BAGIAN 36 - BROKEN?

1000 komen berani nggak? Vote-nya 1000. Aku usahakan nggak sampai seminggu bakal update lagi wkwk

Siapin tisu dan jangan dibaca dari bawah biar kejutannya terasa wkwkwk.

Ya Allah terima kasih banyak ya guys antusiasnya 😭 aku sukaaa. Mari kita greget-gregetan sekarang wkwk.

Ustadz Adi : Abi
Umi Rizka : Umi

🧡🧡🧡

Jakun Jefri sedari tadi naik turun tak karuan. Rasanya susah payah Jefri menelan salivanya. Dokter yang menangani Ayana tampak diam beberapa menit. Bibirnya terlihat menyimpan sesuatu yang membuat jantung Jefri berpacu tak normal. Ia takut jika apa yang ia pikirkan, terjadi di dunia nyata.

"Maaf apa, Dok?" tanya Jefri penasaran dengan apa yang dikatakan Dokter itu.

Dokter itu sedikit terkekeh saat melihat guratan muram di wajah Jefri. Ia tak menyangka jika Jefri terlihat sangat khawatir pada istrinya, "Maaf kalau tadi operasinya mundur 30 menit karena ada beberapa kendala yang mengharuskan operasi mundur. Tapi Alhamdullilah, semua berjalan dengan lancar, Pak! Sesuai prosedur juga," jawabnya mantap pada Jefri seraya meninggalkan bibir yang tersungging.

Batin Jefri yang bergejolak pun lantas redup seketika. Degup jantung yang tadinya berpacu tak normal akhirnya bisa terlepas dari jeratan yang menikamnya.

"Anak Bapak laki-laki dan dia sangat sehat. Putih bersih sama kayak Ibunya," seru Dokter itu lagi.

Akhirnya, Jefri bisa bernapas lega. Saat Dokter itu mengatakan kalimat yang menyejukkan, bibir Jefri tak henti-hentinya tertarik lebar. Netranya saling beradu pandang pada Umi. Dan jari jemarinya saling bertautan dengan kedua anaknya.

Ayana terima kasih, ucapnya dalam hati.

Jefri berkali-kali merapalkan rasa syukur saat dokter itu memberitahu keadaan bayinya. Anak yang Jefri idam-idamkan akhirnya melihat dunia, "Terima kasih banyak, Dok! Tampannya mirip saya, Dok?" tanyanya tak sopan pada Dokter itu.

Jefri memang tak tahu diri. Bisa-bisanya mulutnya melemparkan candaan ke arah dokter yang ada dihadapannya. Umi sampai dibuat geleng-geleng dengan tingkat kepercayaan diri yang ada di otak Jefri.

"Iya, Pak!" jawab dokter itu meng-iya-kan.

"Istri saya bagaimana keadaannya?" tanyanya pelan pada Sang Dokter.

"Istri Bapak kondisinya sudah stabil, dan sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat. Bayinya sudah dibawa suster untuk dibersihkan ya, Pak! Mohon untuk segera menyusul dan bisa dikumandangkan adzan di telinga bayinya. Untuk Ibu Ayana sudah akan dipindahkan ke ruang rawat dibantu beberapa perawat lainnya, nggak perlu khawatir," jelas Dokter itu sembari senyum simpul nan ramah itu masih bernaung, yang tak pernah usai dari bibirnya.

"Terima kasih banyak, Dok."

"Sama-sama. Saya permisi ya?" balas Dokter itu sebelum kakinya beranjak untuk meninggalkan Jefri dan Umi.

Jefri menatap Umi penuh harap. Tangannya memegang jari jemari wanita paruh baya itu. Bibirnya mengembang tatkala ia melihat satu goresan senyum yang bernaung di bibir Umi. Membuat Jefri sangat berterima kasih yang teramat dalam pada Sang Ibu. Mungkin doa Umi tersangkut di Arsy paling tinggi yang membuat Sang Maha Agung mengabulkan seluruh doa-doa yang terapal di bibir Jefri.

"Mi, titip Ayana! Jefri ke bayinya dulu. Nanti Jefri nyusul kesana," serunya lagi.

Umi mengangguk. Kedua tangannya ikut menggandeng tangan mungil Sang Cucu, "Iya Jef, Umi langsung kesana. Kamu Adzani anak kamu dulu. Terus nyusul Ayana. Abi belum bisa bantu kamu dulu ya? Abi ada keperluan penting di pesantrennya. Nanti Beliau pasti kesini jenguk istri kamu. Makanya Umi yang nemenin kamu dan bantu kamu disini,"
jawabnya dengan sorot mata yang meneduhkan Jefri.

Jefri mengulas senyumnya. Ia sangat paham dengan pekerjaan Sang Ayah. Baginya bantuan Umi sudah lebih dari cukup dengan apa yang ia butuhkan, "Iya, nggak papa."

"Apiola mau eek."

"Aidan juga."

Celetukan kecil dari dua anak kembar itu membuat Jefri mengerutkan dahinya. Ia menoleh ke arah Umi. Kedua matanya saling beradu pandang sebelum Jefri mencuatkan kalimatnya, "Eek? Tapi kan kalian mau lihat Mama. Nanti kalau Mama nunggu lama gimana?" tanya Jefri pada kedua anaknya.

"Tapi Aidan mau eek dulu. Pelut Aidan sakit. Aidan mau kentut,"

Mau bagaimana lagi? Dua anak kembar itu seolah-olah ingin mengeluarkan apa yang seharusnya dikeluarkan. Mereka sudah tak tahan untuk menahannya. Menunggu Sang Ibu dipindahkan ke ruang rawat saja mereka rasanya tak bisa menahan gejolak dalam perutnya. Terlihat, tangan Aidan memegang alat vital bagian belakangnya. Pun juga dengan Aviola yang sesekali mengeluarkan gas hasil pencernaan makanan dari dalam perutnya. Gas itu berbunyi cukup keras yang membuat Umi mengalah dan sedikit terkekeh.

"Udah nggak papa, Umi antar anak-anak kamu ke kamar mandi terdekat dulu, nanti Umi langsung ke ruangan Ayana. Takutnya kalau langsung ke ruangan Ayana, nanti menggangu. Sambil nunggu Ayana keluar dari ruang operasi, Umi bawa anak-anak kamu ke kamar mandi. Tadi dokter bilang Ayana udah ditemani beberapa suster, kamu nggak usah khawatir dulu!" tutur Umi mengisyaratkan Jefri agar Jefri lebih bisa mengerti.

"Ya udah Mi. Titip dulu ya? Jefri ke bayinya. Setelah semuanya selesai, Jefri langsung ke Ayana."

🧡🧡🧡

Beberapa menit berlalu, Ayana sudah dipindahkan ke ruang rawat. Namun Umi dan Jefri belum juga menyusul. Beberapa suster sudah pamit dan diizinkan Ayana untuk keluar agar Ayana bisa mengistirahatkan tubuhnya terlebih dahulu sebelum ia menyusui anaknya.

Terlihat dua perempuan yang tengah berjalan menuju ruang rawat yang Ayana tempati. Mereka bejalan menuju kesana. Ketika langkahnya semakin dekat, salah satu dari mereka tengah menelisik dan memastikan deretan nomor yang tertera di ruangan itu memang benar ruangan Ayana, "Ini bener kamarnya, Bu Dhe?" tanyanya pada wanita paruh baya yang ada di sampingnya.

"Kata petugas ruang administrasi tadi sih gitu. Ruang A301. Kayaknya emang ini," jawabnya. Tangan wanita paruh baya itu lantas sedikit membuka ruangan. Kepalanya ada di sela-sela ambang pintu. Dan netranya menangkap Ayana tengah berbaring disana. Jefri atau pun Umi masih belum ada di ruangan. Terlihat sekali wanita paruh baya itu sangat malas untuk masuk ke dalam sana.

Tangan wanita paruh baya itu mengisyaratkan perempuan yang ada di sampingnya untuk tidak masuk terlebih dahulu. Ia memilih berbicara di luar. Tanpa ia sadari, pintu ruangan Ayana masih terbuka sedikit. Tangannya seakan lupa untuk menutup pintu itu kembali. Membuat Ayana terbangun dari tidurnya karena mendengar suara samar-samar dari ambang pintu.

"Bu Dhe baik banget masih nyempetin datang kesini buat jenguk istrinya Mas Jefri," celetuk perempuan itu. Perempuan itu adalah sepupu Jefri. Ia anak dari adiknya Abi. Ia dan Jefri sama-sama keponakan Bu Dhe. Hanya saja, Jefri lebih tua darinya, jadi ia memanggil Jefri dengan sebutan 'Mas' juga.

Perempuan paruh baya itu menghela napas panjangnya. Dan netra bulatnya seakan berotasi saat membalas pertanyaan dari keponakannya, "Ya gimana? Meskipun beberapa bulan yang lalu Mas kamu marah-marah sama Bu Dhe. Tapi Bu Dhe tetep nggak bisa marah sama dia, Ran! Jefri itu udah Bu Dhe anggap anak Bu Dhe sendiri dari kecil. Bu Dhe sampai bela-belain datang jauh-jauh dari Malang gini kan? Ya buat Jefri," jawabnya sedikit keras. Tak sadar jika ada sepasang telinga yang tengah mendengar percakapan itu. Ya, Ayana bisa mendengarnya meskipun samar-samar.

Perempuan itu tampak membalasnya dengan anggukan mengerti, "Iya Bu Dhe, waktu Rania tahu ceritanya dari Bu Dhe kemarin, Rania baru paham kondisi Bu Dhe. Oh iya, istrinya Mas Jefri persalinan sesar apa normal?" tanya perempuan itu pada Bu Dhe.

Ya. perempuan itu seolah-olah paham permasalahan Jefri karena Bu Dhe yang menceritakan. Tapi dia tak sadar, jika wujud permalasahan itu tak bisa diukur dari satu sisi saja. Perlu mengetahui dari berbagai sisi. Apalagi mengetahui dari pelaku utamanya. Ia harus menahu soal itu. Tak bisa langsung menyimpulkan dari orang lain yang bahkan tak mengerti permasalahannya. Karena orang lain hanya mengada-ada. Tak membenarkan sedikitpun.

"Sesar katanya. Soalnya bayinya sungsang. Jaman sekarang apa-apa minta dioperasi. Dulu Ibu kamu waktu ngelahirin kakak kamu kan juga posisi bayinya sungsang, Ran! Tapi buktinya sehat-sehat aja nggak terjadi apa-apa. Nggak cacat juga tanpa operasi," balas perempuan paruh baya itu. Tanpa ia sadari kalimat paling akhir yang ia ucapkan itu sangat melukai sepasang telinga yang tengah menyimak.

"Dulu Kak Arman sungsang juga, Bu Dhe?" tanya perempuan itu lagi.

Bu Dhe mengangguk mantap. Di sela-sela helaan napasnya, bibirnya selalu tersenyum miring dan bola matanya selalu berputar malas, "Iya sungsang, tapi nggak pernah pakai operasi-operasian. Amira juga lahiran kan sebulan yang lalu? Alhamdulillah bayinya nggak rewel. Cantik banget kayak Ibunya, persalinannya juga normal,"

"Padahal kamu inget kan beberapa tahun lalu? Dia mengalami kecelakaan. Untungnya dia rajin banget usaha buat fisioterapi sampai sekarang. Jadi kondisinya stabil terus. Kesehatan dan kehamilannya dijaga baik-baik, nggak pernah bergantung sama suaminya. Semua itu ada berkahnya kalau perempuan itu usaha sendiri. Nggak bergantung sama suami semuanya," tambahnya lagi yang membuat jantung Ayana terasa sakit saat mendengar ucapan itu.

Ayana ingin membalas kalimat menyakitkan yang terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Tapi tubuhnya seakan tak ingin diajak berkompromi. Untuk bangun dan menegakkan tubuhnya saja rasanya bekas sayatan operasi sangat menghalanginya. Bekas sayatan itu rasanya menusuk seluruh tubuhnya jika ia bergerak sedikitpun.

"Jarang banget, Ran! Orang sekuat Amira bisa melewati persalinan normal. Tapi kalau dia seumpama sesar pun juga wajar. Karena dia pernah mengalami kecelakaan dan hampir membahayakan tubuhnya. Kalau dipaksa untuk persalinan normal kan bakalan membahayakan janin dan dirinya sendiri. Untung banget, Ran! Amira bisa persalinan normal dan lancar tanpa kendala. Allah emang baik banget sama Amira, diberi kesempatan panjang umur terus," serunya lagi yang didengar Ayana dengan nada samar-samar.

Dokter mengharuskan Ayana untuk istirahat sejenak. Tapi bagaimana bisa ia mengistirahatkan tubuhnya pasca operasi? Sedangkan telinganya saja menyeruak omongan buruk dari ambang pintu. Untuk bergerak menampar mulut-mulut setan itu pun Ayana tak bisa. Tubuhnya terlalu lemah karena sayatan-sayatan munusuk bagian bawah perutnya pasca dioperasi.

Tangan Ayana tanpa sadar terlihat bergetar lagi. Getaran itu akan menyerang dengan sendirinya ketika Ayana tak menjaga pola stressnya. Ayana merasa tak nyaman dengan ini. Tangannya bergetar hebat sampai sampai-sampai ia tak bisa menahannya.

"Cukup!" ucapan serak itu keluar dari bibir Ayana. Tapi sayangnya, dua perempuan itu sama sekali tak mendengar ucapan dari bibir Ayana.

Bibir wanita paruh baya itu tersenyum ke arah keponakannya yang ada di depannya lagi. Ia sama sekali tak mendengar cicitan dari Ayana. Terlalu asik dengan pembicaraannya, sampai-sampai ia tak menyadari Ayana mendengar semua yang terlontar dari bibirnya.

"Nanti kalau kamu udah punya suami dan punya anak. Usahakan normal. Jangan dikit-dikit minta suami kamu buat operasi sesar. Manja itu namanya. Dari awal kehamilan kok terus-terusan minta sesar. Kalau bisa normal kenapa harus ngerepotin suami kamu nanti? Seorang perempuan itu akan jadi wanita seutuhnya kalau dia mengusahakan persalinannya normal. Kalau sesar gimana mau jadi wanita seutuhnya?" Kalimat ini seakan menyindir Ayana.

Ayana sangat paham dengan kalimat wanita paruh baya itu. Ia harus bersikap apa jika takdir mengharuskannya persalinan sesar terus-menerus saat ia hamil? Siapa yang tak ingin menjalani proses persalinan normal? Semua wanita pun juga ingin.

Katakan pada wanita paruh baya itu, kalau Ayana bisa melahirkan secara normal. Ia akan melakukannya dengan senang hati, tak perlu disindir dengan kalimat tak mengenakan yang bisa didengar di telinga Ayana.

Ayana sangat muak terus-terusan berhadapan dengan wanita paruh baya itu. Kenapa setiap kali ia ingin hidup tenang bersama Jefri, lagi-lagi wanita paruh baya itu selalu menghujani kalimat yang seakan-akan Jefri tak pantas untuk Ayana?

"Kenapa gitu Bu Dhe?" tanya Rania, sepupu Jefri yang masih menemani Bu Dhe berdiri di ambang pintu.

"Lahirnya anak itu kan yang nentuin yang Maha Kuasa, Ran! Kalau sesar kan sama aja ditentukan Dokter. Belum waktunya lahir udah diambil Dokter lewat perut," jawabnya sok tahu.

Ayana memejamkan matanya. Ia berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Kelopak matanya yang kering seketika meloloskan cairan bening yang membuat bibir Ayana bergetar.

Sepupu Jefri itu tampak mengintip Ayana dari jendela. Kain pembatas jendela itu kebetulan terbuka, jadi perempuan itu bisa lebih mudah melihat Ayana yang terbaring disana. Ia masih menyangka jika Ayana tengah tertidur. Padahal Ayana hanya memejamkan matanya dan mendengar semua percakapan yang pernah mereka lontarkan beberapa menit yang lalu sampai dada Ayana sesak mendengarnya, "Istrinya Mas Jefri masih tidur ternyata Bu Dhe, di dalam kok sepi. Nggak ada siapa-siapa. Cuma istrinya Mas Jefri aja," serunya usai melihat Ayana dari balik jendela.

"Ya udah lah kita tunggu disini dulu sambil nunggu yang lain," sahut Bu Dhe pelan.

Rania mengangguk-anggukan kepalanya patuh, "Bu Dhe udah kenal dekat sama istrinya Mas Jefri?" tanyanya.

Bahu wanita paruh baya itu terangkat bersama. Kepalanya tampak menggeleng dan bibirnya tersenyum miring, "Nggak terlalu dekat tapi sekedar tahu aja. Dulu Jefri kan dipaksa sama Rizka suruh nikah sama istrinya ini. Jefrinya nggak mau tetep aja dipaksa nikah. Dulu Bu Dhe juga sempat melarang, orang anak nggak mau kok dipaksa terus. Tapi Rizka keras kepala, bilangnya mau nolong sahabatnya,"

"Nolong orang kan nggak harus menikahi tho, Nduk! Orang Jefri dulu juga nggak cinta. Dia masih cinta sama Amira. Tapi sayangnya Amira dulu itu nikah sama orang lain," tambahnya lagi menguatkan pendapatnya.

Rania masih belum mengerti alasan Bu Dhe tak menyetujui Jefri bersanding dengan istrinya. Ia sama sekali tak mengetahui alasan Bu Dhe. Padahal Abi dan Umi Jefri sangat menyetujui Jefri dengan Ayana, "Kenapa Bu Dhe nggak setuju?" tanyanya.

Helaan napas keluar dari bibir Bu Dhe. Dan sepasang telinga masih menajam disana untuk mendengar alasan kuat mengapa ia sangat dibenci wanita paruh baya itu, "Kamu tau keluarga kita kan? Al-Haqq itu dipandang orang-orang keluarga baik-baik di Malang. Terus tiba-tiba ada kabar miring dari besannya Rizka. Yang nanggung malu satu keluarga kita beberapa tahun yang lalu," jelasnya pada Rania.

"Kabar apa? Rania baru balik dari Kairo. Dan nggak tau kabar keluarga besar mengenai ini," tanyanya penasaran.

"Bapaknya istrinya Jefri itu kabarnya narapidana. Bu Dhe sebenernya nggak mau ngungkit-ngungkit masalah ini lagi. Tapi ya mau gimana lagi, kamu juga keluarga Al-Haqq, kamu wajib tau," ucapnya memberitahu Rania.

Ayana masih menajamkan pendengarannya untuk menyimak semua kalimat-kalimat dari wanita paruh baya itu. Bibirnya yang pucat berusaha menyunggingkan senyum hambar saat wanita paruh baya itu menyinggung laki-laki yang ia sebut Papa.

"Waktu Jefri menikah. Harusnya seorang perempuan kan didampingi walinya kalau dia nikah, tapi pernikahan Mas kamu dulu pakai wali hakim karena wali aslinya ternyata jadi buronan narapidana pembunuhan. Waktu ditemukan polisi, ternyata dia udah gantung diri. Dari keturunan nggak bener semua. Kok ada orang kayak gitu. Bener-bener malu Bu Dhe dengernya. Bu Dhe kecewa sama Rizka. Tapi Bu Dhe pendem sendiri," tuturnya pada Rania.

Ayana semakin sesak mendengar kalimat itu. Ingin rasanya ia menghampiri wanita paruh baya itu dan langsung menampar pipinya. Tapi jahitan pasca operasi menghalanginya untuk bergerak. Untuk batuk saja, rasanya nyeri menghantam perut bagian bawahnya. Apalagi untuk beranjak.

Buliran demi buliran yang lolos dari kelopak mata Ayana membuat pipi Ayana tampak basah. Ia sebenarnya tak terlalu menghiraukan jika ia harus dibandingkan dengan mantan tunangan Jefri dulu, tapi untuk mengungkit seluk beluk keluarganya. Rasanya Ayana tak terima.

Bukan Ayana yang ingin terlahir dalam keluarga yang tak lengkap dan sebagai anak dari salah satu buronan sekaligus narapidana sebuah sel penjara. Ayana pun juga tak ingin terlahir dengan status anak narapidana. Tapi mengapa semua orang mempermasalahkannya? Padahal bukan Ayana yang menyandang status narapidana.

"Yang Bu Dhe takutkan cuma satu, Ran! Buah jatuh kan gak jauh dari pohonnya. Takutnya Jefri kenapa-napa. Kamu paham kan maksud Bu Dhe?" Ucapan Bu Dhe spontan membuat Ayana meloloskan buliran bening itu lagi dari kelopak matanya.

Sungguh. Ini sangat menyakitkan bagi  Ayana. Ia sudah membuang jauh-jauh masalah tentang Sang Ayah. Tapi seseorang menghancurkannya begitu saja. Seseorang mengoreknya kembali yang membuat Ayana menelan luka lama lagi.

"Iya Bu Dhe, Rania paham. Denger cerita dari Bu Dhe kemarin tentang masalah Mas Jefri, aku jadi ikutan takut. Apa nggak ada jalan buat ambil tindakan masalah ini Bu Dhe? Aku takut sendiri. Takutnya bukan cuma Mas Jefri yang jadi korban. Tapi keluarga Al-Haqq jadi hancur cuma gara-gara masalah ini," seru Rania.

Wanita paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sebelum ia meluapkan jawabannya, "Ada. Cuma satu jalannya. Jalan perceraian buat melindungi keluarga kita. Bu Dhe juga berharap cara itu terjadi karena Bu Dhe takut, Ran! Bu Dhe pengen melindungi Mas kamu. Tapi pasti Jefri juga semakin marah sama Bu Dhe, padahal Bu Dhe niatnya baik. Mau melindungi dia. Melindungi keluarga besar,"

"Tolong bilang ke dia. Atau bahkan bantu bilang ke Rizka dan Adi untuk meyakinkan Jefri," mohonnya lagi pada Rania.

Rania tak yakin untuk membantu wanita paruh baya itu, "Tante Rizka dan Om Adi nggak akan setuju Bu Dhe. Perceraian itu sama sekali ditentang Om Adi," serunya.

"Mereka akan setuju kalau kesalahannya fatal dan alasannya kuat, Ran! Menurut Bu Dhe ini udah bener-bener fatal."

Ayana menangis dalam diam sejadi-jadinya. Bibirnya bergetar hebat, namun tangis itu tak berbunyi sama sekali. Jahitan pasca operasi rasanya teramat menusuk di perut bagian bawahnya.

Sesak. Ayana tak bisa menahan sesak sekaligus nyeri di sekujur tubuhnya.

Ayana harus mengetahui fakta bahwa salah satu keluarga Jefri sangat membencinya. Dengan alasan Ayana terlahir di keluarga yang bukan sepadan dengan keluarganya. Lantas bagaimana jika semua keluarga Jefri menyetujui Jefri berpisah dengan Ayana. Ayana tak akan bisa menerima itu. Mengapa takdir tak pernah berpihak padanya. Ia ingin bahagia bersama Jefri dan anak-anaknya. Mengapa sangat sulit hidup normal seperti orang lain saat ia menyandang status anak seorang narapidana pembunuhan?

Bagaimana nasib anak-anaknya jika pernikahan itu akhirnya berakhir tak ada lembaran baru lagi yang tertulis. Sama saja. Mungkin bagi Ayana, pernikahan adalah momok menyeramkan jika ia harus gagal mempertahankannya.

Usai mendengar secara samar kalimat dari bibir wanita paruh baya itu. Kepala Ayana rasanya teramat berat. Bak
jarum yang menusuk sekujur tubuhnya, menyebar dan menyeruak jadi satu. Penglihatannya seketika buram secara bersamaan. Dan beberapa menit usai ia menahan nyeri di sekujur tubuhnya, Ayana  kehilangan penglihatan dan kesadarannya.

-TAMAT-


TAPI BOONG 🤣 ini hampir 3000 kata. Udah masuk klimaks hamdalah. Maap sering nge-prank wkwk, mumpung mau ending jadi aku buat segreget-gregetnya. Ini berdasarkan outline awal ya? Jadi aku tinggal ikuti alur.

Ini orang macem Bu Dhe nanti kalo mati kuburannya ditolak sama tanah 🤣 suruh ngubur di sumur aja. Sumpah mulutnya bgst wkwk

Tokoh Bu Dhe adalah jalan ninja sebuah klimaks wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top