Chapter 20 - Kebingungan

Setelah kurang-lebih 20 kali jarum detik berputar secara penuh, Charles dan Oscar masih belum menemukan jalan keluar dari ruangan serba putih itu. Tentu saja penyebabnya adalah pengambilan keputusan mereka yang terlalu tergesa-gesa. Mereka tidak mengetahui apa-apa soal piramida ini. Meski begitu, riset atau sekadar bertanya juga tidak dilakukan. Sekarang mereka terjebak tanpa bergerak. Warna putih pada ruangan itu agaknya tidak menunjukkan harapan sedikit pun. Putih itu lama-kelamaan mengabu di mata Charles dan Oscar, lalu menghitam, seperti bulan harapan yang dilalap bayang-bayang ketakutan.

Walaupun sangat mustahil jika dipikir dengan logika, Charles masih berusaha mencari jalan keluar dari ruangan itu. Ia berdiri, berjalan perlahan-lahan, sambil memakai kacamata virtualnya untuk melihat lantai, dinding, dan langit-langit. Daripada keren, Charles lebih tampak seperti maling.

Oscar yang sudah menyerah pun akhirnya bangun lagi karena melihat antusiasme Charles. Ia mengencangkan kacamata virtualnya, mendekati dinding seraya merabanya, dan berjalan pelan menyisir sisi ruangan hingga sudut-sudutnya. Daripada keren, Oscar lebih tampak seperti ikan sapu-sapu.

Daripada keren, mereka berdua lebih tampak seperti orang bodoh—mengharapkan ketiadaan; mencari-cari yang tidak pasti.

"Kau menemukan sesuatu, Buddy?" Charles bertanya sambil terus menatap lantai.

Kali ini Oscar menempelkan telinganya pada dinding untuk mendengar bunyi. "Jangan berteriak! Ruangan ini terlalu kedap!"

"Kau yang seharusnya jangan berteriak!"

"Hei, orang Inggris! Tutup mulutmu, ya!"

"Woi, botak! Ingat, siapa yang menyelamatkan kotamu!"

"Memangnya siapa? Itu aku, bukan?"

Di tengah perseteruan antara dua pria muda itu, tiba-tiba pintu piramida bergeser. Suaranya begitu keras, membuat Charles dan Oscar menoleh. Dari sana berjalan Mother Maria dan Omega.

"Boys will be boys," ujar Mother Maria lirih sambil menghampiri mereka berdua. Di tangannya, ia menggenggam alat pendeteksi chip nama-nama. "Apa Anda tahu apa yang sudah berhasil saya temukan? Saya berhasil mendeteksi sebuah nama di dalam piramida terbalik ini." Pada momen itu, pintunya tertutup kembali, menghilang sepenuhnya.

"Siapa?" Charles melepas kacamata virtualnya, menghampiri Mother Maria untuk bertanya.

"Ryozo Watanabe," wanita renta itu menunjukkan tulisan yang terpampang pada layar alat pendeteksinya, "kekuatan yang ditangkap oleh alat pendeteksi ini cukup besar, dan sepertinya lokasinya ada di atas. Kita harus naik untuk memastikan itu. Namun, kalau ternyata Anda dan Tuan Oscar masih berada di sini, itu berarti ruangan ini adalah sebuah jebakan, benar?"

Charles mengangguk. "Sudah hampir setengah jam kami di sini tanpa menemukan jalan keluar. Lihatlah Oscar. Dia berputar-putar seperti orang bodoh."

"Oh, Mother. Bisakah kau tidak membebankan tugas berat seperti ini kepadaku?" Ocehan Omega memecah dialog yang intens antara Charles dan Mother Maria. Wanita berambut merah itu tampak kelimpungan kala harus memastikan segala sistem pada mesin-mesin pegawai Chariot bekerja dengan baik, juga mencatat semuanya dalam jurnal.

"Tolong, ya, Omega." Mother Maria tersenyum. "Karena Galileo sudah tidak ada lagi di sini, dan Figaro sedang ditugaskan untuk menjaga perbatasan London, kaulah yang harus menggantikan tugas mereka ketika turun di lapangan."

Omega mengangguk dengan matanya yang sayu, sambil terus mencorat-coret jurnal blob yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya.

Charles tertegun. Ia baru ingat, masih ada Figaro. Bagaimana caranya memberi tahu Figaro tentang kematian Galileo sama sekali tidak terpikir dalam benaknya. Ia tidak bisa membayangkan betapa menyedihkannya wajah si Kubis ketika tahu bahwa kakaknya sudah mati, dan ia tidak bisa membayangkan wajahnya sendiri ketika melihat si Kubis jatuh dalam kesedihan.

Kapan aku harus memberi tahu Figaro? Aku takut kalau kabar ini akan mengejutkannya dan menganggu pekerjaannya.

"Sir Charles."

Panggilan Mother Maria membuyarkan lamunan pria muda itu. "I-iya?"

"Para mesin sudah saya perintahkan untuk memanjat piramida dari luar, dengan harapan mereka bisa menembusnya. Sementara kita, tugas kita sekarang adalah memanjat ke atas dari dalam."

Charles mengangguk setuju. "Tolong, Mother. Meski kedengarannya bodoh dan tidak masuk akal, kita harus tetap menyisir setiap bagian dalam ruangan kosong ini."

"Kau dengar itu, 'kan, Omega?"

"Siap, saya dengar, Mother!" Omega bertingkah layaknya seorang sekretaris supersibuk; mengenakan kacamata sambil terus menulis tanpa henti. "Berdasarkan analisis yang saya lakukan, diteliti menggunakan variabel berbeda, dan didukung dengan data-data teruji dari berbagai macam artikel dan jurnal yang dipublikasikan di Perpustakaan Internasional, saya menemukan satu kesimpulan: kita tidak bisa naik dengan cara apa pun!"

Mother Maria geleng-geleng kepala, kemudian merebut jurnal blob itu dari tangan Omega. "Sepertinya kau lebih cocok jadi fighter saja."

Sementara itu, Charles diam. Matanya membelalak, menatap wajah Omega. Perlahan-lahan otaknya berputar; pening dapat ia rasakan. Memori-memori masa lalu terkumpul lagi, terbakar, membara, menguatkan gairah-gairah lama yang pernah singgah. Meski sudah berniat untuk membuang ingatan itu jauh-jauh, segalanya masih muncul dengan jelas pada benak Charles. Omega dibentuk olehnya dari model gadis yang pernah ia cintai semasa kecil.

Kanna Esteri adalah nama seorang gadis yang pernah menjadi teman Charles ketika ia tinggal bersama mamanya di Finlandia untuk kabur dari kejaran pemerintah Skotlandia. Pada waktu itu, usia Kanna lebih muda dua tahun darinya, delapan. Charles kecil tidak tahu-menahu soal perasaan yang ia miliki. Yang ia tahu, dadanya selalu sesak ketika melihat wajah gadis berambut merah itu. Charles bisa melihat cahaya dunia dari senyuman layu dan wajah pucat gadis itu. Ia mencintainya, benar-benar mencintainya. Sebab gadis itu adalah orang kedua yang peduli padanya setelah Charla, dan gadis itu adalah orang kedua yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa dunia ini tidak semengerikan isi kepalanya. Sampai akhirnya, suatu hari ...

Charles tersadar dari mimpi tengah malamnya. Ia menampar dirinya sendiri dan sekarang berada tepat di samping Omega. Ia melihat sosok wanita itu, memandangi rambut merah panjangnya dalam diam. "Omega," panggilnya.

"Iya, Master?"

"Aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan padamu." Charles mendekatkan wajahnya pada Omega.

"Kenapa, Master?"

"Bisa kau berikan Gravitational Disintegrator padaku?"

Suasananya berubah jadi hening dan canggung.

"Kalau kau ingin, tidak perlu mendekatkan wajahmu seperti itu."

Charles menerima Gravitational Disintegrator pemberian Omega. "Terima kasih."

"Sir, memangnya apa yang ingin Anda rencanakan? Sudahkan Anda menemukan cara untuk dapat memanjat ke atas?" Mother Maria bertanya dengan penuh kebingungan.

Charles tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Ia lantas mengangkat Gravitational Disintegrator dan menggenggamnya kuat-kuat. Lima detik, dayanya berhasil diisi. Setelahnya, tombol pada tabung besar itu ditekan olehnya, menembakkan gelombang radiasi tegangan tinggi dari bagian tumpulnya. Ruangan itu berguncang dengan amat keras, menumbangkan mereka semua tanpa terkecuali. Serangan itu mengenai Oscar yang masih menempel di dinding ruangan, membuatnya melayang, naik, naik, naik, hingga akhirnya menghilang menembus langit-langit. Teriakannya yang awalnya boros seperti speaker rusak perlahan-lahan menghilang.

"Master, si botak itu baru saja menembus langit-langit! Bagaimana cara kau melakukannya?" Omega tampak kebingungan.

"Sejak awal aku melihat piramida ini, aku menyadari ada satu hal yang aneh. Pyramidion yang seharusnya berada di puncak, alias bagian bawah bagunan ini, menghilang. Bagian bawah piramida ini tumpul. Selain itu, ketika kau masuk, aku mengamati sepatumu yang basah. Dari sana bisa kulihat, ada aliran air yang naik secara perlahan-lahan seperti sedang menguap. Saat itulah aku sadar, piramida ini terbalik, begitu pula dengan gravitasinya. Sekarang, kitalah yang berada pada posisi abnormal."

Charles lantas mengarahkan Gravitational Disintegrator ke lantai, mengisi dayanya, siap menembak.

"Apa yang ingin Anda lakukan, Sir?" Mother Maria terlihat panik.

"Kalian berdua, berpeganganlah. Aku akan mendorong kita ke atas."

Mendengar ucapan Charles yang datang secara tiba-tiba, dua wanita itu kelabakan. Mereka akhirnya saling berpelukan untuk menghadapi entah gempa seperti apa yang menanti. Sedetik setelahnya, tombol pada tabung itu ditekan oleh Charles. Gelombang radiasi dengan tegangan maksimal ditembakkan dari bagian tumpulnya. Warna ungu dan kuning mencuat dan menyebar secepat kilat memenuhi ruangan itu; merekahlah listrik dengan voltase tinggi yang menyambar tidak keruan bagaikan tentakel gurita ketika mereka tertekan. Gelegar halilintar dapat terdengar, suaranya terdistorsi retakan lantai yang perlahan-lahan melebar seperti tumbuhan Venus. Vibrasi yang ditimbulkan ledakan radiasi itu kelewat parah. Kabel-kabel yang berada di jurang mesin tepat di bawah piramida itu mengalami arus pendek. Satu per satu dari mereka berbunyi, menyala merah, saling bersahutan, hingga akhirnya kebakaran besar terjadi. Apa yang ada di mata Charles adalah dirinya terbang di atas jurang neraka. Ruangan itu menjadi kacau balau, semua retakannya terbang ke langit, begitu pula Charles, Omega, dan Mother Maria. Mereka bertiga terlempar begitu kuat ke atas, menembus langit-langit, seperti bola meriam yang ditembakkan dari dalam mortir.

Charles menembus lapisan demi lapisan dalam piramida itu dengan sangat cepat. Ia tidak merasakan apa-apa. Ia terus terbang menembus ruangan-ruangan putih yang sama dengan langit-langit yang sama—langit-langit yang tidak ia kenal—layaknya memori-memori abstrak yang dinarasikan oleh Mirror di dalam kepalanya. Tidak berselang lama, Charles membentur langit-langit, menandakan ia telah mencapai puncaknya. Dalam artian lain, ia telah mencapai bagian bawah piramida putih yang terbalik itu.

"Getaran tadi membangunkanku, tetapi itu bukanlah sebuah masalah. Akhirnya kau datang juga, Charles Theseus."

Charles yang terjatuh dengan amat sangat tidak mulus mencoba untuk bangun. Ia bisa mendengar suara anak kecil memanggilnya. Ketika kepalanya menoleh, ia mendapati sesosok laki-laki, yang sesuai perkiraannya, masih berada pada usia anak-anak. Charles berdiri tanpa menunjukkan sedikit pun rasa takut meski sekujur tubuhnya diselimuti rasa sakit. Dua pistol Tedron ia genggam di masing-masing tangannya. Kepalanya ia angkat, menatap anak laki-laki yang bertelanjang dada itu.

"Benda berbentuk segitiga di dadamu itu pasti adalah jantungmu," ungkap Charles. "Senang bertemu denganmu, Kaki yang aku cari-cari. Senang bertemu denganmu, R yang waktu itu menyapaku di reruntuhan istana Theseus. Senang bertemu denganmu, Ryozo Watanabe."

Anak laki-laki itu menyeringai kepada Charles.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top