BAGIAN 39 - BABY BLUES?
Jefri menatap Ayana dengan tatapan samar. Laki-laki itu sedari tadi belum mengisi perutnya yang kosong. Di rumah sakit tak ada yang menjaga Ayana. Hanya dia yang selalu siap siaga di samping Ayana. Umi sendiri sibuk mengurus cucunya untuk diajak pulang lagi meskipun dua anak mungil itu sempat menolak keras saat diajak pulang. Mereka belum sangat mengerti permasalahan orang dewasa yang terlalu rumit.
Abi, Abi tak ada di Jakarta. Ia tengah sibuk dengan urusan pekerjaannya yang ada di Malang. Dan baru ke Jakarta malam ini. Keluarga Ayana? Satu-satunya keluarga Ayana adalah Tante Ratna, adik dari Mama Ayana. Namun saat ini dia tak ada di Jakarta. Tante Ratna beberapa tahun lalu memutuskan untuk ikut suaminya ke luar negeri. Dan menetap disana. Yang Ayana harapkan saat ini hanyalah Jefri yang bisa menemaninya. Untung saja pekerjaan Jefri tak begitu padat. Ia bisa menjaga Ayana sampai Sang Istri itu sembuh total.
Malam ini terlihat seorang Psikiater tengah memeriksa kondisi Ayana. Jefri sengaja memanggil Psikiater kenalannya untuk memeriksa Sang Istri. Psikiater itu juga yang telah membantu menyembuhkan Ayana dari traumanya. Meskipun sembuh dari trauma itu teramat sulit. Tapi Psikiater itu berhasil sedikit demi sedikit membantu Ayana melawan traumanya terhadap masa lalu buruk yang menghantui, dulu hingga sekarang.
"Gejalanya mengarah ke Baby Blues tingkat lanjutan. Kemungkinan buruk bisa tingkat berat dan kemungkinan baiknya bisa sembuh total. Sudah saya kasih obat anti-depresan sesuai dosis yang ditentukan. Diminumkan secara rutin ya?" perintahnya pada Jefri saat ia selesai memeriksa Ayana dan menaruh sebuah obat di atas nakas samping ranjang Ayana.
Bibir perempuan itu tersenyum simpul ke arah Jefri dan sesekali melirik Ayana yang tengah tertidur pulas dengan bibir tipis yang kian memucat, "Mengenai mental health, semua orang bisa saja ada di lingkaran ini. Termasuk Bu Ayana. Bu Ayana bisa saja sembuh total dalam waktu singkat, asalkan ada dukungan keluarga yang men-support dia. Pengaruh obat untuk melawan penyakit itu hanya bekerja 30%, selebihnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat."
Jefri tersenyum getir saat mendengar penjelasan dari perempuan yang ada di sampingnya. Ia menatap dalam netra Ayana yang tengah terpejam. Dan mengusap pipi istrinya itu dengan usapan lembut. Gara-gara salah satu anggota keluarganya, Sang Istri menjadi korban kebiadaban mulut iblis itu. Lalu sekarang orang-orang itu dimana saat Ayana dalam kondisi seperti ini? Nyatanya tak ada yang peduli sama sekali.
"Ibaratnya sama seperti Dokter Jefri, Dokter pasti punya pasien stroke yang sudah putus asa dengan hidupnya karena tubuhnya tak bekerja seperti orang pada umumnya kan? Tapi Bapak selalu bilang ke mereka, obat yang dikonsumsi mereka cuma bekerja 20%, 20% makanan yang mereka konsumsi, dan selebihnya adalah dukungan dari keluarga itu sendiri," tutur perempuan itu lagi yang dijawab Jefri dengan anggukan mengerti.
Perempuan itu beralih melirik Ayana. Netranya masih terpaku disana sebelum ia mengalihkan pandangannya lagi ke arah Jefri, "Sama seperti Bu Ayana sekarang. Yang jadi acuan untuk hidupnya sekarang adalah Dokter Jefri. Seseorang yang memiliki trauma itu lebih sering mengingat kejadian buruknya. Karena kejadian baik yang ada dalam hidupnya kadarnya hanya sedikit dibanding kejadian buruk yang kadarnya lebih banyak,"
Hening. Jefri mengunci mulutnya beberapa detik saat menyimak tuturan dari perempuan itu. Ia sangat paham, jika Ayana memang mempunyai luka batin yang cukup banyak. Istrinya itu sedari kecil sangat menderita berkubang dengan hidupnya yang miris akan kasih sayang. Sampai-sampai, mencintai Oppa-oppa Korea adalah pelarian sementara untuk mencari kebahagiaan. Ketika orang-orang terdekatnya tak pernah ada untuknya sewaktu ia remaja sampai ia menikah.
"Orang-orang yang mengalami trauma di masa lalu, menganggap bahwa tak ada hal istimewa dalam hidupnya. Mereka mengira, mereka tak pantas untuk hidup dan dicintai," jelas perempuan itu lagi ke arah Jefri.
"Bu Ayana bisa sembuh dengan cepat dan pulih kembali kalau orang-orang terdekatnya men-support dia. Kembalikan kenangan baik setiap hari biar kenangan buruk yang mengendap di hatinya itu perlahan hilang. Mungkin akan sulit dan lama. Tapi jangka waktu itu tergantung pasien masing-masing. Seberapa sering dia berusaha menutup luka lamanya, maka dia akan cepat pulih. Saya mohon untuk masa pemulihan itu sendiri, jangan ceritakan satu pun kabar buruk di telinganya. Karena itu akan menganggu masa pemulihan," Penjelasan panjang itu menyeruak dari bibir perempuan itu ke arah jefri.
Jefri menatap dalam bibir Ayana yang kian memucat. Bibirnya kembali tertarik tipis ke arah Psikiater itu. Sampai kapan ia harus melewati ujian pernikahan ini bersama Ayana? Sedangkan satu hari saja, Jefri merasa tak kuat menahan hantaman keras ujian itu. Ia tak sanggup berlama-lama melihat Sang Istri terbaring di atas ranjang rumah sakit.
"Terus berapa lama Pospartum Depression terjadi pada istri saya?" tanya Jefri menatap Psikiater itu dengan tatapan penuh harap. Jefri sendiri tak ingin ada cuitan jawaban yang mengejutkan dirinya. Ia hanya ingin menerima kabar baik untuk kesembuhan Ayana.
"Baby Blues umumnya 14 hari, tapi untuk tingkat lanjutan seperti gejala yang dialami Bu Ayana, umumnya satu sampai tiga bulan. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa lebih cepat pemulihannya dan bisa juga lebih lama. Tergantung kondisi masing-masing pasien," jawab Psikiater itu.
Harapan Jefri seakan patah saat mendengar penjelasan dari Psikiater itu. Ia sangat ingin berharap lebih, keajaiban itu datang secepatnya untuk kesembuhan istrinya. Sang Istri masih dalam tahap pemulihan luka pasca operasi, rasanya tak adil jika ia menerima gangguan psikis yang menyerang tubuhnya. Bagaimana ia harus menjelaskan ke kedua anaknya, kalau Sang Ibu belum pulih sepenuhnya?
"Jangan biarkan Bu Ayana melakukan pekerjaan yang berat-berat dulu. Fokus ke penyembuhannya. Dan selalu minum obatnya rutin. Ceritakan hal-hal baik dan selalu beri dia cerita baik mengenai anak anda agar ikatan Ibu dan anak bisa berjalan dengan baik. Nggak perlu khawatir, saya akan menemani Bu Ayana untuk terapi sampai dia sembuh," Psikiater itu berusaha memberi Jefri jawaban yang terbaik. Meskipun ada kemungkinan buruk dari sebuah penyakit yang diderita istrinya, tapi perempuan itu tak ingin Jefri semakin khawatir dengan kondisi Ayana.
"Bu Ayana tadi teriak karena mungkin masih syok. Ada kabar buruk yang ia dengar yang membuatnya ketakutan dan cemas. Dilatih pelan-pelan, semoga tidak sampai terjadi kemungkinan buruk itu. Masalah psikologis ini nggak bisa dibiarkan begitu saja Pak, dukungan keluarga disini sangat berperan penting untuk kesembuhan Bu Ayana," tambahnya lagi memberitahu Jefri.
Tangan Jefri reflek mengepal keras saat mendengar kalimat dari Psikiater itu. Jefri tak akan tinggal diam memberi pelajaran sendiri pada orang-orang yang menyakiti Ayana. Tak peduli akan dibenci satu keluarga. Tekadnya sudah sangat bulat. Ia akan mengungkap apa yang ia dengar beberapa jam yang lalu pada keluarga besarnya esok saat ketemu Abi. Meskipun ia tak punya bukti kuat, Abi harus tau mengenai ini. Dan seluruh keluarga besarnya pun juga harus tahu.
Bibir Perempuan yang berdiri di samping Jefri itu mengembang lagi. Tangannya ikut menepuk-nepuk tangan Ayana pelan sebagai isyarat menguatkan Ayana yang tengah terbaring lemah di atas ranjang, "Hari ini, Bapak fokus ajak ngobrol Bu Ayana di sela-sela usai istirahatnya. Terus sampaikan secara perlahan mengenai bayinya. Saya yakin, kalau setiap hari dia mendapatkan kabar baik dan obatnya diminum teratur. Bu Ayana akan pulih sepenuhnya," tuturnya lagi pada Jefri.
Jefri ikut mengangguk. Ia berusaha menarik bibirnya untuk ikut membalas senyum, "Terima kasih, Bu Andini," jawabnya.
"Sama-sama, saya permisi ya? Kalau ada bantuan, jangan sungkan menghubungi saya lagi," titahnya pada Jefri yang dibalas Jefri dengan anggukan pelan.
Usai berbicara panjang lebar dengan Jefri. Perempuan itu lantas pamit dan berjalan meninggalkan ruangan Ayana. Jefri tak bisa mengantarnya sampai dengan rumah sakit. Ia hanya menatap punggung perempuan itu yang tengah berjalan menjauh darinya.
Tak berlangsung lama usai perempuan itu meninggalkan Ayana dan Jefri, seorang perempuan paruh baya seusia Umi masuk ke ruangan Ayana. Hari ini Jefri meminta izin pihak rumah sakit untuk melibatkan Psikiater dan Konselor Laktasi untuk membantu Ayana melewati masa pemulihan. Ia sampai menghubungi beberapa klinik laktasi untuk membantu istrinya.
Dan untung saja Revanda Rahajeng seorang konselor laktasi yang bekerja di salah satu klinik laktasi yang ada di Jakarta, bersedia membantu Ayana untuk mengatasi ASI Ayana yang kurang lancar karena pengaruh psikis Ayana yang terganggu. Sebenarnya Pospartum Depression ini terjadi pada Minggu ke 6 pasca melahirkan. Namun tidak menutup kemungkinan penyakit mental ini terjadi sama seperti Baby Blues pada umumnya. Hanya saja yang membedakan Baby Blues dan Pospartum Depression adalah gejala yang dialaminya.
Penyakit mental yang Ayana alami memiliki pengaruh buruk saat Sang Ibu ingin menyusui buah hati. Penyakit mental ini bisa menurunkan hormon progesteron dan estrogen yang bisa memicu stress yang berlebih. Dan alhasil, tubuh sulit untuk memproduksi ASI.
"Dokter Jefri? Bagaimana? Sudah bicara sama Psikiaternya?" tanya perempuan itu.
Jefri menatap Konselor Laktasi itu dengan tatapan sopan. Sebenarnya netranya terlihat setengah lelah, namun ia tak bisa menampilkan lelahnya itu di hadapan orang lain, "Sudah. Beliau baru saja pamit," jawabnya pelan.
Perempuan itu mengangguk. Sorot matanya menatap Ayana yang masih pulas tertidur. Ayana tertidur seorang diri. Tanpa bayi yang sudah ia lahirkan. Sebenarnya Konselor Laktasi itu tampak kasihan pada Ayana. Tapi ia paham kondisi Ayana saat ini, "Biarkan dia istirahat dulu. Nanti kalau Bu Ayana bangun, coba bantu pijit pundak sama punggungnya pelan-pelan sampai dia merasa nyaman dan rileks," tuturnya.
Jefri hanya membalas kalimat Konselor Laktasi itu dengan anggukan mengerti. Tangannya ikut mengusap pelan pelipis Ayana yang tampak berkeringat sebelum matanya beralih ke Konselor Laktasi lagi, "Nggak papa nggak perlu khawatir. Semoga cepet lancar. Kalau pemulihannya lancar nanti nggak menutup kemungkinan ASI-nya juga ikut lancar keluarnya," ucap perempuan itu.
Perempuan itu ikut berjalan mendekat ke arah sisi ranjang Ayana. Ia ikut menepuk-nepuk pundak Ayana untuk memberi kekuatan pada pasiennya. Sesekali bibirnya tertarik lebar usai ia menghela napasnya, "Sementara ini coba beli alat pompa ASI, bisa elektrik bisa juga yang manual. Tujuan memompa ASI bagi Ibu pasca melahirkan, sedikit demi sedikit biar merangsang produksi ASi biar cepet keluar. Nanti saya coba bantu ajarkan ke Bu Ayana untuk teknik pijit payudara agar ASI-nya bisa lancar," ucapnya pelan menganjurkan ke Jefri.
"Selalu tingkatkan frekuensi kontak antara Ibu dan buah hati biar ASI cepet keluar. Kalau misalkan kondisi Bu Ayana masih belum pulih, nggak papa. Pelan-pelan aja. Dokter Jefri bisa ngobrol-ngobrol santai dulu sama Bu Ayana. Kalau kondisinya sudah lebih baik, tetap jangan biarkan ikatan antara Ibu dan anak terputus karena gejala Baby Blues Syndrome," tambahnya lagi mengakhiri.
"Terima kasih banyak Bu Arum."
Perempuan itu mengangguk lagi. Kelopak matanya ikut berkaca-kaca saat netranya memperhatikan Ayana yang teduh dalam tidurnya. Ada rasa belas kasih saat melihat Jefri sangat telaten menjaga Ayana seorang diri, "Kesembuhan Bu Ayana juga kebahagiaan saya. Kalau begitu saya permisi dulu ya? Besok saya datang kesini lagi untuk menjenguk Bu Ayana dan melihat keadaannya," balasnya pelan.
Saat Konselor Laktasi itu meninggalkan ruangan Ayana lagi. Saat ini hanya tersisa Jefri saja yang menjaga Ayana. Jefri mengambil duduk di samping Ayana yang terbaring lemah di ranjang. Ia mengamati tubuh istrinya yang tak bergerak sedikitpun. Sesekali tangannya mengecek luka jahitan pasca operasi yang Ayana alami. Luka itu sempat berdarah karena Ayana terlalu banyak bergerak beberapa jam usai ia sadar.
Ayana memang tak merasakan tubuhnya kesakitan. Karena ia jauh lebih merasa perih saat psikisnya terganggu. Ayana semakin banyak menangis. Dan untung saja, Psikiater yang Jefri panggil cepat kesini untuk menangani Ayana.
Jefri benar-benar terpuruk menerima takdir ini. Ia bahkan tak leluasa melihat Sang Buah Hati karena terlalu fokus menjaga Ayana. Netra yang tampak lelah itu, terpaksa harus berjaga malam agar Ayana tak kesusahan saat terbangun.
Bibir Jefri mendarat di pipi Ayana dengan lembut. Saat matanya terkunci pada bibir pucat istrinya, hatinya seakan teriris kembali. Jefri seakan dihantam batu besar mengingat Ayana yang beberapa jam lalu berteriak ketakutan dan tampak cemas.
"Aku nggak bisa lihat kamu seperti ini. Aku khawatir tiap hari. Aku nggak bisa tidur nyenyak. Aku mau kamu sembuh, kamu pulih kayak dulu. Aidan sama Aviola tadi nyari kamu. Dia tanya kenapa mereka nggak boleh ketemu Mamanya. Terus Umi terpaksa jawab bohong, karena takut ganggu kondisi kamu. Cepet sembuh! Kasihan mereka nyari kamu terus. Aku bingung jawab apa," ucap Jefri dengan bibir yang bergetar.
Jefri menyeka cairan bening yang hampir menetes di kelopak matanya. Dadanya seakan sesak untuk menghela napas saat ia menatap Ayana lagi, "Aku butuh kamu sembuh. Aku butuh kamu senyum-senyum, ketawa-ketawa bareng anak-anak. Anak-anak juga butuh kamu sembuh. Jangan sakit! Aku nggak bisa tidur nyenyak kalo kamu sakit," bisiknya pelan tepat di telinga Ayana.
"Aku nggak peduli harus keluar dari keluarga besar. Aku nggak butuh pengakuan orang lain mengenai tingginya derajat keluargaku di mata orang-orang. Aku nggak butuh diakui orang lain mengenai prestasi dan disegani orang lain karena lahir di keluarga yang dihormati orang banyak. Aku nggak butuh itu semua," tambahnya lagi dengan buliran bening hampir mati-matian ia tahan.
Tangan Jefri mengusap pelan pipi istrinya. Pun juga tak lupa untuk menata selimut yang dipakai istrinya itu, "Aku cuma butuh kamu sembuh sekarang. Aku butuh kamu pulih. Aku nggak peduli kamu lahir dari keluarga yang dibenci orang lain. Yang tahu ketulusan kamu mencintaiku itu aku, bukan orang lain," bisiknya lagi sebelum kepalanya menempel pada lengan Ayana sembari salah satu tangannya bertaut pada tangan istrinya yang terbalut infus rumah sakit.
Drett ... Dreett ... Drett ....
Jefri sontak mengangkat kepalanya saat ia mendengar ponselnya berdering di atas nakas samping ranjang rumah sakit. Ia perlahan mengambil ponsel itu dan mengecek siapa yang tengah mengirim pesan ke dalam ponselnya.
Ternyata ada dua pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Tertera pesan dari Abi dan Umi. Jari-jemarinya lantas membuka pesan dari Umi terlebih dahulu.
From Umi : Jef, Aidan sama Aviola nanyain Ayana lagi. Umi kehabisan alasan harus jawab apa. Ayana gimana? Kondisinya masih sama? Anak kamu dua-duanya belum tidur. Aidan dari tadi nggak mau diajak masuk ke dalam rumah, dia nunggu Ayana pulang di teras rumah terus selama berjam-jam.
Satu pesan itu Jefri baca dengan mengukir senyum getirnya lagi. Ia tak sanggup saat Umi mengirim sebuah foto yang memperlihatkan Aidan tengah duduk berjongkok di salah satu anak tangga yang ada di teras rumah dengan tatapan kosong. Umi mengatakan bahwa anaknya itu tengah menunggu Ayana pulang dan tak mau diajak masuk ke rumah. Sedangkan Aviola tengah menunggu Ayana di dalam rumah dengan tatapan tak kalah sedih.
Dua anak mungil itu seakan tahu ikatan batin Ibunya yang sedang tidak baik-baik saja. Mereka mampu merasakan pahitnya ujian yang Ayana lalui di rumah sakit. Sampai-sampai mereka tak diizinkan untuk menjenguk Ibunya dan malah dituntun untuk pulang ke rumah lagi.
Jefri kembali membuka kunci layar ponselnya dan lantas membaca sebuah pesan yang Abi kirimkan ke dalam ponselnya.
From Abi : Jefri, Abi udah perjalanan dari Malang ke Jakarta malam ini. Kemungkinan Abi sampai di Jakarta, pagi jam 10. Jam 11 kamu ke rumah Abi ya? Ada semua keluarga besar nanti disana. Semuanya mau bicara sama kamu. Katakan sesuai apa yang kamu alami. Jangan melebih-lebihkan ya, Nak? Abi juga mau tau penjelasan dari kamu mengenai kabar buruk itu. Beri mereka penjelasan yang jujur. Abi tunggu besok. Kamu malam ini istirahat yang cukup. Jaga istri kamu!
Kalau memang besok Jefri harus keluar dari keluarga besar, Jefri tak mempermasalahkan hal itu. Ia mungkin tak punya bukti yang kuat untuk membela diri di depan keluarga besar. Setidaknya, tujuan utama dirinya saat ini adalah kesembuhan Ayana. Bukan memperebutkan kekuasaan di keluarga besar dan menebar pencitraan.
Bersambung ...
Yay kurang 3 part lagi. Tiga part itu akan aku publish 21 Mei, 25 Mei, dan 27 Mei. Dah jangan tanya kapan update 🤣 pokoknya bulan ini ending. Oiya kalau pakek epilog sama ektra part mungkin updatenya bisa lebih dari tiga part. Tapi kalau cuma sampai ending berarti kurang 3 part doang.
Beri aku komen anaknya Jefri ini namanya siapa enaknya?
Terus beri aku komen azab Bu Dhe apaan? Atau Bu Dhe gausah dikasih azab aja? Wkwk
Kayaknya seru deh kalau sad ending wkwkw 🤣 Bu Dhe yang menang wkwk
Yuk komen-komen sebelum ending.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top