Chapter 4 - Hotel Evenrigh

"Ini adalah satu-satunya jalan bagi kita untuk mengetahui bagaimana caranya mendeteksi lokasi pasti Jantung Mesin Suci." Charles membeberkan rencananya pada sebuah tablet di hadapan Omega dan Galileo.

"Kenapa kau begitu yakin?" Galileo menggelengkan tubuhnya. "Bagaimana kalau ternyata ini adalah sebuah perangkap yang disiapkan oleh pemerintah Skotlandia?"

"Kalau begitu, kita harus bertarung, bukan?" Omega masuk ke dalam percakapan.

"Tentu saja, Nona. Fighter sepertimu akan baik-baik saja. Tapi bagaimana denganku? Jika Sir Charles membawaku yang merupakan seorang scanner, itu akan sangat berbahaya."

"Lalu jalan seperti apa lagi yang kauinginkan, Galileo?" Charles berubah tegas. "Selama bertahun-tahun, yang bisa kulakukan hanyalah mengecek nama Charla di bank. Dua tahun lalu, mesin pendeteksi chip nama-nama orang akhirnya diresmikan. Aku menekan-nekan tombol pada mesin itu seperti orang bodoh, dan mendengar bunyi 'TUT' yang sama berulang kali."

Galileo merenung. "Mungkin kau benar."

"Lalu, apa yang membuatmu yakin bahwa pertemuan di Hotel Evenrigh lusa adalah jawabannya?"

Charles memandang layar tabletnya. "Itu karena pemerintah Skotlandia akhirnya bergerak setelah sekian lama."

"Oke! Oke! I'm in." Galileo merentangkan tangannya yang mungil; menggelindingkan tubuhnya ke kanan dan kiri.

Kesepakatan pun dicapai. Mereka bertiga akan pergi ke Hotel Evenrigh lusa untuk mengintai pertemuan antara antek Skotlandia dengan seorang misterius yang tidak mereka ketahui.

***

Lusanya, mereka bertiga sudah berada di gedung parkir Hotel Evenrigh, bersembunyi sambil mengawasi pintu masuk hotel.

"Kau melihat sesuatu?"

Tidak menghiraukan Charles, Galileo masih fokus dengan kacamata VR yang ukurannya hampir sama dengan tubuhnya dan juga trackpad hologram yang ia gunakan untuk menggeser kursor. Ia berusaha mendeteksi segala macam objek yang masuk ke dalam radarnya menggunakan pemindaian total. Memang menghabiskan energi yang banyak, tetapi ini untuk menghindari adanya jebakan tikus.

"Bagaimana?"

"Diamlah, kalian berdua!" Galileo kali ini marah kepada Omega. "Bersabarlah. Di gedung parkir ini ada banyak sekali mesin, dan aku harus memindainya satu per satu dengan hati-hati."

Charles menggunakan teropong untuk menembak pandangan ke arah pintu masuk. Ia terus mengondisikan lensa teropongnya, mencari sudut pandang yang paling pas. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Lobi hotel pada hari itu cukup ramai, karena akhir pekan. Untungnya, Charles bisa membedakan manusia dan mesin yang lalu-lalang dengan teropongnya tersebut.

"Hei, Omega," panggil Charles. "Apakah sesuatu terjadi pada mesinmu selama aku pergi berlibur?"

"Apa maksudmu?"

"Ini tentang akalmu. Bagaimana kau bisa mengembangkannya?"

Omega menggelengkan kepala kebingungan, sembari mengusap senapan laras panjangnya dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak tahu. Jawaban yang paling masuk akal adalah karena akal dasar yang kauberikan kepadaku. Kau memberiku segala akal yang membuatku menjadi mirip sekali dengan manusia. Kau memberiku tata krama dan sisi kewanitaan. Kiranya ini semua adalah kesalahanmu."

"Cih, lucu. Mulai menyalahkan Tuhanmu sekarang?"

"Aku tidak bermaksud demikian, Master!"

"Lalu kenapa kau mencoba mengembangkan akal mandirimu?"

"Mungkin karena ... aku tidak bisa hidup terpatri seperti ini. Aku ingin menjadi sesuatu yang lebih. Bukan berarti aku tidak percaya kepadamu, tetapi dengan bergerak di bawah kendalimu secara penuh, aku merasa tidak menemukan jati diriku sebagai sebuah entitas."

"Jadi ini terkait masalah eksistensi?"

"Itu benar. Menghabiskan seumur hidup sebagai makhluk cetakan adalah suatu hal yang menyedihkan buatku. Tidakkah kau merasa bahwa kita harus terus mencari makna dalam kehidupan ini?"

Charles menoleh, masih dengan teropong yang menempel pada wajahnya. "Hidup ini tidak bermakna." Ia lantas kembali menatap ke depan.

"Tidak bermakna ...?" Omega memiringkan kepala, berpikir. "Tapi kenapa kau ingin menghidupkan kembali jiwa adikmu? Bukankah itu berarti ada makna di sana? Sebuah makna yang menarikmu melakukan tindakan itu sebagai bentuk dari rajutan takdir?"

"Aku tidak ingin mencari makna, pun dengan eksis di dunia ini."

"Tapi tujuanmu sangatlah mulia, Master. Kau tidak ingin Jantung Mesin Suci jatuh ke tangan orang lain karena kau tahu betapa mengerikannya kekuatan benda itu. Itu berarti, ada sesuatu yang mendorongmu untuk melakukan itu. Kau ingin menyelamatkan dunia! Itu terjadi karena kau menemukan secercah makna di dunia ini! Dan itu bisa kautemukan karena kau ada!"

"Aku tidak percaya dengan kehadiran makna," balas Charles, dingin. "Semua yang ada di hidupku adalah nilai penuh. Semakin bertambahnya usia, nilai itu satu per satu lepas dari diriku, dan akhirnya mengantarkanku pada kematian. Nilai nol."

Omega melipat kedua tangannya di bawah dada. "Apakah kehidupan manusia memang dipenuhi oleh kontradiksi?"

Charles tidak menjawab.

"KETEMU!"

Teriakan Galileo mengagetkan Charles dan Omega. Setelah beberapa saat memantau, sebuah titik hitam masuk ke dalam radarnya. Usai dilakukan pemindaian, wujud asli dari titik hitam itu akhirnya kentara. Dia adalah seorang mesin berwujud wanita kantoran, mengenakan blazer dan rok pendek berwarna sama—merah muda. Namanya terpampang jelas pada nametag di dada kirinya: Sweet Caroline.

"Bersiap pada posisi!"

Omega langsung mengenakan seragam besinya secara otomatis, lalu membidikkan senapan laras panjang ke arah pintu masuk. Galileo melepas kacamata VR-nya dan memindahkan radarnya pada bentuk hologram. Charles bersembunyi di balik tembok pembatas, masih mengawasi sekitar dengan teropongnya. Tak lama kemudian, keluar dari lobi seorang wanita yang sesuai dengan deskripsi Galileo. Di sana dia berdiri, menatap kanan dan kiri, seperti sedang menunggu seseorang.

"Tahan tembakanmu," bisik Charles.

"Roger," balas Omega, samar, dari balik helmnya.

"Jangan sampai lengah, Galileo." Charles meletakkan teropongnya, ikut menatap radar hologram itu.

Di sana terpampang ribuan titik beraneka warna, dan satu yang paling kuat sinyalnya adalah si titik hitam. Wanita itu berdiri tepat di depan pintu masuk Hotel Evenrigh.

"Ah, ada satu lagi!" Galileo kembali berteriak, kali ini sambil menunjuk radar hologram di hadapannya.

Sebuah titik hitam yang lain datang dari arah utara. Dengan cepat Galileo mencoba meretasnya. Namun, titik hitam itu tidak dapat ia deteksi menggunakan sistemnya. Panik, Galileo mencoba segala cara, tetap saja tidak bisa. Akhirnya, satu kesimpulan ia dapatkan. Titik hitam yang sedang menghampiri Sweet Caroline di depan pintu masuk hotel adalah seorang manusia, bukan mesin.

"Sir Charles, ini adalah jebakan!"

"Apa?"

"Mereka sengaja mengirim manusia untuk bertemu dengan wanita itu agar kita tidak bisa mengetahui motif aslinya. Jangan-jangan, pesan yang dibicarakan oleh Figaro itu ...."

Ucapan Galileo terputus, yang menyebabkan saraf-saraf pada otak Charles bekerja dengan keras untuk mencerna kalimatnya. Akhirnya Charles berdiri, meneropong Sweet Caroline.

"Kertas! Pesan itu pasti akan disampaikan melalui kertas! Dengan begitu, kita tidak akan pernah bisa meretas isinya. Sial. Ini adalah sebuah jebakan yang sempurna."

"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Master?"

"Tetap bidik jantungnya, Omega. Jangan biarkan wanita itu mengeluarkan sebuah kertas."

***

"Kenapa kau tidak menunggu di dalam lobi? Apakah ada yang mengawasi kita?" Pria bertubuh besar itu tiba di depan pintu masuk hotel. Ia mendekat ke arah Sweet Caroline dan membelakangi gedung parkir.

"Sepertinya tidak ada," balas wanita itu. "Dan jika ada pun, aku sudah siap untuk mati. Tuan R membolehkanku melakukan apa pun untuk melindungi rahasia ini."

"Apa yang ingin kaulakukan?"

"Aku sudah menenggak satu gigabyte Black Sabbath. Efeknya mungkin tidak akan muncul sampai beberapa hari ke depan, tapi jika jasadku diambil oleh musuh, mereka pasti akan kerepotan."

Pria itu menatap dengan lemas. "Sungguh malang dirimu."

"Ini." Sweet Caroline memberikan secarik kertas kepada pria itu. "Larilah."

Ketika jemari mereka berdua saling bersentuhan, suara tembakan yang keras dapat terdengar. Peluru menembus dada Sweet Caroline, dan wanita itu seketika tumbang. Tak sempat mengambil secarik kertas yang diberikan, pria itu langsung berlari menyelamatkan nyawanya. Terlambat, leher pria itu tertembak. Tubuhnya tersungkur barang sebentar, mulutnya gemetar dibanjiri darah, tangannya kejang berusaha menggapai sebuah ponsel. Semua itu berlangsung dengan sangat singkat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi dari Sweet Caroline maupun pria bertubuh besar itu.

Omega mendarat dengan mulus selepas melompat dari gedung parkir. Ia menanggalkan seragam besinya dengan cepat, memasukkannya kembali ke dalam sakunya, kemudian meletakkan senapan laras panjangnya di punggungnya. Ia menunduk, mengamati tubuh Sweet Caroline yang anggun tidak berdaya. Seketika Omega tersentak. Ia menyemprot dada wanita itu dengan cairan pembeku untuk menutup lukanya.

"Ada apa?" tanya Charles yang baru mendarat di bawah, diikuti oleh Galileo.

"Ada sebuah virus di dalam tubuh wanita ini. Aku tidak tahu apa itu, tapi sistemku mendeteksi sesuatu yang sangat berbahaya."

"Sangat berbahaya?" Charles tampak kebingungan. "Lalu, bagaimana dengan pesannya? Apakah wanita itu meninggalkan sebuah pesan?"

Omega mencari di sekitar tubuh wanita itu, lalu mengambil secarik kertas yang terciprat darah dari balik telapak tangannya. "Dapat."

***

| Sekilas INK-fo |

Kacamata Virtual Reality (VR) adalah sebuah alat yang digunakan untuk memindahkan otak kita ke dalam dunia virtual. Jika digunakan oleh mesin, fungsi dari alat ini menjadi tidak terbatas. Alat ini dapat dipakai untuk mendeteksi atau memindai sebuah mesin, bahkan meretasnya. Di sisi lain, alat ini memiliki keterbatasan fungsi jika digunakan oleh manusia. Karena pada dasarnya, mesin tidak dapat mentransfer kesadaran manusia secara menyeluruh ke dimensi digital.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top