BAGIAN 32 - SATU KEBAHAGIAAN
Ini 3300 lebih waw gila aku menulis ini wkwkwk. Gapapa yuk komen vote follow. Bentar lagi ending gaes 9 part lagi. Kawal sampai ending. Dan enaknya kalo udah ending buat lapak Aidan apa Apiola? Sad ending atau happy? Yuk komen di bawah enaknya apa?🤣 Kasih tau typo. Selamat membaca!
💋💋💋
📍Jakarta
Terlihat dua anak mungil yang tengah berlari ke arah ruang tamu sembari tangannya memegang mangkuk kecil yang berisi mie goreng penuh. Aidan, laki-laki kecil itu lebih dulu berlari ke arah ruang tamu seraya mulutnya penuh dengan mie yang bergelantung di bibirnya. Sedangkan Aviola, bibirnya riang menertawakan kembarannya yang hampir terpeleset karena terlalu antusias berlari.
Kedua anak kembar itu sibuk bermain satu sama lain. Mie goreng yang dibawakan Umi dari rumah, asik ia makan dengan lahap tanpa Jefri ketahui. Andaikan Jefri tahu istri dan anaknya itu memakan mie instan, pasti jari-jemarinya sibuk merenggut mangkuk-mangkuk penuh berisi mie agar tak dikonsumsi istri dan kedua anaknya.
Sorot mata Aviola menajam saat Aidan menyendok mie milik Aviola tanpa berdosa, "Aidan, mie Apiola jangan diambil!" teriak gadis kecil itu seraya netranya melotot ke arah kembarannya.
Aidan ikut mendelik saat Aviola tak mengizinkan Aidan untuk menyendok mie miliknya, "Tapi ... Mie Aidan udah habis. Apiola nakal," belanya karena Aviola merengkuh mangkuk itu agar tak diambil Aidan.
Bibir Aviola pun reflek mengerucut seraya netranya masih betah mendelik ke arah Aidan, "Tapi, ini mie Apiola!" teriaknya lagi.
Kedua anak kembar itu saling melemparkan tatapan tajam ke arah satu sama lain. Aviola ataupun Aidan saling bersendekap dada. Dengan bibir yang kian mengerucut dan netra yang tak pernah lepas dari kilatan tajam, Aidan dan Aviola menyembunyikan mangkuk milik masing-masing agar tak direbut salah satunya.
Beberapa menit berperang dengan tatapan tajam. Netra Aviola beralih menatap pintu utama rumahnya yang sengaja dibuka seseorang dari luar. Sorot mata gadis kecil itu sontak melebar karena orang yang sangat ia cintai telah pulang dari hiruk pikuk banyaknya pekerjaan yang menyita waktu di rumah sakit, "Papa," panggilnya seraya perlahan berlari ke arah Jefri.
Aviola lantas berlari untuk mendekat ke arah Jefri. Disusul Aidan yang sudut bibirnya masih belepotan sisa mie instan yang ia ambil dari mangkuk Aviola yang tertinggal, "Papa kok pulangnya lama?" tanya Aidan ke arah Jefri.
"Papa ada kerjaan banyak di rumah sakit, Nak!" jawab Jefri pelan namun seketika itu alisnya berkerut saat netranya menangkap Aidan yang tengah memakan mie, makanan yang sangat Jefri hindari untuk dikonsumsi keluarganya.
"Bawa mainan?" tanya Aidan lagi ke arah Jefri yang sedikit berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan tinggi anak-anaknya.
Perasaan Jefri berangsur tak enak. Netranya yang menelisik sudut bibir kedua anaknya itu lantas beralih menatap dua mangkuk yang tergeletak di meja ruang tamunya. Ah, Jefri sudah bisa menebaknya. Ayana membiarkan dua anaknya mengkonsumsi mie instan. Astaga Ayana!
Tangan Jefri mengusap pelan pucuk kepala dua anaknya itu saling bergantian, "Papa kan kerja, nggak bawa mainan dong!" seru Jefri yang dibalas Aviola dan Aidan dengan tatapan kecewa.
"Tadi makan apa? Mie instan?" tanya Jefri ke arah dua anaknya yang tengah berdiri di depannya.
Aviola mengangguk. Begitupun juga dengan Aidan yang juga mengangguk cepat saat pertanyaan itu terletup di bibir Jefri. Saat Jefri menerima jawaban dari dua anaknya, ia lantas menghela napas panjang. "Apiola sama Aidan makan mie goleng dali nenek," ucap Aviola mengadu pada Sang Papa.
Kedua alis lebat milik Jefri kian berkerut. Dugaannya salah. Ternyata bukan hanya istrinya yang membiarkan anaknya itu memakan mie instan. Tapi juga Sang Ibu. Ibunya lah yang tengah mengirimkan mie instan itu. Padahal Ayana sudah diperingati oleh Jefri, ia tak boleh sedikitpun makan mie saat hamil seperti ini. Apalagi Aviola dan Aidan yang masih belum genap berusia lima tahun. Pencernaannya pun masih membutuhkan dukungan makanan yang banyak mengandung gizi, dan itu bukan mie instan, "Nenek kesini?" tanya Jefri pada kedua anaknya.
"Tadi Kakek sama Nenek kesini. Telus nenek bawa mie goleng. Telus Aidan sama Apiola minta mie golengnya. Telus Mama juga minta mie golengnya. Kata nenek, kalau makan dikit nggak papa," seru Aidan menjelaskan.
Jefri menghela napasnya. Harus bagaimana lagi ia menjelaskan ke Ayana ataupun Abi dan Umi. Memang, sebuah pernikahan itu tak seindah yang orang-orang lihat. Perbedaan pendapat mengenai makanan saja bisa memperkeruh masalah, belum lagi masalah-masalah yang lain, "Besok-besok kalau mau makan mie instan, ciki-ciki, atau jajan apapun itu tanya Papa dulu. Kalau Papa bilang boleh dimakan, dimakan ya? Kalau Papa bilang nggak boleh dimakan, jangan dimakan. Nanti kalau Aidan sama Aviola makan makanan yang sehat, Papa beri hadiah!" pintanya pada kedua anaknya.
"Papa belikan jus apel mau?" Tawaran Jefri ini membuat kedua anaknya terkadang merasa bosan. Minuman yang menurut Jefri patut dimakan, terkadang membuat kedua anaknya ataupun istrinya tak semangat untuk mengkonsumsinya.
Aviola menggeleng pelan. Pun juga dengan Aidan yang menyorotkan tatapan sayunya juga ikut menolak tawaran Jefri, "Mau mie goleng," ucap keduanya beriringan.
"Jus apelnya nanti ada mainan Batman sama little pony-nya di atas wadahnya. Yakin nggak mau?" Jefri berusaha membujuk anaknya dengan cara apapun itu. Sampai membelikan jus buah yang wadahnya dilengkapi karakter mainan kesukaan kedua anaknya. Berapapun harganya yang tertera di aplikasi pesan-antar, akan Jefri beli. Daripada ia harus melihat kedua anaknya memakan makanan yang tak sehat.
"MAU," teriak keduanya. Siapa yang tak senang jika diiming-iming mainan? Aidan ataupun Aviola akan spontan terperanjat girang.
"Aidan mau mainan Batman,"
"Apiola mau Pinkie Pai sama Apple Jack,"
Bibir Jefri tertarik lebar. Lensa matanya menangkap mangkuk mie yang berserakan di meja ruang tamu lagi. Ia lantas manggut-manggut melihat respon kedua anaknya, "Ya udah, mie gorengnya kasih ke Papa! Papa pesan jusnya dulu. Tapi janji sama Papa kalau jusnya udah datang, janji harus minum jusnya," perintah Jefri pada kedua anaknya yang dibalas mereka dengan anggukan cepat.
Jefri membuka layar ponselnya. Dan langsung tertuju pada sebuah aplikasi pesan antar untuk memilih minuman yang ia pesan. Tanpa berpikir panjang, ia memilih beberapa jus untuk ia pesan dan langsung ia bayar dengan uang elektronik, "Ya udah, Aidan sama Aviola tunggu jusnya datang disana ya? Nanti kalau yang ngantar jus udah datang, panggil Papa!" pinta Jefri lagi.
Saat ia melihat kedua anaknya itu keluar rumah, langkahnya beranjak ke arah meja ruang tamu. Tangan Jefri lantas mengambil mangkuk-mangkuk yang hampir kosong itu. Bibirnya lagi-lagi menghembuskan napasnya pelan saat melihat pemandangan mie yang tertangkap di retinanya.
Jefri berjalan ke arah dapur sembari membawa mangkuk-mangkuk itu. Netranya mendapati Ayana yang tengah berdiri di dekat wastafel seraya memunggunginya. Istrinya itu tak sadar jika Jefri telah pulang. Batin Jefri ingin menegur Ayana karena keteledorannya mengizinkan dua anak mungil itu mengkonsumsi mie instan. Tapi ia ingat betul saat ini Ayana tengah hamil. Ia takut jika tegurannya itu disalahartikan Ayana sebagai bentakan dan amarah.
Bicara baik-baik lebih bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah. Seru Jefri dalam hati.
"Ayana," panggilnya pelan.
"Kamu udah pulang, Mas?" tanya Ayana yang langsung menyadari bahwa yang memanggilnya adalah suaminya.
Ayana menoleh. Ia mendapati Jefri yang tengah membereskan mangkuk-mangkuk itu ke dalam wastafel. Dan tangan Jefri pun ikut meraup mangkuk sedikit besar yang ada di meja makan. Mangkuk itu jelas berisi mie goreng penuh, "Lho ... Mie-nya mau ditaruh kemana?"
Mangkuk yang dipenuhi mie itu Jefri letakkan di lemari gantung yang sulit dijangkau Ayana ataupun anaknya, "Kamu makan mie-nya?" tanyanya pada Ayana.
"Belum, ini aku tadi makan tumis brokoli. Belum sempet makan mie. Kamu mau apain mie-nya? Aku belum makan," protes Ayana bersungut-sungut.
Saat Jefri selesai membereskan mie goreng itu, ia turun kembali dari kursi yang ia gunakan sebagai tumpuan penyangga tubuhnya saat meletakkan mie itu di lemari dapur yang agak tinggi jangkauannya, "Lain kali aja makan mie. Kamu sama anak-anak udah aku pesenin jus buah. Nanti makan itu aja," perintah Jefri.
Bola mata Ayana berotasi. Guratan wajahnya yang tercetak juga menampakkan kekecewaannya. Bibirnya tak henti-hentinya merapalkan decakan demi decakan sebal ke arah suaminya, "Makan mie dikit aja nggak boleh. Lagian kan udah hampir satu tahun nggak makan mie, masa nggak boleh terus," gerutu Ayana yang sangat keras kepala.
Langkah Jefri mendekat ke arah Ayana saat telinganya menangkap decakan sebal dari bibir istrinya. Sebenarnya ia ingin marah ke arah istrinya. Tapi amarah tak bisa menjamin konflik rumah tangga akan terselesaikan, "Udah berkali-kali aku bilang, bukan nggak boleh. Tapi sabar dulu! Janin kamu butuh asupan yang lebih seimbang. Nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kamu juga harus banyak kandungan serat, asam folat, sama vitamin lainnya. Kalau ada makanan yang lebih bergizi kenapa harus konsumsi mie?" seru Jefri seraya memegang kedua bahu Ayana.
Ayana masih tak menanggapi petuah suaminya. Bibirnya masih mengerucut sebal. Matanya masih menampakkan tatapan kekecewaannya, sampai membuat Jefri mengacak-acak pucuk kepala istrinya itu, "Nggak usah ngambek. Turuti apa yang suami kamu katakan!" tambah Jefri lagi sembari tangannya menarik pangkal hidung bangir milik istrinya.
Tangan Jefri sontak beralih memegang perut buncit milik istrinya yang berusia 30 Minggu itu. Dari awal kehamilan sampai saat ini, Jefri terbilang kesulitan untuk mengatur hormon istrinya. Ia kira saat Ayana hamil Aidan dan Aviola saja, ia harus tersiksa dengan kelakuan Ayana. Tapi ternyata, kehamilan kedua ini justru lebih membuat dirinya ikut kuwalahan lagi, "Hari ini mual atau kram lagi?" tanya Jefri berusaha mengalihkan pembicaraannya dan mengambil duduk di kursi ruang makan, di samping Ayana.
Ayana hanya menggeleng seraya netranya masih sibuk membalas beberapa pesan yang tertera di ponselnya, "Tadi pagi sama sore kram, tapi ini udah nggak kram lagi," jawabnya seraya melirik Jefri sekilas.
Jefri ikut melirik layar ponsel milik Ayana. Dahinya berkerut saat memperhatikan Ayana yang tengah sibuk dengan ponselnya dari pada memperhatikan suaminya, "Chat dari siapa?" tanyanya.
Sorot mata Ayana menatap Jefri lagi. Namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya untuk membalas pesan itu, "Kakak tingkat dulu waktu kuliah," jawabnya pelan.
Sedari tadi mata Jefri tak beralih menatap Ayana dan ponsel istrinya. Bibirnya seketika menampakkan senyum datar. Terlihat kecemburuan dalam tatapannya yang berkilat, "Laki-laki apa perempuan?" tanyanya lagi memastikan.
"Laki-laki."
Mendengar jawaban singkat dari Ayana, telinga Jefri memanas. Ia sontak melemparkan ribuan pertanyaan ke arah istrinya, "Ada urusan apa sampai chat kamu? Ada kepentingan apa? Kalau nggak penting nggak perlu dibales. Buang-buang waktu," ucapan itu seolah-olah peringatan bagi Ayana.
Ayana seperti tak tahu saja bagaimana suaminya itu kalau cemburu. Dari dulu Jefri paling sensi sekaligus gengsi jika kecemburuan itu mengalir dalam pembuluh darahnya. Ya Ayana juga tak bisa disalahkan, hanya gara-gara pesan masuk yang bernaung di ponselnya saja Jefri langsung menghujani pertanyaan peringatan. Bagaimana jika pesan itu penting?
"Nggak ada urusan apa-apa."
"Kenapa bisa sampai kirim pesan ke kamu? Udah nikah apa belum?" Pertanyaan-pertanyaan ini keluar lagi dari bibir Jefri yang membuat Ayana sedikit menahan tawanya. Hubungannya apa chat dan status pernikahan sampai-sampai Jefri harus menyeleksi siapa saja yang bisa menghubungi Ayana. Protektif sekali Bapak tiga anak ini.
Bibir Ayana terulas senyum tipis. Sesekali kekehan-kekehan geli itu mencuat dari bibirnya saat guratan kecemburuan di wajah Jefri masih tercetak, "Belum nikah. Jadi, kakak tingkat aku ini namanya Kak Rizal. Dulu dia temen satu UKM sama Rafi. Karena dia mau boking kafe buat acara ulang tahun saudaranya, dia langsung hubungi aku sendiri. Rafi yang ngasih tau mungkin. Jadinya Kak Rizal chat aku tadi. Namanya pelanggan, Mas! Masa aku abaikan, sih! Dia kan mau boking kafe buat acara,"
"Temen kamu itu udah nikah?" tanya Jefri lagi.
"Siapa? Kak Rizal atau Rafi?"
Jefri sengaja tak menjawab terlebih dahulu. Bola matanya berputar saat Ayana menyebut nama laki-laki yang pernah menautkan perasaanya pada istrinya dulu, "Yang kedua," jawabnya samar.
Ayana terkekeh lagi. Dari dulu saat Jefri bersikap seperti ini bukannya Ayana marah, malah perut Ayana semakin dibuat menggelitik oleh Jefri. Suaminya itu paling gengsi jika disuruh menyebut nama Rafi, "Oh Rafi ... Belum nikah juga, nggak tau juga sih! Katanya dulu mau tunangan terus nggak jadi lagi. Ya sekarang statusnya masih lajang," jawab Ayana seadanya namun bibirnya masih menahan tawanya agar tak mencuat.
"Umur berapa sih dia?" Lagi-lagi Jefri menanyakan hal yang tak Ayana duga.
"27 tahun. Kenapa emangnya?"
Bibir Jefri ikut tersungging miring saat mendengar jawaban Ayana lagi, "27 tahun kok belum nikah," cibirnya pelan hampir tak tertangkap di gendang telinga Ayana. Tapi karena pendengaran Ayana itu sangat tajam, ia masih bisa mendengarnya samar.
Kepalan tangan Ayana menghantam bahu Jefri pelan saat ia mendapati suaminya tengah mencibir temannya. Hanya gara-gara guratan cemburu yang bersemayam di hati suaminya, bibir suaminya itu tak bisa dikendalikan, "Ngaca! Emang kamu dulu umur berapa nikahnya?" sahut Ayana seraya tersenyum miring.
"Setidaknya aku lebih beruntung," bela Jefri.
"Lebih beruntung gimana? Kamu nikahnya malah lebih tua dari umur Rafi sekarang," tandas Ayana.
Tangan Jefri mengambil kedua tangan Ayana untuk ia letakkan di pahanya. Keduanya saling beradu pandang. Jefri yang masih bersungut, sedangkan Ayana yang tengah menahan tawanya, "Ya karena aku lebih dulu mendapatkan hati orang yang dia taksir. Kebanggaan tersendiri itu," tegasnya pada Ayana.
Ayana menyunggingkan senyum miringnya saat mendengar pengakuan dari Jefri, "Lebay! Berarti kalo dulu aku lebih dulu milih Rafi dari pada nerima perjodohan Mama, kamu nggak beruntung?" serunya.
Tatapan Jefri menajam. Tangannya spontan menarik pangkal hidung Ayana sebagai hukuman untuk Ayana, sampai-sampai terdengar ringisan dari mulut istrinya, "Yang penting kamu sekarang nggak bisa milih-milih lagi. Udah hak paten. Mau temen kamu belum nikah. Mau dia jadi bujang lapuk nggak nikah-nikah. Itu urusan dia. Bukan urusan kamu. Anak kamu di rumah udah mau tiga. Itu anaknya Jefri yang ada di perut kamu, bukan anak orang lain," tegasnya lagi yang membuat perut Ayana semakin menggelitik. Enak juga membuat suaminya tertekan seperti ini.
"Papa!"
"Papa!"
Panggilan-panggilan kecil itu menggema seisi ruang makan. Jefri maupun Ayana ikut menoleh. Netra keduanya mendapati dua anaknya yang tengah berlari. Aidan dan Aviola berebut ingin duduk berhimpitan di sela-sela Jefri dan Ayana.
"Kok nggak panggil Papa kalau jusnya udah diantar?" tanya Jefri saat dua anaknya itu meletakkan beberapa jus buah di atas meja. Keduanya fokus dengan mainan stick yang menempel di atas sedotan jus, dan bukan fokus dengan minumannya.
"Tadi, Mbak Kinan yang telima jusnya," sahut Aviola yang masih sibuk dengan dua mainan little pony kesukaannya.
"Udah bilang makasih sama Mbak Kinan?" tanya Jefri pada dua anaknya yang dibalas mereka dengan anggukan cepat.
Jefri lega karena minuman pesanannya cepat datang. Jadi ia bisa menyogok dua anak mungil itu untuk mengkonsumsi minuman yang lebih sehat, dari pada harus makan mie instan yang sulit dicerna anak balita ataupun Ibu hamil. Kali ini saja Jefri kecolongan. Besok-besok ia harus berbicara lebih dalam mengenai ini pada Ayana ataupun orang tuanya agar tak mengizinkan dua anaknya itu mengkonsumsi mie instan, "Kalau ini kamu boleh makan," titahnya pada Ayana seraya tangannya menyodorkan segelas jus alpukat pada istrinya.
Ayana menggeleng berniat untuk menolak tawaran Jefri, "Nggak ah, udah kenyang tumis brokoli tadi," tolaknya.
Jefri menghela napasnya. Ayana memang tipe istri keras kepala jika harus berhadapan dengan makanan kesukaannya. Tapi Jefri tetaplah Jefri. Kalau ia tak mengizinkan sesuatu untuk dimakan, ya berarti Ayana harus menurut, "Aku taruh kulkas. Sebelum tidur kamu minum jus ini dulu," pintanya sembari tubuhnya mulai beranjak berjalan ke arah kulkas untuk meletakkan jus buah itu.
"Kamu sendiri udah makan, Mas? Kalau belum aku masakin dulu sayurnya," tanya Ayana balik.
Jefri mengangguk. Usai meletakkan minuman itu di kulkas, ia kembali mengambil duduk di sebelah Ayana, "Udah. Tadi di kantin rumah sakit udah makan," jawabnya.
Pandangan Jefri jatuh ke arah kedua anaknya yang tengah sibuk memainkan mainan yang mereka dapatkan saat membeli jus. Bibir Jefri terulas simpul. Tangannya ikut mengacak-acak secara bergantian pucuk kepala Aidan dan Aviola. Pun juga beberapa detik usai ia sibuk menjahili kedua anaknya yang tengah bermain, tangan Jefri juga tak kalah cepat bertengger di hidung Ayana lagi. Sepertinya ia sangat lama menjelajah hidung milih istrinya untuk ia tarik secara gemas, sampai Ayana bersungut-sungut.
Menjalani pernikahan memang tak semudah yang ia pikirkan dahulu. Karena kesalahannya dulu, ia harus menunda pemandangan seperti ini mengitari hidupnya. Jika berandai-andai itu diizinkan, mungkin Jefri sudah lebih dulu mendapatkan pemandangan seperti ini dari awal pernikahannya. Tapi kesalahannya itu membuat semuanya berantakan. Dan bagaimana pun juga, kesempatan dari Ayana tak bisa ia abaikan begitu saja. Saat ini ia ingin merangkum bahagianya ini dengan hadirnya buah hati yang ia tunggu-tunggu beberapa minggu yang akan datang menemaninya, buah hati yang masih teduh bersemayam di perut istrinya itu.
Semoga. Dan sampai kapanpun, pelik rumah tangga itu tak akan menggores luka yang menganga di hati Ayana ataupun Jefri. Entah konflik apalagi yang harus ia hadapi setelah ini. Jefri ingin ia bisa menghadapinya dengan dewasa, bukan dengan kata egois.
"Dua bulan lagi ya, Nak! Ketemu Papa, Mama sama kakak-kakak kamu. Jangan mau dikasih Mama makan makanan yang nggak bergizi. Bilangin Mama, suruh nurut sama Papa. Dari dulu nggak pernah nurut," seru Jefri sembari tangannya mengusap-usap pelan perut Ayana.
Saat retina Aidan tak sengaja menangkap tangan Jefri mengelus perut Ayana. Sebuah pertanyaan sontak mencuat di bibir laki-laki kecil itu, "Adik bayi mau kelual sekalang?" tanyanya pada Jefri dan Ayana.
"Nanti, dua bulan lagi," jawab Jefri.
Netra Aidan lagi-lagi membulat. Otaknya berusaha mencerna kalimat orang dewasa namun ia masih belum mengerti sepenuhnya untuk merangkainya, "Dua bulan lagi belalti besok malam-malam?" tanyanya lagi.
"Dua bulan lagi itu masih lama," jawab Ayana seraya terkekeh geli karena mendengar antusias dari Aidan.
"Belalti adek bayi kelualnya pas Aidan udah besal kayak Papa?" Aidan masih saja menghujani pertanyaan-pertanyaan yang membuat Ayana terkekeh.
Jefri ikut terkekeh juga, "Nggak selama itu juga, Nak! Nanti kalau adek bayinya mau keluar, Papa kasih tau Aidan sama Aviola. Doakan, semoga adiknya sehat terus, kuat kayak Aidan sama Aviola. Mama juga sehat terus," jelasnya.
Meskipun cadel itu masih mengikat lidah kedua anaknya, namun Jefri tak mempermasalahkan hal itu. Jefri paham jika setiap anak itu punya proses perkembangannya masing-masing. Yang terpenting dua anak mungilnya itu aktif menanyakan apa yang tak ia ketahui pada orang tuanya. Itu yang membuat Jefri dan Ayana senang melatih motorik dua anaknya.
"Aidan setiap hali beldoa. Kata Mama kalau mau minta, halus beldoa sama Allah. Telus, Aidan beldoa bial Adik bayinya kelual kalau Aidan sudah bangun. Kalau adik bayinya kelual pas Aidan tidul nanti Aidan nggak tau kelualnya. Telus Aidan beldoa bial Papa sama Mama belikan Aidan mainan yang banyak setiap hali," jelas Aidan antusias menceritakan doanya.
Aviola ikut mengangguk cepat, "Papa kelja telus ya? Kata Mama kalo Apiola mau minta mainan, Papa halus kelja dulu balu dapat uang. Telus uangnya buat beli mainan Apiola," timpalnya menambahi.
Lagi-lagi mainan. Jefri sampai menghela napas berkali-kali karena ditagih mainan terus. Ayana yang mendengar cuitan dari dua anaknya itu ikut tersenyum, "Adik kalian kan udah mau lahir ... Nanti Aidan sama Aviola kan jadi Kakak. Uangnya jangan buat beli mainan terus, kasih adiknya! Buat beli baju adik, buat beli makanan adik juga. Mainan Aviola sama Aidan kan udah banyak di rumah. Nanti uangnya ditabung buat beli keperluan adik, ya?" pinta Jefri pada keduanya, berusaha melatih dua anaknya itu agar tak terlalu sering meminta mainan.
"Kalau beli buku sekolah boleh?" tanya Aidan.
Jefri mengangguk, "Boleh. Asal jangan mainan terus,"
"Belalti Aidan mau beli buku sekolah yang ada hadiahnya mainan," jawab Aidan seraya menampakkan deretan gigi yang tak lengkap miliknya seraya ikut terkekeh tanpa rasa bersalah.
Beberapa Minggu yang lalu Ayana pernah ingin sekali marah dengan dua anak mungilnya. Karena Aviola pernah menggunting albumnya, Aidan tak sengaja memandikan kucingnya di kolam renang sampai kucing itu hampir tenggelam, Aviola pernah hampir mencukur habis bulu kucingnya, Aviola pernah mengoles rambut Aidan dengan semir sepatu, dan beberapa kelakuan yang tak terduga itu muncul. Tapi saat melihat tawa tak berdosa milik anaknya, batin Ayana terasa damai. Seakan-akan insiden-insiden yang dulu pernah muncul seketika sirna.
Lalu apakah satu rangkuman kebahagiaan ini akan sirna lagi karena tergores luka baru yang menganga? Bagaimana jika luka itu hadir bertepatan dengan calon buah hati yang masih teduh bersemayam di perut Ayana itu lahir? Apakah Ayana akan siap? Pun juga dengan Jefri sendiri. Apakah laki-laki dewasa itu siap untuk menaruh beban luka itu di punggungnya? Membiarkan dua anak mungil dan istrinya itu dihujani deretan cairan bening yang keluar? Jangan dibayangkan. Itu belum terjadi. Saat ini Jefri masih fokus dengan kebahagiaannya yang terangkum.
Bersambung ...
"27 tahun kok belum nikah,"
Seketika tanganku ingin menabok kepala Pak Jefri wkwkwk. Hore tinggal 9 part lagi ending. Ayok ditunggu komen sampai membludaknya biar aku cepat menyelesaikan sekuel ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top