Chapter 28 - Surga dan Neraka

Pertemuan itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka. Charles masih terdiam bagaikan patung di tengah-tengah anak tangga, memperhatikan jiwa yang melayang di atasnya itu dengan penuh pertanyaan. Meskipun diliputi rasa penasaran, Charles yakin, pertemuan itu merupakan salah satu dari adegan takdir yang telah disusun sedemikian rupa.

"Apa maksudmu? Kau adalah seorang Theseus?"

Romeo tersenyum kepadanya. "Aku adalah cucu dari John Delta, sama sepertimu. Sejak dulu, aku ingin sekali berbicara denganmu. Sayangnya, kau terlalu sibuk untuk pergi mencari jantung-jantung mesin yang suci itu."

Charles tidak ingin mengulur waktu lagi sekarang. Ia melepaskan rangkulan Romeo, membidik dadanya, dan langsung melepaskan tembakan. Peluru energi itu meledak tepat sasaran, tetapi entah kenapa jiwa Romeo tidak hancur. Dia masih melayang di sana, tersenyum dengan lebar.

"Kita adalah keluarga, Charles. Apa yang membuatmu begitu marah ketika melihatku?"

Charles masih membidik, memasang wajah geram. "Jika kau anggota keluarga Theseus, mengapa kau bekerja sama dengan pemerintah Skotlandia? Tidakkah kau tahu bahwa Skotlandia adalah musuh bebuyutan Inggris sejak Perang Dunia Ketiga berakhir?"

"Skotlandia adalah musuh bebuyutan Inggris? Jangan berkhayal, Charles. Kuberi tahu satu hal padamu. Theseus memiliki sejarah panjang dengan orang-orang Skotlandia. Kita semua adalah sekumpulan orang-orang hipokrit. Dan kau tahu mengapa bisa begitu? Iya, karena kita, Theseus, menginginkan kekuasaan. Kita melakukan apa saja untuk bisa menjaga kesucian keluarga kita, pun kesucian Jantung Mesin Dunia. Dan kau tahu mengapa bisa begitu? Itu karena Napoleon Theseus, Theseus pertama, takut akan non­-existence. Dia ingin memvalidasi eksistensinya dengan beranak sebanyak-banyaknya."

Charles tidak membalas.

"Akan lebih baik jika kita berbicara di tempat lain. Di sini terlalu gelap dan pengap."

"Apa maksudmu?"

Setelahnya, Romeo menjentikkan jarinya. Seketika tempat itu berguncang. Charles tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya dan akhirnya terjatuh. Ketika kepalanya membentur dinding sehabis menggelinding, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Dindingnya berubah menjadi lembek, itu mencair bagaikan es batu. Charles mencoba meraba-raba; dindingnya menghilang. Tak lama kemudian, hal yang sama terjadi pada lantai. Peristiwa itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya Charles terjun bebas ke dalam kegelapan. Tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, ia hanya bisa berteriak sambil memejamkan mata.

Suasananya tiba-tiba berubah hening. Charles mendarat. Ia bisa merasakannya. Ia mendarat di tanah. Setelah mengumpulkan keberanian, ia akhirnya membuka mata. Di hadapannya, terhampar sebuah tanah luas yang tandus. Warnanya cokelat kehitam-hitaman, dan pada ujungnya terdapat sebuah warna merah yang membentang begitu lebar. Itu datang dari bawah tanah seperti lampu neon yang biasa dipasang di bawah papan reklame untuk menerangi tulisan. Ketika Charles memandang langit, yang didapatinya adalah sebuah langit berwarna kelabu penuh awan gelap, dengan ribuan gagak hitam yang terbang melingkar seperti sedang menari merayakan sesuatu. Lebih tinggi lagi, di balik awan di langit tanpa batas itu, Charles bisa melihat sepasang mata besar. Tatapan yang ditunjukkan olehnya adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Itu menenangkan dan mengerikan pada saat yang bersamaan.

"Di mana ini?" Charles bertanya, dengan posisi masih terduduk.

Romeo akhirnya mendarat di tanah, kemudian berjalan ke hadapan Charles. "Ini adalah tempat di mana semua umat manusia menunggu gilirannya, Akhirat."

"Akhirat?"

"Daripada berlama-lama, mari kuantarkan kau berkeliling, saudaraku."

Pikiran Charles kacau. Ia tidak bisa memproses apa yang ia lihat sekarang dengan pengetahuannya yang terbatas. Matanya tidak berhenti melihat tempat yang aneh itu. Ada rasa kagum yang muncul dari dalam dirinya, tetapi rasa bingung lebih banyak porsinya. Ia tanpa sadar menangis, tetapi juga tertawa. Ia marah menatap langit, tetapi juga berusaha memuji kecantikannya. Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan, seakan-akan pakaiannya dilucuti. Charles tanpa sadar berdiri, kemudian digandeng oleh Romeo, berjalan di atas tanah tandus itu.

Charles merasakan panas di telapak kakinya ketika berjalan. Ia menatap ke bawah, mendapati sepatunya masih terpasang dengan rapi. Ia menoleh kepada Romeo, bertanya, "Apa ini?"

"Ilusi alam akhirat. Jangan khawatir. Kau akan baik-baik saja."

Sampailah mereka di depan sebuah jurang yang sangat lebar. Dari bawah sana api berpijar, warna merahnya begitu terang, mengalahkan senyuman langit yang kelabu pada hari itu. Panasnya kelewat parah. Bahkan hanya melihatnya saja, sanubari sesiapa yang mendekat pasti akan terbakar. Jeritan manusia terdengar dari dasarnya. Mereka meminta tolong kepada siapa pun yang mendengar. Charles bisa mendengar itu. Pekikan penuh rasa sakit itu sama sekali tidak berhenti. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan, yang teriakannya terputus-putus.

Charles bertanya kepada Romeo, kenapa ia terus mendengar teriakan perempuan. Romeo menjawab, itu karena perempuan adalah sumber dari segala dosa. Perempuan termakan oleh hawa nafsu mereka, dan mudah keluar dari jalan Tuhan demi kesenangan semata. Charles akhirnya paham. Sekarang, ia kembali melihat ke bawah. Samar-samar ia mendengar, ada suara laki-laki juga di sana. Akhirnya, Charles bertanya kembali, mengapa ada suara laki-laki juga. Romeo menjawab dengan tegas, alasan kenapa para laki-laki dibakar di dasar jurang itu adalah karena keluarganya. Lebih tepatnya, para laki-laki yang tidak bisa bertanggung jawab kepada keluarganya. Charles sekali lagi dibuat paham. Ia menyimpulkan, tempat di bawahnya ini adalah sebuah hukuman bagi para pendosa.

"Jurang ini bernama Neraka," ucap Romeo. "Para pendosa tinggal di sini."

Charles masih menatap ke bawah. "Apa yang terjadi di bawah sana?"

"Lebih baik kita maju saja." Romeo menarik tangan Charles, berjalan menuju jurang itu.

Charles memberontak. Sudah jelas di depan sana tidak ada apa-apa. Jika mereka melangkah lebih jauh lagi, mereka akan jatuh ke dalam jurang itu dan terbakar di sana selama-lamanya. Akan tetapi, sebuah keanehan terjadi. Charles menginjak sesuatu di atas jurang itu.

"Manusia harus melewati jembatan ini."

Jembatan? Mana jembatannya? Charles kebingungan setengah mati; memutar-mutar kepalanya, mencari jembatan yang disebutkan oleh Romeo. Akan tetapi, kakinya tak bisa berhenti melangkah. Ia berjalan di atas jurang yang berfungsi sebagai tungku pembakaran itu. Ia bisa melihat apinya meletup-letup, membentuk sebuah ekor yang menyapa permukaan. Ia melihat Romeo, masih berjalan sambil menggandengnya tanpa ragu.

"Kau tahu, Charles. Kau akan jatuh jika dosamu lebih banyak dari pahalamu."

Charles membelalak tidak percaya. "Apa maksudmu?"

Tak lama kemudian, jembatan tak kasat mata itu bergoyang. Charles dan Romeo tidak bisa menyeimbangkan tubuh mereka dan akhirnya terjatuh. Charles berteriak ketakutan ketika api mulai menyentuh kulitnya. Ia menangis sejadi-jadinya di saat seluruh isi tubuhnya lepas dan jiwanya dimakan oleh jurang api itu. Ia bisa melihat siksaan yang begitu menyedihkan. Kepala manusia dipenggal, tubuh mereka dihunjam besi-besi panas, lidah mereka dipotong dengan gergaji dan kapak berkarat, mereka digantung pada tiang-tiang penuh kawat berduri, secara bergantian dicelupkan ke dalam panci besar penuh lava. Anehnya, setelah semua itu selesai, seluruh rangkaian penghukuman dimulai kembali dari awal.

Charles tidak ingin melihat itu, tetapi matanya dipaksa untuk terbuka. Ia melihat siksaan mengerikan itu lagi, lagi, dan lagi. Ia mendengar teriakan yang sama dari para pria dan wanita pendosa. Ia menyaksikan itu dengan penuh kesadaran, hingga akhirnya mulutnya terbuka, berteriak sekeras-kerasnya.

Charles mengerjapkan matanya, sekarang ia berdiri di tempat yang berbeda. Di sana tidak ada api dan tidak ada orang-orang yang disiksa. Yang menjadi tempat kakinya berpijak bukanlah batu bara yang diselimuti lava, melainkan tanah berumput dengan bunga warna-warni dan banyak kupu-kupu. Matanya menatap kejauhan, di sana berdiri sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi, dan terdapat seseorang yang duduk di bawahnya sambil membaca buku.

Ketika Charles berjalan menghampiri pohon itu, ia sadar bahwa ia tengah mengenakan sebuah pakaian putih yang sangat indah. Bahannya halus dan lembut, sejuk ketika dipakai. Merasa ada keanehan, Charles mencoba meraba tubuhnya sendiri. Luar biasa, semuanya sempurna. Dia bukanlah Charles yang selama ini ia kenal, dia adalah Charles yang entah bagaimana lebih tampan seratus kali lipat dari sebelumnya. Setelah menyelesaikan urusannya dengan tubuhnya sendiri, Charles tiba di pohon itu. Ketika ia menyapa orang yang sedang membaca buku itu, dia membalas dengan suara anak kecil.

"Sudahkah kau melihat keajaiban di tempat ini?"

"Romeo ...?"

"Tempat ini bernama Surga. Hanya orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang bisa memasukinya."

"Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kauinginkan. Untuk apa kau membawaku kemari?"

Romeo, yang berperawakan pria dewasa dengan wajah putih-bersih disertai mata biru yang jernih, berdiri. "Lihatlah sekelilingmu, Charles. Bandingkan apa yang sekarang kau lihat dengan yang tadi kau rasakan."

Menuruti permintaan Romeo; Charles melihat sekitar. Tempat itu masih berupa sebuah tanah berumput yang luas beberapa detik tadi, tetapi sekarang berubah menjadi sebuah tempat yang sangat indah. Di sana berdiri istana-istana putih nan megah, di sekelilingnya para manusia dengan pakaian putih berwajah menawan sedang bersenda gurau. Air terjun tersusun dari putih susu, mengalir menjadi sungai, bermuara ke sebuah tempat yang tidak diketahui. Burung merpati terbang ke sana kemari dengan bebasnya, mengepakkan sayap mereka dengan penuh kebanggaan. Di sebelah kanan Charles bisa melihat ada sebuah air mancur yang mengeluarkan air berwarna emas. Di sampingnya beberapa meja dengan hidangan lengkap telah berdiri. Para pramusajinya merupakan bidadari bersayap yang kelewat cantik, keanggunan paras serta kelembutan suara mereka dapat meluluhkan hati para pria, bahkan alam semesta sekalipun. Di sebelah kiri Charles dapat melihat orang-orang berkumpul dengan mereka yang terkasih. Tidak ada kesedihan sama sekali, yang ada hanya kebahagiaan.

"Kenapa tempat ini dipenuhi banyak sekali kegembiraan?" tanya Charles.

"Karena tempat ini adalah hadiah dari Tuhan. Jika kau disuruh memilih, mana yang akan menjadi tempat berlabuhmu? Surga atau Neraka?"

Charles berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Surga."

"Tepat sekali. Oleh karena itu," Romeo mengulurkan tangannya, "ikutlah aku. Kita harus menyukseskan Project Afterlife. Seluruh manusia dan mesin akan digiring menuju surga-Nya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi kekacauan di dunia. Tidak ada yang namanya perang, penindasan, kemiskinan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Surga adalah bentuk peradaban tertinggi di alam semesta, dan aku akan mewujudkan itu untuk semuanya."

Dari balik pakaiannya, Charles mengeluarkan pistol Tedron, lalu membidik kepala Romeo. "Sayang sekali, aku tidak memercayai semua itu. Cintamu kepada surga adalah egoismemu semata. Memangnya apa yang melatarbelakangi dirimu ingin sekali menuju surga?"

Romeo menjawab, "Tuhan."

"Pertanyaanku sekarang adalah, jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau percaya pada kekuatan dari Tuhanmu itu? Masihkah kau beriman kepada-Nya?"

Romeo membelalak dalam diam. Ia menggeleng secara perlahan.

Setelahnya, Charles melepaskan tembakan. Kepala Romeo meledak akibat peluru energi itu, dan tubuhnya terlempar ke belakang. Seketika, surga memudar. Tidak ada lagi kebahagiaan-kebahagiaan yang tertuang di dalamnya. Semuanya meluruh menjadi dinding kusam dengan ribuan anak tangga yang meliuk ke bawah. Semua itu hanyalah ilusi, dan Charles menyadarinya. Beruntung, ia belum terlampau mabuk hingga mengiyakan ajakan Romeo.

"Aku paling benci dengan orang-orang yang menggunakan nama Tuhan hanya untuk kepentingan golongannya." Charles menginjak dada Romeo, dan sekali lagi membidik kepalanya.

Kepala Romeo yang sudah berantakan masih dapat bergerak. Suara pelan dari chip pita suaranya dapat terdengar berbicara, "Percayalah ... kepadaku .... Dunia ... surga ... pasti ... akan ... lebih ... baik .... Charles, musuhmu sebenarnya adalah ... keluargamu sendiri ...."

Ketika Charles menembakkan peluru energinya sekali lagi, jiwa Romeo menghilang. Ia melihat sekitar dan tidak mendapati apa-apa. Sejak awal ia tahu, Romeo adalah pemilik Jantung Mesin Dunia. Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi di tempat itu, Charles kembali menuruni anak tangga untuk menuju The Last Dimension. Misinya sekarang adalah menyelamatkan orang-orang yang masih mengungsi di bawah sana, dan pergi menggunakan pesawat ulang-alik. Ia harus cepat sebelum para tentara Skotlandia menggempur gedung itu dan pergi ke bawah tanah.

Ia tidak berpikir tentang komponen mesin homo lagi di dalam kepalanya. Sekarang, nyawa para manusia dan mesin itu lebih berharga daripada apa pun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top