BAGIAN 35 - PERSALINAN

Yuk tantangan yuk. 700 vote 250 komen malam ini atau sahur aku langsung update lagi seketika. Aku tunggu see you bye bye wkwk tapi kalau belum memenuhi target tetap aku update kok tenang aja, tapi Minggu depan ya? Itung-itung biar aku ada tabungan part wkwk yuk lah kelamaan kalo Minggu depan. Suruh teman-temannya ikut vote dan komen aja biar cepet sampai target. Yang belum follow gasskeun follow yuk biar gak ketinggalan. Udah mau ending. Dan sad or happy end masih aku rahasiakan. Bisa salah satunya tergantung mood wwkwk kasih tau yg typo ya?

🧡🧡🧡

Seorang laki-laki kecil melangkahkan kakinya mengejar Sang Papa yang tengah terduduk di salah satu ruang tunggu rumah sakit. Sembari menunggu Ayana yang tengah menjalankan tindakan operasi sesar, Jefri berkutat dengan pikirannya sendiri disana.

Anak mungilnya yang tengah berlari itu, tak ia sadari keberadaannya karena pikiran masih sibuk digerayangi kejadian-kejadian buruk sama seperti mimpinya beberapa Minggu yang lalu. Mimpi buruk itu seakan selalu menghantui Jefri. Tiba-tiba menghantui Jefri dan bernaung di otak Jefri secara terus-menerus. Takut jika tiba-tiba saat Jefri belum siap akan hal itu, takdir mengatakan hal lain yang belum bisa Jefri terima kenyataannya.

"Papa,"

"Papa,"

Cicitan-cicitan kecil itu meruak di telinga Jefri. Membuat Jefri spontan ikut menoleh saat ia mendengar panggilan dari putranya, "Hey, kok nyusul kesini? Aviola sama Nenek mana?" tanyanya balik pada laki-laki kecil itu.

Tangan Jefri merengkuh tubuh Aidan dengan erat. Berusaha agar degup jantungnya netral seketika saat ia memeluk dan memangku putra kecilnya. Sungguh, saat ini jantung Jefri berdegup tak karuan. Membuat Jefri membayangkan hal yang tidak-tidak. Juga khawatir jika operasi sesar yang istrinya jalani tak berjalan dengan lancar.

"Apiola jajan telus di kantin lumah sakit," Aidan mengadu pelan pada Sang Papa yang dibalas Jefri dengan kekehan hambar. Jefri masih belum bisa sepenuhnya bernapas lega. Ia masih dibayang-bayangi mimpi buruk itu. Meskipun saat ini ada Aidan disampingnya.

"Aidan nggak jajan di kantin?" tanya Jefri.

Laki-laki kecil itu menggeleng. Bibirnya ikut menguraikan senyum lebarnya. Sembari menampakkan gigi yang tak rata tumbuh dan bernaung di atas gusinya, "Aidan mau ketemu Mama sama adik bayi. Nanti kalo Aidan jajan telus, Aidan nggak lihat adik bayinya," jawabnya pada Jefri.

"Ya udah, temenin Papa disini. Sambil nunggu Mama selesai dioperasi," balas Jefri seraya masih memangku Aidan.

"Diopelasi itu adik bayinya kelual?" tanyanya yang tak mengerti dengan bahasa orang dewasa yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

Jefri terkekeh pelan. Ia spontan menghujani putra kecilnya itu dengan ciuman-ciuman kecil di pipi bulat milik Aidan, "Iya, dulu Aidan sama Aviola keluar bareng dioperasi sama dokter," jawabnya ke arah Aidan.

Mendengar kata 'Bareng-bareng' telinga Aidan lantas menajam. Bibirnya yang sedari tadi merekatkan senyum simpulnya, kini mulai memudar dan berganti menjadi mengerucut, "Apiola kok ikut-ikut Aidan? Halusnya Apiola di pelut Mama aja. Jangan ikut-ikut Aidan kelual," serunya masih dengan bibir yang kian mengerucut.

Laki-laki kecil itu memang tidak bisa dikatakan kembar fraternal dengan saudaranya. Mereka seperti musuh yang setiap harinya tak pernah absen bertengkar. Sampai Jefri sendiri bisa menghitung jadi kapan anaknya itu akur.

Tangan Jefri mengusap pelan pucuk kepala Aidan. Seraya bibirnya mengecup singkat pipi bulat itu lagi, "Kalau nggak keluar, nanti Mama kesakitan. Kalau waktunya udah dianjurkan dokter keluar, Aidan, Aviola, ataupun adik harus keluar dari perut Mama. Mama bisa sakit kalau Aidan, Aviola, sama adik nggak keluar. Nggak mau kan kalau Mama sakit?"

Aidan menggeleng cepat. Ia terlalu dekat dengan Ayana sampai kalimat Jefri membuatnya takut sendiri, "Nggak mau," jawabnya dengan bibir yang masih mengerucut.

Bibir Jefri ikut tertarik lebar saat netranya melihat putra kecilnya yang tengah mengerucut sebal. Bibirnya tanpa aba-aba spontan mengecup singkat pipi anak laki-lakinya.

Bagi Jefri saat ini ia masih belum bisa tenang karena ia belum mendapatkan kabar baik dari dokter. Dokter masih berkutat di ruang operasi, dan saat ini istrinya tengah berjuang disana. Yang bisa Jefri lakukan hanyalah berserah. Jefri benar-benar tak ingin kejadian buruk di mimpinya itu terulang saat ini.

"Papa!" ucap gadis kecil yang tiba-tiba memeluk erat Jefri dari samping.

Kepala Jefri menoleh saat ia mendapati Aviola tengah memeluknya. Aviola berusaha menyingkirkan tubuh Aidan yang tengah dipangku Jefri. Dengan bibir yang mengerucut dan pipi yang menggelembung bebas disana, Aviola memukul lengan Aidan, membuat Aidan memberengut kesal.

"APIOLA NAKAL!" teriak Aidan saat lengannya lagi dan lagi dipukul Aviola sampai-sampai Jefri hanya bisa menghela napas memperhatikan kelakuan dua anaknya. Di sela-sela jantungnya yang masih berpacu tak normal, ia melerai dua anaknya itu agar tak bertengkar lagi.

Umi ikut membantu melerai Sang Cucu. Saat ini, Aidan yang mengalah. Aidan memilih berada di pangkuan Umi. Sedangkan yang ada di pangkuan Sang Papa adalah Aviola. Memang, Aviola tetap tak mau Sang Papa berpaling darinya. Jangankan orang lain yang dipeluk Jefri, kembarannya sendiri saja dimusuhi.

"Jajan apa tadi di kantin?" tanya Jefri pada gadis kecilnya.

Bibir Aviola mengecup singkat pipi Jefri sesekali tangannya bergelayutan manja di lengan Jefri. Seakan-akan ia tak bisa berjauhan dengan Sang Papa, "Beli es klim, telus Apiola beli pelmen, telus Apiola beli mainan kecil-kecil," serunya antusias memberitahu.

Umi ikut tersenyum mendengar Aviola mengadu pada Jefri. Bibir tipis wanita paruh baya itu masih tertarik lebar seraya tangannya mengusap pelan surai hitam milik Aviola, "Anak kamu semua dibeli. Nggak mau kalau nggak beli ini itu. Kayak kamu waktu kecil, tukang maksa," sindirnya ke arah Jefri yang membuat Jefri ikut terkekeh.

"Tapi untungnya Umi sayang sama Cucu Umi. Pengen gitu Jef, Umi punya cucu 100 kecil-kecil semua," pintanya lagi seakan-akan memberi kode pada Jefri bahwa ia menginginkan cucu lebih dari apa yang ia miliki saat ini. Karena memang dari dulu ia sangat menyukai anak kecil. Dan sayangnya, Umi hanya memiliki anak tunggal. Jadi saat ini, Jefri yang harus memenuhinya untuk memberikan cucu yang banyak.

"Ambil aja anak kambing liar, Mi! Biar banyak," balas Jefri seraya tersenyum miring.

Wanita paruh baya itu sontak menarik telinga Jefri saat ia mendengar kalimat yang tak mengenakan keluar dari bibir Sang Anak. Melihat Jefri semakin terkekeh, ia sontak semakin menarik keras telinga anaknya lagi, sampai-sampai Jefri merintih kesakitan karena Umi terlalu keras menarik telinganya. Aviola dan Aidan, dua anak mungil itu yang tengah sibuk dengan mainannya, mereka seketika ikut menertawakan Sang Papa saat neneknya memberengut kesal.

"Bener-bener kamu sama Umi sendiri, Jef!" gerutu Umi pada Jefri yang masih sibuk terkekeh.

Jefri mengambil tangan Umi dan mengusapnya pelan. Tangan wanita paruh baya itu yang selalu ada untuknya. Tangan wanita paruh baya itu pula yang selalu mendekapnya dan tak pernah menghakimi sewaktu ia berkubang dalam kesalahan, "Makasih ya, Mi? Udah jaga mereka waktu Ayana lahiran. Kalau nggak ada Umi, Jefri juga nggak tau nitipin mereka ke siapa. Ke asisten rumah tangga juga belum tentu semaksimal dijaga sama keluarga sendiri," ucapnya pada Umi.

Meskipun Jefri sering kelewat dalam bercanda dengannya, tapi Umi adalah sosok Ibu yang benar-benar sangat mengerti keadaan Jefri. Dari kecil Jefri tak pernah dihakimi jika ia salah. Jefri didik dengan baik, dan tak sedikitpun Umi dan Abi menyangkal apa yang Jefri pilih, "Iya nggak Papa, Umi juga seneng main sama cucu sendiri. Makanya nambah anak terus biar keluarga kita rame. Umi sama Abi tua-tua juga nggak kesepian,"

"Tiga aja, kasihan Ayana." sahut Jefri cepat karena Umi kelewat banyak memintanya.

Bibir wanita paruh baya itu tertarik miring lagi. Baginya bukan hanya Jefri saja yang bisa mencibirnya, tapi ia juga bisa mencibir balik Sang Anak, "Halah ... Kalau Ayana siap produksi 20 anak, kamu juga maju garda depan. Kamu kan paling lemah kalo udah lihat Ayana pakek baju pemberian dari Umi," cibirnya pada Jefri.

Kepala Jefri menggeleng-geleng pelan saat mendengar kalimat dari Umi. Umi paling bisa membuat Jefri tak bisa membantah. Karena omongan Umi memang terbukti tepat. Meskipun Jefri tak mengakui pun juga Umi sudah bisa menebak dari awal pernikahan anaknya, "Kuatnya sih kuat, Mi! Tapi yang hamil Ayana. Kasian lah dia bolak-balik rumah sakit buat melahirkan. Nggak mungkin juga Jefri tega nyiksa istri sendiri. Nyuruh Ayana melahirkan sampai 50 kali. Manusia apa kucing? Manusia juga ada batasnya melahirkan. Takutnya nanti resikonya kena Prolaps Uteri,"

"Iya, Umi cuma bercanda tadi. Ya mana tega Umi nyuruh kamu punya anak 100. Kamu nambah tua nambah berubah sekarang, Umi baru sadar," cibir Umi lagi seraya menepuk-nepuk paha Aviola yang ada di pangkuan Jefri.

"Apa?" tanya Jefri seraya dahinya berkerut, tak mengerti apa yang Sang Ibu bicarakan.

"Sayang banget sama Ayana. Dulu aja alasannya nolak terus kalo dijodohin. Umi bilang juga apa, pilihan Umi itu nggak ada yang mengecewakan. Kamu ngeyel terus dibilangin. Umi paham, dulu kamu nyarinya harus seusia kriteria kamu. Tapi kamu nggak tau kan? Yang sesuai kriteria kamu itu memang ada di dunia. Tapi belum tentu tulus sama kamu," jelas Umi.

Umi menghela napas panjangnya. Sebenarnya, saat ini ia pun sama seperti Jefri. Batinnya sedari tadi belum bisa tenang karena belum mendapatkan kepastian dari Sang Dokter yang tengah menangani Ayana, "Mendapatkan perempuan yang punya cinta yang tulus itu susah, Jef! Ingat baik-baik kata Umi. Kalau kamu udah menetapkan hati kamu pada Ayana, ya sampai mati, kamu harus tepati janji itu. Jangan main perempuan! Karena ujian pernikahan yang sulit untuk diterima itu berkhianat,"

"Kalau kamu berani berkhianat sama istri kamu sendiri, Umi orang pertama yang bakalan sakit hati. Bukan Ayana tapi Umi. Karena Umi gagal mendidik kamu jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Umi gagal jadi orang tua," lanjutnya lagi seraya menatap Jefri dalam. Berharap Jefri memahami apa yang ia katakan saat ini.

Jefri membalas tatapan Umi dengan tenang. Namun beberapa detik kemudian netranya sedikit meloloskan cairan bening yang mengendap di kelopak matanya. Membuat Jefri sontak cepat-cepat menyingkirkan cairan itu.

"Kamu meskipun udah punya buntut tiga kayak gini. Umi nggak akan capek bilangin ini itu masalah konflik pernikahan. Bukannya Umi mau ikut campur. Tapi Umi cuma mau memastikan kalau anak Umi itu bertanggung jawab dalam rumah tangganya. Kamu laki-laki, kamu yang pegang kendali rumah tangga kamu. Kalau kamu sampai buat kesalahan sedikitpun dan itu menyakiti Ayana, yang jadi korban bukan Ayana aja. Ada anak kamu dan orang tua kamu," tutur Umi ke arah Jefri yang dibalas Jefri dengan anggukan mengerti.

Jefri tak ingin kenangan buruk beberapa tahun lalu itu terulang. Dulu ia sangat merasa bersalah pada Ayana. Gara-gara ia, Ayana menelan kekecewaan tanpa sadar. Gara-gara ia juga, orang tuanya teramat kecewa. Dan saat ini, rasanya tak pantas ia harus mengulangi kesalahannya lagi. Tak ada kesempatan ketiga kalinya untuknya. Kesempatan itu hanya berlaku dua kali saja. Selebihnya, Jefri yang menentukan nasib pernikahannya sendiri.

"Kalau Ayana yang buat kesalahan. Jangan langsung dimarahi apalagi tangan kamu sampai bertindak. Umi sangat marah kalau kamu main tangan sama perempuan. Ibaratnya, kalau kamu main tangan sekali saja sama perempuan. Berarti kamu sudah menyakiti Ibu kamu 1000x Jef. Kalau kamu berniat menyakiti perempuan, ingat sekarang! Yang berjuang melawan maut istri kamu kan? Dia perempuan juga sama seperti Ibu kamu waktu dia berjuang melahirkan kamu," Umi masih berusaha melanjutkan petuahnya di sela-sela mereka menunggu selesainya operasi persalinan Ayana.

"Nasehati baik-baik kalau Ayana yang salah seumpama itu. Terima pendapatnya. Tenangkan dia kalau dia marah. Dia marah itu cuma sebentar, selebihnya ya cuma ngambek. Orang Umi juga perempuan. Jadi Umi paham," lanjutnya lagi.

Umi menepuk-nepuk pundak Jefri seraya bibirnya mengulum senyum simpul yang membuat Jefri menunduk karena teringat kejadian beberapa tahun lalu yang membuat Ayana kecewa padanya. Dan saat ini, ia sangat takut akan kehilangan Ayana. Kapanpun itu ia masih belum siap, "Iya Mi. Terima kasih,"

"Terima kasih banyak," ucap Jefri lagi.

"Sama-sama. Umi juga sayang sama Ayana. Ayana udah banyak menelan luka, Jef! Kalau bukan kamu, siapa yang dia andalkan untuk hidup? Kamu harus banyak bersyukur, dia udah mengesampingkan kecewanya terhadap kamu dulu, dan mau menerima kamu kembali dengan alasan nggak mau mengecewakan Mamanya," tutur lembut Umi ini membuat Jefri kian menunduk dalam. Lengan yang dibuat Aviola bersandar, seketika melingkar di tubuh Aviola. Membayangkan seakan-akan jika yang ia peluk adalah Ayana.

"Mamanya sangat berharap lebih dari dulu, pengen kamu jadi mantunya sampai kapanpun. Jangan kecewakan Mama mertua kamu juga, meskipun dia sudah tenang di alam yang berbeda dengan kita," lanjut Umi lagi yang membuat Jefri mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

Mendengar semua tuturan Umi, bulu-bulu halus di tangan Jefri ikut berdiri. Bibir yang terulum disana seketika tampak bergetar. Netranya terpejam. Dan bibirnya tak pernah absen merapalkan barisan doa untuk keselamatan operasi persalinan Sang Istri.

Jefri sangat tahu. Operasi sesar pun juga memilki resiko berat. Nyeri pasca operasi sesar jauh lebih berat dari melahirkan secara normal. Operasi sesar memiliki resiko rentan infeksi. Infeksi pun sendiri bisa bermacam jenisnya. Infeksi pada luka sayatan operasi, infeksi saluran kemih atau dinding rahim, pembekuan darah di kaki atau paru-paru. Bahkan yang paling parah sendiri dan selalu menyelinap di otak Jefri adalah kemungkinan buruk itu. Kemungkinan buruk jika pendarahan hebat terjadi seketika usai operasi yang membuat seorang pasien harus mendapatkan transfusi darah secepatnya.

Ini perkara hidup dan mati seorang Ibu saat berjuang melahirkan. Ayana saat ini mengalaminya lagi. Dan ini kedua kalinya ia mendapatkan tindakan operasi sesar. Saat kehamilan pertama, ia diharuskan operasi sesar karena kehamilan kembarnya. Dan saat ini, ia juga diharuskan lagi operasi sesar karena calon buah hatinya dalam keadaan sungsang. Padahal sewaktu hamil, Ayana sangat mengidam-idamkan bisa melahirkan secara normal.

"Bapak Jefri Alfareza?" panggil seorang dokter ke arah Jefri yang tengah menunduk.

Spontan Jefri menoleh. Ia ikut berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan dokter yang menangani Ayana. Pun juga dengan Umi dan dua anaknya, mereka sama-sama ikut berdiri saat dokter itu menghampiri.

"Iya Dok? Bagaimana kondisi istri saya? Operasinya lancar?" Jefri menghujani pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan dalam mulutnya ke arah dokter itu. Dadanya bergemuruh lagi dan napasnya tersengal karena gugup saat dokter itu tiba-tiba diam.

"Operasinya sudah selesai. Tapi maaf, Pak!"

"Maaf kenapa? Istri saya kenapa?"

Bersambung ...

Hayo Ayana kenapa? 😭😭

Tadi harusnya aku update magrib ya tapi aku tadi masak tekwan jadinya molor sampe isya wkwk

Kalau malam ini bisa 700 vote dan 250 komen pas gua update nanti jangan emosi ya sama gua wkwkwkkwk. Dibaca baik-baik dan diresapi wkwkwk ambil tisu jangan lupa. See you ....


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top