BAGIAN 34 - JANGAN PERGI!

Aku double update sebelum tidur wkwk. Aku ngetik dari jam 10- setengah 1 malam, biar kalian dapat notif double update. Aku nggak minta apa-apa cuma pengen diapresiasi pakai vote dan komen yang banyak biar cerita ini cepat ending. Dan setelah itu aku ngelanjutin naskah selain di wattpad di sela-sela kesibukanku. Ada 4 naskah yang on Going.

Jadi mohon maklum jika aku kadang Hiatus 1-2 minggu. Aku mungkin bisa double update sering-sering kalau aku semangat ngetik kayak gini. Pas lihat komen dan vote tadi masih dikit agak meletoy lagi :(  Tapi akhirnya yaudah lah aku tebas aja ngetiknya, demi yang baca, demi Jefri dan keluarga. Nggak munafik juga, aku suka lihat notif vote dan komen yang masuk buat jadi motivasi aku cepet update di sela-sela kesibukan. Makasih banyak ya? Jadi jangan lupa mampir untuk vote dan komen ya? Dan jangan merasa nggak enak kalau aku kadang suka narget vote dan komen. Jujur aku seneng lihatnya biar aku semangat nulis. Meskipun cerita ini aslinya juga gak bagus-bagus amat menurut gua wkwk tapi semoga menghibur wkwkw

Selamat membaca dan Wellcome to pre-klimaks.

🧡🧡🧡

Tidak ada yang benar-benar siap kehilangan atas kematian. Semuanya akan rapuh secara perlahan. Mulut bisa tertarik untuk tersenyum. Tapi hati tak pernah bisa dibohongi untuk menangis.

💓💓💓

Sebuah mobil berwarna putih bertuliskan 'Ambulance jenazah' melintas di tengah-tengah hiruk pikuknya orang yang berlalu lalang di rumah sakit. Mobil itu tampak dikendarai cepat agar bisa memenuhi target pekerjaannya. Sopir mobil itu dengan sigap menghentikan mobilnya secara mendadak di depan pintu utama rumah sakit untuk menjemput Sang Penumpang.

Saat sebuah brankar rumah sakit terdorong dari lorong, seketika mobil jenazah itu sengaja dibuka oleh petugasnya agar penumpangnya bisa masuk ke dalam dengan cepat, "Segera berangkatkan mobil jenazahnya. Jenazah atas nama Nyonya Ayana Aurora Pamungkas sudah bisa diberangkatkan ke rumah duka pukul 3 sore," ucap salah satu petugas rumah sakit yang memberitahu sopir kemudi tersebut.

"Baik Pak," jawabnya.

Brankar yang terdorong itu adalah tubuh kaku Ayana yang terbujur disana. Takdir berkata lain. Yang seharunya Ayana bisa bertahan dengan buah hati kecilnya, ternyata hanya buah hati kecilnya saja yang bisa diselamatkan. Ayana tidak bisa.

Ayana mengalami pendarahan hebat saat melahirkan. Pasokan oksigen yang ada tak bisa menembus paru-paru perempuan itu. Ia kehilangan banyak sekali oksigen untuk ia hirup. Tenaganya terlalu lemah untuk bertarung. Ayana gagal. Dan akhirnya Ayana menyerah kali ini. Ia meninggalkan buah hati kecilnya yang masih berwarna merah itu.

Wajah tak berdosa dari bayi yang baru lahir telah dibersihkan oleh salah satu perawat di rumah sakit. Yang seharusnya saat ini ia menerima cairan Asi dari Ayana, terpaksa tak bisa. Pun juga dua anak mungil yang tengah berlari mendekat ke arah brankar yang terdorong itu. Aidan dan Aviola tampak meronta-ronta dalam digendong Kakek Neneknya. Ia sangat ingin bertemu Ayana. Sedari tadi, ia terus saja tak diizinkan bertemu Sang Ibu untuk terakhir kalinya.

Seorang gadis kecil menangis tersedu-sedu menyaksikan Sang Ibu terbujur kaku di atas brankar, ditutupi kain putih yang menyelimuti seluruh bagian tubuhnya. Aviola saat ini melihatnya. Ia melihat Sang Mama di dorong beberapa orang masuk ke dalam mobil yang sama sekali bukan mobil Sang Papa, "Apiola mau ikut Mama. Apiola mau sama Mama," ucapnya terisak.

"Mama nggak boleh naik mobil itu. Mobil Papa ada disana. Ayo pulang sama adek bayi. Mama mau dibawa kemana? Kenapa wajah Mama ditutup semua. Mama mau kemana, Nek?" isak Aviola. Berkali-kali gadis kecil itu meronta-ronta digendong Sang Nenek. Gadis itu terlihat sangat rapuh. Bibir tipisnya sedari tadi bergetar memanggil Sang Mama. Sampai suaranya serak karena selalu tak diizinkan mendekat untuk melihat Sang Mama terakhir kalinya.

"Ayo kesana! Apiola mau sama Mama. Apiola mau digendong Mama," ucapnya terisak lagi dan lagi. Umi tak kuat melihat pemandangan ini. Ia ikut rapuh melihat cucu dan anaknya dalam situasi ini. Takdir tak bisa kembali untuk menyenangkan mereka. Takdir terlalu keras menerpa Jefri dan anak-anaknya.

Tangan Umi berusaha menyeka pipi Aviola yang sangat dibanjiri cairan bening itu. Sesekali ia juga menyeka miliknya sendiri yang menetes, "Sama Nenek dulu ya?"

Aviola lagi-lagi menepis tangan Umi yang berusaha menggendongnya. Langka kecilnya ingin mendekat ke arah Jefri yang sudah lebih dulu berada di dekat Ayana yang tengah terbujur kaku di atas brankar, "Nggak mau, Apiola mau sama Mama. Mama mau dibawa kemana? Mama kenapa diam telus? Mama mau kemana? Mama kenapa tidul telus?"

Umi tak kuat menahan tangisnya. Tangisnya ikut pecah saat ia berusaha menenangkan Aviola. Begitupun juga saat ia melihat Aidan. Sorot mata laki-laki kecil itu tampak kosong. Ia pun juga menangis sedari tadi. Aidan sangat ingin menyusul Ayana yang akan dibawa mobil itu, "Bi, Umi bawa Aviola kesana ya? Aidan tolong digendong. Biarkan Jefri sama Ayana dulu sebelum dia ngurus pemakaman istrinya,"

Tangis Aidan pecah. Ia tak kuasa melihat Sang Mama dimasukan ke dalam mobil yang sama sekali tak pernah ia kenal itu mobil siapa. Percakapan orang dewasa yang tak ia mengerti seakan-akan menyakitkan. Ia melihat tangis Sang Nenek, Sang Kakek, Aviola, dan bahkan Papanya yang membuatnya ikut melepas isak yang ia pendam, "Ayo sama Mama! Aidan mau sama Mama, nggak mau digendong Kakek, Aidan mau sama Mama. Aidan mau sama Mama," rengek Aidan keras. Sampai ia terbatuk di sela-sela tangisnya.

"Aidan dengerin Kakek, Nak! Mama sama Papa dulu ya? Aidan sama Kakek," Abi berusaha menenangkan cucunya yang sedari tadi tak berhenti menangis. Sebenarnya ia juga tak tega melihat pemandangan seperti ini. Ini sangat menyakitkan bagi anak tunggalnya. Secepat ini menantunya meninggalkan Jefri selama-lamanya.

Tubuh Aidan berusaha meronta. Ia berhasil jatuh dari gendongan Abi. Langkah kecilnya berlari sekencang mungkin untuk menyusul Jefri. Menyusul mobil yang Ayana tumpangi itu yang kebetulan belum berangkat, "Nggak mau, Aidan mau digendong Mama. Mama nggak boleh naik mobil itu. Aidan mau sama Mama. Aidan mau main-main telus sama Mama. Aidan mau digendong Mama. Aidan mau main sama adek bayi sama Mama. Mama kenapa diam telus? Ayo ikut Aidan!" ucapnya terisak. Napasnya berderu dan tangan mungilnya tak kuasa menyeka buliran bening yang merambat di pipi bulatnya.

"Aidan Sayang. Aidan doakan Mama! Nggak boleh nangis. Aidan anak pinter, jaga adik-adiknya. Jaga Papa juga. Doakan Mama terus," seru Abi berusaha mengejar Aidan dan memberitahu cucunya agar mau menurut.

"Nggak mau, Mama Aidan nggak boleh naik mobil itu. Aidan mau sama Mama. Aidan mau ikut Mama. Papa, Aidan jangan ditinggal. Aidan mau ikut sama Mama. Papa jangan tinggalin Aidan," teriaknya saat mobil itu perlahan berjalan menjauh dan pintu mobilnya tertutup. Meninggalkan laki-laki kecil yang berusaha mengejar sekuat tenaganya, yang berakhir jatuh bersimpuh di tanah karena kakinya tak bisa menahan tubuhnya.

"Papa, Aidan mau ikut Mama. Papa jangan tinggalin Aidan. Aidan mau ikut mobil itu sama Mama. Aidan sendilian," teriak Aidan lagi.

Jefri yang melihat dua anaknya itu saling berteriak dalam isak tangisnya, batinnya lantas sangat bergemuruh. Ia tak tega melihat kedua anaknya itu menangisi Ayana. Jefri benar-benar rapuh saat ini. Netranya sedari tadi masih terkunci pada sosok yang terbaring di atas ranjang sempit mobil jenazah yang ada di depannya. Seluruh paras ayu istrinya itu tertutup kain putih. Membuat buliran bening yang bernaung di kelopak mata Jefri seketika langsung lolos di depan Ayana.

"Ayana," panggilnya pelan di sela-sela isaknya.

"Kamu udah janji kalau kita akan ngurus anak-anak berdua sampa tua. Bayi kita yang masih merah itu butuh Asi dari kamu. Dia sangat butuh kamu. Gimana aku bisa jelasin ke anak-anak nantinya, Ayana!" ucapnya seraya perlahan membuka kain putih itu yang menutup paras ayu milik istrinya.

Bibir Jefri bergetar. Ia tak bisa menahan isaknya sedari tadi. Membayangkan dan menyaksikan beberapa jam yang lalu saat Ayana yang terbujur kaku bersamaan dengan tangisan putra kecilnya yang sama sekali belum melihat Sang Ibu di dunia ini. Ia sangat amat rapuh dengan kondisi ini, "Aku nggak bisa ada di posisi ini. Aku bener-bener masih butuh kamu. Sampai kapanpun. Aku belum siap secepat ini. Aku belum siap, Ayana!"

"Aku belum siap. Aidan, Aviola, sama adiknya masih butuh kamu semua. Sangat butuh. Aku belum sepenuhnya memenuhi janjiku. Aku masih punya tugas untuk menjaga kamu. Aku masih belum sepenuhnya melakukan tugas itu. Aku mau kita sama-sama jaga anak-anak, dan aku bisa melakukan tugasku untuk menjaga kamu sepenuhnya sampai nanti kita tua bersama. Aku udah janji sama Mama. Aku akan menjaga kamu," serunya lagi dengan tangan yang perlahan membelai tubuh kaku perempuan itu.

Jefri benar-benar hancur. Hatinya seakan tak terbentuk lagi karena kehilangan separuh dari jiwanya. Ayana meninggalkan banyak luka. Ia meninggalkan tiga anak tak berdosa itu sendiri menangisi tubuh Ibunya. Anak-anak itu masih butuh perempuan seperti Ayana sampai kapanpun. Anak-anak mungil itu masih belum mengerti pembicaraan orang dewasa yang sangat menyakitkan. Ia masih tak paham untuk mencerna.

"Aku belum siap di posisi ini, Ayana. Aidan gimana? Aviola gimana kalau nyari kamu terus? Anak kita yang baru lahir gimana? Kasihan dia, dia sama sekali belum pernah melihat kamu. Jangan seperti ini, aku mohon!" ujar Jefri di sela-sela isaknya yang pecah. Jefri tak kuat menahannya. Ia sangat rapuh dan tak siap dengan keadaan ini.

"Ayana, jawab aku! Aku butuh jawaban. Ayo kita sama-sama urus Aidan, Aviola, sama putra kecil kita yang baru lahir. Mereka semua butuh kamu. Sangat butuh. Mereka sama sekali belum siap di posisi ini. Aku mohon jangan seperti ini. Jangan buat aku takut!" tambahnya lagi, seakan-akan memohon pada Tuhan untuk menurunkan keajaiban saat ini juga.

"Putra kita udah lahir. Dia sangat sehat. Dia butuh Asi kamu. Dia butuh kasih sayang dari Mamanya. Dia butuh kamu. Dia masih sangat kecil untuk kamu tinggalkan. Aidan sama Aviola. Kasihan dia Ayana. Dia sangat dekat dengan kamu. Mereka semua sangat kehilangan. Tolong, jangan seperti ini. Mereka belum siap sepenuhnya. Mereka masih butuh kamu," seru jefri lagi.

Jefri tak bisa melepas genggaman tangannya dari tangan rapuh milik Ayana. Tautan tangan itu seakan nyata. Ia tak bisa melepasnya, "Ayana, tolong jangan seperti ini,"

"Ayana!"

"Ayana, tolong!"

"Ayana bangun! Ayana kamu dengar kan? Ayana, aku mohon jangan seperti ini. Aku belum siap sepenuhnya. Aku mencintai kamu. Kita rawat anak-anak bareng-bareng ya? Aidan, Aviola, dan putra kita sangat butuh kamu," jelas Jefri berkali-kali membisikkan kalimat itu di telinga Ayana. Namun jawaban Ayana masih nihil. Ayana sudah tak bernyawa lagi. Ayana tak bisa menjawab. Jefri hanya berangan-angan saja seakan-akan Ayana bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Sepanjang mobil berjalan, Jefri tak bisa menahan tangisnya.

"AYANA!"

"Ayana, jangan. Aku mohon! Ayana, tolong!" Jefri masih teriak dalam tidurnya. Ia meracau tak karuan. Bibirnya sedikit bergetar. Dalam tidurnya ia tak sengaja mengeluarkan cairan bening yang bernaung di kelopak matanya. Saking buruknya mimpi itu, ia sampai tak sadar jika suaranya menggema seisi kamar. Membuat Ayana ikut terbangun juga.

Dan mimpi buruk mengenai kematian itu berhasil membuat jantung Jefri seakan lepas dari rumahnya.

"Mas!" pekik Ayana yang tengah terbaring di sampingnya.

"Aku mohon jangan Ayana!" teriaknya berkali-kali sampai membuat Ayana bingung.

Jefri lagi-lagi meracau. Bibirnya mengeluarkan kalimat-kalimat tak jelas. Mimpi buruk itu masih menyelinap di otaknya. Ia masih belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya. Sampai Ayana harus menampar pipi suaminya agar ia terbangun secara paksa, "Apa sih? Jangan apa?"

"Mas, bangun!" pekik Ayana lagi.

"AYANA!" teriak Jefri sembari tubuhnya gelagapan terbangun dari tidurnya. Mata Jefri membulat. Netranya menelisik seisi ruangan. Mimpi itu terasa sangat nyata. Sampai membuatnya ketakutan sendiri. Pun juga, napas laki-laki dewasa itu tampak terengah-engah.

Jefri mengusap wajahnya kasar. Ia bisa bernapas lega saat netranya terkunci pada sosok yang sangat ia cintai itu. Iya, istrinya tengah terduduk di sampingnya. Di atas ranjang kamarnya, ia mengamati wajah istrinya yang tampak bertanya-tanya, "Kamu kenapa? Ngos-ngosan gitu? Mimpi apa?" tanya Ayana seraya dahinya berkerut.

Sorot mata Ayana memperhatikan mata suaminya yang sedikit sayu. Entah itu efek dari mengantuk atau tengah menangis. Kelopak mata itu sedikit mengeluarkan cairan bening yang bernaung disana, "Kamu nangis ya, Mas?" tebaknya sembari terkekeh.

"Tumben, Bapak Jefri nangis? Kenapa sih? Mimpi buruk apa sampai matanya berkaca-kaca gitu? Mimpi dikejar rentenir? Atau mimpi cicilan nunggak? Kan kamu nggak pernah punya hutang yang aneh-aneh," tebakan-tebakan aneh yang keluar dari bibir Ayana tak disahut oleh Jefri. Jefri memilih bungkam. Ia masih mengunci mulutnya sedari tadi. Jantungnya yang belum normal sepenuhnya sengaja ia normalkan kembali dengan mengatur napasnya.

Tangan Jefri tanpa aba-aba memeluk tubuh  istrinya. Entah, pelukan itu layaknya pelukan yang teramat dalam. Bak seseorang yang tak mau berpisah sedikitpun. Jefri tahu, ia menyadari perasaannya pada istrinya itu sangat amat terlambat. Ia tahu bahwa saat ini tugasnya adalah mengembalikan kepercayaan itu agar Ayana mau bertahan dengannya sampai kapanpun. Ia tak akan mengulang kesalahan yang sama seperti beberapa tahun silam. Dan tak akan mengecewakan perempuan itu. Jujur, ia masih belum siap untuk berpisah maut dengan istrinya. Entah dalam waktu dekat ini, atau nanti.

"Cuci muka dulu sana di kamar mandi baru peluk-peluk. Masih jam satu malam. Nengok anaknya besok-besok aja. Jangan sekarang! Aku ngantuk," titah Ayana berusaha melepas dekapan suaminya.

"Kamu mimpi apa sih tadi?" tanya Ayana lagi penasaran.

Jefri hanya membalas pertanyaan dari istrinya itu dengan gelengan singkat seraya bibir laki-laki itu terulas senyum simpul ke arah istrinya. Sorot mata itu menatap dalam. Dan bibirnya tak lama kemudian mendarat di pipi lembut milik istrinya, "Nggak papa," jawabnya singkat.

"Ya udah kalau nggak ada papa, ayo tidur lagi," sahut Ayana yang sudah siap untuk berbaring kembali.

Jefri ikut membaringkan tubuhnya menghadap Ayana. Keduanya saling berhadapan satu sama lain. Sesekali tangan Jefri mengelus perut yang sudah sepenuhnya membuncit milik istrinya.

Tak terasa. Seiring berjalannya waktu, Ayana sudah sampai di titik ini lagi. Akan melahirkan anak di kehamilan keduanya. Jefri merasakan tendangan-tendangan kecil dalam perut Ayana. Kaki mungil yang ada di dalam perut Ayana itu seakan-akan paham signal ayahnya yang tengah merindukannya untuk cepat-cepat bertemu.

"Kasih tau Papa Dek, HPL-nya masih 2 Minggu lagi. Sabar Pa! Jangan keseringan dielus," sindir Ayana ketika matanya melihat tangan Jefri yang tak beranjak dari perutnya sedari tadi.

"Kasih tau Mama juga, Dek! Jangan keseringan buat Papa khawatir," balas Jefri seraya menatap Ayana lembut.

Dahi Ayana berkerut saat Jefri membalas kalimatnya. Netranya menatap jefri yang juga menatapnya, "Emang siapa ya bikin khawatir?"

"Ya kamu lah," sahut Jefri.

"Enggak. Aku nggak merasa," bantah Ayana seraya memanyunkan bibirnya.

Jefri tak bisa menahan pandangan itu. Bibir Ayana seakan menggodanya. Ia lantas menghujani ciuman di bibir itu berkali-kali. Sesekali ciuman itu mendarat di pipi Ayana sampai Ayana sendiri berusaha menyingkirkan tubuh Jefri untuk menjauh dari tubuhnya karena Jefri terlalu banyak menciumnya, "Jangan dicium terus! Anaknya risih, Bapaknya kebanyakan cium-cium Ibunya," protes Ayana.

"Perasaan Adek nggak pernah bilang gitu ya?  Mama kamu aja yang banyak alasan," balas Jefri seolah-olah berbicara dengan anaknya yang ada di dalam perut Ayana.

Jefri hanya tak bisa mengendalikan tangisnya jika ia benar-benar kehilangan Ayana selamanya. Ia sama sekali belum siap akan hal itu. Ia tak bisa membayangkan menghabiskan waktu seorang diri di usia senja. Ia tak bisa melihat anak-anaknya kehilangan wanita yang sangat mereka cintai. Cukup mimpi buruk itu yang menyiksanya seakan nyata.

Apapun yang akan terjadi dalam rumah tangganya, Jefri hanya ingin selalu bersama Ayana. Entah itu hiruk pikuk badai yang menerpa lagi atau apapun itu, Jefri hanya berharap ia bisa mengatasinya berdua. Bersama Ayana.

"Ayana, jangan sering bikin suami kamu khawatir! Jangan pergi!" celetuk Jefri lagi yang membuat Ayana tak mengerti dengan ucapan suaminya lagi.

"Ya aku kan nggak ngapa-ngapain. Kenapa kamu ngomong gitu terus sih? Aku kan nggak kemana-mana. Cuma di rumah doang, sampai bosen. Kamu nggak ngebolehin aku ini itu," protes Ayana dengan bibir manyunnya lagi yang membuat Jefri terkekeh.

Bersambung...

Ternyata aku bisa nulis kilat 2500 kata dalam 3 jam 😭 hamdalah jari ini wkwk. See you soon guys.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top