BAGIAN 5 - PERANGKO
Jefri memasukkan kemejanya yang basah akibat terguyur hujan tadi ke dalam kantong plastik hitam. Hampir semua bagian pakaiannya basah kuyup. Untungnya di mobil, Jefri selalu membawa pakaian ganti. Dan saat ini ia telah mengganti pakaiannya dengan kaos polos berwarna hitam dan dipadu-padankan dengan celana jeans biru. Tak lupa jaket yang bertengger terlihat melapisi kaos hitamnya agar ia bisa merasakan suhu tubuhnya lebih hangat lagi.
"Kenapa bisa kehujanan sih? Kan kamu bawa mobil?" omel Ayana seraya berjalan ke arah Jefri yang tengah duduk di salah satu kursi panjang kafe yang ada di belakang, sebelah meja bar. Di tangannya membawa secangkir green tea hangat yang akan diberikan ke Jefri.
Jefri sedikit berdehem sembari tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket, menatap Ayana yang tengah mengambil duduk di sampingnya, "Dari pintu rumah sakit sampai parkiran mobil lupa nggak bawa payung," jawabnya dengan nada serak.
Ayana menghela napas panjang. Suaminya itu selalu saja menyepelekan hal-hal kecil yang mengakibatkan dirinya sendiri sakit seperti ini, "Kebiasaan. Kalo udah tau parkiran jauh terus musim hujan juga, payung harusnya dibawa sebelum berangkat. Biar nggak kayak gini. Kamu dari dulu langganan masuk angin. Tetep aja diterusin hal-hal kecil yang kayak gini," omelnya lagi.
"Diminum!" perintahnya ke arah Jefri sembari menyodorkan secangkir green tea.
Jefri melirik Ayana sekilas sebelum matanya beralih menatap green tea hangat buatan istrinya itu. Bibirnya perlahan menyeruput green tea sembari matanya menatap Ayana "Manis," gumamnya.
"Aku udah ngurangin gulanya kok, Masa manis sih?" tanya Ayana heran saat matanya juga menatap Jefri. Jefri memang tidak terlalu suka minuman terlalu manis, jadi Ayana juga sudah tau berapa takaran gula yang harus ia masukkan ke minuman Jefri.
"Bukan green tea-nya yang manis," sahut Jefri seraya mengulum senyum simpulnya saat melihat Ayana yang menatapnya dengan tatapan heran.
Astaga! Ayana baru tau yang dimaksud Jefri. Bibirnya spontan berdecak sebal saat laki-laki di sampingnya itu terkekeh pelan, "Nggak usah diterusin. Udah tau!"
Sorot mata Ayana menatap suaminya lagi yang tengah mengosok-gosok telapak tangannya, karena kedinginan. Sesekali ia berdehem karena tenggorokannya rasanya seperti tercekat, "Mas, tadi Umi-" ucapan Ayana menggantung saat lagi-lagi ia memperhatikan Jefri yang memijit-mijit pangkal hidungnya.
Dalam hati kecil Ayana, sebenarnya ia masih dikelilingi pikiran yang berkecamuk sedari tadi. Mengenai ucapan Umi. Jujur, Ayana masih ingin menanyakan sisi penasarannya itu. Namun, mungkin saat ini bukan waktu yang tepat.
"Apa?" tanya Jefri yang sudah menunggu kalimat Ayana yang tak kunjung diucapkan.
"Nggak jadi," sahutnya singkat.
Jefri hanya membalasnya dengan anggukan pelan. Matanya sedikit memerah karena terlalu lama terkena air hujan. Dan kepalanya rasanya sedikit berat. Namun ia paksa singgah ke kafe sebentar untuk menemui istrinya, "Aidan sama Aviola di rumah?" tanyanya.
"Iya, aku titip Mbak Kinan buat jaga mereka,"
"Yakin kamu? Mereka nggak aneh-aneh lagi kayak kemarin?" tanya Jefri lagi dengan tatapan ragu. Bahkan masalah mengenai rambut Aidan yang kena semir sepatu saja masih menghantuinya, takut Aidan dan Aviola melakukan hal-hal aneh lagi jika tidak diawasi dengan baik.
"Semoga enggak, jangan didoain yang aneh-aneh!" Ayana menyahut cepat ucapan Jefri, mencoba untuk mengusir doktrin pikiran negatif dari Jefri.
Jefri hanya mengangguk pasrah. Semoga saja Mbak Kinan, asisten rumah tangganya bisa menjaga kedua anaknya dengan baik sewaktu dia dan Ayana tidak di rumah. Kepalanya masih terasa berat sesekali mual menelisik hampir seluruh bagian perutnya.
"Masih masuk angin ya?" tanya Ayana saat netranya memperhatikan Jefri yang sedari tadi memijit pelipisnya.
"Dikit,"
"Salah sendiri nggak bawa payung. Jaket dibawa di mobil tapi nggak dipakai," omel Ayana lagi ke arah Jefri.
Jefri yang mendengar omelan dari Ayana sontak langsung menarik bebas ujung hidung istrinya, yang membuat Ayana mengerang kesakitan, "Suami masuk angin bukannya dipijitin malah disalahin,"
Tangan Ayana menyingkirkan tangan Jefri yang bertengger di hidungnya, bibirnya sibuk menggerutu sebal ke arah Jefri, "Ngapain nyusul kesini, sih? Bukannya langsung pulang. Aku kan bisa naik taksi pulangnya. Atau bareng sama Umi. Kalo gini kan kamu sendiri yang repot. Masuk angin, terus nanti pasti nggak bisa tidur. Terus nanti kalo makin parah, kamu juga bakal demam. Masalahnya kamu kalo sakit, manjanya ngalahin anak-anak. Aidan sama Aviola aja kalah manjanya,"
"Udah?" tanya Jefri usai mendengar rentetan panjang kalimat dari Ayana yang membuatnya mengulum senyum tipis. Istrinya itu sedari dulu tidak pernah berubah. Jefri sendiri juga heran, kenapa ia bisa sejatuh cinta ini dengan Ayana. Padahal kalau dilihat-lihat, orang yang pernah ada di hati Jefri sebelumnya memiliki sifat yang bertolak-belakang dengan Ayana.
Setiap kali istrinya berbicara panjang lebar sampai bersungut-sunggut, ia hanya membalasnya dengan senyum simpul. Terkadang hanya terkekeh ringan memperhatikan Ayana mengomel. Toh, katanya nanti juga berhenti sendiri mulut Ayana kalau lelah. Rentetan omelan dari istrinya itu tidak akan bertahan lama, sejam kemudian juga akan luluh lagi dengan perhatian Jefri.
"Kalo udah ngomelnya, tolong ambilkan paper bag di tas saya," pintanya pada Ayana.
Ayana menggeleng-gelengkan kepalanya cepat seraya bibirnya masih menggerutu, "Nggak mau, paling nanti isinya minyak angin suruh mijitin," protesnya.
"Di tas saya isinya barang-barang penting. Cepet ambilkan, terus buka!" perintah Jefri lagi mengulangi permintaannya.
Ayana mendengus sebal. Barang penting apa? Kenapa tidak dibuka di rumah saja? Tangan Ayana mengambil tas Jefri yang diletakkan di meja yang ada di depannya. Ia sedikit menggeser tasnya mendekat dan merogoh paper bag yang ada di dalam tas Jefri.
Mata Ayana melebar saat menangkap beberapa paper bag yang ada di tas Jefri. Sorot matanya beralih menatap Jefri seraya dahinya berkerut, "Buat siapa aja?"
Jefri mengukir senyum tipis ke arah Ayana yang tengah memperhatikan beberapa paper bag itu. Jari jemarinya menyisir rambutnya yang masih basah. Dan perlahan tangannya mulai mengambil satu paper bag polos berwarna biru, "Ini buat Aidan sama Aviola. Isinya beberapa mainan kesukaan mereka."
Tangannya beralih mengambil paper bag lagi di dalam tasnya, dua paper bag berwarna coklat, "Ini buat Pak Aryo sama Mbak Kinan. Punya Umi sama Abi udah diambil kemarin. Sekali-kali saya belikan sedikit hadiah buat mereka," tambahnya menjelaskan ke Ayana.
"Buat aku nggak ada?" tanya Ayana saat namanya tidak disebut Jefri.
"Ada,"
"Mana?"
Jefri menarik bibirnya membentuk sebuah simetris, jari telunjuknya mengetuk-ketukkan dada sisi sebelah kiri miliknya, "Ini,"
Ayana yang tidak mengerti apa yang dimaksud Jefri, lantas mengerutkan dahinya, "Apa?" tanyanya dengan dagu sedikit mendongak.
"Ya ini buat kamu," Jefri mengulangi lagi mengetuk-ketukkan jari telunjuknya untuk menunjukkan bahwa jantung Jefri adalah milik Ayana.
Lagi-lagi umur tidak berpengaruh dalam urusan percintaan seperti ini. Mau tua mau muda, gombalan tetap akan mencuat dalam mulut Jefri. Sayangnya, hanya akhir-akhir ini Jefri berani bersikap seperti ini. Selebihnya dulu, gengsi yang menyelimuti perasaannya. Sampai ia tak sadar dimana hatinya berlabuh.
Ayana memutar bola matanya saat tau maksud Jefri, "Kayak anak SMA aja, gombal mulu! Umur udah 35 juga," cibirnya.
"Jangan kebiasaan nambah-nambahin! Di KTP masuknya 34 bukan 35," protes Jefri saat ia merasa Ayana menyebutkan umurnya tidak tepat sama sekali. Dan tidak enak didengar.
"Tetep aja 35 kurang dua minggu," bantah Ayana karena memang kenyataannya seperti yang ia katakan. Kenapa malah suaminya itu menyangkal?
Jefri melebarkan matanya menatap Ayana, "Mau kurang dua minggu mau kurang sehari masuknya tetep 34 bukan 35," sangkalnya lagi.
"Kok malah jadi ngeributin umur sih," Ayana memberengut kesal saat Jefri masih saja membantah saat berdebat dengannya.
"Kamu mancing duluan," ujar Jefri sembari tangannya menarik hidung kiri Ayana yang membuat Ayana mendelik ke arahnya.
Ayana cepat-cepat menyingkirkan tangan Jefri dari hidungnya dan menyudahi perdebatan. Matanya melirik sebuah paper bag yang masih ada dalam tas Jefri. Warna violet, dari luar paper bag-nya terlihat mewah. Pasti untuk orang spesial, "Itu buat siapa?" tanya Ayana penasaran.
"Buat tukang kebon,"
Lagi-lagi Ayana berdecak sebal karena jawaban Jefri yang tidak bisa menempatkan mana serius dan mana yang bercanda, "Buat kamu. Emang kamu mikirnya buat siapa?" tanya Jefri seraya terkekeh saat Ayana masih menatapnya tajam.
Ayana tak menjawab pertanyaan dari Jefri. Bibirnya mengembang membentuk senyuman kecil saat tau kalau paper bag itu untuknya. Ia langsung mengambil paper bag itu dan membukanya pelan, "Ini isinya Album?" tanyanya yang hanya dibalas Jefri dengan senyuman tipisnya, "Kan aku udah pernah bilang, beliin albumnya stop dulu nggak papa,"
"Buka aja! Itu bukan album," perintah Jefri lagi.
Jari jemari Ayana perlahan membuka paper bag yang sudah ada di tangannya. Ia sedikit mengernyit saat matanya menangkap isi paper bag ternyata dua kotak bertuliskan Dior dengan aksen pita yang membalut sudut kotak tersebut. Sorot mata Ayana beralih menatap Jefri yang tengah tersenyum simpul.
Karena penasaran dengan isi kotak yang ada di tangannya, Ayana spontan membukanya pelan. Dan seketika bibirnya mengembang ketika tau kalau ternyata dua kotak itu berisi satu paket perawatan wajah dan perawatan tubuh, "Ini nggak berlebihan?" tanyanya.
"Selagi saya mampu beli itu buat kamu. Sekali-kali beli nggak berlebihan," jawab suaminya itu dengan nada santai.
"Suka?" tanya Jefri memastikan saat tangan Ayana berkutat membaca satu persatu produk skin care itu.
"Aku nggak waras kalo nggak suka ini. Kamu dapat darimana sih?" Ayana bergumam pelan. Dengan sedikit penasaran alasan suaminya membelikan barang-barang mahal itu. Bagaimana tidak penasaran? Suaminya itu hanya membelikan perawatan tubuh jika ia ingin dibelikan saja. Dan kali ini, tanpa dia duga malah membelikannya lebih.
"Menang give away," Jefri terkekeh ringan dengan candaannya yang membuat Ayana memberengut kesal lagi dengan jawabannya.
"Mana ada,"
"Ada,"
"Bodo amat!"
Ayana tak meladeni Jefri yang masih tak berhentinya untuk tertawa dengan bibir yang sedikit pucat. Bapak yang satu itu memang sering sekali masuk angin. Mau hujan atau tidak. Kalau terkena dingin sedikit, tubuhnya akan cepat bereaksi.
Mata Jefri masih menatap Ayana yang bersorak kegirangan bak anak kecil yang baru saja mendapatkan apa yang dia inginkan. Sama halnya, Ayana dan anak kembarnya kalau masalah seperti ini. Membuat Jefri memasang dua senyum dalam hatinya. Senyum bahagia karena mereka juga bahagia. Dan senyum kecut karena sebagian uang gajiannya ludes dilahap barang-barang yang ia beli tadi.
"Nggak gratis itu," Jefri bersendekap dada menatap Ayana yang hanya fokus pada kotak hadiahnya tanpa mempedulikan Jefri yang ada di sampingnya.
"Maksudnya?"
"Bayar lah. Jaman sekarang mana ada yang gratis. Bayar ke saya,"
"Ya udah nggak jadi aku terima. Nggak punya uang, tabunganku udah habis," Ayana menyodorkan kotak yang ia pegang ke arah Jefri dengan raut wajah yang menatap tajam ke arah suaminya.
Jefri meletakkan tangan kanannya di ujung sandaran kursi panjang. Terlihat seperti merangkul Ayana dengan satu tangannya. Bibirnya mengembang dan jari telunjuknya mengetuk-ketuk pipi kanannya, "Yang bilang suruh bayar pakek uang siapa?"
Ini yang membuat Ayana gugup saat Jefri hampir tak menyisakan jarak dalam duduknya. Suaminya itu sangat pandai dalam memporak-poranda degup jantungnya. Padahal sudah lebih dari tiga tahun, Jefri bersikap seperti ini. Namun tetap saja, Ayana dibuat gugup olehnya.
"Cium pipi suami nggak ada ruginya. Pahalanya banyak," ucapnya saat Ayana masih mematung di sampingnya.
Ayana tau kalimat itulah yang akan mencuat di bibir Jefri sedari tadi. Tapi ini tempat umum. Suaminya itu memang tidak tau tempat masalah seperti ini. Lagi-lagi Ayana dibuat berdecak sebal olehnya, "Tempat umum. Banyak orang, yang bener aja kamu!" gerutunya sebal seraya matanya tak menatap Jefri yang sedari tadi menatapnya.
Mata Jefri menelisik beberapa sudut kafe yang masih belum ramai orang berdatangan kesini. Bahkan, hampir tidak ada. Di sana matanya hanya menangkap sosok pegawai kafe yang berjalan masuk ke dapur bersama Umi, "Nggak ada orang,"
"Ada," sahut Ayana cepat.
"Dior-nya saya bua-"
Ayana cepat-cepat mendaratkan bibirnya ke pipi Jefri saat suaminya itu berniat beranjak dari duduknya, "Ngancemnya nggak lucu, ah!"
Dua pasang mata ternyata tengah mengintai dua sejoli itu. Kekehan hangat seraya deheman keras keluar dari mulut keduanya. Siapa lagi kalau bukan Umi dan pegawainya? Umi menatap anak tunggalnya itu dengan tatapan geli. Bagaimana tidak? Anaknya yang sudah menjadi pria dewasa, justru saat bermanja-manja dengan istrinya, tidak ada bedanya dengan remaja yang baru saja merasakan pacaran.
"Romantis-romantisan nggak tau tempat kamu, Jef! Mentang-mentang udah ngerasain surga dunia. Nempel mulu sama Ayana. Perangko aja kalah," cibir Umi.
Jefri menoleh ke belakang, menatap Uminya dengan tatapan santai. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Sedangkan, Ayana ingin menjitak kepala suaminya itu. Karena ulahnya, ia harus menutupi semburat malu dalam pipinya, "Kenapa, Mi? Abi nggak di rumah ya?" Jefri terkekeh dengan tatapan meledek ke arah Uminya.
Umi membalas tatapan anaknya itu dengan putaran bola mata malas, "Umi mau pulang dulu. Kalian nggak pulang?"
"Nunggu reda aja," sahut Jefri cepat.
Senyuman miring tercetak di bibir tipis Umi, "Bilang aja mau pacaran disini. Biar nggak diganggu anak," cibirnya ke arah Jefri yang dibalas Jefri dengan kekehan geli.
"Nggak sekalian bareng, Mi?" tawaran Jefri dibalas umi dengan gelengan kepala pelan.
"Enggak. Abi pulang hari ini dari luar kota. Umi belum masak. Lagian Umi bawa mobil sendiri. Nanti kalo bareng kamu, mata Umi lihat pemandangan yang nggak enak dilihat," ledeknya lagi dengan kalimat terakhir yang penuh dengan penekanan.
"Umi pulang dulu ya?"
"Hati-hati, Mi!"
Jefri menatap punggung Umi yang semakin menjauh. Netranya berpindah menatap Ayana lagi yang juga ternyata menatapnya sebal. Tawanya meledak saat netra istrinya itu tak berpindah sama sekali, masih mendelik ke arahnya. Tangannya reflek mengacak-acak pucuk kepala Ayana gemas. Seolah-olah ada hal lucu yang membuat perutnya menggelitik.
Dreettt...dreett...dreett
Suara dering ponsel milik Ayana bergetar di atas meja yang membuat mata Jefri dan Ayana menoleh ke arah ponsel secara bersamaan. Mata Ayana berpindah ke arah jendela yang masih menyuguhkan tetesan hujan di luar sana, sesekali pendengarannya menajam saat terdengar guruh keras yang membuatnya takut untuk mengangkat sambungan telepon.
"Nggak usah diangkat dulu, masih hujan. Tunggu reda," perintah Jefri ke arahnya.
"Kalo penting gimana?"
"Emang dari siapa?"
"Mbak Kinan,"
"Paling cuma laporan Aidan sama Aviola udah makan, atau anak-anak lagi main bareng!"
"Kalo rewel?"
"Nanti kalo dikasih mainan juga diem mereka,"
Ayana menarik pinggang Jefri bebas yang membuat Jefri reflek mengerang kesakitan, "Tetep aja aku khawatir," ucapnya sebal.
Ayana tak mempedulikan Jefri yang masih merintih kesakitan akibat cubitan kerasnya di pinggang suaminya itu. Tangannya mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja, dan mengangkat sambungan telepon itu, "Halo mbak?"
"Bu Ayana dimana?" dengan nada yang sedikit panik Asisten rumah tangganya itu bertanya ke Ayana dari sambungan telepon.
"Di Makarolove. Ada apa Mbak Kinan?
"Itu Bu .... A-aviola,"
Dahi Ayana berkerut saat Kinan berbicara terbata-bata dari sambungan telepon. Netranya melirik Jefri sekilas, "Aviola kenapa?"
"A-aviola .... Aviola kecebur got waktu main kejar-kejaran sama Aidan, Bu! Saya sudah mandikan dia. Tapi sampai sekarang masih nangis nyari Bu Ayana terus,"
Ucapan Kinan sukses membuat Ayana terperanjat. Netranya menatap Jefri yang tidak tau apa-apa. Ia mulai beranjak dan menggandeng Jefri untuk ikut beranjak dari duduknya, "Anak kamu kecebur got. Ayo pulang! Nggak usah nunggu reda,"
To be continue ....
🌸🌸🌸
Aslinya mau aku update kemarin malam. Tapi belum selesai edit. Yaudah updatenya pagi pagi begini wkwkw enjoy!!!! Kasih tau mana yang typo dan kalimat rancu ya?
Umur Jefri 35 kurang dua minggu. Umur Ayana 26 akhir. Udah aku perhitungkan, saat menikah Jefri umur 29 dan Ayana umur 21 pas selesai KKN artinya masih semester 6 mau ke 7. Selama 2 tahun, banyak drama dalam pernikahan wkwk. Dan sekarang anak kembarnya udah masuk tahun ketiga. Artinya, umur pernikahannya udah mau lima tahun.
Kalau suka, jangan lupa komen vote sama follow jika ingin mengikuti kisah keluarga badak yang random ini wkwk. Jangan lupa follow Instagram author (@iimkhoiria41) untuk tau jadwal update cerita disini ya? See you 🥰🥰
Cr gambar : Pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top