BAGIAN 7 - RAFI PRATAMA COMEBACK

Suara dentingan dua sendok yang bergesekan dengan piring menyuarakan seisi ruang makan. Seulas senyum terukir di wajah lelaki jangkung berusia tiga puluhan itu. Matanya menatap makanan yang terhidang di atas meja, juga sesekali menatap wajah manis istrinya, yang tengah menikmati makanannya.

Hanya ada Jefri dan Ayana di rumah siang ini. Jefri sengaja pulang lebih awal karena pekerjaannya telah selesai lebih dulu. Dan menyempatkan makan siang bersama istrinya di rumah. Sedangkan kedua anaknya itu, tidak ada di rumah. Mereka memilih bermain di rumah nenek dan kakeknya.

"Dito jadi main ke rumah?" Jefri menatap Ayana yang tengah menatapnya juga, dan meletakkan garpunya di atas piring yang ada dihadapannya.

Ayana menghela napas panjang mendengar pertanyaan dari suaminya itu. Seharusnya ia menanyakan ke suaminya kalau ia tidak setuju dengan produk popok yang akan ditawarkan Dito. Ya, Ayana sangat amat paham, jika teman satunya itu tidak meyakinkan jika merintis usaha. Ia juga tidak mau anaknya dijadikan kelinci percobaan produk tawarannya Dito. Malah suaminya dengan enteng memberi lampu hijau ke Dito, "Jadi, gara-gara kamu pakek nawarin suruh main ke rumah. Dito jadi kesenengan,"

"Apa salahnya? Lagian Dito juga temen KKN-mu," Jefri tampak terkekeh pelan saat memperhatikan bibir istrinya menggerutu sebal.

Bibir Ayana tetap menggerutu, matanya menatap tajam suaminya itu. Pikirannya masih berkecamuk, bagaimana jika produk yang dibawa Dito tidak higienis? Pastinya akan berdampak pada tubuh anaknya yang pertama kali memakai, "Tapi kan Si Geblek ada niat terselubung, Mas!"

Jefri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengulum senyum tipis, "Niat terselubung apa? Dia cuma nawarin popok,"

"Tetep aja," sahut Ayana sebal.

"Jangan kebiasaan suudzon sama orang. Nggak baik," seru Jefri sebelum meneguk segelas air yang sudah ada di tangannya.

Selesai menghabiskan makanan yang ada di piringnya, Jefri sengaja tak kembali ke kamar, namun ia memutuskan untuk menunggu istrinya selesai makan terlebih dahulu baru ke kamar. Tangannya mengambil buah apel yang ada diantara tumpukan buah-buahan yang ada di depannya. Dan lantas mengupasnya pelan.

"Mas,"

"Hm?"

"Kamu emang dari dulu deket banget sama Umi?" bibir Ayana mengatup-katup pelan saat menanyakan hal itu ke arah Jefri. Otaknya sedikit berputar mengingat-ingat sisi penasarannya saat ia berbincang-bincang dengan Umi di kafe, kemarin.

Jefri mengerutkan dahinya saat istrinya yang ada dihadapannya itu, tiba-tiba menanyakan hal yang seharusnya tidak perlu dijawab, "Hm,"

"Sebelum menikah, setiap kali saya tugas keluar kota ataupun kemana saja. Umi selalu menanyakan kabar. Bahkan nggak pernah absen menyiapkan bekal makanan sebelum berangkat kerja. Sampai sekarang juga gitu, kamu tau sendiri bagaimana protective-nya Umi." papar Jefri pada Ayana.

"Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"

"Berarti kamu sama Umi dulu sering ngomongin aku?" tanya Ayana lagi yang membuat Jefri menatapnya lekat dan menahan senyumnya. Dahinya berkerut menatap Ayana yang tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu.

Tidak bisa. Bibir Jefri yang susah payah ditahan, akhirnya pecah juga. Tawa ringan dan kekehan geli bercampur aduk menggelitik perutnya. Istrinya benar-benar tingkat percayanya terlalu tinggi. Sama seperti dia, "Kapan? GR kamu,"

"Itu, buktinya Umi cerita sendiri kemarin di kafe, kamu sering bilang ke Umi kalo aku yang naksir duluan waktu kamu jadi pemateri sosialisasi dulu. Kamu PD-nya kebangetan," gerutunya sebal saat Ayana memperhatikan raut wajah suaminya yang tampak memperlihatkan tawa mengejeknya.

Jefri masih terkekeh menatap wajah sebal istrinya itu, "Emang bener kan?"

"Kelewat PD. Kamu dulu nggak ada wibawa-wibawanya sama sekali. Mana ada naksir duluan, yang ada darah tinggi naik terus," protes Ayana menatap tajam Jefri yang masih menertawakannya. Rasanya tangannya gatal ingin menarik pinggang suaminya agar berhenti tertawa.

"Buktinya semua temen-temen kamu DM ke Instagram saya setelah saya kasih tau username-nya waktu makan malam setelah proker selesai. Kamu yang nyebarin Instagram saya? Isi DM-nya nggak penting semua. Isinya nyuruh makan, jaga kesehatan, nanyain kabar padahal sudah tau saya baik-baik saja, bahkan ada yang minta nomor telepon," jelasnya ke arah Ayana seraya bibirnya masih menyunggingkan senyum miring.

"Mahasiswi-mahasiswi KKN angkatan kamu itu aneh-aneh semua. Mahasiswi luar divisi kesehatan juga ikut-ikutan DM. Kalau DM urusan pekerjaan, suruh ngisi seminar, sosialiasi, ataupun ikut serta kegiatan penyuluhan lainnya, masih saya anggap wajar. Tapi kalau DM isinya nyuruh makan, nanyain lagi apa, itu pertanyaan yang nggak harus saya jawab. Tanpa diberitahu juga saya sudah ingat, jam berapa saya harus makan. Dulu saya sempat curiga, kamu yang nyebarin Instagram saya," lanjutnya menatap Ayana.

Mata Ayana reflek melebar saat satu kalimat terakhir terlontar dari bibir tipis suaminya, "Kurang kerjaan! Nge-follow aja enggak. Buat apa nyebarin?"

"Siapa tau kamu dalangnya," sahut Jefri cepat.

"Enak aja," Ayana mendelik ke arah Jefri yang masih tersenyum miring ke arahnya, sesekali terkekeh ringan seolah-olah dugaannya benar.

Tangan Jefri menyodorkan buah apel yang sudah ia kupas ke arah Ayana. Dagunya terangkat sekilas, mengisyaratkan Ayana untuk mengambilnya. Istrinya itu mengangguk pelan sembari mengambil potongan buah apel dari tangan Jefri. Dan memakannya perlahan, "Aku cuma mau tanya kalimat Umi di kafe yang kamu potong kemarin," cicitnya dengan mulut yang masih mengunyah buah apel itu.

"Yang mana?"

"Umi kemarin bilang 'Jefri itu sempat' sempat apa? Kamu main potong aja 'sempat ganteng pada waktunya' jadinya Umi nggak ngelanjutin kalimatnya. Emang kamu sempet apa?" pertanyaan yang masih berkecamuk di otak Ayana akhirnya keluar. Matanya menatap Jefri lekat, menunggu jawaban yang akan dilontarkan Jefri. 

Jefri terdiam beberapa detik. Membalas tatapan Ayana sembari menyunggingkan senyum tipisnya, "Masalah sesepele itu masih kamu pikirin?" Bukannya menjawab, ia malah berbalik tanya pada Ayana.

"Sempet apa?" Ayana membalas pertanyaan Jefri dengan pertanyaan yang sama. Berharap Jefri tidak berbelit-belit menjawabnya. Rasa penasaran itu tengah mencuat dalam diri Ayana. Kemarin ia harus mengurungkan niatnya untuk membahas ini karena Jefri sakit. Dan saat ini ia ingin menagih jawaban itu dari mulut suaminya langsung.

"Dulu saya pernah bilang ke Umi kalo ada mahasiswi KKN yang kurang ajar sama saya. Sampai saya sempat berniat kasih nilai E ke dia," jawabnya dengan sedikit penekanan pada kata 'sempat' yang terucap dari bibirnya.

"Maksudnya, bukan saya yang ngasih nilai E. Tapi teman saya yang jadi DPL-nya. Kebetulan saya kenal DPL-nya. Saya sempat berniat bilang ke DPL KKN, kalo mahasiswi bernama Ayana Aurora Pamungkas itu bad attitude," lanjutnya dengan gelak tawa yang pecah saat ia mengingat-ingat kejadian lima tahun silam.

Tawanya tak berlangsung lama saat Ayana menatapnya tajam, "Bad attitude dari mananya? Orang aku nggak salah apa-apa,"

Bibir Jefri masih memasang senyum miring dan jari telunjuknya mengacung, "Satu, tukang bantah pendapat pemateri sosialisasi waktu rapat evaluasi divisi. Dua, tidak pernah disiplin dan tidak tepat waktu. Kamu dulu saya suruh tugas ngatur banner, tapi kenapa pagi-pagi bukannya siap-siap, saya malah harus nunggu kamu bangun tidur? Nggak sopan." jelasnya memaparkan kesalahan Ayana dulu saat Ayana dan Jefri terlibat insiden proker KKN yang membuat mereka bertemu pertama kali.

"Dan tiga, dulu karena saya suka aja lihat kamu menderita. Jadi saya pengen kasih hadiah nilai E waktu kamu masih KKN," lanjutnya lagi seraya terkekeh geli, yang dibalas Ayana dengan tatapan mendelik.

Ayana memutar bola matanya malas saat menatap Jefri masih tak berhenti untuk menertawakannya. Kalau tau jawabannya seperti ini, ia tidak akan menanyakannya pada Jefri, "Jahat banget jadi orang," gerutunya sebal ke arah suaminya yang masih betah terkekeh mengejek.

"Emang kamu mikirnya, saya sempat apa?"

"Nggak jadi, ngeselin jadi orang," sahutnya sebal dengan tatapan yang masih betah mendelik ke arah Jefri.

Ayana beranjak dari duduknya dan mulai membereskan beberapa piring kosong yang ada di meja makan. Beberapa detik kemudian disusul Jefri yang juga beranjak dari duduknya usai mengelap tangannya dengan tisu. Ia sedikit berjalan ke arah istrinya yang tengah mencuci piring-piring kotor di wastafel dapur.

Tangan Jefri merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu kunci mobil ke arah Ayana yang masih sibuk membersihkan beberapa piring, "Ini,"

"Apa?"

Ayana sedikit mencuci tangannya, dan berbalik menatap Jefri. Jefri mengambil tangan istrinya dan meletakkan kunci mobil itu di tangan istrinya, "Ini, biar kamu nggak perlu nunggu saya buat antar anak-anak ke sekolah. Biar nggak terlalu merepotkan Umi juga untuk jemput mereka."

Ayana menatap kunci mobil yang ada di tangannya. Ia tahu itu bukan kunci mobil milik Jefri. Dan sepertinya kunci mobil yang ada di tangannya itu kunci mobil yang baru Jefri beli, "Buat aku?" tanyanya menatap Jefri.

"Ya buat siapa lagi? Kucing kamu?"

"Tapi aku kaku kalau nyetir sendiri. Kalau nabrak pagar rumah tetangga lagi gimana?"

Jefri sedikit terkekeh pelan mendengar pengakuan Ayana yang tak bisa menyetir. Meskipun seribu kali diajari Jefri, ia tetap masih kaku dalam hal menyetir mobil, "Nanti saya ajarin lagi, kalau kamu masih salah-salah nyetirnya, saya nggak segan-segan bakar album kpop kamu beneran."

Ayana reflek mendelik ke arah suaminya usai Jefri melontarkan kata-kata ancaman itu lagi. Namun beberapa detik kemudian ia mengulum senyum tipis saat menatap kunci mobil yang ada di tangannya itu. Meskipun ia takut menyetir sendiri karena pernah hampir menabrak pagar rumah tetangga dua tahun silam saat memarkirkan mobil milik Jefri, namun keinginannya untuk menyetir sendiri sangat mengebu-gebu. Bagaimanapun juga Ayana tidak ingin merepotkan Jefri mengantar-jemput anaknya sekolah. Ia juga tidak mungkin terus-terusan naik taksi umum untuk menjemput anaknya ataupun merepotkan Umi.

"Anak-anak masih di rumah Umi?" tanya Jefri pada Ayana yang masih sibuk menatap kunci mobil yang ada di tangannya.

"Masih, tadi aku udah tanya Umi. Katanya mereka nggak mau pulang, mau disana dulu sementara, Nanti Umi sendiri katanya yang mau antar mereka pulang," jawab Ayana sembari tangannya memasukkan kunci mobil itu ke dalam saku kecil dasternya.

Dreettt....dreett...dreett
Ponsel Ayana yang ada di atas meja makan berdering, menandakan sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Ayana lantas mengambil ponsel miliknya dan membaca nama siapa yang tertera dalam layar ponselnya.

Si geblek lagi!

Helaan napas panjang menghembus dari hidungnya. Lagi-lagi Dito yang menghubunginya. Pasti masalah popok bayi lagi. Ayana bahkan sampai bosan sendiri jika Dito sudah menghubunginya. Hanya perkara ingin menjual dan menawarkan produk popok miliknya. Padahal anak Ayana sudah tidak lagi membutuhkan popok bayi.

Ayana terpaksa mengangkat sambungan telepon dari Dito dengan raut wajah sedikit malas, "Halo Dit?"

"Ay, nanti jam 7 malam aja ya? Gue ke rumah lo," ucap Dito dalam sambungan telepon.

"Jangan bawa popok banyak-banyak," lagi-lagi Ayana memperingati Dito untuk tak membawa popok terlalu banyak. Takut jika Dito brutal membawa popok satu karung ke rumahnya. Ayana tahu, meskipun Dito pintar dalam hal matematika, namun otak bobroknya tidak akan pernah tertinggal yang membuat Ayana ingin mencabiknya.

"Iya, cuma bawa sampel aja. Sensi amat sama temen sendiri." sahut Dito seraya terkekeh geli.

"Gue bawa temen nggak papa kan?" tanyanya lagi pada Ayana.

"Nggak papa,"

"Lo kenapa nggak pernah cerita sih kalo dulu waktu kuliah satu kelas sama Rafi Pratama,"

Ayana mengerutkan dahinya saat Dito menyinggung nama Rafi, nama sahabatnya yang selama beberapa tahun usai kelulusan menghilang ke Kalimantan, dan kabarnya akan kembali ke Jakarta dalam beberapa hari ini. Tapi ia tak tahu pasti kapan kembalinya ke Jakarta, "Rafi Pratama Agroteknologi B?"

"Iya,"

Jefri yang tadinya sibuk dengan ponselnya sendiri tiba-tiba menoleh ke arah istrinya saat istrinya menyebut sebuah nama yang sangat sensitif, baginya. Ia sedikit menajamkan pendengarannya dan menatap istrinya dengan dahi yang kian berkerut, sedangkan yang ditatap tak menatapnya balik.

"Kok lo kenal, Dit?" tanya Ayana balik.

"Waktu gue pulang kampung ke Samarinda Minggu lalu, gue ketemu Rafi. Ternyata Rafi temen kerja adek gue di Kalimantan, Ganteng-ganteng masih bujang, sayang banget ya, Ay?" ujarnya diiringi tawa yang meledak, menyindir Rafi yang belum menikah.

"Oh iya, gue nanti ngajak Rafi nggak papa kan? Habis magrib gue sama Rafi ada keperluan bareng, jadi sekalian gue ajak main ke rumah lo, nggak papa kan?" tanyanya meminta izin pada Ayana.

Jelas, Ayana mengizinkan karena Rafi sahabatnya. Tapi bagaimana dengan suaminya? Mau tidak mau ia juga harus meminta izin suaminya. Ah, mungkin Jefri juga mengizinkan nantinya, "Nggak papa, kesini aja. Suami gue kayaknya seneng juga kalo banyak tamu di rumah," jawabnya terkekeh melirik sekilas ke arah Jefri.

Jefri melirik Ayana tajam. Karena Ayana tak mengaktifkan loudspeeker ponselnya, ia tak tahu apa yang istrinya itu bicarakan dalam sambungan telepon. Kenapa Ayana harus menyebut namanya dan nama Rafi dalam sambungan telepon?

"Ya udah, tunggu nanti malam yak? Gue tutup dulu,"

"Hm,"

Usai Dito menutup sambungan teleponnya. Ayana membalas tatapan suaminya yang tengah mendelik ke arahnya. Ia tau, ia berhutang cerita ke suaminya. Apalagi ia langsung mengiyakan permintaan Dito datang bersama Rafi, tanpa meminta izin Jefri. Bisa salah paham nanti.

"Nggak papa kan, Mas?" tanyanya pada Jefri yang masih mendelik ke arahnya.

"Apa?"

"Dito ngajak Rafi main kesini. Rafi ternyata temen Dito juga di Kalimantan,"

Jefri menghela napas, seraya memutar bola matanya malas, "Dito kemarin mau kesini kamu nggak ngizinin. Sekarang dia ngajak temenmu itu, kamu langsung ngizinin."

"Bukan gitu maksudnya. Kemarin aku nggak ngizinin Dito kesini kan karena masalah popok, kalo masalah main-main ngobrol-ngobrol disini ya nggak papa. Lagian Rafi kan juga sahabatku, nggak ada salahnya kan dia main-main kesini, Mas? Biar makin akrab juga sama kamu. Boleh ya?" jelasnya panjang lebar pada Jefri sembari melingkarkan kedua tangannya di lengan Jefri, dan bergelayutan bebas disana menunggu jawaban Jefri untuk menyetujuinya.

"Hm," gumamnya singkat melirik Ayana yang masih bergelayutan di lengannya. Sesekali Ayana menempelkan kepalanya di sisi lengan Jefri.

Ayana yang mendengar gumaman dari mulut Jefri spontan bersorak girang. Bibirnya tersungging lebar, menatap Jefri yang masih sedikit mendelik ke arahnya, "Temen kamu yang satunya itu belum menikah?" tanya Jefri pada Ayana.

Dahi Ayana berkerut, "Temen yang satunya siapa?"

"Yang mau ke rumah kita sama Dito,"

Ayana menghela napas. Bibirnya tertahan untuk mengembang. Bisa-bisa suaminya itu masih saja gengsi dan cemburu sama Rafi. Padahal Rafi juga tidak pernah mengusik rumah tangganya bersama Ayana, "Nyebut nama Rafi aja susah amat, sih!" cibirnya ke arah Jefri sembari bibirnya mendarat singkat di pipi suaminya itu, yang membuat Jefri sedikit terlonjak kaget saat Ayana tiba-tiba menciumnya tanpa izin.

To be Continue....

Akhirnya aku update 🥰🥰🥰 makasih udah baca Macarolove sampai sejauh ini. Ngikutin Thalassophobia sampai Macarolove. Maap ya? Jarang update sering kayak lapak Thalassophobia. Setelah ini aku usahakan update cepet. Biar cepet kelar terus lanjut project Aidan.

Makasih banyak udah nungguin. See you 3 hari lagi ya? In Shaa Allah.

Ditunggu lapak komen komen di bawah. Dan jangan lupa follow Instagram acu @iimkhoiria41 tag aku juga kalo mau buat story' tentang cerita yang di-update disini. Jangan lupa juga rekomen ke yang lain cerita-cerita yang aku update disini, dan tag aku ya? Wkwk

See you 🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top