BAGIAN 31 - PC SUNGJIN DIGUNTING AVIOLA
Kasih tau yang typo dan kalimat rancu ya? Thanks udah nunggu sampai part ini 💋 Part panjang mau lewat.
💜💜💜
Tangan Ayana tampak membereskan sisa-sisa puing photocard Sungjin yang telah terbelah menjadi beberapa potongan kecil. Potongan-potongan kecil itu berserakan di lantai bersama satu CD Album yang tepiannya hampir retak sepenuhnya. Batin Ayana miris melihat barang yang sangat ia jaga dan ia sayangkan lebur menjadi satu seperti ini.
"Mama," panggil Aidan seraya langkah kecilnya berlari mendekat ke arah Ayana.
Ayana menoleh. Ia mendapati anak laki-lakinya itu tengah memeluknya dari belakang secara tiba-tiba. Dengan sedikit susah payah, ia mensejajarkan tubuhnya untuk berdiri tegap. Perutnya yang hampir sepenuhnya membuncit itu, ia raba pelan karena terasa nyeri, "Papa dimana, Dan?" tanyanya pada anaknya.
"Tadi Aidan lihat Papa kelual, telus naik mobil. Aidan nggak tau Papa kemana," jawab Aidan saat Ayana melemparkan pertanyaan ke arahnya.
Ayana mencoba mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang usai membereskan sisa-sisa kepingan photocard yang tergunting ludes itu. Entah siapa tersangkanya, netra Ayana spontan mendadak buram saat melihat photo Sungjin berserakan menjadi kepingan-kepingan tak berwujud, "Aidan tau yang gunting-gunting kertas Mama siapa?" tanya Ayana penasaran pada anaknya.
"Tadi Aidan lihat Apiola, gunting-gunting keltas Mama buat main lumah-lumahan telus sekalang Apiola ikut nenek jalan-jalan. Keltas-keltasnya ditinggal. Apiola nggak belesin, Ma!" Aidan berusaha memberitahu Ayana, bahwa kembarannya lah yang merusak barang Mamanya.
Helaan napas dari bibir Ayana mencuat. Lagi-lagi anak perempuannya yang berulah, "AVIOLA! Ini kertas berharga punya Mama. Ini foto Bapak tiri kamu. Terus ini gimana? Udah nggak bisa diperbaiki lagi," gerutunya seraya masih memangku puing-puing kertas miliknya itu.
Tangan mungil Aidan menepuk-nepuk paha Ayana pelan. Pun juga senyumnya ikut meringis memperlihatkan gigi yang tak rata itu di depan Ayana, "Mama jangan malah ya? Nanti Mama minta dibeliin Papa lagi. Nanti Papa beli keltas buat Mama. Telus Papa juga beli mainan buat Aidan," serunya berusaha menenangkan Ayana.
Netra Ayana sontak menatap Aidan yang masih menepuk-nepuk pahanya. Tangan Ayana juga reflek meraih kepala Aidan dan bibirnya mendarat di kening Aidan. Ia gemas dengan perlakuan anak laki-lakinya itu. Meskipun hatinya masih berantakan karena melihat kertas photocard Sungjin digunting Aviola, namun kalimat Aidan sukses membuat bibirnya tertarik lebar. Meskipun Aidan tak pernah lupa dengan embel-embel kalimat terakhir yang ia ucapkan.
Kalimat-kalimat yang terlontar dari bibir Ayana dan Aidan, tanpa sengaja didengar oleh Jefri secara samar dari luar. Jefri tampak masuk ke dalam kamarnya dengan membawa satu lembar map berisi hasil MCU milik Ayana. Hasil itu ia sembunyikan di belakang tubuhnya karena sengaja ingin memberi kejutan pada Ayana. Namun niatan itu ia urungkan karena melihat sosok istri dan anaknya yang tengah terduduk di tepi ranjang, berdua.
"Ada apa?" tanya Jefri pada keduanya.
Kepala Ayana mendongak saat mendengar suara Jefri. Pun juga dengan kepala mungil milik Aidan, "Photocard Sungjin digunting semua sama Aviola. Album yang kemarin lusa kamu beliin udah nggak bisa dipakai. Aviola gunting semua PC-nya. CD-nya juga dibuat mainan. Kata Aidan tadi Aviola main rumah-rumahan pakai album ini," jawab Ayana seraya netranya menatap miris album yang telah hancur lebur di gunting Aviola.
Jefri hanya mengangguk-anggukan kepalanya saat menanggapi jawaban dari Ayana, "Ya udah lah. Nggak perlu dipikirin," sahutnya kemudian.
Ayana tampak beranjak dari duduknya. Ia mencoba mensejajarkan tubuhnya dengan Jefri yang berdiri tak jauh darinya, "Nggak perlu dipikir gimana? Mas, anak kamu gunting-gunting foto Bapak tirinya. Gimana aku nggak pusing, itu foto Sungjin di album The Day. PC-nya digunting sampai ludes,"
Bibir Jefri mengulas senyum saat netranya memperhatikan guratan amarah di wajah istrinya. Iya, ia paham jika album kesukaan istrinya itu dibuat mainan anaknya. Tapi kan menurut Jefri hanya album saja. Tak menjadi masalah besar yang harus diperdebatkan. Sedangkan menurut Ayana, album itu komponen penting untuk dirinya, "Mungkin Aviola nggak tau kalau itu penting. Nanti aku transfer uang buat beli lagi, nggak usah dipermasalahkan. Nggak usah marahin dia kalau dia pulang, biar aku yang bicara baik-baik," jawab Jefri mencoba menenangkan Ayana.
Entah sebenarnya hormon Ibu hamil yang Ayana miliki itu terlalu kuat kadarnya atau bagaimana? Sampai-sampai ada masalah sedikit langsung membuat perasaan tak karuan ikut mencuat. Terlebih lagi, masalah album. Barang-barang sensitif yang tak boleh dirusak sedikitpun, sekarang malah dirusak Aviola, anaknya sendiri. Aviola masih terlalu kecil untuk tahu itu barang penting atau bukan.
"Mama jangan sedih ya? Nanti Papa belikan lagi keltasnya," Aidan pun juga ikut mencoba menenangkan Sang Mama.
Netra Aidan beralih ke arah Jefri dan berjalan mendekat ke arah Jefri, "Papa, nanti kalau Mama dibelikan keltas lagi, Aidan juga minta mainan ya? Aidan kemalin lihat ada mainan Batman walna hitam telus Batmannya bisa jalan sendiri pakai lemot. Nanti kalau Papa beli keltas buat Mama, Papa beli mainan Batman juga ya buat Aidan?" pintanya dengan menampakkan giginya pada Jefri agar Jefri mau membelikan mainan untuknya.
Jefri menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Tangannya mengacak-acak pucuk kepala anaknya dengan lembut sembari helaan napas yang keluar dari hidungnya itu keluar, "Kamu bisa terus, kalau minta mainan sama Papa. Aidan main dulu sana di luar, Papa mau bicara sama Mama urusan orang dewasa. Anak kecil nggak boleh tau," perintahnya pada Aidan.
"Tapi nanti Aidan dapat mainan balu?" sahut Aidan sumringah.
Jefri mengangguk. Ia menyetujui saja permintaan anak laki-lakinya itu agar ia bisa cepat berbicara dengan Ayana berdua,. "Iya besok," jawabnya.
"Apiola dapat?" sahut Aidan lagi.
"Dapat juga,"
Bibir Aidan sontak mengerucut saat tahu bahwa kembarannya itu mendapatkan hadiah juga dari Sang Papa. Padahal dalam batinnya, ia ingin mendapatkannya seorang diri. Bukan dibagi oleh kembarannya, "Tapi Apiola nakal. Apiola udah lusak-lusak keltas Mama," jawabnya dengan nada kecewa.
Jefri mengacak-acak pucuk kepala Aidan lagi seraya tangannya menarik gemas pipi Aidan yang menggelantung bebas disana, "Aviola nggak sengaja. Dia kan nggak tau. Adik Aviola nggak nakal, Sayang! Aviola pinter sama kayak Kakak Aidan. Udah sana ya? Main di luar. Besok Papa kasih mainan robot," jelas Jefri pada anaknya.
Saat mendengar iming-iming dari Jefri, Aidan sontak meloncat kegirangan. Tubuhnya tampak mengitari Jefri, dan sesekali memeluk tubuh Ayana sembari mengecup pelan calon adiknya yang masih bersemayam di perut Sang Mama. Sebelum ia benar-benar beranjak keluar dari kamar, Aidan menghentak-hentakkan kakinya mengeluarkan bunyi-bunyi kecil akibat dari sandalnya yang bergesekkan dengan lantai. Ia berjalan keluar kamar dengan masih menghentakkan salah satu kakinya secara bergantian seraya tangannya melambai-lambai menari kegirangan, yang membuat Ayana dan Jefri menarik sudut bibirnya saat melihat anak mungilnya itu bertingkah.
Jefri tampak memainkan ponselnya, membuka aplikasi bank yang ada di ponselnya. Ia lantas mengetikkan beberapa digit nominal uang untuk ia kirimkan ke rekening Ayana, "Udah aku transfer buat beli album," serunya ke arah Ayana.
"Bukan masalah uangnya. Tapi gimana ... Aduh ... Aku nggak bisa ngomong. Coba deh kamu jadi aku. Terus lihat photocard digunting anak sendiri jadi kecil-kecil gini. Ini photocard Sungjin, Mas!" sahut Ayana masih dengan bibir yang kian mengerucut karena netranya sedari tadi terkunci pada kepingan kertas photocard yang dipotong-potong Aviola menjadi tak berbentuk lagi.
Jefri tak menjawab langsung. Tangannya spontan merengkuh tubuh Ayana untuk ia dekap dalam pelukannya, "Nanti aku yang ngomong sama Aviola. Lain kali kalau punya barang penting jangan ditaruh di sembarang tempat. Anak-anak masih kecil. Nggak tau mana yang penting dan yang menurut mereka nggak penting. Jangan kepancing emosi dan marahi anak kamu, sebelum kamu bicara baik-baik sama dia. Kasih tau dia apa kesalahannya. Jangan langsung dihakimi!" jelasnya lembut.
Saat tubuh Ayana ada dalam dekapan Jefri, netra Ayana terpejam. Emosinya pun sedikit reda. Entah, Ayana pun juga bingung dengan dirinya sendiri. Apa hormon Ibu hamil sangat berpengaruh besar dengan naik turun emosinya? Padahal jika dipikir-pikir, Aviola jauh lebih penting daripada album. Ia bisa menyelesaikan masalahnya tanpa mengeluarkan emosi yang berlebihan yang bisa menggangu pikirannya.
"Maaf kalau tadi aku kepancing emosi. Aku sebenernya juga nggak mau kayak gini. Tapi nggak tau kenapa tiba-tiba pengen marah. Aku akhir-akhir ini terlalu mikir berlebihan. Apa-apa dipikir. Apa-apa nangis, padahal aku nggak tau aku nangisin apa. Aku nggak mau mikirin yang aneh-aneh. Tapi kadang pikiran-pikiran itu lewat tanpa sebab, Mas! Termasuk pengen marah ke Aviola," papar Ayana memberitahu apa yang sebenarnya bernaung dalam pikirannya akhir-akhir ini.
Jefri mengangguk. Ia mengisyaratkan bahwa dirinya mengerti keadaan istrinya, "Nangis itu manusiawi. Aku juga nggak nyalahin. Tapi kamu juga harus tau. Jangan menghakimi anak-anak kalau mereka salah. Aku paham kondisi kamu, tapi sebisa mungkin jangan luapkan emosi kamu cuma untuk marah di depan anak-anak. Bisa dibicarakan baik-baik tanpa menghakimi kesalahan mereka," serunya.
"Akhir-akhir ini aku sulit ngontrol pikiran. Udah aku coba berkali-kali tapi tetep nggak bisa. Aku lagi-lagi sering nyalahin diri sendiri tanpa sadar. Padahal aku juga nggak mau sebenernya terlalu mikir yang berlebihan. Kadang tiba-tiba panik berlebihan tanpa sebab. Aku sendiri bingung sama kondisiku yang sekarang," Ayana mencoba mengadu pada Jefri. Ia khawatir jika ia hanya memendamnya, Jefri tak akan tahu masalahnya.
Jefri lebih memperdalam pelukannya, namun dengan posisi masih memberi celah calon anaknya itu untuk bernapas di perut ibunya agar tak terhimpit, "Aku udah berkali-kali bilang sama kamu. Kalau ada apa-apa jangan dipendem sendiri. Keluarkan! Nangis nggak papa, nangis itu manusiawi bukan lemah. Laki-laki pun juga boleh nangis," jelasnya pada Ayana.
Bibir Jefri sedikit menjeda kalimatnya sebelum ia meluapkannya lagi, "Jangan menganggap kalau perempuan kuat, tahan banting, hati baja, itu nggak nangis sama sekali. Dan perempuan lemah itu yang nangis terus, menye-menye, nggak punya pendirian. Itu persepsi kurang tepat—"
Jefri menghela napas panjangnya, "Semua manusia itu punya porsi kharakter masing-masing. Di dunia ini nggak ada yang sempurna. Perempuan lemah pun juga nggak ada. Kamu nangis itu bukan lemah tapi manusiawi. Overthinking pun juga wajar bagi manusia karena manusia punya sistem syaraf di otak yang berguna untuk mengatur ekspresi setiap kali dia melakukan aktivitasnya. Semua Indra di tubuh kita itu diatur sistem syaraf yang tak kita sadari," paparnya lagi.
Tangan Jefri mengurai dekapannya. Netranya beradu pandang dengan istrinya sebelum ia menjelaskan lagi apa yang masih mengendap di bibirnya, "Syaraf kranial yang kecil banget bentuknya, itu saja dia punya peran besar bagi tubuh kita. Saat kita sedih, marah, nangis, melihat, mendengar, mengunyah, mencium bau, atau apapun itu, syaraf kranial ini bekerja di tubuh kita. Waktu kamu nangis, bohong atau apapun yang melibatkan bagian sekitar mata kamu itu bekerja, syaraf okulomotor memberikan pasokan syaraf ke otot-otot sekitar bagian mata termasuk otot pupil, otot kelopak mata atau otot ekstraokular," jelasnya pada Ayana.
"Bahkan harusnya manusia yang bisa menangis itu harus bersyukur. Itu artinya sistem syaraf parasimpatis yang ada di tubuhnya bekerja dengan baik. Banyak penelitian yang mengungkapkan kalau nangis itu bisa untuk menenangkan diri. Daripada apa yang kamu pikirkan itu bisa jadi penyakit, lebih baik dikeluarkan lewat air mata," tambah Jefri lagi.
Ayana menyentil dahi Jefri yang masih mencerocos bagian-bagian syaraf secara tak sadar. Padahal Ayana sama sekali tak mengerti dengan apa yang Jefri bicarakan mengenai masalah itu, "Ini kita lagi diskusi apa kuliah Neurosains sih, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba jelasin semua bagian sistem syaraf?"
Bibir Jefri reflek terbuka. Ia terkekeh geli mendengar Ayana protes saat dirinya tak sadar memberi ceramah pada istrinya sendiri, "Maaf kelepasan," jawabnya sembari mengacak-acak surai hitam milik istrinya.
Ayana menggeleng-gelengkan kepalanya. Netranya terhenti pada Map yang ada di tangan suaminya, "Bawa apa?" tanya Ayana pelan.
"Hasil MCU kamu, aku tadi udah izin dokternya kalau kamu nggak bisa ikut ke rumah sakit. Hasilnya udah keluar tadi. Dan aku langsung ambil," jawab Jefri menjelaskan pada Ayana.
Ayana mengambil kertas itu di tangan Jefri. Ia menatap Jefri dalam sebelum netranya beralih menatap map itu lagi, "Hasilnya jelek?" tanya Ayana dengan hati-hati. Takut hasil yang ada di dalam kertas itu adalah hasil yang tak ia harapkan.
Kepala Jefri menggeleng saat Ayana menunduk, "Nggak jelek. Justru semuanya aman. Intinya di dalam hasil pemeriksaan lab itu, tubuh kamu baik-baik aja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang penting apa yang aku perintahkan untuk makan, ya kamu harus nurut. Jangan bantah!"
"Terus gejala kebasnya gimana? Kenapa akhir-akhir ini tetep kerasa? Aku sering ngerasa gemetaran sama kebas lagi," Ayana mengadu kesekian kalinya pada Jefri. Ayana memutuskan untuk memberitahu Jefri mengenai kondisinya, setelah dulu ia memutuskan untuk memendamnya sendiri. Justru jika Ayana memendamnya, ia akan kesulitan menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Nanti aku belikan obat di apotek rumah sakit. Obat yang kandungannya masih aman untuk ibu hamil. Bisa jadi, kebasnya karena memang efek dari hamil itu sendiri. Nggak perlu khawatir. Ayo siap-siap, besok kembali ke Jakarta lagi," seru Jefri seraya mengulum senyum tipisnya.
"Urusan kamu sama Abi udah selesai?" tanya Ayana pelan untuk memastikan.
Jefri mengangguk lagi, "Udah semua. Sekarang tinggal nunggu anak Papa lahir," sahutnya sembari tangannya bertengger di perut Ayana. Sesekali tangan kekar itu mengelus perut yang tengah membuncit itu.
Ayana menatap Jefri lagi. Tatapannya itu mengisyaratkan bahwa dirinya menginginkan sesuatu. Bagi Ayana sepertinya tak apa-apa jika suaminya itu dimintai barang yang ia inginkan. Anggap saja ini permintaan bayinya. Kali saja Jefri mau menyetujui permintaannya, "Sebelum lahiran aku minta sesuatu ya, Mas?" tanyanya pada Jefri.
"Minta apa?"
Ayana mengulas senyum merekah saat suaminya itu langsung menyahutnya, "Lightband Day6, soalnya punyaku yang lama udah rusak kan? Ya, Please!"
Tangan spontan Jefri menarik pangkal hidung milik Ayana. Sampai-sampai Ayana meringis kesakitan karena ulah Jefri yang terlalu keras menarik hidungnya, "Kenapa jadi kamu yang ngelunjak?"
"Anaknya yang minta bukan aku," sangkal Ayana cepat.
"Papa mau beli mainan?" sahut anak mungil yang berada di ambang pintu yang membuat Jefri dan Ayana menoleh secara bersamaan ke arah pintu karena mendengar cicitan dari anak mungil itu.
Ternyata Aidan sedari tadi tengah berada disana. Menempelkan kepalanya di salah satu pinggiran pintu. Entah ia paham atau tidak apa yang dibicarakan orang dewasa, tapi batinnya selalu meronta dan tak sabar ingin Sang Papa membelikannya mainan.
Salah Jefri sendiri sebenarnya. Sudah tau watak anaknya itu tak bisa diberi janji, ia malah mengatakan 'nanti akan dibelikan mainan'. Wajar jika Aidan menunggunya disana, dengan bibir yang mengerucut panjang dan berdiri menyandarkan kepalanya melas di pinggiran pintu sembari menunggu orang tuanya berdiskusi masalah orang dewasa yang sama sekali tak ia ketahui itu.
"Aidan nguping?" tanya Jefri pada Ayana.
Ayana pun juga tak tahu sejak kapan anak laki-lakinya itu disana. Ia mengangkat bahunya menanggapi pertanyaan dari Jefri, "Dia mungkin nggak tau apa yang kita bicarakan," jawabnya.
"Aidan mau, Aidan mau juga. Aidan mau mainan yang tadi Papa bilang," teriak Aidan menggema sembari langkah kecilnya mengarah ke Jefri.
Jefri menghela napas panjang. Ujung bajunya ditarik Aidan dari bawah karena tinggi Aidan tak sejajar dengan Jefri. Tangan Aidan pun juga tak berhenti menarik-narik bajunya yang membuat Ayana menahan tawanya untuk keluar, "Nggak Ibunya nggak anaknya sama-sama tukang malak," geruru Jefri seraya mengambil tubuh Aidan untuk ia letakkan dalam gendongannya.
"Milih tidur sendiri sampai aku lahiran atau beliin anak mainan?" ancam Ayana dengan nada halus namun mengerikan jika didengar di telinga Jefri.
Jefri menghela napas lagi saat mendengar ancaman yang keluar dari mulut istrinya, "Ya udah, sebelum balik ke Jakarta ke MOG dulu beli mainan yang kamu suka sekalian ngajak Aviola," tuturnya pada Aidan berusaha mengalah agar masalah tak diperpanjang Ayana. Dan ia tak jadi menahan tidur sendirian selama itu.
Bibir Ayana ikut tertarik sesekali terkekeh saat Jefri menampakkan guratan masam di wajahnya karena ancaman yang ia keluarkan dari mulutnya.
Bersambung...
Horee update. Maaf telat seminggu baru update 🤯 otak aku ngambang mikir 3 naskah wkwk. Terima kasih udah setia nunggu. See you 💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top