BAGIAN 40 - CERAI BERAI
Tangan Rania mengepal seketika saat Jefri selalu membantah kalimat yang keluar dari bibirnya. Bukan hanya perempuan itu saja yang terbakar amarah, Jefri pun tersulut ingin menampar wajah sepupunya karena dianggap terlalu mengguruinya. Rania benar-benar terkontaminasi semua omongan Bu Dhe, sampai hati kecilnya telah busuk tertimpa banyak racun.
"Mas Jefri harusnya sadar, dulu waktu Mas Jefri masih kecil yang ngerawat Mas Jefri Bu Dhe. Bukan istri Mas. Ya wajar Rania belain Bu Dhe. Mas Jefri aja yang nggak tau diri," bentaknya pada Jefri yang membuat amarah Jefri ikut memuncak.
Saat ini tangan Jefri tertata rapi ingin mengepal seketika. Otak Rania telah hancur dicuci Bu Dhe. Sampai ia tak bisa membedakan mana yang jelas-jelas salah dan mana yang benar. Memang, seharusnya Jefri tak meladeni dua setan itu.
Jefri sampai rela ke rumah Abi hanya untuk membereskan nama istrinya yang digunjing habis-habisan. Ia pun sampai rela meninggalkan Ayana yang terbaring lemah di rumah sakit. Untung saja ada Umi dan Tante Ratna yang pulang ke Indonesia saat dikabari bahwa keponakannya sakit, ia langsung terbang ke Indonesia untuk menjenguk Ayana. Jadi Jefri bisa lebih lega meninggalkan Ayana.
"Pikiranmu picik! Aku heran sama kamu, Kamu udah di sekolahin tinggi-tinggi Ke luar negeri. Tapi nggak bisa bedain mana yang baik mana yang buruk," sahut Jefri dengan emosi yang masih belum stabil.
"Tetep aja. Mas Jefri nggak punya rasa balas budi. Mas Jefri egois, nggak pernah bisa menghargai yang lebih tua. Mas Jefri selalu belain istri Mas yang jelas-jelas nggak punya asal usul keluarga yang sepadan sama keluarga kita. Mas malu-maluin keluarga sendiri. Mas kasar sama orang yang lebih tua," Berkali-kali Rania menyalahkan Jefri bahwa katanya Jefri lupa balas budi. Padahal Jefri sudah melakukan hal yang sewajarnya.
"Aku bingung ngomong sama orang bodoh kayak kamu! Harusnya kamu bisa berpikir kritis dan membedakan mana yang baik. Bukan malah omong kosong dari mulut Bu Dhe yang kamu percaya. Jangan berdalih Bu Dhe udah merawat kamu dari kecil, terus kamu nggak bisa bedain mana yang salah. Aku nggak bisa bayangin gimana kalau kamu nanti terjun menikah. Aku nggak menjamin pernikahanmu—"
Kalimat Jefri dengan cepat dipotong Rania. Rania melayangkan tangannya hampir mengenai wajah Jefri. Untung saja laki-laki itu dengan sigap melindungi wajahnya dan membuang tangan Rania karena merasa seseorang telah memanggilnya.
"Mas Jefri, Mbak Rania, dipanggil Pak Adi disuruh kumpul di ruang keluarga. Sudah ditunggu Pak Adi disana," ucap salah satu asisten rumah tangga yang ada di rumah Umi.
Jefri berjalan lebih dulu meninggalkan sepupunya yang mengekor di belakangnya. Dengan wajah yang masih menampilkan guratan marah, Rania mendudukkan tubuhnya di dekat Bu Dhe.
Di rumah Abi saat ini telah ada keluarga besar Al-Haqq. Taufiq, kakak tertua Abi datang jauh-jauh dari Malang. Ia dan istrinya berprofesi sebagai ASN yang ditugaskan di Malang. Bu Dhe Arimbi, kakak tertua kedua Abi. Suami Bu Dhe juga mantan pegawai ASN namun sayangnya lima tahun yang lalu laki-laki paruh baya itu meninggal dunia. Dan saat ini ia tinggal sendirian.
Dan Abi, Abi anak kedua terakhir sebelum Ibu Rania yang saat ini telah meninggal dunia juga karena kecelakaan. Tak heran jika Rania lebih dekat dengan Bu Dhe karena sejak Ibu dan ayahnya meninggal, Rania dirawat Bu Dhe. Para sepupu Jefri memang dari kalangan orang yang sangat menjunjung tinggi nilai akademik. Tiga sepupunya lulusan University of Washington, keempat sepupunya lulusan NTU University, dan Rania sendiri lulusan Al-Ahzar University. Sedangkan tersisa Jefri dan Farhan yang lulusan Universitas Terbaik jurusan kedokteran.
"Duduk dulu! Abi mau tanya sama kamu," titahnya pada Jefri yang masih berdiri disana dengan mata yang menatap Bu Dhe tajam.
Jefri mengambil duduk di depan Abi. Meskipun tubuhnya saat ini ada di rumah Abi. Tapi pikirannya masih tetap berkecamuk memikirkan istrinya yang terbaring lemah disana. Bayi mungilnya yang ada di rumah sakit, belum menyentuh pelukan Ibunya sama sekali. Jefri terkadang tersenyum getir saat mengingat kejadian itu sampai detik ini.
"Jefri, benar kamu bentak Bu Dhe kamu di rumah sakit kemarin? Tangan kamu juga hampir menampar Bu Dhe?" tanya Abi yang memulai membuka pembicaraan keluarga besar. Dan di dengar seluruh keluarganya yang datang.
Jefri masih bergeming karena memikirkan Ayana yang masih lemah disana. Ia sampai tak menyimak penuh apa yang Abi tanyakan padanya, "Hm?" gumamnya saat menyadari beberapa orang menunggu jawabannya.
"Udah berumur harusnya tau kalau ngomong kasar sama orang yang lebih tua itu nggak baik. Masih aja diterusin. Bukan anak kecil lagi tapi perilaku harus dituntun," sindir Bu Dhe pada Jefri yang dibalas Jefri dengan tatapan tak suka.
Jefri membiarkan ia disindir Bu Dhe dari pada ia harus mengepalkan tangannya untuk menghantam wajah perempuan paruh baya itu. Ia saat ini masih bisa menahan amarahnya. Sampai Abi sendiri yang membuka suara kemudian karena tak kunjung dijawab Jefri, "Mbak Arimbi, Adi minta jangan bicara dulu. Adi mau bicara sama Jefri. Adi mau minta penjelasan dari Jefri sendiri," ucapnya menengahi.
"Jefri apa benar kamu bentak-bentak Bu Dhe dan mau menampar Bu Dhe kamu?" tanyanya mengulangi.
Jefri menatap Abi dengan tatapan dalam. Sorot matanya terpancar tak berbohong sedikitpun. Harapan Jefri semoga Abi lebih tau tatapan mana yang jujur dan tatapan yang mengada-ada, "Jefri cuma melakukan apa yang seharusnya Jefri lakukan. Jefri membela Ayana. Karena Ayana istri Jefri dan dia nggak bersalah. Ayana digunjing habis-habisan. Wajar kalau Jefri bela dia," jelasnya pada Abi.
"Bu Dhe pun wajar bilang gitu karena istri kamu kelakuannya nggak bener. Orang tuanya aja udah nggak bener. Bahkan Bu Dhe sendiri pernah lihat istri kamu dulu waktu awal pernikahan kamu, dia main sama laki-laki lain di kampusnya. Nongkrong di kedai mie ayam bareng laki-laki lain padahal dia udah menikah," Bu Dhe sengaja membakar emosi semua anggota keluarganya dengan omongan barunya. Jelas saja seluruh mata anggota keluarganya membulat sempurna saat mendengar kalimat yang Bu Dhe luapkan.
"Dia pun nggak bilang sama temen-temennya kalau udah menikah sama kamu, ya karena dia udah ada pikiran yang nggak bener sama laki-laki lain. Nggak menutup kemungkinan juga sampai sekarang dia punya niatan buruk ke kamu," lanjutnya lagi yang dibalas Jefri dengan sorot mata yang teramat tajam.
Bibir Bu Dhe seketika bergetar. Netranya memaksa mengeluarkan cairan bening yang memang tak bisa keluar, "Adi, wajar dong Mbak ngomong gitu ke Jefri. Kenapa harus Mbak yang disalahkan padahal anak kamu sendiri yang sekarang otaknya udah tercemar perilaku yang nggak bener," serunya memberitahu adiknya.
Jefri teramat geram karena Bu Dhe menyebar berita yang membuat istrinya disangka buruk orang-orang, "JAGA MULUT BU DHE! Jangan ikut campur urusan rumah tangga Jefri kalau Bu Dhe nggak tau apa-apa. Nggak usah melebih-lebihkan masalah," bentaknya tak peduli siapa saja yang tengah menyimak kalimatnya.
"Lihat sendiri, anak kamu sekarang—"
Abi cepat-cepat memotong kalimat Bu Dhe saat Bu Dhe ingin menyalahkan Jefri, "Mbak Arimbi, Adi minta jangan memotong pembicaraan kalau orang lain berbicara."
Jefri angkat bicara. Ia berniat mengeluarkan apa yang seharusnya ia lontarkan saat ini. Tak peduli ia harus keluar dari keluarga Al-Haqq karena tak punya bukti nyata. Setidaknya kalimatnya tak ada sedikitpun yang berbohong.
"Bu Dhe Arimbi ngomong hal yang nggak pantas di depan kamar Ayana. Mempermasalahkan lahiran sesar dan normal. Membanding-bandingkan Ayana dan Amira. Menganggap Ayana nggak layak ada di keluarga Al-Haqq karena ayahnya seorang narapidana. Padahal Ayana sendiri nggak pernah membuat kesalahan di keluarga ini. Wajar kalau Jefri lebih membela Ayana. Karena Jefri suaminya, dan Ayana nggak pernah melakukan kesalahan sedikitpun di keluarga ini," jelasnya mengarah pada seluruh anggota keluarganya.
Bu Dhe menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Netranya menatap adik dan kakaknya yang masih menyimak pembicaraan dari Jefri. Tak bisa, ia merasa tak bisa dipojokkan saat ini, "Mana buktinya kalau Bu Dhe bilang gitu? Bu Dhe nggak pernah menjelekkan istri kamu. Bu Dhe cuma bilang yang sebenarnya. Salah? Bu Dhe mau melindungi keluarga sendiri?"
"Bu Dhe pun bisa ngomong gitu karena mau melindungi kamu. Harusnya kamu sadar kalau Bu Dhe masih sayang sama kamu. Tapi kamu malah bentak Bu Dhe," tambahnya lagi menimpali.
"Mana buktinya kalau omongan Bu Dhe benar?" Jefri membalikkan omongan wanita paruh baya itu. Jelas di wajah Jefri, saat ini ia tak bisa menahan amarahnya karena terlalu banyak dipancing oleh Bu Dhe.
Bu Dhe tak ingin semua orang tak percaya dengannya. Tangannya lantas mengeluarkan sebuah foto yang ia simpan dalam tasnya. Foto itu ternyata foto Ayana dan Rafi sewaktu Ayana masih menginjak bangku kuliah. Mereka berdua tampak makan di kedai mie ayam samping kampus. Saat Ayana telah berstatus sebagai istri Jefri. Namun Ayana tak ada niatan sedikitpun untuk bermain api di belakang Jefri sewaktu itu. Bu Dhe hanya melebih-lebihkan saja.
Entah foto itu didapat dari mana, Jefri sendiri heran dengan apa yang dilakukan Bu Dhe-nya. Perempuan itu tak pernah kehabisan ide untuk menjelek-jelekkan istrinya. Sampai foto Rafi pun dibuat bahan untuk selalu membuat Ayana yang salah.
Sangat miris.
"Bu Dhe dapat foto itu udah lama. Waktu Bu Dhe ke Jakarta. Awal mula kamu menikah. Tapi Bu Dhe nggak pernah bilang masalah ini ke siapa-siapa. Wajar kalau Bu Dhe bisa bilang gitu karena Bu Dhe punya bukti sendiri," ucapnya membela diri.
Sorot mata Jefri menajam. Ia tak terima istrinya yang tengah sakit malah dihujani cibiran habis-habisan, "Nggak usah nambah masalah. Itu foto Ayana jaman dulu sama temennya. Jefri sendiri kenal semua temen Ayana. Dia temen satu jurusan. Jurusan Ayana Agroteknologi, wajar kalau dia sama temen laki-laki atau perempuannya. Tugas kuliahnya banyak kerja di lahan. Dan wajar selesai dia praktikum dia sama temen-temennya istirahat makan. Apa yang salah?"
"Kamu itu terlalu bodoh sampai nggak bisa bedakan mana niatan baik dan buruk. Bisa saja istri kamu punya niatan yang buruk tapi kamu nggak pernah tau. Aib mana bisa dikasih tau ke orang lain sih? Ya pasti dipendem sendiri lah," sahut Bu Dhe masih bersikukuh dengan pendapatnya.
Bu Dhe menghela napas panjangnya, "Sekarang mana bukti kamu? Kalau Bu Dhe bilang yang aneh-aneh tentang istri kamu? Bu Dhe pun sendiri ngomong juga ada buktinya," tambahnya mendesak Jefri.
"Beritahu ke Abi, Jef? Biar nggak ada kesalahpahaman lagi," Abi berusaha membantu Jefri agar Jefri tak disalahkan lagi.
Jefri mengusap wajahnya kasar. Ia memijit kepalanya yang terus berdenyut saat berdebat dengan perempuan paruh baya itu, "Jefri memang nggak punya bukti kuat untuk ngomong disini, Bi! Nggak punya bukti vidio ataupun foto, tapi Jefri udah melakukan apa yang harusnya Jefri lakukan. Ayana nggak punya salah sama keluarga ini. Kenapa dia harus dapat gunjingan dan direndahkan seperti itu?" ucap Jefri frustasi.
"Seperti itu apa? Bu Dhe nggak pernah gunjing istri kamu—"
Kalimat Bu Dhe seketika dipotong oleh Umi yang berjalan mendekat ke arah keluarga besar. Seluruh pasang mata menyorot ke Umi. Bahkan Jefri sendiri tak menyangka Umi ada disini. Jefri kira Umi ada di rumah sakit untuk menjaga Ayana atau bahkan Jefri mengira Umi membantu asisten rumah tangganya untuk menjaga kedua anaknya.
"Jefri memang nggak punya bukti, Bi! Tapi Umi punya bukti. Umi ada vidionya. Kebetulan vidio itu Umi ambil waktu Umi juga denger apa yang Mbak Arimbi katakan di depan kamar Ayana," seru Umi seraya tangannya mengulurkan ponsel yang menampilkan sebuah vidio Bu Dhe dan Rania yang tengah berbincang di depan kamar Ayana. Tampak keras dan jelas suara dua perempuan itu.
Umi mendapatkan vidio itu dari ia mendengar langsung percakapan Bu Dhe. Untung saja saat ia selesai mengantar dua cucunya dari kamar mandi, ia mendapati Bu Dhe yang telah menggunjing Ayana. Dan sontak ia langsung merekamnya karena tak tahan dengan apa yang Bu Dhe bicarakan.
"Ayana nggak bersalah. Ayana bahkan tulus mencintai Jefri. Harusnya kita yang berterima kasih sama dia. Dia udah bisa ngubah Jefri jadi lebih baik. Yang diomongkan di vidio itu sama sekali bertolak belakang sama sifat Ayana. Kenapa harus Ayana yang disalahkan kalau dia lahir dari keluarga yang dibenci orang lain? Yang salah bukan Ayana. Harusnya kita nggak menghakimi Ayana," tuturnya menjelaskan ke seluruh keluarga besar.
"Toh, dulu Umi juga menerima ajakan perjodohan Ratih karena Umi tahu betul sikap baiknya Ratih yang sekarang diturunkan ke Ayana. Mbak Arimbi nggak pernah puas dengan apa yang Rizka lakukan dari dulu. Mbak Arimbi selalu mengungkit-ungkit apa yang Rizka titipkan. Selalu menganggap bahwa Jefri harus nurut ke Mbak, padahal dia udah cukup dewasa untuk memutuskan," lanjutnya lagi.
Umi menatap Abi cukup dalam karena memang Umi pernah merasakan apa yang Ayana rasakan. Dari awal ia menikah dengan Abi, Bu Dhe Arimbi lah yang menentang pertama kali. Menganggap bahwa Umi juga tak pantas bersanding dengan Abi, "Coba Bi ingat-ingat dulu, waktu awal pertama kali Umi minta Ayana untuk bertamu ke rumah, padahal Ayana belum kenal sama Umi. Buktinya, Ayana sama sekali nggak mengira Umi orang jahat. Dia tetep datang ke rumah ini dan bertamu baik-baik,"
"Ingat-ingat lagi Bi, waktu Jefri dulu hampir bercerai sama Ayana. Ayana kasih kesempatan ke Jefri. Padahal dia udah dikecewakan anak kita. Karena saking sayangnya ke Mamanya, dia tetep milih kasih kesempatan itu ke Jefri dan mulai rumah tangganya dari awal. Dia rela mengesampingkan kecewanya demi kebahagiaan Mamanya," tuturnya lagi pada Abi.
"Rasanya nggak adil Bi, keluarga besar menghakimi Ayana padahal Ayana nggak salah. Sekarang tau kan, Bi? Siapa yang berhak disalahkan dan siapa yang berhak dibela? Karena Mbak Arimbi dari awal kita menikah pun dia nggak pernah puas dengan anggota baru yang masuk di keluarga Al-Haqq. Sampai Jefri menikah pun sama aja kan? Dia cuma mau berpihak sama orang yang menurut dia baik," Umi berusaha meluapkan apa yang ia rasakan selama ini. Ia lelah harus menutupi keluhnya setiap hari ketika bertemu keluarga besar.
Dreett ... Drett ... Drett ...
Taufiq, Kakak tertua dari Abi yang tampak khidmat menyimak pembicaraan itu lantas merogoh ponselnya yang berdering. Seluruh pasang mata ikut mengarah memperhatikan Taufiq.
"Hallo?" serunya saat tangannya telah menempelkan ponsel itu di dekat telinga.
"Kami dari kepolisian, apa benar ini keluarga Farhan Aditama?" Pertanyaan ini dilontarkan seseorang yang ada dalam sambungan telepon yang membuat Taufiq mengerutkan dahinya.
"Iya, saya Pak Dhe-nya. Ada apa? Farhan Aditama kenapa?" tanyanya mengulangi saat polisi itu belum menjawab pertanyaannya.
Bu Dhe spontan mengambil ponsel itu dari tangan Kakaknya karena merasa Sang Anak yang dibicarakan. Ia menajamkan pendengarannya untuk menyimak apa yang dikatakan seseorang itu dalam sambungan telepon.
"Farhan Aditama saat ini ada di Polresta Malang Kota. Farhan diduga terlibat penjualan obat terlarang dan pembunuhan gadis dibawah umur," jawab seorang polisi itu saat memberi keterangan jawaban.
"APA? Bapak jangan sembarangan kasih kabar, Farhan nggak pernah aneh-aneh. Anak saya bukan pembunuh. Anak saya tidak pernah terlibat penjualan obat terlarang. Bapak kalau mau buat laporan dipikir dulu. Jangan asal ngomong!" teriak Bu Dhe tak percaya. Begitupun juga dengan seluruh pasang mata yang mendengar kabar itu.
Jefri sendiri tak kaget karena ia tak ikut menyimak jeritan Bu Dhe. Yang ada dipikirannya saat ini adalah ia ingin cepat-cepat keluar dari sini dan menjenguk Ayana yang tengah terbaring di rumah sakit. Tak penting mengurus sepupunya yang akan membusuk di penjara.
"Untuk kepentingan lebih lanjut, mohon datang ke Polresta Malang Kota," jawab polisi itu dalam sambungan telepon.
Bu Dhe memutuskan sambungan telepon itu dengan sepihak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dalam benaknya, anaknya tak pernah melakukan hal sekeji itu. Anaknya lulusan universitas ternama dan tak mungkin ia melakukan hal itu. Fakta yang tertata seketika membuyarkan harapan Bu Dhe. Lalu sekarang ia harus membebaskan anaknya dengan cara apa? Kalau anaknya mendapatkan pasal berlapis atas perbuatannya?
"Nggak mungkin, nggak mungkin anakku terlibat perbuatan keji itu. Nggak mungkin. Adi, tolong keponakan kamu. Bilang ke polisi kalau Farhan nggak bersalah," perintahnya pada Abi yang masih tak disahut Abi.
"Taufiq, Keponakanmu butuh bantuan. Tolongin Mbak," ucap Bu Dhe frustasi memikirkan bagaimana caranya mengeluarkan anaknya dari bui. Namun Taufiq pun masih bergeming dan tak menjawab perintah Bu Dhe.
Dreett ... Dreettt ... Dreettt ....
Saat ini giliran ponsel Jefri yang berdering di sela-sela teriakan Bu Dhe yang frustasi dengan anaknya. Ia mengambil ponsel itu dalam saku kemejanya. Tangannya tanpa aba-aba membuka layar ponselnya dan mengangkat sambungan telepon yang masuk dalam ponselnya.
"Jefri, ini Tante Ratna. Nak, Tante minta tolong, kamu cepet ke rumah sakit sekarang! Dokter bilang Ayana—"
Jefri dengan cepat memotong kalimat Tante Ratna yang akan mengabari keadaan Ayana. Belum sempat Tante Ratna melanjutkan kalimatnya. Nadinya berdenyut cepat seiring dengan detak jantungnya yang berpacu tak normal, "Ayana kenapa?"
Jefri tak tenang jika ia tak memastikan sendiri keadaan istrinya. Ia langsung mematikan sambungan telepon itu. Kakinya beranjak untuk berdiri dan tak mempedulikan semua orang yang saat ini menatapnya.
"Jef, mau kemana?" tanya Umi yang juga ikut panik saat Jefri menerima telepon.
"Mau ke rumah sakit," jawab Jefri seraya kakinya beranjak untuk berlari cepat meninggalkan semua keluarganya yang masih disana.
"Ayana, kamu kenapa lagi? Aku minta maaf masih belum bisa membereskan nama kamu yang tercemar di keluarga besar. Jangan kenapa-napa. Aku belum siap," gumam Jefri dalam hati di tengah-tengah ia berlari menuju mobilnya.
Bersambung ....
Besok ending wkwkwk eh enggak ding tanggal 25 ending, 27 epilog. Episode terakhir pantengin terus Ayana kenapa wwkwk. Apa Jefri diterima keluarganya tapi Ayana diterima Tuhan di sisinya? Wkwk kita pun tak tahu wkwk. Makanya pantengin ya? Apa yang terjadi besok? Jefri bahagia dengan caranya sendiri. Dan Ayana nggak akan mendapatkan gunjingan lagi karena ia sudah jauh atau sudah sembuh? wkwk.
Komen yang banyak biar aku semangat tepat waktu tanggal 25 jam 18.00
Aku selalu taruh pengumuman di wall dan di IG sehari sebelum update. Kadang jam molor pun kita tak tahu wkwk
Jadi pantengin IG dan wall ku. Kalau belum follow silahkan follow ☺️☺️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top