BAGIAN 33 - OBROLAN PAPA MUDA

Bisa nggak nih 1000 vote 500 komen untuk part selanjutnya yang menegangkan karena mau masuk klimaks? Dan di update lebih cepat. Selamat membaca! 🤣

Cek ombak, aku mau double update. Coba sapa yang mau di up tolong Rep wkwkw. Kalo respon banyak membludak, aku up malam ini. Kalau enggak aku simpan buat cadangan Minggu depan wkwkwkwk.

💓💓💓

"Di rumah sama istri lo doang Jef?" tanya Evan, sahabat karib semasa sekolah yang saat ini tengah berkunjung di rumahnya. Jefri saat ini kedatangan beberapa sahabatnya. Salah satunya Evan, Dokter Bedah Orthopedi yang sudah Jefri kenal lebih dari 20 tahun. Usia Evan tak terlalu jauh dari Jefri, hanya saja Evan lebih tua darinya.

Jefri menggeleng seraya mengambil duduk di depan Haidar, sahabatnya juga yang bertamu di rumahnya, "Nggak, sama asisten rumah tangga juga di rumah," jawabnya pada Evan.

Empat sahabat Jefri itu tengah duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka sengaja datang ke rumah Jefri, untuk sekedar bertamu karena ada waktu longgar secara bersamaan di luar jam kesibukannya. Biasanya mereka hanya bertegur sapa dalam sebuah barisan teks pesan yang ada dalam ponsel masing-masing. Hampir tak pernah sesekali bersendau gurau seperti ini.

"Kemarin habis dari mana lo?" tanya Jefri ke arah Evan dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi.

Evan terkekeh pelan. Bibir tipisnya itu mengulum senyum simpul sebelum menjawab pertanyaan dari Jefri, "Ke dealer Om Anto, mau ganti mobil. Mobil lama udah bosen dipakai," jawabnya.

Kepala Jefri spontan menggeleng takjub. Sahabatnya itu paling update masalah otomotif dari dulu. Sampai-sampai Jefri sendiri bosan mendengar ocehan Evan mengenai mobil dan mobil, "Widih ... Bujang lapuk mobilnya gonta-ganti. Sekali-kali cari istri jangan cari mobil terus. Percuma mobil gonta-ganti kalo jok depannya kosong satu," Mulut Jefri sengaja mencibir Evan agar sahabatnya itu tersinggung.

"Sialan lo Jef! Mentang-mentang anak udah mau tiga," balas Evan seraya melempar gulungan kertas kecil ke arah Jefri.

"Soalnya tinggal lo doang disini yang belum nikah," sahut Haidar menimpali.

Evan menghela napas panjangnya. Hanya gara-gara ia belum menikah di usia tiga puluh tujuh tahun, ia mendapatkan lemparan cibiran dari para laki-laki dewasa yang duduk di dekatnya, "Adnan juga belum, mulut lo lo pada mojokin gue mulu," balas Evan membela diri.

"Masalahnya Adnan udah petros jakandor sama gebetannya. Masih muda, bening, kinyis-kinyis. Lo petrus sama siapa? Tulang sumsum?" Magenta tampak ikut menimpali cibiran yang dilemparkan Jefri dan Haidar. Dan saat ini, Evan tak bisa berkutik. Lidahnya seakan kelu untuk membalas cibiran teman-teman itu.

"Mulutnya Si Genta!" seru Evan memutar bola matanya malas.

Mendengar perdebatan-perdebatan kecil dari teman suaminya. Ayana yang tengah membawa nampan berisi beberapa cemilan, bibirnya lantas tersenyum kecil. Langkah kakinya sejajar dengan asisten rumah tangganya yang juga tengah membawa nampan berisi minuman. Keduanya membawa kakinya lebih dekat ke arah Jefri, "Di minum dulu," titah Ayana ke arah teman-teman suaminya.

Tangan Ayana meletakkan beberapa gelas minuman beserta makanan ringan yang ia bawa dari dapur ke depan suami dan teman-teman suaminya. Netranya jarang sekali menonton pemandangan ini. Teman-teman suaminya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sampai tak ada celah untuk saling bertebar rindu.

"Udah berapa bulan?" tanya Haidar yang mengarah ke Ayana.

"Delapan," jawab Ayana pelan seraya menyunggingkan senyum sopannya.

Mendengar jawaban dari Ayana, Haidar sontak mangut-mangut. Ia seakan paham dan mengerti. Terkadang otaknya tanpa aba-aba terlintas hal yang sama. Berharap semoga Sang Istri menyusul Ayana yang tengah hamil, "Bentar lagi lahir berarti ya?" tanyanya lagi.

Ayana hanya membalasnya dengan anggukan pelan seraya mengulum senyum. Kini giliran Jefri yang menjawab pertanyaan dari sahabatnya, "Iya sebentar lagi semoga tetep lancar sampai persalinan. Amanda gimana?"

Bibir Haidar tertarik tipis, "Masih program hamil. Semoga nanti hasilnya cepet positif," jawabnya.

"Aamiin. Gue doain cepet positif. Banyak anak banyak rejeki. Anak banyak nambah berkah, kalo banyak istri nambah—"

Ucapan dan candaan Jefri seketika terpotong karena kilatan tajam dari mata Ayana yang mengarah ke Jefri. Membuat Jefri begidik ngeri saat ditatap istrinya seperti ini, "Nambah masalah maksudnya, Sayang!" koreksinya seketika seraya menepuk-nepuk jemari Ayana agar Ayana melepas tatapan tajam itu.

Keempat sahabatnya itu sontak tertawa lebar saat Jefri mendapatkan tatapan mematikan dari istrinya. Bak seorang yang kalah taruhan. Bapak-bapak muda itu saling bergumam dan mencibir Jefri satu sama lain. Terlebih lagi Evan, paling berani mencibir Jefri. Entah ada Ayana atau tidak. Karena Evan yang lebih dekat dengan Jefri.

Ayana hanya menggeleng-gelengkan kepala pelan. Masih melirik suaminya yang tengah mengelus-elus jemarinya pelan. Ia lantas melepas tautan tangan Jefri yang bertengger di tangannya. Dan berniat pamit masuk ke dalam. Membiarkan suaminya lebih banyak mengobrol dengan teman-temannya, "Diminum ya? Aku ke dalam dulu," seru Ayana pada teman-teman Jefri sebelum ia beranjak masuk.

Ucapan Ayana itu dibalas keempat teman Jefri dengan anggukan pelan khas Bapak-bapak. Usai Ayana beranjak meninggalkan Jefri, Jefri ingin menanyakan hal yang mengganjal dalam batinnya ke arah Magenta. Karena rumah tangga sahabatnya itu hampir diterba badai, "Ta, istri lo di rumah?" tanya Jefri dengan sangat hati-hati.

"Nggak lo ajak, Ta? Biar istri gue ada temennya di rumah," serunya lagi pada Magenta.

Laki-laki bertubuh tegap itu hanya menggeleng pelan. Seraya berusaha mengulum senyum yang tak bisa diartikan oleh mata telanjang, "Nggak," jawabnya.

Adnan mengerutkan dahinya saat mengamati guratan masam pada wajah Magenta, "Biasanya lo kayak perangko, kemana-mana berdua. Kirain tadi lo ngajak Dira. Masalah lo belum kelar?" ucapnya menimpali.

Magenta berusaha menarik bibirnya lebar. Tangan yang bertengger di atas paha ia gunakan untuk memijit pelipisnya singkat. Dan beralih menatap sahabatnya secara bergantian, "Udah lumayan membaik. Tapi ya gitu ..." jawabnya dengan kalimat menggantung seraya menghela napas panjangnya saat otaknya tiba-tiba terlintas kejadian itu lagi.

"Awalnya gue kaget waktu denger beritanya. Tapi gue yakin, seberat apapun masalah lo. Jalan keluarnya cuma satu, suami istri harus saling percaya. Tanamkan kepercayaan dimana pun itu. Mau lo pergi dinas, mau lo pergi tugas kemanapun. Kalo kepercayaan itu udah tertanam, istri ataupun diri lo sendiri bakalan gampang menyelesaikan masalah," seru Jefri pada Magenta yang tengah berusaha bersikap seperti biasa. Tapi sama saja. Guratan masam yang ia sembunyikan itu tak akan bisa tertutup rapat di hadapan sahabatnya. Keempat laki-laki dewasa itu tetap masih bisa menebaknya.

Magenta berusaha mengalihkan pembicaraannya, "Adnan, seminar bulan depan yang ngadain pihak prodi atau anak-anak UKM? Ya kalau gue ada waktu longgar, gue datang kesana," serunya menatap Adnan yang sedari tadi menatapnya. Ia memilih mengalihkan pembicaraan ini agar keempat sahabatnya itu tak menanyakan masalahnya secara terus-menerus yang membuatnya kuwalahan menjawab.

Adnan tahu bahwa sahabatnya itu berusaha menutupi. Sampai-sampai seminar menjadi bahan pengalihan obrolan. Keempat laki-laki itu tak mempermasalahkan lagi. Takut jika pertanyaannya menyinggung perasaan sahabatnya. Meskipun jika bertemu, mereka lebih banyak bercanda. Tapi untuk masalah serius mengenai rumah tangga, mereka sangat berhati-hati menjaga ucapannya satu sama lain.

"Anak-anak Hima yang ngadain. Beberapa minggu yang lalu mereka udah minta persetujuan prodi untuk mengadakan seminar. Kalau mau datang, ayo!" ajak Adnan.

Magenta mengangguk mengerti. Setidaknya masalahnya bisa teralihkan dengan membahas seminar Adnan, "Nanti gue ikut ke seminar kalau ada waktu luang. Chayra gimana? Masih lo pepet?" tanyanya lebih mengalihkan.

Adnan ikut terkekeh karena Magenta tiba-tiba menyinggung soal gadis yang baru-baru ini ia dekati, "Masih," jawabnya.

"Si Evan kalah saing," cibir Jefri dengan nada sedikit mengejek ke arah Evan.

"Tapi sama aja. Dari dulu sampai sekarang Chayra susah didapet," protes Adnan.

Bibir Evan tertarik lebar. Ia seolah-olah mendapatkan bahan untuk mencibir balik, "Kurang doa lo," sahutnya penuh kemenangan. Urusan perempuan memang tak lepas dari pembahasan. Untung saja saat ini beberapa dari mereka sudah memiliki tambatan hati. Jadi untuk saling mencibir masalah perempuan pun hanya beberapa saja yang menjadi korban.

"Menurut gue kurang strategi," Haidar sedikit menimpali pembicaraan itu yang membuat Adnan mengerutkan dahinya. Adnan lantas menoleh ke arah Haidar, berharap laki-laki itu punya saran untuk ia gunakan dalam mendekati Chayra, "Strategi apa? Udah ribuan strategi gue coba. Hasilnya nihil," protes Adnan.

"Perempuan itu ibarat ikan. Harus punya umpan dulu baru bisa mendekat ke kita. Kalau umpannya bagus, ikan mana yang nggak mendekat? Kalau umpannya nggak bagus dan nggak berkualitas, dijamin nggak bakalan ada yang mendekat," jelas Haidar seolah-olah ia paling tahu masalah perempuan. Jefri dan Evan hanya terkekeh.

"Umpan apa yang lo maksud? Jangan aneh-aneh lo," seru Adnan.

"Kata orang 99% perempuan itu suka laki-laki yang wangi. Jadi mending strategi lo sekarang buat dapetin Chayra, beli parfum yang banyak. Kalo bisa satu ton lo borong semua. Terus tempelin ke baju lo. Pas dia meluk, beuh ... Wangi ahli surga," jelas Haidar seraya terkekeh geli karena sarannya tak membantu sama sekali.

"Dapet kagak keracunan iya. Kalo ngasih saran yang bagus dikit lah," gerutu Adnan seraya mendelik ke arah Haidar.

"Coba tawarkan layanan antar jemput kemanapun dia pergi. Kasih barang-barang kesukaannya," Jefri ikut menimpali percakapan itu.

Evan terkekeh. Tawanya setengah mengejek ke arah Adnan, "Lama-lama Adnan nggak ada bedanya sama tukang ojek pengkolan," balasnya menambahkan.

Magenta yang sedari tadi hanya diam, kini ikut menambahkan beberapa kalimat yang bernaung di bibirnya, "Udah Nan, jangan minta solusi ke Bapak-Bapak ini. Mereka nggak berbakat urusan PDKT, semua kisah cintanya banyak yang berawal dari perjodohan. Saran gue cari di google aja. Google meskipun dia nggak pernah pacaran, tapi dia tau semua jawabannya. Nggak kayak temen-temen kamu yang biadab ini," serunya pada Adnan.

Gelak tawa dari beberapa laki-laki dewasa itu menggema seisi rumah Jefri. Tawa inilah yang jarang sekali terlihat. Mereka sudah teramat dewasa. Obrolan-obrolan bak anak muda pun masih mereka tebas sampai detik ini. Meskipun begitu, tak ada kejanggalan sama sekali diantara mereka.

Hanya saja, mereka masih sulit untuk saling bertukar masalah. Banyak diantaranya yang masih nyaman untuk menyembunyikan masalah masing-masing. Baginya, semua bisa teratasi sendiri. Teman hanyalah untuk saling menebar tawa. Mereka tak mau saling membebani. Dan mereka paham, tidak semua malah harus diceritakan semua. Ada kalanya, untuk diceritakan ke orang terdekat. Dan ada kalanya untuk diselesaikan sendiri.

"Ayana nanti persalinan normal apa sesar, Jef?" tanya Haidar membuka pembicaraan baru.

Sorot mata Jefri melirik istrinya yang tak terlihat di dapur. Beberapa detik kemudian netranya beralih menatap Haidar untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu, "Dia mintanya normal. Tapi gue nggak tega. Mungkin lihat nanti aja. Kalau diharuskan sesar, nggak menutup kemungkinan gue harus siap untuk menyetujui tindakan sesar. Kalau dirasa normal nggak membahayakan kesehatan Ayana, ya nanti normal juga nggak papa," jawab Jefri.

Evan yang menyimak penjelasan dari Jefri juga ikut menimpali percakapan, "Terus tangannya yang kebas kemarin. Jadinya kenapa?" tanyanya pada Jefri. Ia mengetahui kondisi Ayana karena Jefri sering menceritakan istrinya itu pada Evan. Termasuk gejala-gejala yang Ayana alami.

Jefri menghela napas panjang sebelum ia menjelaskan, "MCU dulu hasilnya normal semua. Terus gue coba ke psikiater. Dan ternyata bener dugaan gue, kalau kebas dan gemetarnya itu dari serangan panik dan cemas berlebih yang Ayana alami karena trauma dulu masih membekas. Waktu gue konsultasi sama dokter, ternyata ada sebagian orang yang punya gejala sama seperti Ayana. Gejala kebasnya ini wajar kambuh kalau Ayana merasa panik atau cemas,"

"Jadi untuk meminimalisir terjadinya kambuh lagi, Ayana nggak boleh stress berlebih. Karena penyakitnya bersumber dari kesehatan mentalnya. Untuk obat yang paling ampuh, sementara dari dukungan keluarga dan pola hidupnya. Kalau dia bisa meminimalisir stress, dia bisa sembuh secara perlahan," tambah Jefri seraya ikut tersenyum kecut karena mengingat kondisi istrinya yang sedari dulu ternyata belum sembuh sepenuhnya dari trauma.

Sebuah trauma sangat sulit disembuhkan. Karena trauma membawa rekam jejak yang sangat kuat sampai manusia dewasa. Terlebih lagi dari pengalaman buruk di masa kecilnya. Trauma bisa menjadi momok menakutkan sampai bertahun-tahun lamanya, ketika kejadian buruk itu selalu terlintas di kepalanya tanpa sengaja.

Manusia akan cenderung mengingat sesuatu yang tenggelam dalam lautan hidupnya. Ketika kejadian menyenangkan itu lebih banyak dalam lautan hidupnya, ia akan cenderung mengingat-ingat terus kejadian menyenangkan sepanjang hidup. Namun jika kejadian buruk itu bernaung lebih dalam di lautan hidupnya lebih dari kejadian menyenangkan, maka yang akan selalu diingat dalam pikiran manusia adalah kejadian buruk itu sendiri.

"Intinya kunci kebahagiaan istri lo ada di diri lo sendiri, Jef! Ayana cuma punya lo yang jadi tumpuan hidupnya," seru Haidar.

Kepala Jefri mengangguk pelan. Bibirnya yang terulas senyum simpul lantas menghela napas beberapa detik, "Iya. Makanya, sebisa mungkin gue berusaha buat dia bahagia. Kesempatan yang dia berikan itu mahal, nggak semua orang bisa mendapatkan kesempatan kedua setelah mengecewakan. Tapi gue beruntung dapat dari istri gue, jadi gue berusaha nggak melepas kesempatan itu. Anak udah mau tiga. Nggak tau diri banget kalau gue macem-macem sama perempuan lain," jawabnya.

"Kalo gue nggak papa, Sexy Free and Single," tambah Evan mencoba mencairkan suasana.

"Ya kadang, menikah itu ada enaknya ada nggak enaknya di sisi pria. Apalagi nikah dipaksa orang tua," celetuk Haidar mematahkan semangat Evan.

Magenta ikut terkekeh pelan, "Betul!" serunya.

Dahi Evan sedikit berkerut. Matanya memicing seraya menelisik satu persatu sorot mata sahabatnya yang tampak muram saat membahas masalah pernikahan, "Nggak enaknya apa?" tanyanya santai.

Haidar sedikit berdehem. Ia mencoba menakut-nakuti laki-laki yang menyandang gelar spesialis bedah orthopedi itu, "Nggak enaknya di awal, nahan kebutuhan biologis berbulan-bulan sampai tahunan baru tersalurkan karena nggak berani memulai. Bujang lapuk kan juga begitu, nahan sampai halal," ucapnya terkekeh geli. Tak kuat dengan candaannya karena Evan spontan membalasnya dengan decakan sebal.

"Emang enaknya apa?" Giliran Adnan menimpali. Karena ia pun juga merasa belum pantas untuk menghirup terpaan badai pernikahan.

Haidar semakin menahan tawanya. Pun juga dengan Jefri, sedari tadi lidahnya kelu untuk menimpali. Takut jika ia salah bicara. Istrinya bisa mendengar dan mengamuk, "Enaknya kalau udah saling cinta, nempel terus sampai lupa anak. Lihat istri pakai baju dinas malam udah kayak lihat surga. Betul tidak Pak Jefri yang sudah berpengalaman? Yang anaknya paling banyak diantara kita,"

Jefri hanya membalasnya dengan gelengan pelan sembari bibirnya tertarik lebar karena ucapan kalimat dari Haidar. Sorot matanya memang sangat paham dengan arti kalimat Haidar. Namun lidahnya tak bisa mengakui bahwa yang dikatakan Haidar memang benar adanya. Sepertinya memang beberapa orang yang sudah menikah akan memahami apa yang dimaksud Haidar.

"Udah, besok aja kawinnya. Jangan kelamaan pepet tapi nggak ditangkep. Keburu ilang, Nan!" Magenta kini membuka suara.

"Lo juga Van, siapa tau ada yang mau lo kawinin. Jangan tengok ke belakang mulu, Delia udah bukan jalan lo. Nyetir mobil kalo nengok spion terus bakalan nabrak juga. Fokus dong ke depan. Kelamaan nunggu cocok. Umur lo sama gue tuaan lo. Finansial matang, biologis apalagi jangan ditanya. Terus mau nunggu apa?" Jefri mengejek Evan yang belum bisa sepenuhnya melupakan mantannya. Karena restu orang tua Delia, Evan tak jadi mempersunting perempuan yang sangat ia cintai itu gara-gara masalah restu.

"Dikata kucing kawin main sosor sana sini? Kalau nggak satu frekuensi buat apa? Susah payah nyetak undangan, sewa WO sana sini. Belum lagi ngundang orang se-Indonesia. Buang-buang waktu. Mending satu frekuensi dulu baru bisa menjalin," tandas Evan membela diri.

"Kebanyakan ngitung frekuensi. Lo jadi tua bangka baru nikah. Frekuensi bisa disamakan, kalau dua insan itu saling melengkapi," bantah Haidar.

"Mantap sekali Haidar Teguh," Jefri ikut terkekeh saat Evan kalah pendapat dengan Haidar.

Lima laki-laki dewasa itu tak pernah habis membicarakan sesuatu saat kesempatan bertemu itu ada. Terkadang berjam-jam mereka hanya membahas 'kapan waktu yang tepat untuk nge-gym bareng'. Terkadang juga waktu berjam-jam itu habis hanya gara-gara membicarakan masalah istri yang tengah merajuk. Semua tak terlepas dari masalah keluarga satu sama lain.

Namun dibalik candaan itu. Terkadang pikiran-pikiran yang seharusnya tak bersarang, tiba-tiba mengendap di otak Jefri. Usia kehamilan Ayana sebentar lagi akan usai. Mau tidak mau Jefri harus memikirkan tindakan apa yang harus ia persiapkan. Ia tak mau ada insiden kedua kalinya terjadi, sama seperti dulu waktu Ayana hamil Aidan dan Aviola.

Lalu bagaimana jika Jefri tak bisa mengatasinya? Bagaimana jika kelahiran putranya itu akan mempertaruhkan nyawa Ayana? Jefri masih belum bisa membayangkan hal-hal buruk itu yang terjadi.

Bersambung....

Hey aku update setelah sekian tahun 🤣
Ini masih gemes ya tunggu nanti ada gonjang-ganjing. Jangan sampa ketinggalan.

Sponsor by :
Haidar - Lost Marriage - Novelme
Evan - Bitter Chocolate Scandal - Dreme
Magenta - Dia jodohku by _missdandelion
Adnan - Unconditional Love by bellajuwita_Bee

Semua tokoh cuma minjem, dialog ya dari gua sendiri 🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top