BAGIAN 41 - MINE (ENDING)

Jefri turun dari mobilnya dengan cepat. Langkah kakinya seakan tak mampu menyia-nyiakan waktu sedetikpun. Benaknya selalu bersemayam nama istrinya. Degup jantung pria itu berpacu tak normal. Takut terjadi hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya pada Sang Istri.
Sampai di sepanjang perjalanan tadi, ia tak mampu mengolah pikirannya untuk tidak memikirkan istrinya.

Jefri berlari lagi dan lagi agar sepasang kakinya itu sampai di kamar istrinya. Ia tak pernah mempedulikan kakinya yang hampir menyandung batu. Yang jelas ia harus sampai di kamar istrinya dengan cepat.

Dan tak memerlukan waktu lama, sepasang kaki itu telah hadir di ambang pintu kamar istrinya. Jefri tertegun beberapa detik. Ia sengaja tak masuk ke dalam karena netranya menemukan pemandangan yang membuat cairan bening di pelupuk matanya tertahan.

Ayana yang Jefri lihat dalam sorot matanya tengah menggendong bayi mungil yang ia lahirkan kemarin. Sejak kapan? Sejak kapan istrinya berani menggendong bayi itu? Bahkan Jefri tak pernah mendapatkan kabar baik sebelumnya. Ia hanya mendapatkan perintah dari Tante Ratna untuk segera ke rumah sakit. Itu saja. Tante Ratna tak pernah memberitahunya jika kondisi Ayana telah berangsur membaik.

Jadi ini alasan Tante Ratna menyuruhnya cepat untuk datang kesini?

Ayana masih menyimak seorang Konselor Laktasi yang tengah memandunya untuk menyusui bayinya. Ada rasa sedikit takut yang terpancar di wajahnya. Alih-alih menangis. Perempuan itu justru semakin mendekap bayinya dan melawan tangisnya untuk keluar dari pelupuk matanya.

Di ruangan itu juga ada Aidan dan Aviola yang tangannya sesekali memegang tangan Adiknya. Aidan sedari tadi terlihat sangat senang. Entah dua anak mungil itu datang sejak kapan di kamar Ayana. Jefri pun tak tahu karena sibuk mengurusi setan yang ada di rumah orang tuanya.

"Coba Bu Ayana bayinya agak didekap lagi! Nah pelan-pelan nggak papa. Biar dia nyaman minum ASI-nya," titah Konselor Laktasi itu pada Ayana.

Ayana mengangguk. Ia perlahan mendekatkan bayinya ke arahnya. Sesekali tangannya menimang-nimang bayi itu. Mata yang sedari tadi menyorot pada wajah bayi itu seketika tak bisa menahan cairan bening yang akan keluar. Karena tubuhnya yang masih tak baik-baik saja, ia sempat menelantarkan bayi itu untuk tidak ia dekap selepas melahirkan.

"Pinternya! Dia udah bisa minum ASI ibunya sekarang," puji Konselor Laktasi saat bayi mungil yang ada di gendongan Ayana selesai menyedot ASI yang ada di payudara Ayana. Dan bibir bayi itu masih bergerak mencari sumber ASI lagi saat ASI itu terlepas dari mulutnya. Ayana cepat-cepat mendekatkan bibir bayinya untuk meminumkannya lagi.

Menjadi seorang Ibu memang teramat sulit. Ayana mengalaminya sendiri. Bahkan untuk berjuang melahirkan saja ia harus bertaruh nyawa. Usai melahirkan ia juga tak kalah berat bertaruh mengorbankan psikologisnya.

ASI yang Ayana berikan sangat diterima baik oleh bayinya. Bayinya nyaman ketika ada dalam gendongan Ayana. Sesekali terkadang merengek, tapi Ayana bisa mengendalikan itu semua. Baby blues tingkat lanjutan itu seketika sirna perlahan saat Konselor Laktasi dan Psikiater menanganinya pagi-pagi tadi.

Ayana mendapatkan dukungan dari orang-orang sekitar. Pujian-pujian yang masuk membantunya untuk bangkit. Dan hampir lima jam ia belajar menyesuaikan ikatan batin dengan bayinya, Ayana berhasil menggendong bayi itu. Ia sangat nyaman menggendong buah hatinya.

"Ta-tapi ASI-nya masih sedikit keluarnya, Bu!" cicit Ayana mengadu. Takut jika bayinya tak puas menerima ASI dalam tubuhnya.

Perempuan itu menggeleng. Tangannya menepuk-nepuk pundak Ayana untuk tetap menguatkan, "Nggak papa. Nanti kalau terus-menerus dilatih dan diminum bayinya, lama kelamaan lancar-lancar sendiri. Yang penting rutin makan-makanan yang banyak seratnya, banyak gizinya. Terus istirahat yang cukup, sama sering dipijat pelan-pelan. Ibu menyusui itu pola makannya harus teratur dan bergizi ya, Bu?"

Ayana mengangguk. Ia menurut apa yang dikatakan Konselor Laktasi itu. Ibu itu sangat baik. Mengajarkan banyak hal pada Ayana. Telaten membuat Ayana perlahan bangkit dari penyakit yang menyerang mentalnya. Tak pernah sedikitpun melontarkan kata-kata menyakitkan saat mengajari Ayana. Ayana merasa nyaman. Meskipun berjam-jam ia menyesuaikan menggendong bayinya. Tapi ia bisa mengikis ketakutan itu dengan pelan-pelan.

"Nggak perlu takut lagi ASI-nya nggak keluar. Justru Bu Ayana hebat, melahirkan bayi yang nggak rewel sedikitpun. Pinter banget putranya kata suster yang jaga kemarin. Dia paham kemarin kondisi Ibunya belum pulih sepenuhnya. Dia tahu Ibunya masih sakit makanya nggak rewel," tambah Konselor Laktasi itu memberitahu Ayana yang dibalas Ayana dengan guratan senyum yang bernaung di bibirnya.

Perempuan itu menepuk-nepuk pundak Ayana pelan sembari tersenyum, "Nggak perlu ada yang dikhawatirkan. Bayinya sehat Bu Ayana juga hebat. Sering-sering dilatih buat minum ASI ya Bu? Kalau kecapekan jaga adiknya, nanti gantian sama Papanya. Pokoknya jaga pola makan, pola tidur meskipun punya bayi, biar ASI-nya lancar," petuahnya pada Ayana.

"Saya pamit dulu ya, Bu? Ada keperluan lain. Besok saya kesini lagi. Nanti Bu Ratna kesini katanya. Bu Ayana ditinggal nggak papa kan?" pamitnya usai membantu Ayana untuk terapi ASI. Dan saat ini Ayana jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia sering sekali mendekap buah hatinya saat ia menyusui.

"Iya, terima kasih banyak Bu!" jawab Ayana membalas senyum yang terlempar dari bibir perempuan itu.

Perempuan itu membalasnya juga dengan anggukan sebelum ia keluar dari kamar Ayana. Ayana belum pernah menyadari bahwa suaminya tengah berdiri di ambang pintu. Justru saat Konselor Laktasi itu keluar dari kamar inapnya. Ia menyorotkan matanya untuk menatap bayi mungil yang tenang dalam gendongannya lagi.

"Mama," panggil Aidan pelan.

Ayana menoleh ke arah anak laki-lakinya yang tengah memanggilnya, "Hm?" gumamnya pelan pada Aidan.

"Kemalin, Aidan nunggu Mama lama. Kelualnya adik bayi lama. Telus Aidan beldoa bial adiknya cepet kelual. Telus, Aidan nunggu lagi. Telus Aidan sama Apiola kebelet eek. Kentutnya Apiola bau," Ia mengadu pada Ayana dengan antusias. Meskipun umurnya hampir menginjak empat tahun, namun tingkat bahasanya masih tergolong cadel. Mungkin sebentar lagi gangguan bahasa itu akan sirna dari lidahnya. Gigi yang tak rata tumbuh itu pun juga meringis, menertawakan kembarannya.

Aviola tak kalah merenggut saat Aidan menyindirnya. Ia mengerutkan dahinya penuh dan kepalanya menyeruduk lengan Aidan yang sedari tadi bergetar karena kebanyakan tertawa, "Gala-gala Aidan eek lama, Apiola ketinggalan. Telus pas udah kelual kamal mandi Apiola lihat nenek lekam vidio," adunya pada Ayana.

Ayana menautkan alisnya karena tak paham dengan apa yang anaknya katakan. Maksud dari rekam vidio yang dikatakan anaknya itu apa? Ayana bahkan tak tahu apa-apa dengan apa yang terjadi saat dirinya kemarin tak baik-baik saja, "Rekam vidio?" tanyanya pada kedua anaknya.

Aidan ataupun Aviola mengangguk cepat, "Iya. Aidan nggak boleh masuk kamal Mama kemalin soalnya nenek lagi lekam vidio. Telus Aidan sama Apiola disuluh pulang sama Mbak Kinan. Padahal Aidan belum ketemu Mama. Aidan nunggu Mama di lual lumah, tapi Mama pulangnya lama sampai Aidan ketidulan," jawab Aidan memberitahu Ayana.

Yang dimaksud Aidan dan Aviola adalah ketika Umi merekam apa yang Bu Dhe Arimbi dan Rania bicarakan di depan kamar Ayana. Tapi Ayana masih tak mengetahui hal itu. Ia masih tak mengetahui bahwa suaminya pergi pagi-pagi buta untuk membersihkan namanya yang digunjing habis-habisan dan dipojokkan salah satu anggota keluarga.

"Aidan kangen Mama sama adik bayi," celetuk Aidan seraya meloncat-loncatkan kakinya berdiri di samping ranjang Ayana. Ia menampakkan gigi kecil-kecilnya meringis ke arah Ayana. Terlihat sekali kalau laki-laki kecil itu tengah berbunga-bunga bertemu perempuan yang ia sayangi.

"Apiola juga. Apiola mau ke kamal Mama, tapi nenek bilang nanti dulu soalnya nenek lagi lekam vidio," seru Aviola menimpali kalimat Aidan.

Ayana semakin dibuat penasaran dengan vidio itu, "Vidio apa, Nak?"

Aidan dan Aviola mengangkat bahunya. Ia sendiripun tak mengerti dengan apa yang dilakukan neneknya. Yang jelas ia hanya mengerti bahwa neneknya tengah merekam vidio, "Nggak tau. Tapi mata Apiola ngintip Nenek Alimbi di lual kamal Mama," jawab Aviola berniat memberitahu Ayana.

"Nenek Arimbi?" tanya Ayana semakin tak mengerti.

Bibir Ayana yang tadinya tersenyum lantas seketika datar. Ayana semakin menajamkan pendengarannya saat dua anak mungilnya itu tengah bercerita tentang apa yang ia lihat. Sedangkan Jefri masih sengaja belum menampakkan wajahnya karena nyaman bersemayam di balik pintu seraya ikut menyimak pembicaraan anak dan istrinya.

"Nenek Alimbi yang waktu dulu pelnah cubit Apiola waktu Apiola main di lumah Aila di Malang. Apiola kan pinjam mainan Aila, telus dulu nggak boleh sama Nenek Alimbi. Apiola malah-malah sama Nenek Alimbi soalnya Nenek Alimbi nakal. Telus Apiola buang sandal Nenek Alimbi di got. Bial sandalnya hilang. Telus Nenek Alimbi nggak punya sandal," jelas Aviola menceritakan panjang lebar.

Ayana baru mengetahui hal ini. Ia baru tahu bahwa perempuan itu juga membenci anaknya. Tapi Aviola belum pernah bercerita sebelumnya. Baru kali ini ia mendengar cerita dari Aviola yang pernah dicubit perempuan itu, "Jangan gitu lagi ya, Nak! Nenek kan orang yang lebih tua dari Aviola. Aviola nggak sopan nanti," petuahnya pada Aviola.

Bagaimana pun juga Ayana tak mungkin mengajarkan anaknya untuk melakukan hal itu. Mau semarah apapun anak itu dengan Bu Dhe. Yang Ayana takutkan hanyalah Aviola akan semakin terus-menerus menganggap bahwa yang ia lakukannya benar terhadap orang lain. Aviola masih terlalu dini, tak sepatutnya Ayana mengajarkan hal buruk pada anaknya. Meskipun dalam hati kecilnya juga ia sangat tak nyaman dengan Bu Dhe.

"Tapi Nenek Alimbi nakal, Apiola nggak boleh pinjam mainan Aila. Nenek Alimbi cubit tangan Apiola," ucapnya lagi dengan bibir yang mengerucut sebal dan kaki kecilnya yang dihentakkan karena sebal dengan Bu Dhe.

Ayana mencoba meredakan emosi anaknya. Ia tersenyum simpul ke arah gadis kecilnya, "Anak Mama nggak nakal. Aviola nggak nakal, tapi Aviola nggak boleh gitu lagi ya sama orang. Minta maaf kalau ada salah sama yang lebih tua dari Aviola. Kalau nggak dibolehin, ya nggak papa. Aviola main mainan punya sendiri," tuturnya lembut.

"Sibuk banget curhat sama Mama. Nggak ada yang cari Papa," cibir Jefri yang sengaja ikut masuk ke dalam obrolan anak dan istrinya.

Ayana menoleh ke arah sumber suara. Dan ia mendapati suaminya yang tengah berjalan ke arahnya. Netra Ayana menangkap sepasang mata yang tampak kelelahan. Memang benar, mata Jefri sedikit lelah karena kemarin malam tak sempat tidur dan pagi-pagi buta sudah dipanggil Sang Ayah untuk ke rumah ayahnya, "Mas, kamu dari mana?" tanyanya pada Jefri.

Jefri sengaja tak menjawab pertanyaan dari Ayana. Sorot matanya terkunci pada tangan Ayana yang masih mendekap bayi kecilnya. Bibir laki-laki itu sedikit mengembang melihat pemandangan yang sangat ia rindukan terjadi, "Sejak kapan—"

Pertanyaan Jefri langsung dipotong Ayana. Ayana paham jika suaminya itu akan menanyakan 'kapan ia mulai menggendong bayinya' karena memang, saat Jefri meninggalkan Ayana di rumah sakit, Ayana masih pulas tertidur, "Dari tadi pagi. Aku dibantu sama Tante Ratna. Terus dibantu Dokter juga pelan-pelan. Awalnya kaku, takut, keringat dingin. Tapi Tante Ratna sama Dokternya baik banget. Hampir lima jam aku dilatih mereka. Mereka sabar banget," ucapnya mengadu pada Jefri.

"Aku sempet takut tapi mereka melatih pelan-pelan sampai aku bisa kayak gini. Aku bisa gendong dia. Kadang masih ada ketakutan dikit. Tapi sekarang udah terkikis perlahan. Aku merasa bersalah karena belum gendong dia sama sekali dari dia lahir," tambahnya lagi yang membuat degup jantung Jefri berdesir hebat.

"Kamu pagi-pagi kemana? Kata Tante Ratna, kamu pamit pergi jam 3 pagi, dan Umi nyusul kamu jam 5 pagi. Anak-anak kesini diantar Mbak Kinan jam 7 pagi tadi," ucapnya memberitahu Jefri yang dibalas Jefri dengan anggukan mengerti.

"Aku ke rumah Abi ada urusan sebentar tadi jadinya cepet-cepet kesana," jawabnya.

Ayana hanya manggut-manggut mengerti. Ia tak tahu pasti bahwa suaminya membela mati-matian dirinya yang telah dipojokkan salah satu keluarga besarnya. Andai Ayana mengerti, pasti ia pun merasa bersalah pada suaminya, karenanya keluarga besar suaminya jadi renggang.

Sorot mata Ayana kemudian mengamati penuh mata suaminya yang terlihat sayu, "Kamu istirahat dulu aja di sofa, Mas! Kemarin malam kamu pasti belum tidur kan semalaman?" tebaknya.

"Belum Ay, Jefri dari kemarin malam belum sempet tidur. Jagain kamu semalaman. Takut kamu nggak nyenyak tidurnya. Sampai Umi berkali-kali nyuruh dia tidur, tapi omongan Umi nggak pernah masuk di telinganya," jawab Umi lebih dulu sebelum Jefri.

Jefri menoleh ke belakang karena kalimat dari Umi yang menggema. Ia mengerutkan dahinya saat Umi dan Abinya tiba-tiba menyusulnya kesini. Batinnya bertanya-tanya sejak kapan orang tuanya menyusulnya? Jefri bahkan sempat menebak bahwa orang tuanya akan lebih mempercayai Bu Dhe ketimbang dirinya. Tapi kenapa saat ini orang tuanya ada disini?

"Umi sama Abi kok kesini? Pak Dhe kesini juga?" tanya Jefri pada orang tuanya.

Umi tersenyum miring ke arah anaknya. Ia menarik telinga Jefri spontan sampai Jefri meringis kesakitan, "Emang nggak boleh Umi sama Abi jenguk cucu sendiri?" cibir Umi seakan melupakan masalah yang barusan terjadi.

"Ya bukan gitu. Tapi tadi—"

Abi ikut memotong kalimat Jefri. Ia menepuk-nepuk pundak anaknya itu dengan pelan. Bibirnya ikut tertarik saat Jefri masih menyorotkan tatapan tak percaya. Begitupun juga dengan Ayana. Ia malah tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, "Bu Dhe kamu udah dewasa. Nggak perlu Abi yang memutuskan siapa yang benar siapa yang salah pun semua udah tau,"

"Kenapa Abi nggak bantu dia. Anaknya kan—"

Kalimat Jefri dipotong Abi lagi, "Seharusnya umur dia udah terlalu cukup bisa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Nggak perlu dituntun orang lain. Baik Abi ataupun Pak Dhe kamu. Biar dia sendiri yang menyelesaikan masalahnya. Abi nggak ada urusannya dengan masalahnya. Toh, Abi harus bantu apa? Kalau memang anaknya terbukti salah. Sama aja Abi dzalim kalau mati-matian membela dan berusaha mengeluarkan seseorang dari sel penjara, kalau anaknya terbukti salah besar," jelas Abi.

"Abi kamu benar, Jef! Pak Dhe kesini tujuannya jenguk istri kamu. Urusan Bu Dhe kamu ada masalah, itu urusan dia. Dia udah cukup dewasa untuk memutuskan masalahnya sendiri. Anaknya terbukti bersalah. Pasal berlapis. Pak Dhe nggak akan membela orang yang salah. Biar dia jera sendiri. Yang terpenting Pak Dhe tau, kamu laki-laki yang bertanggung jawab. Dan istri kamu memang sangat baik," tambah laki-laki paruh baya yang baru saja masuk ke dalam ruang inap milik Ayana.

Abi mengangguk-anggukan kepalanya pelan, "Jefri, Kakek kamu dari Abi kecil selalu bilang, 'Jangan pernah merasa tinggi kalau keluarga kita disegani banyak orang. Jangan membanggakan apa yang kita punya. Belajar setinggi-tingginya. Tapi jangan pamerkan apa yang sudah kita punya," ucapnya memberitahu.

"Tapi Bu Dhe kamu memanfaatkan kekuasaan untuk terlihat tinggi di mata orang. Sebenernya dari dulu waktu Abi masih remaja. Abi udah pernah tuntun dia untuk tidak memanfaatkan kekuasaan. Tapi sayangnya karakternya memang seperti itu. Jadi mau nggak mau Abi yang ngalah," seru Abi lagi.

Jefri spontan memeluk laki-laki paruh baya itu dengan erat. Dekapan pria paruh baya yang ia sebut 'Abi' itu tak kalah erat pada tubuh Jefri yang membuat Jefri terasa nyaman didekapnya, "Abi nggak terima kalau kamu yang dipojokkan. Padahal kamu nggak salah. Istri kamu nggak bersalah. Jangan takut Abi nggak memihak ke kamu. Karena sampai kapanpun Abi itu ayah kamu. Abi berhak membela kamu. Sebelum ada bukti dari Umi, Abi udah percaya sama kamu. Kamu nggak akan pernah melakukan hal yang nggak Abi ajarkan," jelasnya.

Jefri menguraikan kalimatnya. Senyumnya sedari tadi mengembang karena kepercayaan yang ia tanamkan berbuah manis. Kejujuran yang ia lontarkan tak pernah sampai di titik kekalahan. Jefri spontan mengacak-acak pucuk kepala Ayana dengan lembut, karena saking bahagianya. Tapi Sang Istri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga besarnya sampai keluarganya berkumpul seperti ini. Ia masih belum paham bahwa Jefri membelanya mati-matian.

"Jef, Pak Dhe bawa Rania kesini. Pak Dhe udah bicara empat mata sama dia tadi. Dan dia mau mengakui kesalahannya. Dari dulu dia selalu berpihak ke Bu Dhe kamu karena dia merasa hutang budi. Dia dirawat Bu Dhe kamu karena orang tuanya meninggal. Pak Dhe bilang, 'Ini bukan perkara hutang budi. Tapi perkara memutuskan mana yang benar dan salah'. Sekarang dia mau melepas untuk tidak memihak yang salah," seru kakak laki-laki dari Abi yang diikuti dengan seseorang yang pernah Jefri benci karena ia pernah menjelek-jelekkan istrinya.

"Mas Jefri. Rania kesini mau minta maaf. Rania udah menebar kata-kata yang kurang pantas didengar di depan istri Mas Jefri," ucap perempuan itu dengan tatapan menyesal.

Jefri mengalihkan pandangannya dan mengisyaratkan Rania untuk meminta maaf ke istrinya. Kalau istrinya memaafkan ia akan memaafkan juga. Dan kalau istrinya masih sakit hati, Jefri pun akan lebih sakit hati karena terlalu geram dengan sikap Rania beberapa jam yang lalu, "Minta maaf ke istriku. Karena kamu banyak salahnya ke dia," serunya.

Rania menundukkan kepalanya. Ia sangat malu dengan apa yang ia perbuat. Ia dibutakan dengan hasutan-hasutan yang tak pernah ia pikir sebelumnya, "Mbak Ayana, Rania minta maaf. Gara-gara Rania kondisi Mbak Ayana sempat drop. Rania minta maaf," ucapnya menyesal bertubi-tubi sembari tangannya mengulur ke Ayana untuk meminta maaf.

Ayana paham dengan kesalahan Rania. Tanpa Jefri menjelaskan ia tahu kesalahan Rania kemarin sampai kondisi Ayana melemah, "Aku udah nggak mau inget-inget kejadian yang udah berlalu. Aku maafin kamu. Tapi jangan pernah lontarkan kata-kata yang menyakitkan itu lagi, termasuk orang lain di luar sana," balas Ayana seraya menerima uluran tangan dari Rania. Rania mengangguk. Ia berjalan mundur ke belakang seraya masih menunduk dalam.

"Rewel, Ay?" tanya Umi mengalihkan pembicaraan agar suasana di ruang inap tak menegangkan. Toh semuanya sudah selesai. Tak perlu Umi perjelas lagi.

Ayana menggeleng pelan. Bibirnya tertarik lagi untuk tersenyum seraya matanya menatap buah hatinya yang tengah tertidur, "Enggak, Mi! Ini lagi tidur. Padahal banyak orang. Dia tidurnya nyenyak banget," jawabnya.

"Kayak Jefri waktu kecil ya, Bi? Tidur mulu ngerepotin Umi," Umi terkekeh geli diikuti Abi dan semua orang disana. Ia melontarkan kalimat yang membuat Jefri berdecak sebal.

"Oh iya ... Abi, Umi, Pak Dhe, sama Rania, ke kantin dulu ya? Nyari makan. Mau dibungkuskan apa?" tanya Umi menawarkan.

Ayana menoleh ke arah Jefri yang terlihat sedikit pucat. Ia mengusap tangan suaminya yang bertengger di tubuh bayinya, "Kamu sekalian ikut makan mereka, Mas! Aku yakin kamu belum makan dari pagi," titahnya pada Jefri.

"Disini aja, nanti Jefri bungkusin nasi aja ya, Mi?" serunya pada Umi yang dibalas Umi dengan anggukan pelan.

"Umi sama yang lain kesana dulu ya?" pamit Umi diikuti dengan yang lainnya. Abi ataupun Pak Dhe menepuk-nepuk pundak Jefri berusaha menguatkan sebelum mereka keluar dari ruang rawat inap.

Usai beberapa orang keluar dari ruangan Ayana. Jefri mendudukkan tubuhnya di sisi ranjang dan duduk di samping Ayana. Ia sedikit menggeser tiang infus yang ada di depannya agar duduknya semakin nyaman.

Bibir Jefri tak absen mengembang saat menatap Ayana tengah berbicara dengan bayinya. Ia menghujani pipi Ayana dengan ciuman lembut. Lengannya bertengger di pundak Ayana untuk merangkum tubuh istrinya. Ayana dibuat mengerutkan dahinya saat Jefri tak henti-hentinya menghujani ciuman, "Kenapa senyum-senyum gitu?" gerutu Ayana saat tak nyaman Jefri menghujani ciuman di pipinya secara terus-menerus.

"Aku senyum lihat Aviola bukan lihat kamu," sangkal Jefri sedikit gengsi padahal jelas-jelas matanya sedari tadi tak berpindah menatap Ayana. Dan anak yang ia tuduh itu tengah bermain asik di atas sofa dengan kembarannya.

"Orang matanya mengarah ke aku. Masih aja ngeles," gerutu Ayana seraya tersenyum miring.

Jefri sedikit menyandarkan kepalanya di kepala ranjang rumah sakit. Ia bersandar disana untuk menetralkan aliran darahnya yang mengalir tak lancar. Sedari tadi kepalanya berdenyut nyeri karena kelelahan dan kurang tidur, "Sana tidur! Kamu semalam belum sempet tidur! Biar Aviola yang nemenin kamu di sofa," perintah Ayana saat matanya menangkap Jefri yang memejamkan matanya.

"Aku tidur disini aja. Biar kalo kamu butuh apa-apa gampang," sahut Jefri.

"Tante Ratna mana?" tanya Jefri ke arah Ayana.

Ayana sedikit menggeser tubuhnya agar Jefri lebih leluasa bersandar di kepala ranjang, "Di kantin kayaknya sama suaminya," jawabnya yang dibalas Jefri dengan anggukan mengerti.

"Mas,"

"Hm?"

Ayana menatap Jefri dalam sebelum ia meluapkan kalimat yang bersarang di bibirnya, "Aku minta maaf kemarin-kemarin belum bisa gendong dia. Aku minta maaf juga udah ngerepotin kamu. Bu Dhe ada masalah di keluarga besar kamu?"

Saat telinga Jefri menyimak kalimat dari Ayana, netranya terbuka lagi. Ia pun membalas tatapan dari istrinya itu dengan bibir yang mengembang sempurna. Seakan permasalahan besar yang mencuat di keluarganya tadi seketika sirna, "Ada masalah dikit. Dan anaknya masuk ke penjara karena kasus pembunuhan dan penjualan obat terlarang. Nggak perlu kamu pikirkan itu bukan urusan kita. Keluarga besar Abi mau jenguk kamu. Mau jenguk anak kita. Rania minta maaf karena dia punya salah sama kamu. Dia menebar kata-kata buruk yang memojokkan kamu kemarin. Jadinya dia minta maaf,"

"Sebenernya ada satu orang yang menebar keburukan dan memojokkan kamu kemarin. Bu Dhe. Iya kan? Dia meluapkan kalimat tak mengenakan. Sampai kamu drop gini. Tapi nggak perlu kamu pikirkan sekarang. Dia udah dapat balasan dari apa yang ditanam sendiri. Kalau dia minta maaf sekalian nggak usah kamu maafin," tambah Jefri.

Bola mata Jefri berotasi sempurna saat ia membahas masalah Bu Dhe, "Dulu waktu pembagian otak dia ketiduran. Makanya lebih pinter otaknya kadal dari pada dia," ucapnya menajam.

Ayana menghela napas. Suaminya itu terlihat sangat membenci salah satu anggota keluarganya, "Jangan gitu, itu keluarga kamu sendiri. Aku pun sebenernya juga marah waktu dia ngomong nggak baik tentangku. Tapi kita nggak pantas Mas ngomong buruk tentang dia. Ngotorin mulut kita. Biarin aja. Kalau kita benci sama seseorang, mending diem aja nggak perlu ngurusin hidupnya. Capek sendiri ngurusin hidup orang lain. Buang-buang waktu,"

"Udah sana kamu istirahat! Nggak perlu dibahas lagi masalah Bu Dhe," titah Ayana menyuruh Jefri untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Jefri mengatur napasnya agar deru napas itu sedikit stabil. Ia mengecup singkat pipi istrinya lagi tanpa aba-aba sampai Ayana terperanjat karena kecupan tak meminta izin itu, "Kesempatan yang kamu berikan  beberapa tahun yang lalu masih aku pegang erat, Ayana! Aku nggak bisa menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku bakalan jadi orang yang nggak tau diri kalau melepas kesempatan itu. Aku bakalan jaga kamu sampai kapanpun. Aku juga bakalan gagal jadi seorang suami dan ayah sekaligus kalau aku egois sama pernikahanku,"

Ayana menarik sudut bibirnya saat mengetahui bahwa Jefri memujinya. Ia tersenyum lega saat Jefri masih ingat dengan janjinya beberapa tahun lalu saat Jefri mengecewakannya. Ternyata kesempatan itu masih disimpan suaminya dan suaminya mampu menepati janjinya.

Jefri mengecup singkat kening Ayana. Bibirnya berpindah untuk mengecup putranya yang tengah tertidur, "Istriku perempuan yang hebat. Dia Ibu yang hebat buat Aviola, Aidan, sama adiknya. Mereka lahir dari perempuan baik yang Allah kirimkan untukku,"

Netra Ayana memejam mencerna kalimat pujian dari Jefri. Rasanya kebahagiaan yang ia peroleh ini bertubi-tubi. Ia bisa bangkit dari apa yang telah ia lalui. Ketiga anaknya mendapatkan ayah yang sangat hebat. Tak tanggung-tanggung Tuhan memberikan apa yang pernah Ayana harapkan semasa kecil.

Ayana dulu pernah berdoa pada Sang Pemilik Semesta, ketika ia menikah nantinya, ia ingin pernikahannya tak seperti pernikahan Mamanya. Ia bermimpi mempunyai anak dari Suaminya. Dan anak-anaknya dididik sebaik mungkin, tak pernah cacat sedikitpun. Tak pernah kehilangan arah seperti dirinya dulu yang kehilangan separuh hidupnya karena perceraian kedua orang tuanya dan meninggalkan Sang Mama.

Dan saat ini ia mendapatkan semuanya. Tuhan sangat Maha Baik. Ia mendapatkan suami yang bertanggung jawab dan menepati janjinya. Ayana dulu sempat ragu pada Jefri selama bertahun-tahun. Takut Jefri mengulang kesalahan yang sama. Tapi akhirnya, prasangka itu tak benar adanya. Jefri menempati sesuai apa yang dia ucapkan.

Ayana mengamati kedua anaknya yang berlari ke arahnya. Mereka tampak terkekeh satu sama lain saat berkejar-kejaran. Aidan tampak menjambak pelan salah satu kumpulan rambut Aviola yang diikat kuda sampai Aviola mengerucutkan bibirnya karena sebal dengan ulah Aidan. Aidan tampak terkekeh. Begitupun juga dengan Ayana dan Jefri yang ikut menertawakan Aviola yang mengerucut sebal.

💓💓💓

📍 Polresta Malang Kota, 17.00 WIB.

"Adi angkat telfonnya," Amarah Bu Dhe membuncah saat sambungan telepon darinya tak diangkat Abi. Sedari tadi ia beekali-kali menelepon adiknya berharap diangkat dan adiknya membantunya. Tapi nyatanya nihil. Tak ada sambungan telepon yang terhubung sama sekali.

"Aku butuh bantuan kamu. Angkat telfonnya," gerutunya frustasi saat Pak Dhe Taufiq juga tak mengangkat sambungan teleponnya lagi.

Semua orang tak ada yang mempedulikan Bu Dhe. Bahkan Rania pun tak mengangkat sambungan telepon dari Bu Dhe untuk membantu perempuan paruh baya itu. Bu Dhe semakin frustasi dengan apa yang menimpanya. Kepalanya berdenyut hebat memikirkan anaknya yang ada di bui saat ini, "Semua orang nggak tau diri. Nggak punya balas budi. EGOIS!"

Anaknya yang tengah memakai baju tahanan itu memohon pada Bu Dhe untuk dikeluarkan dari sana. Anaknya yang duduk di kursi dekat dengan Bu Dhe itu menangis di pundak ibunya. Memohon untuk seseorang mengeluarkannya. Padahal bukti-bukti sudah mengarah padanya. Bahwa laki-laki itu bersalah dan mendapatkan apa yang seharusnya ia terima, "Ma, tolongin Farhan. Farhan dikeluarkan dari IDI. Keluarkan Farhan dari sini, Ma! Farhan nggak mau dipenjara. Farhan seminggu lagi menikah. Mama harus nolongin Farhan,"

"Bilang ke Jefri atau ke Pak Dhe Taufiq atau ke Om Adi. Pokoknya tolongin Farhan. Farhan nggak bisa tinggal disini, Ma! Farhan mau menikah sama Sella," mohon laki-laki itu.

Bu Dhe tak menjawab. Ia masih bergulat dengan apa yang ada dipikirannya. Otaknya tak bisa berfungsi seketika saat memecahkan masalahnya. Ia menganggap orang-orang tak mempedulikannya. Orang-orang terlalu kejam dengannya. Dan mirisnya, ia menyalahkan Tuhan yang memberinya pelajaran.

'Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua kalau dia berusaha memperjuangkan kesempatan itu. Ada kalanya manusia berhak mengesampingkan ego untuk memperoleh kebahagiaannya. Berdamai dengan takdir tak selamanya menyakitkan. Justru akan  membuka sebuah lembaran baru yang belum pernah dijajaki sebelumnya'
~Jefri Alfareza~

Macarolove 23 Mei 2021
-END-

💓💓💓

Akhirnya, ending juga Ya Allah. Ini 4000 kata wanjay panjang sekali kayak kereta api. Kalau kalian menemukan plot hole di cerita ini. Semisal plot hole kecil, aku minta maaf ya? Aku kadang nulisnya gak sadar. Semoga kalian menikmati cerita ini dengan baik dan bijak.

Komen yuk komen terakhir. Kalau komen dan vote di cerita ini capai 1000. Aku beneran bakalan post epilognya. Tapi dengan syarat komennya jangan spam 'up' 'next' atau bahkan abjad. Pokoknya komen yang berguna buat nusa dan bangsa 🤣 semisal komen ngomel ngomel pun tak apa komen semangat atau komen apa aja deh. Asal jangan spam ya soalnya pas spam tuh di notifku gak kedeteksi terus kadang pas spam tuh WP aku jadi eror 😭 yuk komen sebanyak banyaknya tapi jangan sampai spam ya takut wp ngamuk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top