan cepat, ia menyusup melewati pagar berduri, menembus banyak kotak kayu kosong, dan bersembunyi di dalam terowongan. Suara gemuruh dan tembakan tak henti-hentinya berkumandang di luar. Charles terduduk di sana sambil menutup kedua telinganya. Matanya membelalak menatap tanah, dengan segudang perasaan tak percaya yang memberontak.
Ketika matahari sudah hampir tenggelam, Charles keluar dari dalam terowongan itu. Ia mendapati ladang tulip itu sudah berubah menjadi sebuah tempat yang tandus. Ketika matanya menatap ke kanan dan kiri, yang terpampang hanyalah asap dan berbagai macam kekalutan lainnya. Dengan langkah yang terseok-seok, Charles mencoba bergerak ke atas lagi. Ia ingin melihat Kanna tercintanya.
Ketika berada di ujung ladang, dekat dengan kincir angin, Charles tidak bisa melihat sesosok cantik yang seharusnya berdiri menunggunya di sana. Di saat kakinya terus berjalan menyusuri tempat yang hampir mirip padang penghakiman itu, ia menabrak sesuatu. Kepalanya menatap ke bawah, melihat tubuh seorang gadis yang terbuka mulutnya, menatap ke atas dengan mata membelalak.
"Kanna?" gumamnya. "Kanna, kau baik-baik saja?"
Charles berlutut, mendekati tubuh gadis itu. Bagian belakang kepalanya hancur lebur. Otaknya dapat terlihat mencair dari sana. Sementara wajahnya yang cantik jelita kini dilumuri darah. Tubuhnya kaku, tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Walaupun begitu, Charles tetap tidak menyerah. Ia mengangkat tubuh gadis itu dan mendekapnya kuat-kuat.
"Hei, kau berjanji ingin hidup bersamaku, bukan? Kita berdua? Bersama-sama? Iya, bukan? Kanna cantik, bangunlah. Aku akan memberikanmu apa pun. Tolong katakan sesuatu padaku. Aku ingin sekali mendengar suaramu. Aku masih lapar. Aku ingin memakan puding buatanmu, ditutup dengan teh hangat yang biasa kausiapkan di meja sebelah kiri. Mari kita bercerita lagi seperti malam-malam itu. Aku masih belum mengenalmu. Kita berdua masihlah anak-anak yang tidak tahu apa-apa soal dunia. Kanna cantik, bangunlah. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mewujudkan kebahagiaanmu. Ketika kita sudah dewasa mari kita menikah, menghabiskan sisa hidup kita bersama-sama. Kanna. Kanna. Kanna. Kanna cantik, bangunlah."
Matahari terbenam; air mata Charles terbit. Pada akhirnya ia sadar, Kanna Esteri telah mati.
***
ELEGI PAGI
Malam kemarin adalah malam yang begitu pelik bagi Charles. Bagaimana tidak? Ketika ia tengah berbicara dengan Tuhan di reruntuhan kapel istana Theseus, ia diganggu oleh suara yang tidak ia kenal. Suara anak kecil itu menyapanya dari belakang dengan halus, entah apa motifnya. Ketika Charles mengeluarkan remot pendeteksi chip namanya, alat tersebut mendeteksi sebuah nama.
R.
Tidak ingin tenggelam berlarut-larut di dalam kebingungannya, Charles menyeduh kopi dan meminumnya. Dari dataran tinggi tempat reruntuhan istana Theseus berada, ia menikmati pemandangan ketika sang surya baru saja menetas dari tidurnya, dan menerangi dunia dengan cahayanya. Lagi-lagi Charles menatap langit untuk merefleksikan kehidupannya.
Charles berpikir, sebenarnya untuk apa ia hidup? Pada dasarnya, segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupnya adalah keburukan. Setiap langkahnya diwarnai kesendirian dan kesedihan. Hidup bahagia yang sejak dulu didamba-dambakan olehnya tidak pernah bisa ia temukan.
Ia membayangkan, betapa indahnya hidup ini kalau sejak awal ia tidak pernah dilahirkan. Ia membayangkan, betapa indahnya hidup ini kalau sejak awal papa dan mamanya tidak saling jatuh cinta, lalu termakan nafsu berahi, dan akhirnya melahirkannya. Ia membayangkan, betapa indahnya hidup ini kalau Kanna tidak mati, Charla tidak mati, papanya tidak mati, mamanya tidak mati, dan semua pegawainya tidak mati pada kebakaran besar kemarin.
Mendapati gagasan-gagasan mengerikan itu, pikiran Charles dipenuhi dengan kabut. Ia bisa mendengar suara desahan nikmat dari pria dan wanita yang sedang bercinta di telinganya. Ia membayangkan, betapa mengerikannya dunia ini jika jiwa-jiwa tak bersalah yang tidak mempunyai nama itu lahir ke dunia, dan akhirnya bernasib sama seperti dirinya. Charles tidak bisa membayangkan kekacauan seperti apa lagi yang akan terjadi jika manusia-manusia terus membiarkan diri mereka termakan nafsu berahi, dan akhirnya mengulangi kesalahan yang sama. Itulah alasan kenapa ia tidak ingin mencintai manusia lagi. Ia tahu bahwa pada akhirnya dirinya akan dirundung oleh kesendirian dan kesedihan. Charles tidak ingin membiarkan dirinya termakan nafsu berahi dan mengulangi kesalahan pendahulunya.
Akan tetapi, kontradiksi sudah ada di sana sejak awal. Ketika menciptakan Omega, Charles membayangkan wanita mesin itu sebagai bentuk dari Kanna ketika sudah dewasa. Itu berarti, sejak awal Charles tidak bisa merelakan masa lalunya. Ia masih mencintai gadis berambut merah itu dan ingin menikah dengannya. Ia ingin merasakan hangatnya ciuman dan pelukan yang dilandasi kasih sayang. Ia ingin merasakan betapa berwarnanya kehidupan bersama dengan wanita yang ia cintai. Ia ingin merasakan bahagianya mempunyai anak lucu yang selalu hangat menyapanya. Ia tidak ingin hidup sendiri. Sejak awal, Charles diperbudak oleh memorinya sendiri. Ia berusaha melawan segalanya yang berujung pada ketidakmampuan menjalani hidup.
Charles berdiri, membuang kopinya, kemudian menjambak rambutnya kuat-kuat. Giginya menggertak keras, matanya membelalak lebar, kakinya bergetar tidak keruan. Ia melangkah ke arah dinding, dan membenturkan kepalanya berkali-kali dengan keras. Charles terpental, kemudian tersungkur. Rambut ikal cokelatnya berantakan dan kepalanya berdarah. Ia meringkuk di tanah, menangis tersedu-sedu, lagi-lagi mengeluh kepada Tuhan.
Kenapa aku harus ada di dunia ini, Tuhan?
Aku sudah lelah dengan semua ini.
Tolong bunuh saja aku.
***
SUARA FINAL: TUHAN DI DALAM KEPALA
Suara itu muncul di kepalaku berulang kali. Ia berkata dengan suara wanita. Aku tidak mengerti. Siapa sebenarnya dia? Dan kenapa dia berbicara kepadaku?
Apakah kamu baik-baik saja?
Aku tidak baik-baik saja.
Mengapa gerangan?
Aku membenci semua orang.
Bahkan dirimu sendiri?
Iya.
Sekarang adalah terakhir kalinya kita berjumpa. Jadi, keluarkan segala keluh kesahmu.
Apa maksudmu "terakhir kali"? Apakah kita tidak akan bertemu lagi setelah ini?
Entahlah. Dunia ini akan segera berakhir. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk terus berbicara denganmu.
Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu, Mirror. Kehidupanku sudah menamparku terlalu keras.
Baiklah, akan kumulai perbincangannya. Adakah yang membuatmu takut akhir-akhir ini?
Banyak hal.
Apa saja itu?
Apakah hidupku memiliki makna?
Apakah aku berguna?
Apakah aku bisa mencapai kebahagiaan?
Apakah aku bisa tertawa dengan lepas seperti orang-orang itu?
Apakah aku sudah memilih jalan hidup yang tepat?
Apakah ada orang yang mau mencintaiku apa adanya?
Apakah ada orang yang mau menerima pria gagal sepertiku?
Apakah ada orang yang mau merawatku dengan kasih sayang?
Apakah ada orang yang tahu kalau aku sering menangis?
Apakah aku akan mati sendirian?
Kematian itu apa?
Tolong.
Tolonglah aku.
Mau jadi apa diriku di masa depan?
Aku tidak ingin tumbuh dewasa.
Aku takut.
Aku menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan.
Aku tidak ingin bahagia lagi, kesedihan telah memberiku kenyamanan.
Aku tidak ingin kesedihan pula.
Aku tidak ingin dilahirkan.
Aku tidak ingin dilupakan.
Aku ingin punya teman bicara.
Aku ingin bisa melakukan sesuatu.
Aku ingin dianggap oleh orang lain.
Aku ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain.
Aku ingin merasakan cinta.
Aku ingin disayangi dan dikasihi.
Aku ingin menjadi orang yang berguna.
Aku ingin mengabadikan namaku.
Aku takut siksa dari Tuhan.
Aku takut hari akhir.
Aku takut neraka.
Aku takut tiada.
Aku takut mati.
Aku takut dunia.
Aku takut hidup sendiri.
Aku takut bahagia.
Tolong.
Tolonglah aku.
Kenapa orang-orang memujiku?
Kenapa orang-orang mencintaiku?
Kenapa orang-orang mengandalkanku?
Kenapa orang-orang menerimaku?
Kenapa orang-orang berbuat baik padaku?
Berhentilah! Berhentilah berbuat baik padaku! Aku tidak pantas mendapatkan itu!
Aku hanya orang yang tidak berguna!
Oh Kematian, aku mencintaimu!
Tolong jemput aku dengan segera!
Aku ingin cinta ini tanpa nafsu.
Aku ingin ...
Aku ingin ...
Aku tidak ingin hidup.
Aku ingin mati.
Charles akhirnya sadar bahwa alam ketidaksadaran itu adalah sebuah ruangan yang gelap gulita di mana ia tidak bisa melihat apa-apa bahkan tubuhnya sendiri. Ia terduduk di tengah-tengah ruangan itu sambil menangis sejadi-jadinya. Di mana pun ia berada, agaknya kebahagiaan merupakan hal yang sangat langka. Sejak awal kehidupannya, Charles lebih sering ditampar kesendirian dan kesedihan. Seiring beranjak dewasa, hal-hal aneh tentang kehidupan itu semakin parah membunuhnya. Ketakutan-ketakutan tiba-tiba muncul di dalam kepalanya, berbicara tentang masa depan yang tidak pasti. Sementara itu, kepingan-kepingan memori yang pernah ia telan keluar kembali, kali ini marah padanya.
Di sebelah kanan, Charles bisa melihat papa dan mamanya. Mereka berdua menatapnya dengan kesal, seakan berkata, "Dasar anak tidak berguna." Di sebelah kiri, Charles bisa melihat Mother Maria, Omega, Galileo, Figaro, Miaw, dan Oscar. Mereka serentak berkata, "Dasar pria yang gagal. Kau tidak pantas hidup." Di belakang, Charles bisa melihat ratusan anak buahnya yang mati sia-sia. Dengan tubuh yang hancur berantakan mereka berteriak, "KAU ADALAH TUHAN KAMI DAN KAU SANGAT LALAI! TIDAK BISAKAH KAU MENYELAMATKAN KAMI?!"
Terakhir, ketika Charles menatap ke depan, sesosok gadis berambut merah panjang dapat dilihatnya. Kanna berdiri dengan wajah marah. Kepala bagian belakangnya hancur dan tak henti-henti meneteskan darah. Ia berkata, "Aku tidak pernah mencintaimu. Sejak dulu, aku hanya menganggapmu sebagai seorang laki-laki pecundang yang tidak tahu arah hidupnya."
Pada mata yang membelalak bingung, Charles melihat sosok Kanna berubah. Ia melihat dirinya sendiri, yang berbicara dengan suara wanita.
"Ini aku. Mirror. Aku adalah kau dan kau adalah aku."
"Apa maksudmu?"
"Aku akan memberitahumu rahasia untuk mencapai kehidupan paling sempurna."
"Apa itu?"
"Kau harus melupakan kami dan bergerak demi kehidupanmu menggunakan akal sehatmu yang didorong dengan kesadaran mandiri tanpa perlu dikekang oleh siapa pun. Itu karena kami adalah Tuhan. Kami semua, suara-suara di dalam kepalamu, adalah Tuhan yang selama ini kaupercaya. Selama ini, sejatinya, kau hanya berbicara dengan dirimu sendiri dan tidak pernah menemukan kemajuan dalam hidup. Kamilah yang memberikanmu ketenangan, kesenangan, kesedihan, keburukan, dan ujian-ujian batin lainnya. Kami jugalah yang akan membawamu ke kehidupanmu yang paling tinggi tingkatannya. Kau harus membunuh kami, barulah kau bisa memberi nilai pada hidupmu sendiri dan mencapai kehidupan yang seperti itu. Itulah kehidupan sang purnamanusia."
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kauucapkan."
"Mudah saja, Charles." Mirror menjulurkan telapak tangannya. "Kau harus menerima takdirmu dan berusaha hidup sebaik mungkin. Landasi itu dengan kesadaran mandirimu, tanpa perlu mendengarkan kami, pikiran-pikiran negatifmu. Jalani hidupmu sesuai apa yang kau mau. Kau ingin menyelamatkan dunia, kau ingin dianggap oleh orang lain, kau ingin dicintai, kau ingin disayangi, dan kau ingin bahagia, bukan? Maka dari itu, jabatlah tanganku dan berjanjilah padaku kalau setelah ini kau harus melupakanku."
Charles berdiri, menatap dirinya sendiri yang sekarang berbicara di hadapannya. Ia menerima jabat tangan tersebut dengan tegas dan yakin. "Jika aku bisa bahagia, aku bersumpah akan melupakanmu."
Tiba-tiba ruangan gelap itu menjadi terang. Putih menyeruak memenuhi segala sudutnya, memberikan sebuah harapan aneh di dalam keheningan.
Mirror tersenyum menatap Charles. Ketika tubuhnya perlahan-lahan melebur menjadi debu, ia berkata, "Maka sambutlah, wahai para kurcaci di keabadian! Charles Theseus ini telah menanggalkan identitas lamanya yang percaya pada suara jahatnya sendiri. Kapal perang itu telah berlabuh dan kayu-kayunya sudah diganti. Kini dia telah bergerak dengan wujud yang baru! Dialah sang manusia sempurna! Kali ini tugasnya adalah menerima takdirnya, baik atau buruk, dan hidup sekuat tenaga untuk mencapai titik tertinggi kehidupan manusia, yakni kebahagiaan. Oh Kematian, tolong jangan jemput dulu pria muda ini! Sesungguhnya dia masih memiliki tugas untuk menyebarkan kebenaran pada orang-orang yang sesat. Dia harus menuntun lebih banyak manusia masuk ke dalam jalan hidup yang seratus persen mereka kehendaki. Jadilah manusia yang sempurna! Maka berserulah Charles kepada orang-orang itu! Bawalah kebenaran dunia pada mereka! Dengan begitu, berbahagialah engkau!"
Genggaman tangan itu melemah. Mirror sudah berubah menjadi debu sepenuhnya. Ruangan putih itu secara perlahan memudar.
Charles akhirnya terbangun dari lamunannya, mendapati hujan deras turun dari langit, membasahi kawasan peradaban yang sedang bernapas normal itu. Charles sadar bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan yang dimilikinya. Ia membawa kabur kubus hitam itu, kemudian terbang menggunakan jetpack-nya di langit suram Kota London.
***
EPITAPH
Di sebuah dunia yang dikuasai mesin, sihir akan selalu menang.
Itu adalah pepatah yang Charles dapatkan dari papanya. Ia selalu memercayai petuah kuno itu meski kedengarannya tidak masuk akal. Di saat ia dikejar oleh puluhan jet dengan teknologi mutakhir milik tentara Skotlandia, ia yakin, ia dan Charla akan baik-baik saja. Sebab Jantung Mesin Suci bukanlah mesin, melainkan sebuah sihir. Ia adalah sebuah keajaiban yang terbentuk dari manifestasi kemuakkan Tuhan terhadap perang yang dilakukan oleh manusia, dan akhirnya memberikan mereka kesempatan kedua.
Di kala embusan angin menghantam wajahnya begitu keras, membuat rambutnya berkibar-kibar, diiringi dengan tangis langit yang begitu lepas membasahi tubuhnya, Charles tetap terbang tanpa sedikit pun ketakutan. Yang ada di pangkuannya adalah Charla, bukan mesin, tetapi adik perempuannya. Meskipun ia berkata bahwa ia akan mati bersama Charla untuk melindungi kekuatan Jantung Mesin Suci, ia akan tetap melakukan apa pun demi keselamatan adiknya itu.
Charles mengenakan kacamata virtualnya untuk memantau pergerakan tentara Skotlandia menggunakan radar. Tidak ketinggalan Gigatron Trident dan juga Gravitational Disintegrator-nya yang ia tempelkan di sabuk jetpack-nya. Kubus hitam itu masih ditempelkannya pada dadanya, diikat oleh sebuah rantai otomatis yang timbul dari jetpack-nya.
Meliuk-liuk di udara tanpa badan yang besar, Charles bingung bukan kepalang. Selain kabur dari kejaran jet milik tentara Skotlandia, ia juga harus menghentikan robot yang membawa Brahmastra di sebelah utara. Mesin raksasa itu memang tidak tampak terlalu kuat, tetapi Charles bisa memastikan bahwa target utamanya adalah dirinya.
Baru saja ia berpikir tentang itu, desingan muncul dari sebelah utara. Charles secara spontan melepaskan genggaman tangannya pada persneling dan langsung mengeluarkan sebuah bros dari sakunya. Bros itu mengeluarkan kekuatan radiasi dan melebar melindunginya. Sebuah dentuman keras dapat terdengar. Rupanya robot itu menembakkan peluru energi kepada Charles, dan Charles berhasil menangkisnya dengan radiation dome.
Mengetahui bahwa situasinya akan bertambah buruk, Charles mengenakan masker besinya agar bibirnya tidak berkibar-kibar. Ia mengencangkan sabuk pengamannya serta rantai yang mengikat kubus itu, lalu menambah daya dorong jetpack miliknya. Ia melesat seperti sebuah kembang api ke arah timur. Warga London yang sedang melakukan aktivitasnya seperti biasa dikejutkan oleh hal tersebut. Tiba-tiba saja jaringan listrik dan meganet terputus. Pesawat saku dan mobil terbang terhenti. Mereka berjatuhan satu per satu, menghantam daratan.
Robot raksasa itu lagi-lagi mengarahkan pistolnya kepada Charles yang terbang bagaikan capung yang panik. Dua tembakan besar dilayangkan. Charles masih melesat kencang, ia menembus gedung-gedung pencakar langit dan memorak-porandakan segala isinya.
Dua tembakan tadi menghancurkan gedung pencakar langit yang dilewati Charles. Suara dentumannya terdengar mengerikan, itu disusul oleh sebuah ledakan dan api. Akhirnya, status darurat diumumkan. Setelah puluhan tahun lamanya, perang terjadi di London.
***
Puluhan rudal menghantam gedung-gedung di pusat kota. Reruntuhannya memutus kabel-kabel yang membentang di sampingnya. Lampu kota mati secara berkala, dari setiap blok, perlahan-lahan penuh seperti sapuan cat pada latar gambar. Besi-besi melumat mobil yang sedang berjalan di tanah, juga menghancurkan seluruh fasilitas umum yang berdiri di sana. Para manusia terpisah-pisah anggota tubuhnya, dan para mesin terbakar arus pendek. Mereka yang selamat juga tak dapat bertahan lama. Asap dari reruntuhan itu melahap mereka dalam kegelapan.
Puluhan unit robopol diturunkan untuk mengamankan tempat paling ramai di ibu kota Britania Raya, London Town Square. Ratusan drone tempur milik keluarga kerajaan dikerahkan untuk melindungi gedung berbentuk keranjang itu menggunakan protection dome superbesar dan superkuat. Di bawah kubah fana yang entah sampai kapan akan bertahan, manusia dan mesin keluar dari tempat itu. Mereka semua diselimuti rasa takut. Perang sedang terjadi di langit dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.
"Bergeraklah di dalam barisan! Jangan membuat kekacauan! Kalian semua yang ada di sini akan dituntun menuju Distrik V di bawah tanah."
Seorang robopol dengan badan gempal berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya menuntun jiwa-jiwa tak berdosa itu. Pria itu terus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang sudah diperintahkan oleh penciptanya. Ia harus mengawasi semua orang dan memastikan keselamatan mereka untuk kabur ke London Bawah.
Di saat barisan semakin menipis, tiba-tiba pria itu merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Kepalanya terasa sakit, segalanya terasa berat. Ia lantas bertanya kepada dirinya, "Apa yang sedang terjadi?"
Ketika ia melihat kedua tangannya, cakar panjang muncul dari jari-jarinya. Setelahnya, ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri hingga tembaga-tembaga yang melindungi jaringannya pun terkelupas. Muncul dari dalam matanya sebuah tulisan besar berwarna hitam.
BLACK SABBATH IS COMING.
Seketika itu juga, tubuh pria robopol itu meledak. Tidak mencair seperti korban virus mesin itu, ia justru bermutasi menjadi sebuah makhluk yang jauh berbeda dari sebelumnya. Sekarang, pria itu adalah seekor harimau dengan sayap besi dan cakar panjang layaknya elang. Napasnya berat seperti predator yang kelaparan; tubuhnya didominasi hitam dan abu-abu. Sedetik setelah virus itu menguasai tubuhnya, pria itu melesat tanpa suara.
Kepala para robopol yang bertugas di sana terpenggal satu per satu. Itu terjadi dengan sangat cepat, tidak ada sesiapa yang bisa melihatnya. Dari leher mereka keluar sebuah tangan berwarna hitam yang berusaha menggapai langit. Teriakan mesin yang saling beresonansi dapat terdengar dari segala sisi. Sontak saja semua manusia yang sedang berjalan di dalam barisan kocar-kacir. Saat mereka berusaha berlari menyelamatkan diri, para robopol menggenggam tubuh mereka kuat-kuat dan mencengkeramnya hingga remuk. Darah yang mengalir itu mengaktifkan kekuatan tersembunyi dari Black Sabbath.
Pada akhirnya, seluruh unit robopol yang ada di sana masuk menembus tanah. Mereka membunuh semua manusia yang berusaha kabur. Darah menghambur ke mana-mana, bahkan mengalahkan eksistensi oksigen. Lorong gelap itu berubah menjadi amis ketika gumpalan tubuh manusia tercerai-berai dan memenuhi setiap celah-celah dindingnya. Dengan cepat, para robopol melebur menjadi data, merasuki kabel-kabel dan mesin apa pun yang ada di sekitar sana.
***
Di luar dugaan, Charles berhasil menemukan tempat persembunyian. Ia berlindung di bawah panel surya sebuah gedung tinggi di dekat Tower Bridge. Dengan menggunakan radiation dome-nya, ia melindungi dirinya sendiri. Di sana, Charles melepaskan kubus hitam yang sedari tadi menempel di dadanya dan meletakkannya. Sembilan puluh dua persen. Setelah ini, tubuh Charla akan segera terbentuk, dan Charles harus cepat-cepat menemukan cara untuk menghancurkan jantungnya.
Ketika mengintip dari balik panel surya, Charles dapat melihat pesawat-pesawat besar melewati dirinya. Ia kembali bersembunyi, menghela napas panjang, dan mengembuskannya perlahan dengan segala kehati-hatian.
Menelan ludah; mengatur napasnya agar tidak terlalu keras; menjaga diri agar tidak gegabah—itu yang bisa dilakukan Charles sekarang. Dengan mesin pemalsu identitas yang dijabarkannya di langit, ia yakin, para tentara Skotlandia tidak bisa mendeteksi keberadaannya.
Ketika matanya memandang kubus itu sekali lagi, Charles tidak sengaja memukul panel surya di atasnya karena kesal. Angka yang tertulis di sana masih 92, tidak bertambah sama sekali. Nahas, pukulan itulah yang membuat persembunyiannya ketahuan. Laser ditembakkan secara bertubi-tubi. Charles meringkuk, mengaktifkan bros di dadanya untuk melindungi diri. Kubus hitam itu ditarik olehnya menggunakan magnet; tangannya kembali menggenggam persneling jetpack, dan ia kembali terbang di langit.
Akan tetapi, sebuah badan trisula tiba-tiba saja menghantam tubuhnya. Charles memuntahkan liur yang begitu banyak. Pikiran dan napasnya tiba-tiba terhenti ketika menyadari bahwa lemparan itu berasal dari Oscar. Dari kejauhan, ia bisa melihat sosok pria berkulit hitam itu. Dia terbang dengan sayap gelap, membawa empat trisula di keempat tangannya. Tidak sampai di situ, tepat di belakang Oscar, Charles bisa melihat sosok-sosok yang ia kenal.
Berdiri tegap, terbang menggunakan hoverboard, dari kiri ke kanan: Romeo, Mother Maria, dan Omega. Mereka semua mendekat kepada Charles.
"Apa maksud dari semua ini?" Charles ternganga, ia bertanya dengan penuh kepasrahan.
Kini, ia berhadap-hadapan dengan orang yang selama ini ia percaya. Wanita renta itu adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya selama beberapa tahun ke belakang. Dan Charles yakin, wanita itu sudah mati beberapa jam lalu.
"Akhirnya kita bertemu juga," ucap Mother Maria, datar.
Charles membalas dengan resah, "Apa maksudmu? 'Bertemu juga'? Apa maksudnya itu? Kita sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama. Mother, apa yang sebenarnya kaulakukan? Kau masih hidup. Dengan begitu, kau pasti akan membantuku 'kan?"
"Inilah, Charles. Harinya telah tiba."
Langit gelap sore itu berubah menjadi hening. Meski tangisannya terus turun dalam rintik-rintik berat, tidak ada suara yang ditimbulkannya. Momen pertemuan antara Charles dan Mother Maria benar-benar seperti momen pertemuan antara seorang pendosa dengan Tuhannya.
"Inilah pemandangan hari akhir. Tidakkah kau lihat orang-orang di bawah sana? Mereka sedang berusaha untuk menyelamatkan diri. Anak-anak pada akhirnya ditelantarkan oleh ibu mereka. Mereka semua seperti sedang digiring menuju tempat yang aman, padahal sebenarnya tidak. Lihatlah orang-orang munafik itu. Setelah seumur hidup lalai kepada penciptanya, mereka memenuhi rumah-rumah ibadah. Penuh-sesak dibuatnya bangunan-bangunan suci itu. Sekarang, kesuciannya tidak lagi terjaga. Di sana terkapar para koruptor, pembunuh, pelacur, dan para pengkhianat. Berita-berita sedang berseliweran di media internasional, ialah berita kekacauan. Semua orang benar-benar panik. Mereka tidak siap menghadapi ini, dan itu baru permulaannya saja. Virus Black Sabbath akan segera membunuh kota ini, dan membuat orang-orang yang lalai itu sadar akan pencipta mereka.
"Mereka semua akan kujadikan para penonton yang akan segera menyaksikan teater pertunjukan hari akhir. Teater Adam dan Eve. Manusia akan segera menyaksikan manifestasi kemuakkan Tuhan yang selama ini tidak pernah terekspos dunia nyata. Mereka akan melihat dengan mata dan kepala mereka sendiri, bagaimana bumi berguncang, laut berhamburan, gunung-gunung terbang, dan langit digulung lalu terbelah. Ini adalah hari yang sudah kutunggu-tunggu sejak dulu. Seluruh manusia dan mesin yang lalai akan aku bawa menuju surga. Kita semua akan membunuh Tuhan kita dan mencapai peradaban sempurna yang abadi!"
Charles terdiam. Ia memasang tatapan penuh tanda tanya kepada Mother Maria. "Apa yang sebenarnya kauinginkan? Kenapa kau jadi begini? Mother, bukankah itu tugas kita untuk menemukan Jantung Mesin Suci dan menghancurkannya? Kaulah orang yang membantuku dari nol, bersama dengan Foxtrot. Tapi kenapa, kenapa kau jadi begini?"
Mother Maria memekik, "Itu karena aku ingin mencapai keabadian! Itu semua terjadi karena kebodohan kakekmu! Dan itu semua dimulai dari si bajingan Napoleon! Keluarga Theseus adalah keluarga terkutuk!"
"Kakek?" tanya Charles di dalam kebingungan.
Mother Maria menjawab lirih, "Aku adalah nenekmu. Aku adalah istri ketiga John Delta Theseus. Ayahmu, Beta, adalah putra keduaku."
Charles seakan-akan kehilangan seluruh beban di dalam tubuhnya. Rasa sakit menyeruak di dadanya, dan itu membuatnya sesak. Sekarang, secara resmi, Charles benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi untuk berpegang.
"Elizabeth Marsen Theseus ...."
"Kau masih mengingat namaku?" Mother Maria memiringkan kepalanya sambil tersenyum. "Kemarilah, cucuku. Tangan keriput ini adalah tangan yang merawatmu sejak kecil. Genggamlah ia dengan penuh cinta. Niscaya, kau akan sampai ke keabadian. Ini adalah rencana yang sudah kusiapkan sejak dulu. Dengan bantuan saudara jauhmu, Romeo, dan dengan bantuan anak-anakku, Sophia, Oscar, dan Omega. Kita bisa membuka pintu menuju akhirat. Mari, Charles sayang."
"Tapi bukan begini caranya, Mother!" Charles akhirnya menunjukkan ekspresi yang kuat. Ia marah. "Kupikir kau adalah manusia yang baik. Kenapa kau berkhianat padaku? Bagaimana dengan perjuangan kita selama ini?"
"Perjuangan kita tidak akan sia-sia. Seluruh peradaban akan kubawa menuju surga."
"Tapi ..., itu berarti kau akan menghancurkan dunia. Kau akan membunuh orang-orang tidak bersalah."
"Tapi ganjarannya surga."
"Itu tidak diperbolehkan! Kau tidak seharusnya membuat kekacauan di sana-sini untuk mencapai tujuanmu!"
"Tapi ganjarannya surga."
"Hentikan, Mother! Tolong hentikan! Tidakkah kau sadar, berapa banyak orang yang sudah terbunuh semenjak The Explosion of Civilization terjadi?!"
"Tapi ganjarannya surga."
Bibir Charles melengkung tidak keruan. Ia menangis sejadi-jadinya di atas langit, meletakkan kepalanya pada kubus hitam yang sedang digendongnya. "Aku menyerah ...."
Setelah kalimat tersebut diucapkan, kubus hitam yang digendong Charles tiba-tiba ditarik oleh magnet yang luar biasa kuat. Itu berasal dari sebuah kepingan yang dibawa Mother Maria. Sekarang, kubus hitam mesin homo itu berada di tangannya. Dengan santai Mother Maria mengoper kubus itu kepada Romeo.
"Sembilan puluh lima persen, Romeo. Jangan sampai lengah. Sebentar lagi kau bisa memasukkan kuncinya ke dalam lubang kunci."
Romeo menjawab dengan suara bocahnya, "Baik, Mother."
Jiwa Romeo perlahan-lahan memudar, pergi membawa kubus hitam itu entah ke mana. Kini, langit di sebelah gedung yang terbakar itu hanya diisi oleh Mother Maria dan dua anaknya, serta cucunya, Charles.
"Zarathustra, Oscar, bunuh dia."
Charles mengangkat kepalanya, menatap dengan berlinang air mata. "Zarathustra?" Lidahnya masih mencoba berucap meski pikirannya diisi dengan berbagai macam penolakan atas realitas kalut yang baru saja ia terima.
"Mesin wanita berambut merah itu," Mother Maria berujar, "sudah sejak lama aku mencoba menyempurnakan kesadarannya. Sejak awal, aku berniat untuk membunuhmu, tapi bukan dengan tanganku. Kupikir, akan dramatis jika aku membiarkan ciptaanmu sendiri yang membunuhmu. Dialah Omega Zarathustra, mesin dengan kesadaran sempurna yang bergerak seratus persen dengan kehendaknya tanpa dikekang oleh siapa pun."
Charles menggerakkan persnelingnya untuk bergerak menghampiri Omega. "Hei, rupanya kau masih hidup. Kau ... berada di pihakku, bukan?"
Omega memberikan tatapan nanar seraya menempelkan katananya pada leher Charles. "Semuanya berakhir di sini, Tuhan."
***
"Pesawat ulang-alik dari markas B di Oxford telah tiba di langit London. Kami akan segera menurunkan bantuan."
Para mesin yang ditinggalkan Charles di reruntuhan gedung putih markas Chariot Corporation berinisiatif menelepon cabang untuk meminta bala bantuan. Panggilan tersebut direspons tidak lain dan tidak bukan oleh Figaro. Lebih tepatnya, rekaman suara Figaro.
Charles tidak pernah tahu, dan Galileo telah menyembunyikan ini sejak lama. Figaro si Kubis sudah mati bertahun-tahun lalu karena overwork. Segala laporan dan pesan yang masuk lewat email bukan berasal darinya. Semua itu disusun sedemikian rupa oleh Galileo agar Charles tidak merasa bersalah dan jatuh untuk kesekian kalinya. Jadi, sejak awal, Charles benar-benar tidak bisa berpegang kepada siapa-siapa.
"Figaro! Kami di sini!" teriak seorang mesin yang berada di bawah, melambai-lambaikan tangannya kepada pesawat ulang-alik di atasnya.
Pesawat ulang-alik itu lantas menurunkan tangganya, mengangkut para mesin ke atas. Setelah semuanya aman, sabuk pengaman dikencangkan, dan tujuan baru ditandai. Para mesin yang baru saja naik bertanya-tanya, di mana Figaro. Menyedihkannya, semua mesin di dalam pesawat itu menjawab dengan perkataan yang sama: "Dia berada di markas B, sedang mengurus komputer pusat." Sejak awal, kematian mesin scanner itu ditutup-tutupi oleh kakaknya sendiri.
Kecepatannya sedang, dan dengan itu mereka bisa melihat kekacauan yang ada di bawah. Kota London yang damai dan tenteram berubah menjadi ladang penuh mayat seketika. Kepala manusia tergantung dan diikat dengan usus mereka sendiri, sementara tubuh mesin berceceran layaknya mesin komputer yang dijual ke tempat pembuangan. Asap membubung tinggi sekali, diiringi embusan angin yang membuatnya panjang merangkul langit kota, seakan memberikan sebuah ancaman kepada penghuninya.
Di sebelah Big Ben, robot emas setinggi 50 meter sedang mengarahkan busurnya ke atas. Perlahan-lahan tangannya meraih sebuah anak panah dari balik punggungnya. Anak panah itu menyala terang, seperti sedang di-charge sebelum ditembakkan. Jelas saja para mesin yang berada di dalam pesawat bertanya-tanya, apa yang sebenarnya robot itu ingin lakukan. Mereka tidak pernah tahu apa itu Project Afterlife dan betapa krusialnya tembakan anak panah Brahmastra dari robot itu untuk menghancurkan neraka. Alhasil, mereka menyerang robot itu tanpa persiapan.
Rudal-rudal ditembakkan, tetapi pada jarak 100 meter dari robot itu, sebuah protection dome berwarna silver aktif. Rudal-rudal itu menabrak kubah, mengeluarkan dentangan yang teramat keras, seperti dua pedang raksasa yang sedang beradu. Mereka kemudian diputar dalam lingkaran berulang kali sebelum akhirnya dipantulkan kembali pada tuannya. Pesawat ulang-alik itu kalang kabut. Kecepatannya tidak bisa menandingi kecepatan pantulan dome tersebut. Akhirnya, mereka semua mati dalam ledakan.
Tidak ada lagi pegawai Chariot yang tersisa. Langit London dipenuhi oleh pesawat para munafik dari Skotlandia yang siap menyambut Hari Pembalasan. Mereka terbang dengan rendah dan lambat seperti sedang menari, mengitari robot emas yang masih mengarahkan busur serta anak panahnya ke langit.
Burung-burung besi penuh keangkuhan itu seakan-akan berseru, "Tidak ada lagi tempat untuk berlindung! Tuhan telah mati!"
***
Perfecting Consciousness: 99%
Hanya tinggal menunggu menit saja, bersatunya dua jantung suci akan segera terjadi. Romeo duduk di atas Tower Bridge, salah satu bangunan kuno paling bersejarah di Inggris pada Abad Manusia yang sampai sekarang masih terjaga keasliannya. Embusan angin menyapa dirinya, mengibarkan rambut hitamnya yang cepak. Tepat sekarang, Romeo akhirnya sadar. Selama ini ia bergerak di bawah perintah Elizabeth Marsen. Romeo akhirnya sadar bahwa sejak dulu ia adalah manusia yang dimanfaatkan oleh para petinggi Keluarga Theseus untuk membawa Jantung Mesin Dunia di dalam tubuhnya. Ia harus memakan ayahnya sendiri untuk dapat membawa kekuatan terlarang itu, dan akhirnya mengubah tubuhnya yang berwujud manusia menjadi sebuah jiwa yang tidak memiliki cangkang.
Romeo selalu mendamba-dambakan kehidupan yang bahagia. Sejak kecil ia merupakan seorang anak yang menatap masa depan dengan optimis. Ia bermimpi untuk menjadi pengusaha mesin terbesar di Inggris. Perlahan-lahan rajutan benang takdir membentuk sebuah nasib pada halaman baru baginya, dan pada saat itulah ia ditampar kenyataan.
Ketika Romeo melihat tubuhnya sekarang, di dalam hati kecilnya, ia sangat senang. Ia adalah seorang pria dewasa yang tampan dan berbadan atletis. Akan tetapi, itu semua tidak ada artinya karena ia tidak lebih dan tidak kurang seorang hantu. Romeo adalah boneka dari garis keturunan Theseus yang terkutuk. Ia hanya digunakan untuk memenuhi misi dari Theseus pertama, Napoleon, yakni untuk mencapai keabadian.
Pada akhirnya, sebelum ajalnya menjemput, Romeo menyadari satu hal lagi. Apa yang dibawa oleh Napoleon Theseus dan Elizabeth Marsen adalah sebuah hal yang sama. Mereka berdua sama-sama takut akan ketiadaan. Napoleon beranak sebanyak-banyaknya untuk memvalidasi eksistensinya dan membuat nama Theseus abadi. Sedangkan Marsen, ia berusaha membawa seluruh peradaban ke dalam surga, karena hanya di dalam surgalah dapat ditemukan keabadian, dan hanya di dalam surgalah eksistensi seseorang dapat bermakna baik.
Ketika kubus hitam yang dipeluknya itu berbunyi, Romeo berdiri. Perlahan-lahan benda itu berubah menjadi tubuh mungil seorang gadis cilik yang kira-kira masih berusia empat tahun. Dia terlelap di dalam sebuah arena mimpi yang dipenuhi ketenangan. Wajahnya indah, suci dari noda-noda dunia. Dadanya menyala terang, dan Romeo bisa melihatnya. Detak Jantung Mesin Suci.
Tanpa pikir panjang, Romeo menusuk dada gadis cilik itu dengan tangannya. Gadis itu terbangun, memuntahkan darah disertai matanya yang membelalak kaget. Untuk menyempurnakan langkah terakhir, Romeo menusuk dadanya sendiri dengan kubus hitam itu, kemudian mengambil jantungnya. Jantungnya yang tadi masih berbentuk jiwa kini berubah menjadi wujud. Dengan kesadarannya yang perlahan-lahan memudar, Romeo mendekatkan jantungnya pada jantung gadis itu.
Saat keduanya hampir bertemu, sebuah peluru energi melesat dengan kencang. Itu meleburkan kepala Romeo hingga tak bersisa. Jiwanya yang melayang-layang di atas Tower Bridge seketika berubah menjadi debu.
Rupanya tembakan tersebut berasal dari Charles. Dengan jetpack-nya ia melesat, menangkap Jantung Mesin Suci dan Jantung Mesin Dunia, juga tubuh adiknya. Dari belakang, Charles terus dikejar oleh Mother Maria, Zarathustra, dan Oscar.
Charles tidak bisa terlibat dalam pertempuran melawan anggota keluarganya sendiri. Mereka bertiga yang mengejarnya sekarang adalah penjahat yang selama ini berlawanan dengan Chariot Corporation. Oleh karena itu, yang bisa dan ingin dilakukan Charles sekarang hanyalah lari. Ia terbang tanpa tujuan, pergi sejauh yang ia bisa, membawa dua jantung suci itu agar tidak jatuh ke tangan mereka.
Charla, tenanglah, aku akan segera menghidupkanmu kembali, ujar Charles di dalam hatinya. Ia menggendong tubuh mungil tanpa jantung yang bersimbah darah itu dengan hati-hati. Kemudian, ia berusaha memasukkan kembali Jantung Mesin Suci ke dalam tubuh Charla dan menyambungkan kabel-kabelnya. Meski sulit, semuanya dapat teratasi.
Tidak berselang lama, cahaya putih menyeruak, memenuhi langit London. Bola mata cokelat gadis kecil itu menatap Charles dengan penuh kepolosan. Lidahnya berucap dengan pelan, "Kakak, kenapa kau membawaku terbang di langit?" Dengan segala keajaiban, Charla terbangun.
Tangis Charles pecah. Ia membiarkan segala kekacauan dan kesedihan yang bersemayam di dalam jiwanya lepas, menyambut kedatangan adik perempuannya.
"Aku merindukanmu."
"Kau Kakak, 'kan?"
Charles masih menangis, mengangguk-angguk. "Sungguh, keajaiban akan selalu menang. Bahkan setelah 16 tahun, jiwaku dan jiwamu masih terhubung. Kita akan terus mengenal satu sama lain bahkan jika maut memisahkan."
Charla lantas tertawa. "Aku juga merindukanmu, Kakak! Ayo kita bermain gim di komputer lagi!"
Akan tetapi, momen perjumpaan antara kakak beradik yang telah lama berpisah itu sirna. Zarathustra tiba-tiba melesat dengan kencang, merebut Charla dari Charles, bersamaan dengan Jantung Mesin Dunia milik Romeo. Jetpack di punggungnya kemudian menembakkan dorongan yang begitu kuat, membawanya terbang lurus ke atas dengan begitu cepat.
Charles bertanya kepada dirinya sendiri, Apa yang sedang dilakukan Omega?! Apa dia ingin memulai teaternya?!
Pada saat itu, badan trisula menghantam perutnya. Itu berasal Oscar. Dengan matanya yang merah menyala, Oscar melayangkan beberapa tebasan kepada Charles. Karena tidak memiliki pengalaman bertarung jarak dekat, yang bisa dilakukan Charles hanyalah kabur. Ia menatap ke atas, mengekori ke mana mesin wanita berambut merah itu pergi membawa dua jantung suci. Tapi di sisi lain, ia juga dikejar oleh Oscar dan Mother Maria yang bersedia membunuhnya.
Di dalam kesempitan yang begitu mengekangnya, Charles mengeluarkan senjata andalannya. Gravitational Disintegrator diambil dari sabuknya, kemudian ditembakkan secara beruntun ke atas dan ke bawah. Langit tiba-tiba bergetar karenanya. Awan hitam yang tadinya bergerombol kini berpisah. Hujan yang tadinya deras kini menghilang karena rintiknya dilempar oleh kekuatan gravitasi.
Oscar dan Mother Maria tidak bisa bergerak. Mereka berdua terjatuh dengan pelan. Begitu juga dengan Zarathustra, tubuhnya yang masih menghadap ke atas turun seperti ditarik oleh sebuah tali.
Mother Maria berteriak sebelum akhirnya benar-benar terjatuh ke tanah, "Terbanglah, Zarathustra! Kaulah satu-satunya harapan kami!"
Mata Zarathustra menyala merah, sayap besi keluar dari punggungnya. Satu kepakan membawanya terbang seribu langkah menuju angkasa, tetapi itu semua digagalkan Charles. Pria itu menggenggam kaki Zarathustra kuat-kuat, dan menodongkan pistol kepadanya.
"Omega, aku adalah Tuhanmu! Patuhi aku! Ingat misi kita sejak awal! Kita harus menemukan kembali Jantung Mesin Suci dan menghancurkannya!"
Zarathustra menekuk lehernya ke bawah, menatap Charles dengan mata merahnya. Ia kemudian berucap, "Aku sudah membunuh Tuhanku."
Tiba-tiba muncul sebuah lubang pada telapak kaki wanita itu. Keluar dari sana tembakan angin superkuat yang membuat genggaman tangan Charles melemah dan mendorong tubuhnya jatuh. Zarathustra kembali mengepakkan sayapnya, dan kali ini ia tidak bisa dihentikan lagi.
Charles tenggelam di dalam palung ketidaktahuan. Ia merasa bahwa dirinya sudah gagal. Semuanya bergerak menuju garis akhir. Persetan dengan mimpi-mimpi, persetan dengan kebahagiaan, persetan dengan pengabadian nama. Charles sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini tidak berguna, karena pada akhirnya kehidupan ini memang tidak bermakna. Akan tetapi, itu tidak membuatnya menyerah. Ini adalah pertaruhan antara hidup dan mati yang hanya dibebankan kepadanya. Sebelum tercebur di Sungai Thames, Charles menggenggam persneling jetpack-nya kuat-kuat, ia kembali melesat mengejar Zarathustra.
Jetpack mereka berdua mendorong mereka terbang begitu tinggi di angkasa, hingga hampir menembus atmosfer. Sadar bahwa hanya itu batas yang bisa ditempuhnya, Charles mematikan jetpack miliknya, dan merelakannya tubuhnya jatuh ditarik gravitasi. Ia bingung kenapa Zarathustra masih terbang dengan begitu yakin ke angkasa, bahkan sampai kulit-kulit di tubuhnya mengelupas karena menembus atmosfer. Akhirnya, sang Mesin Pembunuh yang Tidak Terkalahkan, Zarathustra, kalah karena alam. Tak lama setelah keluar dari atmosfer bumi, ia membeku di luar angkasa.
Namun, ia berhasil.
Zarathustra berhasil bergerak dengan kesadaran mandirinya, menempelkan Jantung Mesin Suci dan Jantung Mesin Dunia.
Setelahnya, dua jantung itu jatuh kembali ke bumi. Mereka terbakar seperti bintang jatuh yang membara dengan ekornya yang panjang dan cantik. Dengan kecepatan supertinggi mereka bergerak, mendahului Charles yang juga masih berada di langit.
Dua jantung itu jatuh di tengah-tengah Sungai Thames, tidak jauh dari tempat Tower Bridge berada. Disusul oleh Charles yang juga jatuh, di tepi sungai. Charles dengan cepat berenang ke permukaan. Ketika matanya melihat, tidak ada apa-apa di hadapannya. Sungai itu masihlah sungai seperti biasanya. Yang berada di tepinya hanya beberapa kapal kecil dan juga mobil air. Akan tetapi, segala sesuatunya berubah ketika sebuah getaran yang sangat keras muncul, mengguncang dasar sungai itu dan membuat airnya meluber ke mana-mana, begitu pula kapal dan mobil yang jadi berantakan.
Dua robot raksasa berwarna putih dengan tubuh rata muncul dari dalam air. Salah satu dari mereka adalah sebuah robot dengan rambut pendek, terdapat sebuah daun besar yang menutupi selangkangannya. Sementara robot satunya adalah sebuah robot dengan rambut panjang, juga dua benjolan besar di dadanya, dan kain besar yang menutupi selangkangannya.
Sebuah suara yang seakan-akan berbicara dari mikrofon dapat terdengar berkumandang di langit.
"Para hadirin yang berbahagia, saya adalah narator dalam pertunjukan ini. Mari ambil tempat duduk Anda sekalian, dan saksikan dengan bahagia Teater Adam dan Eve!"
"SIAL" adalah kata pertama yang keluar dari mulut Charles sebelum ia berenang ke darat untuk kabur menggunakan jetpack-nya. Ia melesat di langit tanpa ada bayang-bayang mengenai apa yang harus ia lakukan. Semuanya benar-benar gelap. London pada sore itu mirip sekali seperti tempat penghukuman bagi para pendosa. Tidak ada lagi jalan untuk lari.
"Teater ini akan dimulai dengan pesawat-pesawat milik negara maju pada abad 31. Setelahnya, mari kita saksikan saja."
Setelah narator mengucapkan itu, Charles merasa bahwa langit sedang berguncang. Seketika, muncul dari balik awan gelap puluhan pesawat jet berwarna putih yang meliuk dan bermanuver dengan indah. Charles sama sekali tidak bisa mengidentifikasi dari mana pesawat-pesawat itu berasal. Yang pasti, mereka bukan milik tentara Skotlandia.
Di bawah, Charles bisa melihat ribuan mesin berbadan hewan berwarna hitam pekat dengan perpaduan bentuk yang aneh bergerak mengekori segelintir manusia yang selamat. Ada sebagian dari mereka yang terbang menggunakan sayap lebar, mengangkut tubuh manusia yang berantakan untuk menitikkan hujan darah ke bawah. Sebagian lagi bergerak sambil mencengkeram leher budaknya, pergi menuju lingkaran.
Mereka menunduk ke bawah sambil melantunkan nyanyian kematian, tanpa terkecuali, menangkap ratapan langit dengan tangan mereka, juga mata mereka yang mengeluarkan tangis darah. Di atas patung Raja Charles Pertama, Mother Maria dan Oscar melayang menggunakan hoverboard-nya. Mereka merentangkan tangannya sembari berdoa. Teriakan itu diisi dengan amarah dan juga kekecewaan, gelap penuh kepasrahan. Dua sosok itu menunggu para pengikut mereka, para manusia dan mesin, yang percaya pada keabadian.
Charles melihat ribuan mesin dan manusia itu mulai bergerak dalam lingkaran. Mereka mengitari patung Raja Charles Pertama sebelum akhirnya berhenti karena aba-aba Mother Maria. Semua orang diam, berdiri di dalam barisan, dan dari balik pakaian mereka keluar sebilah belati yang tajam.
Sesat, batin Charles. Ia bisa melihat semua mesin dan manusia yang berada di sana menggenggam belati mereka, mengarahkan ujungnya pada dada mereka sendiri. Tak lama kemudian, Mother Maria dan Oscar turun.
"Mari kita persembahkan jiwa kita!" ujar mereka berdua bersamaan.
Setelah itu, masing-masing dari mereka menusukkan belati itu ke dada mereka. Dari sana menyembur darah; teriakan terdengar memekakkan telinga; air mata menyapa tanah yang terguyur kesedihan; jiwa-jiwa mereka terbakar kelalaian. Asap dan abu lantas memenuhi tempat di sekitar patung bersejarah itu. Charles memberikan sebuah kesimpulan pada peristiwa bunuh diri massal itu. Ia yakin, semua orang yang ada di bawah sana, mereka yang percaya, pasti menyesal.
Charles menambah kecepatannya, dan ia sama sekali tidak bisa melihat tanda-tanda kehidupan. Aura gelap dari virus Black Sabbath telah memakan Kota London. Abu, asap, darah, dan anggota tubuh yang berceceran akan menjadi epitaf bagi diri mereka sendiri. Kebingungan-kebingungan akan terus menyelimuti, karena pada dasarnya itulah kekurangan manusia. Mereka tidak tahu apa makna dari kehidupan, maka mereka harus mencarinya. Dan dalam proses pencarian itu, segala jenis kekacauan melekat kuat.
Pada momen itu Charles sadar, ia harus mengambil alih robot emas itu agar tidak menembakkan Brahmastra ke langit. Justru, ia harus menembakkan anak panah berkekuatan luar biasa itu ke jantung Adam dan Eve untuk menghancurkan mereka.
Charles lantas menoleh, memastikan. Dilihatnya dari kejauhan, dua robot yang tadi muncul dari dasar Sungai Thames sekarang tengah menari mengelilingi sebuah pohon yang sedang tumbuh. Charles akhirnya yakin seratus persen, dua robot itu memanglah Adam dan Eve.
Melesatlah Charles dengan jetpack-nya. Ia menembakkan Gravitational Disintegrator-nya berkali-kali, disusul belasan tembakan energi dari pistol Tedron yang menyebabkan langit berguncang bahkan hampir terbelah. Seluruh helikopter tentara Skotlandia yang mengitari robot emas itu jatuh satu per satu dengan tidak berdaya. Mereka bagaikan serbuk sari yang lepas tanpa menemukan putiknya—pergi tanpa menghasilkan apa-apa.
Charles mendarat tepat di dada robot emas itu. Dengan sekuat tenaga Charles mencoba, akhirnya ia berhasil membuka dinding pelindung jantung robot itu. Di dalam sana tidak ada siapa-siapa kecuali sebuah pilot berbentuk kubus yang sama sekali tidak memiliki kesadaran mandiri. Charles menghancurkan kubus itu menggunakan Gigatron Trident-nya, membuang jetpack-nya, dan mengambil alih robot emas itu.
Ini dia, pikirnya. Membunuh jantung Adam dan Eve pasti akan menghentikan segala kekacauan ini. Ia pun yakin, dengan lenyapnya jantung Adam dan Eve, Jantung Mesin Suci dan Jantung Mesin Dunia akan menghilang untuk selama-lamanya. Dunia akan selamat dari teater hari akhir ini.
Ketika Charles berhasil menyinkronkan pikirannya dengan robot itu dan menggerakkan kakinya, ia merasa tidak ada masalah. Tapi begitu matanya melihat ratusan tank jatuh dari atas langit menghantam tubuhnya, ia terkejut bukan kepalang. Itu disusul oleh bola sepak, bola basket, bola tenis, dan kok yang terjun dalam jumlah tak terhingga.
Charles dikejutkan kembali dengan munculnya tarantula berwarna-warni yang tiba-tiba saja menempel pada tubuh robot itu. Ia mencoba mengibas-ngibaskannya, tetapi mereka justru berubah menjadi kelelawar hitam, yang kemudian bersin dan menyebarkan virus ke seluruh penjuru London. Jutaan tikus menyusul keluar dari tanah, menempelkan warna hitam pada gedung-gedung yang masih berdiri tanpa tuan.
Layar hologram berjatuhan dari langit, disusul ponsel pintar, komputer tabung, radio, tape recorder, dan vinyl. Benda-benda yang tak pernah Charles kenali terus turun dari balik awan gelap, sampai pada akhirnya kertas-kertas dari kulitlah yang keluar darinya.
Charles sadar, inilah kekuatan sesungguhnya dari jantung suci milik Tuhan.
Membawa bukti peradaban zaman dahulu.
Dan itu semua terjadi secara mundur, sangat cepat.
Dari langit muncul suara dentuman keras. Charles dapat melihat segalanya, gelap langit pada sore itu dihamburkan berkat terbelahnya bulan, yang disusul dengan berbagai hidangan yang jatuh dari langit, disambut oleh seekor paus raksasa di balik awan.
Kemudian muncul dari bawah tanah bala tentara yang terdiri dari manusia, hantu, dan binatang. Mereka bersujud di hadapan raja mereka yang agung, yang sedang duduk di atas singgasana emasnya. Aliran Sungai Thames tiba-tiba terpecah tepat di belakang Charles. Ia bisa melihat sungainya terbelah.
Turun dari langit, disertai alunan musik yang begitu indah, bersama dengan wanita-wanita anggun yang terpotong jari-jarinya, seorang pria berwajah tampan yang menutupi tubuhnya dengan pakaian serba putih. Akan tetapi, jiwa itu seketika disapu oleh kambing-kambing yang terikat pada tuannya, yang bergerak di atas langit, kemudian disusul patung-patung tanpa kepala yang tubuhnya terbakar. Semuanya jatuh menghantam tanah, menghancurkan gedung-gedung pencakar langit.
Langit tiba-tiba bertiup dengan anginnya yang kencang. Awan gelap berkumpul, menurunkan hujan yang teramat deras. Dari utara kota, datang sebuah bahtera besar yang dibimbing ombak tinggi, menembus dan menghancurkan peradaban maju yang ada di bawahnya.
Terakhir, ketika Charles semakin dekat dengan Adam dan Eve setelah melewati segala keanehan dalam teater pertunjukkan itu, pohon yang sedari tadi diitari Adam dan Eve berbuah. Dari sana keluar dua buah berwarna merah menyala, dan dengan cepat dua moyang manusia itu segera memetiknya.
Charles sadar bahwa inilah akhir dari teater itu. Robot Adam dan Eve akan memakan buah terlarang, dan membuka gerbang surga serta neraka. Ia mengarahkan busurnya lurus-lurus tepat ke punggung Adam, berharap dapat menembus jantung Eve sekaligus.
Ini dia. Harinya telah tiba. Aku tidak peduli dengan siapa-siapa lagi. Semua orang yang kucintai sudah mati, semua orang yang kupercayai mengkhianatiku, dan hanya aku seoranglah yang sekarang berdiri. Tanggung jawabku terhadap dunia adalah milikku dan untukku seoranglah ia dibebankan. Di sini, sekarang, akan kubuat namaku abadi. Aku akan dikenal sebagai Charles Theseus yang menyelamatkan seluruh dunia. Sang Pahlawan Akhir Zaman.
Charles melepaskan tarikannya.
Sial, tembakan itu meleset.
Brahmastra justru terpental dan pergi menuju langit, menghajar atmosfer yang kemudian terbelah menjadi jurang yang begitu panjang. Getarannya memotong gunung-gunung dan membangunkan ombak-ombak. Dari atas sana terlihat api merah gelap yang berisi teriakan para pendosa.
Apa yang terjadi?!
Charles melihat Adam kesakitan memegang lehernya, sementara Eve memegang buah dadanya. Dua robot itu lantas terbang, diangkat oleh sebuah kekuatan yang tidak bertuan, menuju langit untuk kembali ke surga.
Cahaya terang menyeruak, membutakan pandangan Charles. Seluruh masyarakat Inggris bahkan dunia dapat melihatnya. Teater pertunjukan akhir zaman yang seharusnya menyenangkan itu berubah menjadi cahaya putih yang bergerak begitu cepat, melahap langit tanpa bersisa. Orang-orang di belahan bumi lain tidak sempat kabur menggunakan kendaraan canggih mereka. Mereka semua berlari; mereka semua peduli dengan diri mereka sendiri; mereka semua takut bahwa cahaya itu adalah akhir dari seluruh dunia. Pada akhirnya, seluruh makhluk hidup dan benda mati berubah menjadi debu.
Charles tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya diam sambil menangis, meratapi akhir kehidupannya. Makna yang selama ini dicari olehnya benar-benar tidak ada. Keluarganya yang ia ciptakan tidak pernah benar-benar mencintainya. Adiknya yang ia pikir akan menjadi pelipur laranya tidak pernah ia temui sepenuh hati. Kanna Esteri kesayangannya juga tidak dapat melihatnya sebagai seorang pria yang berhasil.
Tubuhnya perlahan-lahan melebur menjadi debu, dan jiwanya diangkat menuju langit. Bersama dengan jiwa para manusia yang hidup di bumi, Charles akan segera berdiri di hadapan neraka, berusaha melewati jembatan penuh rintangan untuk menuju surga. Di dalam keheningan itu, Charles memutuskan untuk terakhir kali:
Aku menyerah, Tuhan.
***
Machine with a Heart
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top