BAGIAN 4 - UMI DAN PERJODOHANNYA

Seperti hari-hari biasanya, sore ini Ayana datang ke Macarolove. Macarolove itu adalah sebuah kafe kecil yang Umi dirikan dua tahun yang lalu dengan bantuan Ayana dan Jefri. Umi meminta bantuan Ayana untuk mengatur kafenya. Dan sampai detik ini, Macarolove banyak digandrungi anak-anak muda.

Kafe kecil nan apik. Dengan aksen meja bar kayu yang kokoh, dan hiasan tanaman yang mengelilingi kafe. Membuat para pengunjung betah lama-lama disini. Jangan lupakan aksen puluhan buku yang terjejer di rak, yang sengaja Umi sediakan untuk para pengunjungnya, jikalau mereka ingin membaca buku gratis.

Hiasan Tulip yang dikelilingi Aster Amellus berdiri tegap disudut kafe, membuat seseorang yang melihatnya tertampar akan keindahan bunga itu. Padahal hanya bunga hiasan, bukan asli, namun menjadi ikon tersendiri di kafe Macarolove, "Lemon essense, almond bubuk, margarin, sama shortening putih persediaannya habis ya, Ay?" rentetan daftar bahan memang Umi yang menyiapkan. Barulah, eksekusi bahan dipegang oleh chef dan beberapa pegawai kafe.

"Iya, udah Ayana buat daftar belanjaannya, Mi!"

"Cabang satu sama dua juga udah. Nanti yang beli bahan, kamu atau minta tolong sama salah satu pegawai?" tanya Umi seraya tangannya mengecek daftar bahan yang ada di catatannya.

"Ayana aja, Mi!"

Umi mengulum senyum. Mencentang beberapa bahan yang ia tulis, "Oke, nanti kalau kesulitan atau bingung bahan mana aja yang dibeli, kamu tanya Umi aja ya?"

"Iya, Mi!" Ayana yang tengah duduk di depan Umi juga tengah mengecek beberapa catatan keuangan dalam buku kecilnya.

"Gimana Jefri selama tiga tahun ini, Ay?" pertanyaan Umi sukses membuat dahi Ayana berkerut.

Ayana menajamkan pendengarannya sekali lagi untuk mendengar jawaban dari Umi. Kenapa tiba-tiba Umi menanyakan tentang anak tampannya itu? Padahal biasanya, ketika ia bertemu dengan ibu mertuanya, yang dibahas hanya masalah keperluan kafe. Bukan tentang anaknya, "Maksudnya, Mi?" tanya Ayana lagi yang tak mengerti pentanyaan dari Umi.

Umi terkekeh pelan. Untung saja di kafe belum rame pengunjung. Jadinya, lebih punya waktu lama untuk mengobrol dengan menantunya, "Langgeng terus, kan? Sama kamu?"

Ayana menarik sudut bibirnya. Tipis. Ia mengulum senyum tipis ke arah mertuanya itu, "Iya," jawabnya mengangguk.

Spontan Umi ikut terkekeh lagi. Memperhatikan gigi ratanya. Ibu yang satu ini memang moodboster dalam keluarga. Setiap kali seseorang memperhatikan tawanya, ia akan ikut tertawa juga, "Umi kalo lihat kalian jadi ingat waktu muda dulu," ucapnya de javu.

Ayana tampak sedikit mendongakkan kepalanya menatap Umi untuk mendengarkan ceritanya, "Dulu Umi juga dijodohkan sama kayak kalian. Tapi bedanya Umi dijodohkan waktu umur enam belas tahun. Waktu SMA belum lulus, Umi udah dijodohkan. Jelas nolak banget lah, waktu denger perjodohan dulu. Umi aja nggak tau Abinya Jefri kayak gimana dulu. Tau tau sama orang tua Umi, udah dijodohkan,"

Jadi, Umi juga pernah terperangkap dalam pernikahan perjodohan? Batinnya. Matanya menatap Umi dengan tatapan penasaran. Ingin mendengar lebih lanjut cerita yang dipaparkan Umi.

"Satu tahun orang tua Umi meyakinkan untuk menerima perjodohan. Ya namanya jaman dulu, Ay? Umi juga baru putus sama pacar. Masa iya langsung dijodohin aja, ya nolak lah Ay. Belum tau orangnya juga,"

Oh, ternyata hampir sama. Batin Ayana lagi. Ayana hampir berniat untuk mengunci mulutnya, dan hanya mendengar paparan cerita masa lalu Umi. Sepertinya menarik untuk didengarkan. Karena ceritanya mungkin saja bisa hampir sama dengan cerita perjodohannya dulu.

Umi tersenyum sekilas sebelum melanjutkan ceritanya, "Umur tujuh belas, Umi lulus sekolah waktu itu. Umur Umi lebih muda satu setengah tahun sama temen Umi waktu sekolah. Setelah kelulusan, Umi ketemuan sama Abi. Ketemuannya nggak kayak jaman sekarang. Dulu ketemuannya sama aja kayak lamaran awal. Jadi didampingi orang tua buat bahas perjodohan,"

"Waktu tau kalo Abinya Jefri ganteng. Ya udah lah sikat aja dulu. Urusan cinta pikir belakangan. Umi itu, orangnya mudah jatuh cinta. Jadi kalo klik di mata, klik di hatinya cepet nyusul. Dulu waktu muda pas jaman pacaran, kalo ada yang baperin, semenit kemudian Umi langsung mikir besok pesen WO dimana?" kekehan itu meledak di bibir Umi saat menceritakan pengalaman de javu nya dulu. Sampai Ayana yang ada di hadapannya juga ikut tertawa kecil.

"Umi bisa aja," sahut Ayana saat tau cerita masa muda Umi.

"Wajar, dulu sering gonta-ganti pacar semasa remaja Ay! Kalo bosen ya langsung putus. Untung sama Abinya Jefri, nggak bosen. Soalnya ditawarin surga dunia terus," kekehan demi kekehan menggelitik perut Umi. Membuat Ayana semakin penasaran dengan ceritanya.

"Umi waktu remaja emang banyak mantan, Ay! Kalo Abi tipe yang nggak pacaran. Sekalinya nikah, langsung menomorsatukan istri," tambahnya memuji suaminya itu. Ayana hanya mengangguk-anggukan kepalanya, mengisyaratkan bahwa ia mengerti apa yang dibicarakan.

"Tapi Abi tuh tipe yang jarang romantis. Nggak kayak mantan-mantan Umi yang suka gombal. Dia bisa dihitung jari gombalannya. Tapi sekali gombal, kaki Umi nggak nginjek tanah," kekehan ringan itu diiringi suara gerimis di luar kafe. Yang membuat Ayana spontan mengalihkan pandangan ke arah jendela.

Sorot mata Ayana beralih menatap Umi lagi sembari dahinya berkerut, "Nggak nginjek tanah gimana, Mi?"

"Ya terbang lah Ay," sahut Umi dengan kekehan geli.

"Tapi waktu itu Umi menerima perjodohan itu dengan syarat,"

"Hm? Syarat?"

Umi mengangguk cepat. Bibirnya tertarik mencetak senyum simpul dan menatap lekat menantunya itu, "Iya, syarat. Umi dari dulu kan suka banget sama masak-masak. Pernah waktu itu Umi pengen banget kuliah tata boga atau kuliah jurusan ITP. Tapi karena dijodohin, akhirnya Umi memutuskan untuk nggak kuliah dulu. Jadi Umi mau dijodohin dengan syarat meskipun Umi menikah, tapi kuliah tata boga Umi harus tetap diizinkan. Dan Abinya Jefri langsung menyetujui permintaan Umi,"

"Kok Abi mudah banget buat jatuh cinta ke Umi? Padahal latar belakangnya sama. Pernikahan atas dasar perjodohan itu enggak semudah yang ada di novel-novel," kali ini Ayana yang memberanikan diri untuk membuka suara, mencoba menanyakan hal yang mengganjal dalam hatinya. Karena pada dasarnya, perasaannya dengan Jefri saja baru saja bisa selaras dua tahun lamanya. Itu pun harus menyongsong drama yang tidak ingin ia kulik kembali sebenarnya.

"Masalah pernikahan itu pasti ada Ay! Umi juga sering ada di posisi itu. Tapi Abi itu kharakternya lembut, kadang humoris. Tapi lebih banyak bijaknya. Dia itu dewasa banget. Nggak pilih-pilih masalah jodoh, nggak kayak anaknya, pilih-pilih nggak dapat-dapat, giliran dipilihin nggak sesuai selera," paparnya menyindir Jefri yang tidak ada di tempat.

"Jadi Abi kalo dijodohin orang tuanya dia mau-mau aja. Katanya restu itu nomor satu daripada cinta. Kalo orang tuanya setuju, ya dia nggak mau pikir panjang buat egois. Orang tua mana sih yang nggak mau kalo anaknya dapat yang terbaik? Pasti orang tua jodohin anaknya juga udah dipertimbangkan awalnya," jelasnya lagi.

Ayana hanya mengangguk mengerti. Umi ikut mengulum senyum saat menatap Ayana yang hanya manggut-manggut menikmati ceritanya, "Bulan pertama pernikahan aja Abi nggak canggung sama Umi, Ay! Selalu menomorsatukan Umi dalam segala hal. Katanya, kalo dia menomorsatukan Umi. Rejekinya bakal lancar. Urusan cinta bisa dibiasakan,"

Ternyata Jefri dan Abinya berbanding terbalik. Baru saja mendengar cerita Umi, rasanya Ayana ingin menjitak kepala suaminya yang tidak bisa semanis Abinya waktu awal pernikahan. Dan malah awal pernikahan membuatnya naik darah. Untungnya, kesalahan itu Jefri tebus beberapa tahun belakangan ini.

"Siapa sih Ay, perempuan yang nggak luluh kalo punya laki macem begitu," ujar Umi lagi dengan memasang senyum tersipu mengingat-ingat perlakuan Abi terhadapnya.

"Makanya Jefri jadinya juga cepet. Nggak lama, Umi udah hamil Jefri aja. Umi melahirkan Jefri diusia delapan belas tahun akhir, pokoknya hampir mendekati sembilan belas tahunan. Makanya, umur Umi sama Jefri nggak terlalu jauh. Umi masih jiwa muda, Jefri malah kayak suami Umi kalo jalan bareng sekarang," timpalnya lagi.

"Waktu Jefri masih umur satu tahun, Umi pontang-panting buat kuliah tata boga, Umi minta bantuan pengasuh sementara untuk jaga Jefri. Abinya Jefri juga belum bisa maksimal jaga Jefri karena ada panggilan mengurus pesantren yang ada di Malang. Sempet LDR selama 3 tahun, sampai Umi lulus kuliah. Baru deh, Umi menetap di Malang. Bareng Abi disana. Tapi ya kadang-kadang, balik ke Jakarta," tuturnya panjang lebar menceritakan awal pertama kali Umi ketemu sama Abi yang membuat Ayana ikut kagum dengan ceritanya.

"Oh iya, Umi mau tanya, awal kalian ketemu katanya kamu naksir Jefri ya pas kegiatan KKN?"

Pertanyaan itu sontak membuat Ayana melebarkan matanya, "Apa, Mi?" Ia sedikit menajamkan telinganya mendengar penjelasan dari Umi yang baru saja mengatakan kalimat itu.

"Kata Jefri, dulu waktu kalian pertama kali ketemu di KKN, yang naksir dia duluan kamu. Katanya karena dia pemateri sosialisasi yang ganteng. Jadi udah biasa ditaksir mahasiswi-mahasiswi KKN. Termasuk kamu," jelasnya ke arah Ayana.

Ayana menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dengan yang baru saja Umi katakan. Matanya mengerjap-kerjap beberapa kali. Dan ingin menanyakan lagi apa maksud dari pertanyaannya itu, "Gimana .... Gimana, Mi?"

Umi terkekeh geli saat melihat raut wajah Ayana yang sudah bersungut-sunggut bak ingin menerkam mangsa yang baru saja lewat di areanya, "Ayana nggak pernah bilang naksir dia waktu KKN. Dia aja yang GR-nya gede banget. Enak aja," belanya.

"Loh, katanya udah biasa dia ditaksir sama mahasiswi-mahasiswi waktu ngisi sosialisasi atau seminar. Termasuk di kegiatan KKN kamu. Mahasiswi-mahasiswi disana banyak yang naksir terang-terangan. Sampai dia di DM banyak mahasiswi. Tapi katanya yang naksir berat itu mahasiswi fakultas pertanian yang namanya mirip anaknya Bambang Pamungkas. Kamu kan Ay itu yang dimaksud sama Jefri? Soalnya kamu sering cari gara-gara sama dia katanya," Umi menjelaskan apa yang dikatakan Jefri tempo hari saat Jefri mengisi acara KKN.

Kan apa gue bilang! GR-nya mendarah daging dari dulu ternyata. Sampai gue jadi sasaran objek cerita emaknya, batinnya ingin menjitak kepala suaminya saat ini. Sayangnya suaminya sedang tidak ada di kafe.

"Kamu juga sering DM dia dulu Ay? Kayak cewek-cewek yang lain?" tanya Umi tiba-tiba ke arah Ayana yang membuat Ayana tersedak saat meneguk air dalam gelasnya.

Tangan Ayana mengambil tisu dan mengusapnya pelan ke pipinya yang terkena cipratan air, "Mi, nggak bener itu. Kapan bilangnya?" tangan Ayana mengepal tak tahan ingin menjambak kepala suaminya. Benar sih! Ini kejadian yang lampau, tapi membuat Ayana merasa dipermalukan karena Jefri bilang ke Umi yang tidak-tidak.

"Udah lama bilangnya. Waktu Jefri ngisi sosialisasi di KKN kamu kalo nggak salah. Umi kan sering telfonan sama dia dulu waktu dia ke luar kota. Terus dia cerita gitu. Cuma Umi baru ingat dan baru sempat cerita sekarang. Karena kalo mau ngobrol gini kan harus punya waktu banyak Ay! Kamu sendiri kalo nginep di rumah Umi cuma bentar. Jadi nggak sempat cerita, nggak taunya yang diomongin ternyata orang yang Umi jodohkan dengan dia," kekehan Umi meledak lagi, sedangkan raut wajah Ayana menahan malu karena ulah suaminya.

"Jefri itu dulu sempat—" kalimat Umi terpotong saat laki-laki bertubuh tegap berjalan ke arah mereka. Dengan rambut yang basah karena terguyur hujan, dan kemeja yang sedikit basah membuat kotak-kotak di perutnya tercetak bebas disana.

Ayana menoleh ke arah laki-laki yang tengah berjalan ke arahnya saat Umi sudah lebih dulu menatap laki-laki itu dengan tersenyum sembari cekikikan, yang membuatnya ikut menoleh juga. Ternyata laki-laki itu suaminya, "Sempat .... ganteng pada waktunya," lanjut Jefri melengkapi kalimat Uminya.

"Sejak kapan kamu disini, Jef?" tanya Umi seraya terkekeh, tak berniat melanjutkan kalimatnya yang menggantung tadi karena sudah dilanjutkan anaknya itu. Padahal kalimat yang baru saja Jefri katakan tidak masuk akal sama sekali.

"Kebiasaan ngomongin orang nggak baik, Mi!"

"Iya kalo ngomongin orang nggak baik. Tapi kalo ngomongin kamu kan nggak papa. Udah biasa!" sahut Umi enteng yang diiringi tawa ringannya. Dan Jefri hanya bisa menghela napas seraya memutar bola matanya.

Ayana masih menatap Jefri dalam. Seraya sesekali melirik Umi sekilas. Pikirannya mulai berkecamuk lagi karena kalimat yang menggantung tadi. Tau sendiri, Ayana paling tidak suka dengan rasa penasaran. Tapi malah dibuat penasaran seperti ini. Hal kecil yang membuat Ayana memutar otaknya untuk menebak-nebak.

Jefri itu dulu sempat? Sempat apa? Lagi- lagi pertanyaan ini yang berkecamuk.

To be continue....

Maapin updatenya siang bolong awowkowkw ini gantinya hari senin kemarin. Selamat membaca see you next chapter.

Kalau suka vote komen jangan lupa yak? Pantengin keluarga badak disini. Seperti biasa, kasih tau kalimat yang rancu dan typonya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top