BAGIAN 38 - KABAR BURUK APALAGI?
Yok 700 vote 400 komen wkwkw akhirnya aku update cepet. Kasih tau typo dan selamat membaca.
💓💓💓
Jefri cepat-cepat melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Ayana. Kakinya membeku seketika saat netranya menangkap istrinya yang tengah terbaring lemah disana dengan buliran bening yang memenuhi kelopak matanya. Ayana bahkan tak menyadari jika luka jahitan pasca operasi itu belum kering sepenuhnya. Ia seakan mati rasa dengan luka itu. Ada sebuah luka menganga baru yang membuatnya melupakan luka itu.
Seorang suster yang tengah menggendong bayi mungil tak berdosa, datang menghampiri Jefri yang tengah berdiri di ambang pintu. Bayi itu tampak menangis beriringan dengan tangis Ayana. Seakan-akan, ia merasakan kehadiran signal tubuh Sang Ibu yang tak baik-baik saja.
Jefri tersenyum miris. Batinnya tak pernah absen menyalahkan Bu Dhe. Gara-gara perempuan paruh baya itu, istri dan anaknya menjadi seperti ini. Lalu apa kontribusi perempuan itu? Ia bahkan tak akan tanggung jawab dengan apa yang dialami Jefri dan Ayana.
Setan setengah iblis itu benar-benar tak tahu malu. Ia bisa saja bak malaikat di depan keluarga yang ia cintai. Tapi kejam bak iblis di depan orang yang tak ia sukai. Gila hormat menjadi sandang yang melekat di seluruh bagian tubuhnya. Seakan-akan keturunannya harus disanjung semua orang. Terlalu berlebihan.
"Aku Ibu yang buruk."
"Aku melukai bayiku sendiri."
"Aku Ibu yang buruk."
Ucapan-ucapan yang menggema lirih dari bibir Ayana membuat Jefri tersenyum getir. Jefri semakin sesak saat mendengar isakan dari bibir istrinya. Tangis yang menyeruak dari bibir anak laki-lakinya, membuat dadanya bergemuruh berat. Seolah-olah badai yang menimbun rumah tangganya ini tak pernah berhenti menyerbu.
"Ayana," panggilnya lirih seraya kakinya perlahan melangkah mendekati istrinya.
Ayana masih tak menanggapi cuitan dari Jefri. Sorot matanya terlihat kosong. Dan buliran bening yang menyeruak itu lolos lagi tanpa aba-aba dari mata istrinya, "Aku Ibu yang buruk."
"Aku Ibu yang buruk."
"Aku Ibu yang buruk."
Berkali-kali Ayana menyalahkan dirinya sendiri. Tatapannya masih terlihat kosong. Dan tangannya menggenggam erat selimut putih yang menyelimuti sebagian tubuhnya, "Ayana," panggil Jefri lagi dengan lembut seraya duduk di kursi sebelah ranjang yang ditempati Ayana.
Tatapan Ayana yang terlihat kosong itu lantas menatap Jefri. Namun beberapa detik kemudian netra itu terpejam seraya bibirnya tak pernah berhenti merapalkan kata-kata yang membuat dada Jefri semakin sesak, "Aku Ibu yang buruk," ucapnya lirih lagi.
"Siapa yang bilang kamu Ibu yang buruk?" tanya Jefri pelan seraya tangannya mengusap-usap punggung tangan istrinya.
"Aku Ibu yang buruk," jawab Ayana lagi.
Tangan Jefri reflek menggenggam jari jemari milik Ayana. Ia mengusapnya pelan sebagai tanda untuk menenangkan Sang Istri. Sungguh, ini hal yang sulit bagi Jefri. Ia harus menerima ini semua karena ulah salah satu anggota keluarganya sendiri yang ikut campur dengan urusan rumah tangganya, "Apa yang kamu pikirkan sekarang? Kenapa, hm?" tanyanya mencoba untuk membuka percakapan dengan Ayana.
"Aku Ibu yang buruk. ASI-nya nggak keluar. Aku Ibu yang buruk. Aku nggak becus jadi istri. Aku Ibu yang buruk," ucap Ayana bertubi-tubi. Ia setengah merintih di ujung kalimatnya karena bekas jahitan itu terasa sangat nyeri. Terlalu banyak menangis dan berteriak, luka jahitan pasca operasi itu seakan membuat perut bagian bawah milik Ayana menganga lebar. Tak pernah terbayang, bagaimana sakitnya Ayana merasakan hal itu.
Fisik dan psikisnya terganggu secara bersamaan. Ayana menghujani ribuan air mata di pipinya. Diafragma itu seakan sesak untuk menerima pasokan oksigen. Ia terlalu banyak terisak. Ia tak bisa mengendalikan bagaimana sakitnya tubuh dan batinnya saat ini. Bayi yang masih merah itu belum sepenuhnya ia dekap. Bayi itu menangis terus-menerus sampai suster ikut menjaga dan menenangkannya karena kondisi Ayana yang masih belum memungkinkan untuk menggendong bayinya.
"Aku nggak pernah bilang kamu Ibu yang buruk. Justru aku mau berterima kasih ke kamu. Karena kamu, bayi kita lahir dengan sehat, karena kamu juga Aidan sama Aviola tumbuh jadi anak yang pintar. Semua karena didikanmu. Terus buruknya kamu di sisi sebelah mana?"
Jefri mengusap-usap pucuk kepala Ayana. Sesekali ia menghujani ciuman di dahi istrinya. Meskipun belasan tetes air mata itu masih menggenang di kelopak mata istrinya, Jefri tetap mengeratkan genggaman tangan di salah satu tangan istrinya.
"Karena aku, anak kita belum minum ASI ASI-nya keluarnya dikit dan nggak lancar. Dia nangis terus, dia kehausan. Aku nggak bisa kasih dia ASI. ASInya nggak lancar. Aku minta maaf, aku belum bisa jadi ibu yang baik buat dia. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku minta maaf-"
Telunjuk Jefri reflek membungkam bibir Ayana agar Sang Istri tak menyalahkan dirinya sendiri. Sangat sulit bagi Jefri melihat pemandangan seperti ini. Baginya ini ujian paling berat. Ketika seorang suami diuji dengan dua tanggung jawab besar. Melihat Sang Istri dan anaknya yang baru lahir terpuruk menjadi satu.
"Sayang, nggak papa. Aku nggak pernah mempermasalahkan itu. Bisa diselesaikan, bisa panggil Konselor Laktasi," sahut Jefri memotong kalimat Ayana yang belum selesai diucapkan sepenuhnya.
Ayana terisak lagi. Tangisnya pecah. Dan di sela-sela tangisnya, ia merintih kesakitan karena nyeri pasca operasinya menggerogoti tubuhnya. Ayana benar-benar tak bisa menahan tangisnya. Kalimat-kalimat menyakitkan dari bibir Bu Dhe akhirnya pecah dan terluap oleh tangis Ayana di depan Jefri.
Ayana menganggap dirinya adalah penyebab bayinya tak mendapatkan nutrisi dengan baik. ASI yang keluar dari tubuhnya tak cukup dikonsumsi bayinya. ASI itu sulit keluar yang membuat Ayana sangat frustasi. Bayinya hanya mendapatkan tetesan singkat dari dalam payudaranya.
Lagi-lagi Ayana menganggap dirinya gagal menjadi seorang Ibu dan istri sekaligus. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena berada di antara keluarga terpandang Jefri. Keluarga yang sama sekali berbanding terbalik dengan sisi kelamnya.
"Aku minta maaf. Karena aku ... Dia nggak dapat nutrisi yang bagus, karena aku juga dia kehausan. Aku minta maaf, aku Ibu yang jahat. Aku minta maaf. Aku belum mampu jadi istri yang baik buat kamu," tangis itu pecah lagi beriringan dengan ucapan lirih itu.
Jefri bukannya tak bisa menenangkan Ayana. Tapi ia justru merasa ikut tersayat saat mendengar rintihan dan kalimat yang keluar dari bibir Ayana. Rasanya ikut sesak ketika melihat Sang Istri dalam keadaan seperti ini. Ingin menangis pun tak bisa. Karena ia harus terlihat pura-pura kuat dihadapan istrinya.
"Yang bilang kamu Ibu yang jahat siapa? Anak kita masih sabar nunggu Ibunya sehat. Anak kita paham Ibunya masih belum pulih sepenuhnya. Anak kita nangis itu wajar, dia baru belajar nangis untuk pertama kalinya. Bukan karena kamu. Bayi nangis itu wajar buat melatih motoriknya," seru Jefri menenangkan Ayana lagi meskipun tak bisa ia pungkiri, ia pun merasa sangat sesak dengan kondisi ini.
"Anak-anak yang lahir dari rahimku persalinannya sesar bukan normal. Aku nggak becus jadi Ibu. Dan aku selalu merepotkan kamu waktu lahiran. Aku nggak enak sama keluarga kamu yang sering aku repotkan," cicit Sang Istri pelan.
Jefri sangat paham. Kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Ayana ini, adalah kalimat hasil sindiran dari Bu Dhe. Ia sudah mendengarnya semua. Tanpa Ayana menjelaskan pun ia paham sendiri dengan kalimat Ayana.
"Jangan terlalu memikirkan omongan Bu Dhe. Lahir sesar ataupun normal itu sama aja, kamu tetep jadi Ibu yang hebat. Nggak ada tolak ukur wanita seutuhnya kalau dia persalinannya normal. Semua Ibu itu hebat di mata anaknya," tutur Jefri seraya bibirnya mendarat di pipi lembut milik Ayana.
Dan bersamaan dengan ciuman di pipi itu, buliran bening dari kelopak mata Ayana lolos lagi yang membuat Jefri memejamkan netranya untuk terus mendaratkan bibirnya disana. Tak peduli ada seorang perawat di belakangnya yang tengah menggendong bayinya, Jefri tetap memejamkan netranya untuk memenangkan Ayana seraya tangannya tetap mengusap-usap pelan jari-jemari milik Ayana.
"Aku minta tolong sama kamu. Jangan masukin ke hati juga omongan Bu Dhe mengenai Papa. Pokoknya apapun omongan Bu Dhe, jangan masukan ke hati. Semua omongannya nggak ada yang bener. Dan nggak ada kontribusinya di hidup kita," pintanya pada Ayana.
"Aku udah panggil Konselor Laktasi, udah panggil Bu Andini juga buat datang kesini bantu kamu terapi biar ASI-nya lancar lagi," seru Jefri.
Ayana merapalkan kata maaf lagi. Dengan sedikit menahan dadanya yang bergemuruh, ia terisak lagi mengingat dirinya sangat merepotkan Jefri, "Aku minta maaf," serunya lirih.
"Jangan minta maaf terus. Kamu nggak salah. Itu udah kewajibanku. Aku Papanya, jadi aku yang bertanggung jawab ngurus kesehatan kamu, ngurus kesehatan bayi kita," jawab Jefri lembut.
Ayana mengisyaratkan Jefri untuk membantunya beranjak dan duduk bersandar di kepala ranjang. Jefri spontan mengangguk mendengar isyarat itu. Ia mengoperasikan ranjang rumah sakit agar bisa dijadikan sandaran untuk tubuh Ayana.
"Udah nyaman?" tanya Jefri saat tubuh Ayana sedikit menegak karena bersandar di kepala ranjang namun juga dengan posisi setengah berbaring.
Anggukan kepala Ayana membuat Jefri lega. Ia saat ini bisa duduk di kursi dekat ranjang lagi. Sembari menunggu Sang Istri tenang, ia sesekali melirik anaknya yang digendong salah satu perawat yang tengah berdiri di belakangnya. Anak itu tampak tenang. Yang tadinya menangis keras, kini ia tidur pulas di balik timang-timang salah satu perawat di rumah sakit yang sabar menangani bayi Ayana.
"Aidan-"
Ucapan lirih dari Ayana cepat-cepat dipotong Jefri lagi. Ia sudah paham dengan apa yang akan dikatakan istrinya, "Nggak papa, Aidan sama Aviola pasti paham kondisi kamu. Aku bukannya menghalangi mereka ketemu kamu. Tapi aku pengen kondisi kamu pulih dulu. Nanti kalau udah agak mendingan. Mereka aku ajak kesini buat ketemu kamu," jawabnya.
Bibir Jefri berusaha mengembang saat Ayana sudah mulai tenang. Tangan yang ia gunakan untuk mengusap-usap pucuk kepala istrinya lantas terangkat. Ia sedikit beranjak untuk berdiri. Bibirnya mengukir senyum simpul ke arah bayinya. Dan mencoba mengambil bayi itu dalam gendongan perawat.
Sorot mata Jefri menatap lekat bayi itu. Laki-laki kecil yang belum punya nama. Bayi itu tampak tenang dalam gendongannya. Sesekali ia melirik Ayana. Ayana tampak tersenyum getir. Kepala istrinya itu spontan melengos saat cairan bening di kelopak matanya jatuh lagi karena menatap bayi itu.
Jefri sangat tahu. Istrinya menangis lagi karena melihat bayinya. Sampai kapan? Sampai kapan harus seperti ini? Kelopak mata Jefri seakan ikut menyembunyikan ribuan buliran bening yang seharusnya lolos sedari tadi, "Sekarang coba gendong bayinya ya?" pinta Jefri pelan.
Ayana masih tak menjawab. Ia sama sekali mengunci bibirnya. Bahkan netranya tak menatap Jefri dan lebih memilih menatap berlawanan arah. Dalam hati Ayana, ia sangat takut melukai bayi itu ketika ia harus memutuskan menggendongnya. Ia lebih memilih diam dan melamun sembari ribuan air mata jatuh dari kelopak matanya.
"Kenapa?" tanya Jefri pelan.
Ayana menggeleng pelan. Ia sedikit membenarkan posisi tidurnya menjadi duduk dan masih setengah bersandar di kepala ranjang. Netranya tak bisa terkunci pada bayi itu. Bahkan untuk melihat bayi mungilnya saja ia takut, "Aku nggak bisa. Aku minta maaf. Aku nggak bisa," cicitnya lirih sembari kepalanya menunduk dalam.
Jefri semakin mendekat ke arah Ayana. Bibirnya berusaha tersungging agar Ayana mau menggendong bayi kecilnya. Tatapan Jefri ke arah Ayana seakan-akan menunjukkan tatapan lembut dan penuh harap, "Coba dulu, nanti dia lama kelamaan bakalan nyaman. Dia butuh pelukan Ibunya. Dari tadi belum digendong Ibunya. Dia sayang banget sama Ibunya. Pelan-pelan ya? Aku bantu dari sini,"
Ayana masih bergeming. Ia menatap bayi itu nanar. Netranya yang berkaca-kaca tiba-tiba kosong saat menatap bayi itu lagi.
"Ayana, nggak papa. Aku bantu gendong. kamu coba kasih ASI. Latih secara perlahan, nanti lama kelamaan akan lancar," ucap Jefri berusaha membantu Ayana.
Sang Perawat yang berdiri di belakang Jefri ikut menimpali sebuah kalimat agar Ayana tak takut untuk menggendong bayi kecilnya, "Nggak papa, Bu! Bayinya sudah dapat nutrisi dari kolostrum tadi. Tadi kan Ibu sempat menyusui kan? Iya, meskipun dikit, bayi itu tetep dapat nutrisinya kok. Wajar kalau belum lancar di hari pertama persalinan. Nanti keluar lancar 2-3 hari. Nggak perlu khawatir," serunya.
Netra Ayana menatap Jefri samar. Ia mengalihkan pandangannya ke arah bayinya usai menatap Jefri. Tangannya bergetar hebat saat Jefri membantu menopangkan bayinya di tangannya. Bayi itu masih dalam keadaan tenang. Tidurnya sangat pulas. Tak rewel sedikitpun saat mengetahui Sang Ibu belum pulih sepenuhnya.
Belum ada satu menit, tangan Ayana bergetar saat menggendong bayi kecilnya. Ayana menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa ketakutan lagi. Rasa cemas dan takut bersarang dalam tubuhnya. Ia mengembalikan bayi itu di tangan Jefri lagi. Tangisnya pecah. Bibirnya bergetar tak bisa membendung semua isaknya. Ayana sangat terluka kali ini. Begitupun juga dengan Jefri yang melihat kondisi istri dan anaknya.
"A-aku nggak bisa."
"AKU NGGAK BISA. AKU MINTA MAAF. AKU IBU YANG BURUK!" teriak Ayana sembari memegang kepalanya yang terasa nyeri hebat usai mencoba menggendong bayinya.
Jefri spontan meminta tolong perawat itu untuk menggendong bayi kecilnya. Ia juga meminta perawat itu untuk keluar sebentar dan menenangkan bayinya. Sedangkan Jefri? Jefri memilih mendekap tubuh ringkih Ayana yang tengah memegang kepalanya seraya bibir istrinya tak pernah berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
"Suster, tolong bantu gendong bayinya. Saya coba tenangkan istri saya dulu. Konselor Laktasi sama Psikiater sudah saya panggil. Mereka lagi di jalan. Saya mohon bantuannya," tutur Jefri lirih pada perawat itu yang dibalas perawat itu dengan anggukan mengerti.
Jefri teramat terluka saat ini. Ia menyeka cairan bening yang spontan menetes dari kelopak matanya. Sesekali tangannya menepuk-nepuk pundak Ayana pelan. Pundak istrinya itu tengah bergetar hebat karena Ayana menangis tanpa henti.
Jefri khawatir pada luka pasca operasi milik istrinya. Ia takut jika luka itu semakin memburuk jika Ayana terus-menerus menangis. Ia sampai meminta Umi untuk tak kembali ke kamar Ayana dan memutuskan untuk membawa Aidan dan Aviola pulang karena kondisi Ayana. Bahkan otaknya tiba-tiba terbesit ingin menyalahkan dirinya sendiri juga. Karena ia yang dulu meminta Ayana hamil lagi, dan akhirnya Ayana semakin tersiksa saat ini.
"Aku yang harusnya minta maaf. Nggak papa. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap Jefri sembari memejamkan matanya.
Terdengar dering suara ponsel milik Jefri. Sebuah pesan singkat masuk di ponselnya. Jefri lantas merogoh ponsel itu dalam sakunya dan membaca pelan seraya tangannya masih setengah mendekap tubuh istrinya yang begitu menyembunyikan banyak luka.
Abi
Jefri, besok Abi balik ke Jakarta. Tadi Abi dengar kabar buruk mengenai kamu. Abi belum menanggapi kabar itu, Abi mau minta penjelasan dari kamu sendiri. Besok sore ketemu Abi ya, Nak! Katanya keluarga besar juga mau ke rumah kita buat ketemu kamu, kita ketemu disana aja. Bicarakan masalahnya baik-baik.
Bersambung....
Akhirnya update kwkwk tadinya kurang 3 part tapi aku tambah 1 jadi kurang 4 part lagi.
Yuk 700 vote yuk. Komen yang banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top