BAGIAN 9 - MINTA ADEK BARU
Hampir dua jam yang lalu, Dito dan Rafi masih bertamu di rumah Ayana. Sebenarnya mereka tidak berniat menganggu istirahat Ayana dan anaknya. Tapi lagi-lagi anak-anak Ayana yang menghalanginya pulang. Mereka selalu tidak mengizinkan Rafi dan Dito pulang cepat, dengan alasan ingin mengajaknya main. Padahal tujuan awal Dito ke rumah Ayana sebenarnya bukan mengajak anak-anak Ayana bermain dengannya.
Sudah terlanjur. Dito juga senang menjahili anak sahabatnya itu. Pun Rafi juga tak kalah senang, bisa bermain dengan anak-anak Ayana. Walaupun sepasang netra tajam sesekali berkilat ke arahnya ketika ia memangku gadis kecil berusia tiga tahunan itu.
"Aidan umur berapa?" Dito bertanya pada Aidan yang ada dalam pangkuannya, yang tengah mengotak-atik robot mainan di tangannya.
Mendengar pertanyaan dari Dito, kepala Aidan setengah mendongak, netranya menatap Mamanya yang duduk di depannya, samping Sang Papa, "Belapa Ma?" tanyanya cadel dengan suara khas anak seusianya.
Ayana mengacungkan tiga jarinya ke arah anaknya sembari tersenyum simpul, "Tiga tahun,"
"Tiga tahun, Om!" jawabnya pada Dito.
"Kalau Aviola?" Saat ini giliran Rafi yang bertanya ke arah gadis kecil yang ada di pangkuannya itu. Tangannya mengusap-usap lembut pucuk kepala Aviola, sesekali mencubit pipi Aviola yang tampak menggemaskan.
Semburat tajam dari pelupuk mata Jefri semakin terpancar saat memerhatikan interaksi anak gadisnya itu di pangkuan laki-laki lain. Ralat, bukan sembarang laki-laki yang dicemburui, namun hanya satu laki-laki yaitu Rafi. Bagaimana jadinya jika ia tahu perasaan laki-laki yang tengah memangku anak gadisnya itu terhadap istrinya dulu? Atau memang, saat ini balasan terhadapnya? Karena dulu pernah memendam rasa pada seseorang yang mempunyai suami, dan sulit untuk menghilangkan rasa bertahun-tahun yang membuat perasaan istrinya hampir terkorbankan. Dan saat ia telah mempunyai istri, laki-laki lain memendam sebuah rasa terhadap istrinya. Satu sama kan? Tidak ada bedanya.
Tapi lagi-lagi Rafi bukanlah tipe laki-laki seperti Jefri. Sekalipun Rafi pernah menyukai Ayana. Itu tidak sengaja, siapa sangka sahabatnya itu sudah menikah saat ia telah menyukainya. Ayana sendiri juga tak pernah cerita tentang itu. Jadi salah siapa? Rafi punya batasan tertentu dan tidak akan berbuat lebih. Jefri saja yang terlalu berlebihan. Mencemburui apa yang seharusnya belum tentu benar untuk dicemburui.
"Papa, Apiola belapa?" pertanyaan dari bibir anak gadis kecilnya membuyarkan lamunan-lamunan yang berkecamuk dalam pikirannya. Jefri menoleh, menatap Rafi sekilas dan beberapa detik kemudian menatap gadis kecilnya yang tengah bertanya.
Jari telunjuknya ia acungkan sembari tersenyum tipis ke arah anaknya, "Satu," balas Jefri.
Aviola yang mengerti jawaban dari Papanya lantas menoleh ke arah Rafi, "Apiola satu tahun," jawabnya yakin, padahal jawaban itu sengaja disalahkan oleh Papanya. Hanya saja, raut wajah Aviola yang polos terlalu mudah untuk percaya perkataan dari orang dewasa, termasuk Papanya. Tanpa tahu benar ataupun salah.
"Tiga tahun Aviola," Ayana membantu membenarkan jawaban yang keluar dari mulut gadis kecilnya itu. Netranya melirik tajam ke arah suaminya dan menyikut pelan, memperingati suaminya untuk tidak mempermainkan anak gadisnya.
"Kata Papa satu tadi," sahutnya gadis kecil itu sembari melirik Papanya dengan tatapan polos.
"Yang benar tiga tahun," Ayana mengulangi koreksinya lagi agar Aviola tak salah paham dengan apa yang baru saja ia dengar dari bibir Papanya.
Aviola membalasnya dengan anggukan-anggukan mengerti. Sedangkan Rafi hanya menerima jawaban itu dengan senyuman kaku ke arah Ayana dan Jefri. Merasa sedikit tak nyaman jika bertatapan lama dengan Jefri. Bapak dua anak itu memang terkadang cukup menyebalkan.
"Umul Om Dito belapa?" Aviola berceletuk pelan sembari menatap Dito yang tengah memangku kakaknya. Sesekali kakak laki-lakinya itu memainkan robot-robotannya di atas rambut Dito yang tampak keriting. Menganggap seolah-olah rambut Dito adalah semak lebat yang sering dipakai untuk perang manusia robot. Dasar Aidan, melakukan apa yang dia suka, tanpa paham perasaan Dito yang sedari tadi ingin menyudahi.
"Tebak berapa?" Rafi yang menyahut pertanyaan dari Aviola. Sebab bibir Dito sedari tadi tak menyahut pertanyaan dari gadis kecil itu. Dan malah asik bermain dengan Aidan.
Aviola mengangkat bahunya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, "Nggak tau,"
"Om Dito umur 27 tahun," jawab Rafi pada Aviola. Sepasang netra kecil itu berkedip beberapa kali, tak mengerti umur dua puluh tujuh itu umur yang bagaimana?
"Om Dito kok banyak umulnya," ucap Aidan dengan kepala yang mendongak, menatap kedua bola mata Dito.
"Om Dito udah tua makanya umurnya banyak," sahut Rafi dengan iringan kekehan geli yang membuat Dito ingin melayangkan bogeman keras ke wajahnya.
"Belalti Om Dito kayak kakek Aidan? Kata Papa, kakek Aidan udah tua. Kalo udah tua lambutnya ada yang putih. Tapi lambut Om Dito kok nggak ada yang putih? Lambut Om Dito malah kayak mie goleng," jawab Aidan dengan wajah polosnya. Membuat seluruh pasang mata ikut menertawakan Dito. Lagi-lagi mulut Aidan mencibir Dito yang kesekian kali. Tak salah, darah Ayana mengalir deras dalam tubuh Aidan yang membuat Aidan memiliki watak sama persis dengan Ayana.
"Anak lo kalo ikut lomba debat kayaknya masuk final," gerutu Dito seraya mengacak-acak pucuk kepala Aidan.
"Rambut keriting itu bagus, Dan!" ujarnya memuji rambutnya sendiri.
"Tapi lambut keliting nggak bisa disisil Om,"
"Kata siapa? Bisa. Nih bisa disisir, cuma agak susah aja. Tapi bagus rambut Om Dito daripada punya Aidan. Aidan malah nggak punya rambut," Dito mencoba mencibir rambut Aidan yang belum tumbuh sempurna. Ucapannya itu sukses membuat bibir mungil Aidan sedikit menggerutu sebal.
"Gara-gara Apiola," tukasnya kencang seraya kedua lengannya bersendekap dada, melirik Aviola yang ada di pangkuan Rafi. Adiknya itu ikut sebal karena selalu disalahkan Aidan terus menerus, "Apiola kan nggak tau," balasnya sewot.
"Tapi gala-gala kamu lambut Aidan dipotong semua sama Om Aldi,"
Dengusan sebal itu keluar dari hidung Aviola. Ia sengaja tak menanggapi ucapan Aidan. Dan malah memalingkan wajahnya, membuat para seluruh pasang mata ikut menggeleng-gelengkan kepalanya memperhatikan dua anak kembar itu saling berdebat, "Emang Aviola ngapain?" tanya Dito yang tak tahu apa yang diperdebatkan anak kembar itu.
"Apiola kasih semil sepatu di lambut Aidan," jawab Aidan jujur dengan bibir yang masih sedikit mengerucut.
Tawa Dito seketika meruap, mendengar alasan Aidan yang baginya cukup menggelikan, "Anak lo keturunan Dugong dari mana sih Ay? Banyak tingkah," pernyataan itu disahut Ayana dengan tatapan tajam juga. Kepalan kuat di tangan Ayana ingin segera ia layangkan ke bibir Dito. Bisa-bisanya mencibir keturunannya dengan keturunan Dugong. Kalau Ayana keturunan Dugong, Dito apa?
Sebisa mungkin Dito mengontrol tawanya agar tak terlalu keras. Dia bertamu. Jadi harus tahu adab. Apalagi saat ini ia bertamu di jam malam. Rasanya tak sopan, jika mengencangkan suara tanpa persetujuan tuan rumah, "Aviola sama Aidan nggak mau punya adek?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Mau. Aidan mau punya adek, bial bisa main lobot-lobotan. Main sama Apiola nggak selu," Aidan menimpali pertanyaan Dito dengan sorot mata yang masih berkutat pada robot yang ada di tangannya.
"Tapi Apiola nggak mau punya adek. Apiola nggak mau Mama sama Papa sayang adek. Telus Apiola enggak disayang," bantahnya, tak setuju dengan jawaban Aidan.
"Punya adek itu seru loh, Aviola nggak mau? Kalau nanti punya adek. Aviola bisa main bareng-bareng. Apalagi kalo adeknya banyak, sepuluh. Semuanya bisa Aviola ajak main barbie. Mama sama Papa juga masih sayang sama Aviola,"
"Benelan? Om Dito nggak bohong?" Sorot mata gadis itu sontak berbinar, bibirnya ikut tersungging mendengar penjelasan dari Dito yang memecahkan pertanyaannya.
Dito menggelengkan kepalanya, "Enggak,"
"Apiola mau punya adek," ucapnya mantap.
"Aidan juga mau. Punya adek banyak," Aidan ikut menimpali, sembari kedua tangannya ikut bersorak senang. Tak sabar ingin mengajak adiknya bermain bersamanya, terlepas katanya Aviola tak seru jika diajak main. Ya wajar, terkadang pemikiran anak kecil pun berbeda. Laki-laki akan lebih mudah bermain dengan sesama laki-laki, sebaliknya.
"Adek bayinya nanti di pelut Mama?" tanya Aviola penasaran. Ayana dan Jefri hanya menyimak pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir mungil anak-anaknya itu. Tanpa menanggapi salah satunya.
"Betul," sahut Dito cepat seraya terkekeh pelan.
"Mama, Apiola mau punya adek sepuluh."
"Aidan mau punya adek lima puluh libu," sahut Aidan tak mau kalah dengan adiknya.
"Hah? Kebanyakan Dan," Rafi terkekeh seraya menimpali ucapan dari Aidan.
"Kata Nenek, uang lima puluh libu itu banyak. Aidan mau punya adek banyak juga. Aidan mau punya adek lima puluh libu,"
Ayana memberengut kesal menatap Jefri yang terkekeh geli saat mendengar ucapan anaknya itu. Aidan memang selalu bisa menyimpulkan perkataan orang dewasa tanpa tahu kesimpulannya itu benar atau salah. Yang terpenting baginya adalah sama. Sama-sama berjumlah banyak.
"DITOOO!" pekik Ayana ke arah Dito yang pertama kali memancing anaknya untuk membahas 'Adik'. Kalau seperti ini, Ayana pasti sangat yakin kedua anaknya itu akan menagihnya terus.
"Anak lo sendiri yang ngomong. Bukan gue yang nyuruh," bela Dito pada dirinya sendiri.
Rafi melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. Aviola yang ada di pangkuannya ia dudukkan di sampingnya. Dan tangannya menarik ujung lengan baju Dito, mengisyaratkan Dito untuk ikut pulang dengannya, "Ay, kayanya udah malam banget. Anak lo nggak baik tidur malam-malam. Udah jam setengah sembilan juga. Bahaya juga kalo Dito disini terus,"
"Ayo!" ucapnya lagi saat Dito tak kunjung ikut beranjak.
"Apa?"
"Ya pulang lah, Lo mau nginep disini?"
Dito perlahan menurunkan Aidan dari pangkuannya. Dan mulai beranjak dari duduknya, "Om pulang dulu ya?" ucapnya mengacak-acak pucuk kepala Aviola dan Aidan bergantian.
Aidan berjalan satu langkah mendekat ke arah Dito dan yang yang berdiri, "Om Dito kok pulangnya cepet? Kan Aidan belum ngajak Om Dito main Lobot baleng,"
"Udah malam Aidan. Anak kecil nggak boleh tidur malam-malam," sahut Rafi dengan tangan yang mencubit pipi gemas anak laki-laki anaknya.
"Ya udah pulang dulu ya?"
"Hati-hati," Ayana menimpali seraya ikut mengantar Rafi dan Dito sampai ke pintu utama rumahnya. Dengan Jefri yang menyusulnya berjalan di belakang, menggandeng Aviola.
Kepala Aviola sedikit mendongak, menatap Jefri, "Papa, Apiola sama Aidan mau punya adek?"
Dahi Jefri berkerut. Netranya sedikit memicing saat anak gadisnya itu masih menatapnya, menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya, "Tanya Mama kamu," jawabnya seraya melirik Ayana sekilas yang berdiri di depannya sembari menutup pintu rumah usai Dito dan Rafi pulang.
Bibir Aviola mengerucut panjang saat jawaban yang ia harapkan tak terlontar dari bibir Jefri. Dan malah melayangkan pertanyaannya ke arah Ayana. Langkah kecilnya mulai mendekat ke Ayana untuk menanyakan pertanyaan yang sama, "Mama, Apiola mau punya adek?"
"Hm?"
"Apiola mau punya Adek, Ma!" bukan pertanyaan lagi yang terucap dalam bibir anak gadisnya itu. Namun permintaan. Sebab sedari tadi Ayana hanya bergumam, tak menjawab pasti pertanyaan Aviola. Begitu pun juga dengan Jefri.
"Jam belapa adeknya datang?" lagi-lagi Aidan tak mau kalah menimpali pertanyaan yang sama. Sungguh, Ayana bingung menjawab apa. Ia belum siap hamil lagi. Menurutnya Aidan dan Aviola sudah lebih dari cukup. Beda dengan Jefri yang katanya ingin memiliki anak empat. Namun, lagi-lagi tidak disetujui Ayana. Alhasil, kedua anaknya lah sekarang yang menagihnya.
"Adeknya datangnya nggak cepet. Aviola harus sabar," Ayana berucap pelan, dengan tangan yang mengacak-acak gemas rambut anak gadisnya itu.
"Tapi Apiola mau sekalang,"
"Besok ke day care Tante Aline. Banyak adeknya disana," sahut Jefri.
"Nggak mau yang itu,"
"Papa, Aidan juga nggak mau yang itu. Aidan mau adeknya di pelut Mama telus kelual. Telus tinggal disini sama Aidan, sama Apiola, sama Mama, sama Papa,"
Ayana lagi-lagi mendengus saat permintaan dari kedua anaknya itu tak bisa ditolak. Harus bagaimana lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir anak-anaknya itu? Seolah-olah permintaan anaknya harus terkabul secepat mungkin. Padahal kan, ritual dan prosesnya panjang untuk menanam benih bayi mungil dalam perutnya.
Bibir Jefri ikut tersungging, saat netranya melihat anaknya antusias ingin memiliki adik bayi, "Aidan sama Aviola tidur dulu. Sabar, nanti adeknya di perut Mama."
"Belalti kalo Aidan bangun, pelut Mama ada adek bayinya besal? Kayak pelutnya Tante Aline?"
"Pokoknya tidur dulu,"
Aidan reflek menarik tangan mungil Aviola, berniat mengajaknya naik ke kamar untuk tidur, "Apiola ayo tidul! Kata Papa, kalau tidul besok adeknya ada di pelut Mama. Pelut Mama besok besal kayak pelut Tante Aline. Telus adek bayinya kelual. Telus kita ajak sekolah baleng besok,"
Nggak gitu konsepnya Aidan! Batin Ayana berucap. Sesekali kepalanya ia benturkan di dada bidang suaminya. Anak laki-lakinya itu selalu saja menyimpulkan sendiri apa yang ia dengar, tanpa tahu ritual orang dewasa. Ayana rasanya ingin menyerah jika berdebat dengan dua anak mungilnya itu.
"Ayo! Benelan pelut Mama besok besal?" Aviola yang polos juga ikut bertanya pada Aidan untuk memastikan jawaban Aidan benar.
"Benel. Iya kan Pa?"
Sorot mata Ayana spontan mengisyaratkan Jefri untuk menjelaskan ke anaknya, dan dibalas Jefri dengan anggukan pelan, "Aidan. Adiknya nggak langsung di perut Mama kamu. Tapi butuh waktu sembilan bulan. Sembilan bulan itu lama. Aidan sama Aviola harus sabar. Sekarang kalian tidur. Nggak usah mikirin adik lagi," tutur Jefri pada anak kembarnya.
"Tapi Apiola pengen adek,"
"Aidan juga,"
Lagi-lagi helaan napas panjang keluar dari bibir Ayana. Ternyata susah juga meyakinkan kedua anaknya itu. Sekali terpengaruh ucapan orang lain, mereka akan tetap bersikeras untuk mendapatkan permintaannya, "Iya. Kan Mama bilangnya sabar dulu. Sana naik ke kamar dulu. Nanti Mama sama Papa nyusul," sahut Ayana.
Kini sorot mata Ayana menangkap kedua anaknya itu yang mulai mengangguk. Jari jemari Aidan menarik tangan Aviola untuk naik ke lantai atas. Tempat kamarnya berada. Ayana bisa saja menuruti semua permintaan kedua anaknya itu. Tapi untuk 'adik'? Rasanya sulit sekali, dan belum terlalu siap juga untuk hamil lagi. Aidan sama Aviola masih terlalu dini juga untuk mereka punya adik bayi.
"Ya udah, Ayo!" ajakan Jefri sukses membuat Ayana terperanjat. Bibirnya terkatup-katup saat suaminya itu tiba-tiba mengajaknya. Ah, pikirannya sudah melayang kemana-mana menatap suaminya yang tengah menahan senyum penuh arti.
"A-ayo apa?" tanyanya terbata-bata.
Spontan tawa Jefri pecah. Tangannya menjamah bebas hidung bangir milik Ayana, "Ayo nyusul anak-anak. Emang kamu mikirnya apa?"
To be continue....
I'm back 💜💜 Hi, gimana part ini. Panjang banget 2000 kata wkwk. Ini endingnya 20an part atau 30an part? Atau 40an part? Aku juga masih bingung.
Terima kasih udah nunggu. Udah vote udah komen udah follow. Sampai udah silaturahim IG author. Yuk, ditunggu komen dan vote-nya di bawah. Kalau kalian suka sama cerita ini ya?
Jangan lupa follow iim di Instagram @iimkhoiria41 kalau mau buat instastory jangan lupa tag acuuu. Ah, see you next part. 💙💙
Maaf belum bisa bales komen. Aku bacain semua kok, kalo ada waktu luang aku pasti bales. Terima kasih juga ya udah komen di lapak Thalassophobia juga. Aku udah baca 💜
K
asih tau typo-nya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top