Chapter 29 - Pria yang Bertanggung Jawab

Tangan Charles berseluncur pada susuran tangga ketika kakinya sudah tidak kuat lagi melangkah. Ia terjatuh. Kepalanya membentur dinding, dan sialnya, ia tidak bisa melihat apa-apa. Baterai kertas elektriknya habis, dan di dalam tempat tertutup itu tidak ada pencahayaan sama sekali. Insting semata tidak bisa membantunya. Setelah kurang-lebih 30 menit berada di tangga darurat, Charles menjadi gila. Ia tidak bisa menemukan pintu keluar ataupun jalan yang memberinya jawaban meski telah meraba-raba segala sesuatu yang ia lewati hingga tangannya penuh-tebal dengan debu.

Dengan napas yang terengah-engah, dikontrol oleh otaknya yang terbakar kelelahan dan jiwanya yang dikekang kegelapan, Charles terus berjalan. Mungkin ketika lampunya menyala, Charles akan menunjukkan sebuah muka yang sangat buruk, di mana ia panik, takut, dan sedih di saat yang bersamaan. Akan tetapi, itu bukanlah masalah baginya. Di alam ketiadaan itu ia harus terus menuruni satu per satu anak tangganya meski kakinya terasa sakit. Nyawa ratusan orang di The Last Dimension lebih penting dibandingkan dirinya sendiri.

Setelah perjalanan yang begitu lama di tengah-tengah dimensi kegelapan dan ketidaktahuan, tangan Charles menabrak sesuatu. Itu adalah kenop pintu, ia sangat yakin, karena suara benturannya keras dan itu sangatlah sakit. Diputarlah kenop itu, lalu dilangkahkannya kakinya. Charles berlari di atas sebuah papan besi yang panjang, masih diselimuti kegelapan. Pada sebuah bundaran yang di tengah-tengahnya terdapat pilar berisi kabel-kabel besar, Charles belok ke kiri. Kemudian, pintu kembali ia buka. Sekarang cahayanya terang benderang. Dinding lorong superpanjang itu berwarna putih, dan di ujungnya Charles dapat menangkap sebuah titik kecil. Itu adalah pintu besi berwarna emas untuk masuk ke The Last Dimension.

Untung saja tidak ada cermin di ruangan itu, atau, untung saja ruangan itu tidak terlalu bersih. Sebab jika Charles melihat pantulan wajahnya sendiri, ia pasti akan pingsan. Dirinya sungguh menyedihkan, sama seperti gelandangan yang tidak makan selama beberapa hari. Charles benar-benar berada pada kondisi terburuk saat itu. Akan tetapi, ia berlari sekuat tenaga tanpa memedulikan apa-apa.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Charles memohon kepada sang Empunya Dunia. Tuhan, tolong aku. Berikan aku kekuatan untuk sampai ke sana. Aku tahu, aku sudah gagal. Aku menyerah, Tuhan. Terkadang aku lupa bahwa ada hal-hal yang tidak bisa aku kontrol. Aku rela jika para bedebah Skotlandia itu mengambil kembali jantung adikku. Aku teramat rela. Dan jika memang aku tak bisa menyelamatkan dunia, setidaknya berikan aku kekuatan untuk menyelamatkan jiwa dari manusia dan mesin yang ada di ujung lorong itu. Aku tidak ingin ada lebih banyak korban berjatuhan karena aku tidak bisa menjadi seorang pria yang bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Ya Tuhan, tolong aku untuk kali ini saja.

Di saat secercah harapan mulai merekah dari dalam hati Charles, tanah berguncang dengan sangat kuat seakan ada gempa yang terjadi. Ia terpental dan membentur langit-langit, kemudian jatuh dengan tidak mulus. Ketika kepalanya diangkat, ia bisa melihat darah mengucur dari lubang hidungnya. Guncangan terjadi sekali lagi, lebih lama dan keras dari sebelumnya. Tubuh Charles melayang, berputar ke kanan dan kiri membentur tembok, sebelum akhirnya terjatuh kembali. Ia memuntahkan isi perutnya, mengotori wajahnya sendiri. Di ambang kemenyerahan, di mana Charles tahu bahwa tidak ada lagi harapan karena tentara Skotlandia sudah mengepungnya, ia sama sekali tidak berniat untuk mundur. Ia teringat perkataan dari Foxtrot ketika berada di penjara:

Jangan pernah buat dirimu lelah untuk memikirkan masa lalu dan masa depan. Yang lalu adalah yang tidak dapat diubah, dan yang akan datang adalah yang tidak dapat diperkirakan. Semua hal di dunia ini terjadi secara tiba-tiba. Kita akan kehilangan segala-galanya kecuali satu: hari ini. Jadi, lebih baik persiapkan diri kita untuk satu detik ke depan. Fokus pada momen yang sedang kau hidupi sekarang. Itu karena untuk hidup adalah untuk ...

"... kehilangan sesuatu," gumam Charles, berdiri dengan kedua kakinya.

Ia berlari dengan sisa tenaganya, kemudian mendobrak pintu berwarna emas yang terbuat dari besi itu. Secara ajaib, pintu itu jebol. Tubuh Charles menggelinding tidak keruan sebelum menabrak sebuah boks besar di sebelah pilar.

Ketika Charles berdiri, ia bisa melihat ruangan itu telah kosong. Jauh di sana, tiga pesawat ulang-alik menghadap ke atas, siap untuk diluncurkan. Di luar terbaring seorang wanita renta menghadap langit-langit. Dadanya kembang kempis dengan tempo yang mengkhawatirkan. Charles lantas menghampirinya.

"Mother, kau baik-baik saja?"

"Sir Charles .... Saya berhasil menyelamatkan semua orang ...."

"Mother, napasmu! Kau terlihat tidak baik."

"Iya," Mother Maria terbatuk, "tapi itu bukanlah masalah. Terbanglah dari sini, Sir. Tidak ada yang bisa saya lakukan lagi, karena itu saya menunggu di luar. Saya menunggu Anda. Dan ketika Anda membuka pintu itu, saya merasa sangat senang. Sekarang Anda bisa pergi untuk menyelamatkan dunia. Saya akan tetap tinggal di sini."

Charles berteriak, "Tidak, Mother! Apa maksudmu kau ingin tinggal di sini? Kita akan melawan tentara Skotlandia itu bersama-sama! Maafkan aku, aku telah menyerah di lorong tadi. Tapi sekarang, aku yakin, aku yakin masih ada kesempatan bagi kita. Kita tidak boleh menyerah!"

"Kau masih sama seperti dulu. Kau sering sekali berbicara dengan dirimu sendiri." Mother Maria tersenyum, kali ini mengubah panggilannya terhadap Charles dengan "Kau".

"Berdirilah, Mother. Aku akan menjagamu. Kita akan mengalahkan mereka bersama-sama."

"Hentikan, Charles." Mother Maria menahan menggunakan tangannya. "Dunia ini sudah terlalu tua bagiku. Jika aku ikut dalam pesawat itu, aku tidak yakin bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, aku memercayakan semuanya kepadamu. Kau adalah seorang pria muda yang berambisi besar."

Tangis Charles pecah mendengar ucapan itu. Ia memeluk Mother Maria seketika. "Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, Mother. Jangan bicara seperti itu. Kau harus ikut bersamaku. Kita harus menemukan jantung Charla. Tolong, Mother, tolong. Aku tidak ingin kehilangan siapa-siapa lagi. Aku sudah tidak punya keluarga. Hanya kaulah orang yang bisa kugantungkan, dan hanya kepadakulah kau bisa mencurahkan segala kasih sayangmu. Tolong, Mother, ikut aku."

Mother Maria tersenyum seraya berkata, "Aku yakin, kau pasti bisa mengalahkan dunia yang jahat. Kau sudah kuanggap seperti cucuku sendiri, bahkan anakku. Aku sangat menyayangimu. Sungguh."

Ratapan Charles semakin mengeras.

***

Pesawat tempur tentara Skotlandia menabrakkan dirinya ke gedung Fonder Corporation untuk menghentikan serangan senjata mesin besar yang menempel di gedungnya. Mereka mendarat di sana, kemudian menurunkan ratusan unit pasukan bersenjata lengkap. Hampir seluruh ruangan di dalam gedung itu diduduki, tak terkecuali ruang data. Para mesin komputron yang sedang memfokuskan diri pada pekerjaan mereka dibantai dengan membabi buta. Sekarang, tidak ada lagi daya yang dapat tersalur di dalam gedung itu; mode perang juga tidak ada gunanya lagi.

Kondisi gawat darurat ditetapkan oleh wali kota New York. Seluruh warga dievakuasi ke zona aman, dan tentara cyber FBI diturunkan untuk menyerang sistem milik tentara Skotlandia. Semua orang begitu ketakutan karena kejadian itu. Pesawat-pesawat menembus menara yang gagah itu. Dentuman keras terdengar dari gedung Fonder Corporation. Lambat laun api berkobar, diiringi guncangan yang keras di tanah. Peristiwa itu mengingatkan warga New York akan sebuah kejadian. Entah kapan, tetapi tragedi itu adalah serangan teroris terburuk yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada Abad Manusia.

Oscar terbang dan mendarat pada sebuah helikopter. Ia menyeka tangannya yang terciprat darah, kemudian mengeluarkan sebuah jantung dari dalam sakunya. "Perbaiki jantung ini, dia masih berfungsi. Kemudian perbarui tubuh wanita ini. Setelah gedung ini hancur, kita akan langsung terbang dengan kecepatan tinggi menuju London."

"Baik, Tuan Oscar." Seorang mesin menerima jantung tersebut.

"Bagaimana dengan mesin homo itu? Apakah ketiganya sudah berhasil disatukan?"

"Masih dalam proses di sana, Tuan. Sebentar lagi mesin itu akan terwujud. Hari Pembalasan akhirnya tiba."

Setelah percakapan antara Oscar dan anak buahnya itu selesai, tiba-tiba saja tiga pesawat ulang-alik melesat dari dalam gedung Fonder Corporation. Suaranya begitu keras; apinya besar, menciptakan asap yang membubung tinggi. Pesawat-pesawat milik tentara Skotlandia meledak. Alhasil, bangunan itu perlahan-lahan kehilangan ketangguhannya; runtuh, menyapu sekitar.

Ketika matanya menatap langit, Oscar menangkap sebuah titik aneh yang terbang mendekat. Ketika melihat dengan lebih jeli, ia bisa memandang sosok Charles. "Apa-apaan itu?!" teriaknya.

Charles terjun dan melesat menggunakan jetpack, kemudian berpegangan pada badan helikopter itu menggunakan grappling hook. Ketika Oscar memerintahkan anak buahnya untuk memutar haluan helikopter, semuanya sudah terlambat. Charles menarik grappling hook-nya, membuat tubuhnya melesat secepat kilat menabrak tubuh helikopter itu. Ia melepaskan tembakan dari pistol Tedron miliknya untuk melubangi baling-balingnya. Helikopter itu oleng, Oscar pun panik. Ketika ia mencoba untuk terbang ke luar, pintunya sudah dijaga oleh Charles yang menodongkan pistol ke arahnya.

"Berikan tiga jantung itu kepadaku," gertak Charles.

Oscar menutupi beberapa anak buahnya yang sedang berusaha menyatukan tiga jantung itu. "Kau harus melewatiku dulu."

Charles tidak ingin menyia-nyiakan waktunya lagi. Sebelum pesawat ulang-alik itu pergi menjauh, ia ingin segera menuntaskan Oscar. Tanpa pikir panjang, Gravitational Disintegrator dikeluarkan dan ditembakkan ke badan Oscar. Charles mengeluarkan pisau panjangnya dan memenggal kepala Oscar. Kepala botak itu menggelinding, dan Charles cepat-cepat menembak seluruh mesin di dalam helikopter itu. Setelahnya, ia merebut kembali tiga komponen mesin homo dan membawanya keluar. Ia menggerakkan persneling jetpack-nya untuk mengejar pesawat ulang-alik yang sedang terbang.

Oscar yang masih memiliki kesadaran lantas berteriak, "Cepat sambungkan kepalaku! Siapa saja! Kita harus mengejar pesawat-pesawat itu! Mereka pasti akan menuju London!"

Di tengah kondisi helikopter yang oleng, kepala Oscar tiba-tiba disambungkan dengan badannya oleh seseorang. Saat ia menoleh, Romeo berdiri di sampingnya dengan kepala yang hancur berantakan.

"Aku mendengarmu, Oscar. Kita kalah dari pria Theseus itu. Sekarang berdirilah," ujarnya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka semua kabur membawa mesin homo. Kita harus mengejarnya, atau Ibu akan marah, dan Hari Pembalasan tidak akan terjadi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top