BAGIAN 30 - PEMBICARAAN ITU

Janji ya? Setelah baca ini, ramaikan kolom komentar biar aku semangat. Kasih vote dan follow bagi yang belum follow 💋

💜💜💜

"Ngomongnya nanti dulu ya, Jef? Aku ke dalam dulu. Mau taruh cetakan kue ini ke dapur," seru Amira saat matanya menangkap Jefri yang tengah duduk di samping Ayana.

Jefri mengangguk pelan. Bibirnya terulas senyum simpulnya sebelum ia mengatakan kalimat yang bernaung di bibirnya, "Iya nggak papa. Aku tunggu," jawabnya.

Usai Amira masuk ke dalam dapur, Ayana reflek menatap Jefri yang tengah memainkan ponselnya, "Ngomong hal penting ya sama Mbak Amira?" tanya Ayana pada Jefri.

Jefri spontan menoleh ke arah istrinya. Saat netranya menangkap guratan wajah istrinya yang tengah menatapnya penasaran, bibir Jefri sontak tertarik membentuk simetris tipis. Salah satu tangannya yang tengah bertumpu pada kursi yang Ayana duduki, lantas ikut menarik pipi Ayana yang menggelantung bebas, "Sangat penting," jawabnya penuh penekanan.

Karena penasaran, dahi Ayana tampak berkerut. Bibirnya yang sedari tadi mengulas senyum tiba-tiba berubah mengerucut. Batinnya mengapung. Entah sepenting apa pembicaraan suaminya dengan mantan calon tunangan suaminya itu, "Sepenting apa?" tanya Ayana memutar bola matanya malas.

Jefri sontak terkekeh. Memang, sudah bisa tebak. Ayana pasti tak akan betah berlama-lama disini. Padahal Jefri sama sekali tak ada niatan macam-macam dengan mantan calon tunangannya itu. Karena merasa guratan cemburu di wajah Ayana tampak jelas, Jefri sontak sedikit mempermainkan kata-katanya agar Ayana lebih cemburu lagi, "Sepenting dunia dan seluruh isinya," jawabnya kemudian.

Bola mata Ayana berputar lagi saat bibir Jefri baru saja mengatakan kalimat itu, "Lebay," gerutunya.

"Siapa yang lebay? Emang nanti pembicaraannya penting kok," sahut Jefri cepat.

Bibir Ayana kian mengerucut karena mendengar sahutan kalimat dari Jefri. Kepalanya pun ikut memutar, netranya menatap segala arah dan yang terpenting tak menatap Jefri, "Kenapa ngajak aku?" gumamnya pelan.

Jefri tak bisa menahan tawanya. Guratan cemburu yang ada di wajah Ayana kian nampak. Ia tak bisa membiarkan istrinya terlalu larut dalam kecemburuan. Terlebih lagi, istrinya itu tengah hamil. Hormon Ibu hamil lebih tinggi kadarnya dibanding hormon singa yang tengah memakan mangsanya.

Tangan Jefri reflek bertengger di punggung kursi yang di duduki Ayana bak merangkul Ayana dari belakang. Sesekali tangan itu jatuh di atas pucuk kepala Ayana dan mengusap-usapnya pelan, "Justru kalau nggak ngajak kamu, bisa berabe. Bisa aja setelah ngomong berdua sama Amira, aku pulangnya disuruh tidur di luar. Bisa juga gara-gara itu aku nggak bisa menyalurkan nafkah batin selama satu tahun gara-gara nggak dikasih. Kan ngeri!" bisik Jefri sembari kekehannya semakin menggema seisi ruangan.

Ayana yang mendengar pengakuan dari Jefri sontak tak bisa menahan bibirnya untuk tertarik. Entah lah, yang keluar dari bibir Jefri itu memang benar atau Jefri masih menyembunyikan perasaannya. Ah, tidak. Harusnya Ayana lebih lega. Jefri saat ini memilihnya. Iya kan? Tak mungkin Jefri memilih mantan calon tunangannya itu sedangkan perempuan itu sudah punya suami sendiri.

"Kenapa senyum-senyum?" goda Jefri seraya matanya menangkap basah bibir Ayana yang menyunggingkan senyum tipisnya.

Mendengar Jefri mengatakan kalimat itu sontak saja Ayana reflek mengembalikan bibirnya yang sedikit tertarik menjadi datar kembali, "Nggak ada. Aku nggak senyum," alibinya.

Jefri ikut terkekeh geli mendengar pengakuan dari Ayana, "Itu tadi apa?"

"Bibirnya kedutan," jawab Ayana cepat seraya netranya tak menatap Jefri yang ternyata juga menatapnya.

Tangan Jefri sontak mengacak-acak pucuk kepala Ayana lagi. Bisa-bisanya istrinya itu sekarang sangat pandai beralibi sama seperti dirinya dulu, "Belajar ngeles darimana?" tanyanya.

"Dari Bapaknya Aidan," sahut Ayana jujur yang membuat Jefri ikut terkekeh lagi.

Jefri merasa lega saat sorot matanya menatap Ayana tanpa buliran bening yang menetes dari kelopak mata Ayana. Satu hari saja, atau bahkan hari-hari berikutnya ia ingin Ayana seperti ini. Tak memikirkan apa yang mengganjal di pikirannya. Entah itu memikirkan kesehatannya, memikirkan janinnya, memikirkan kedua orang tuanya, atau bahkan memikirkan omongan buruk orang lain.

Kesehatan psikis Ayana menurun. Semenjak pertengkaran di kapal antara ia dan Ayana itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Sampai Jefri sendiripun takut untuk melukai Ayana lagi. Ayana kerap bolak-balik ke psikiater hanya untuk menebus obatnya beberapa tahun yang lalu. Dan Jefri tak ingin itu terulang lagi.

Jefri sudah mempersiapkan sebuah kotak kado yang berisi barang kesukaan Ayana. Ia meletakkan kotak itu di tasnya kemarin saat barang itu sampai di tangannya. Jauh-jauh ia membeli barang itu hanya ingin membuat istrinya menampakkan senyum merekah. Tak apalah, jika ia harus mengantri dengan pembeli yang lain, yang terpenting barang itu sampai di tangannya saat ini, "Ini, mumpung ingat!" seru Jefri mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado berwarna pink dan aksen pita berwarna violet.

Ayana menerima kotak itu dengan dahi yang masih berkerut. Ia penasaran dengan isi kotak yang ia pegang. Padahal ia jelas-jelas tak meminta hadiah, kenapa Jefri tiba-tiba memberinya hadiah?

"Ini apa?" tanya Ayana.

"Buka aja sekarang disini, dari pada di rumah nggak sempet dibuka," titah Jefri saat melihat Ayana hanya membolak-balikkan kotak itu.

Ayana lantas menurut. Ia perlahan membuka kotak yang ia pegang saat ini. Dahinya berkerut lagi saat melihat isi kotak itu ternyata album band Korea kesukaannya, "Album Day6? Dapat darimana album ini? Kan aku nggak minta. Kenapa dibeliin album?" serunya menghujani pertanyaan ke arah Jefri.

"Emang aku nyuruh kamu minta?" tanya Jefri balik yang dibalas Ayana dengan ukiran senyum yang bertengger di bibirnya.

Ah siapa yang tak senang jika tiba-tiba suaminya memberi hadiah yang tak pernah ia minta dari suaminya. Sebenarnya Ayana ingin barang itu. Tapi ia berharap ingin mendapatkannya dari uangnya sendiri. Untuk saat ini tak apalah. Ada yang lebih gratis kenapa harus susah payah beli? Ayana tak henti-hentinya mengukir senyum saat melihat sebuah album Day6 sudah ada di genggaman tangannya.

"Gitu kan cantik," celetuk Jefri yang membuat Ayana menoleh ke arahnya.

Ayana sontak menghentikan senyumnya. Ia lantas kembali mengerutkan dahinya. Tak mengerti siapa yang di maksud Jefri, "Apa?" tanyanya pada Jefri untuk memastikan.

Jefri menggeleng pelan seraya mengulum senyumnya, "Nggak papa,"

"Tadi bilang apa? Siapa yang cantik?" tanya Ayana lagi seraya matanya menelisik seisi sudut kafe, berharap jika yang ia pikirkan itu salah.

Jefri menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Ayana celingukkan memperhatikan sudut-sudut kafe bak mencari seseorang. Bibir Jefri pun ikut terukir lagi, "Istrinya Jefri yang cantik. Emang kamu mikirnya aku muji siapa, hm?"

"Udah kepala tiga lebih, mulutnya gombal terus. Lupa umur!" protes Ayana saat Jefri memujinya. Padahal kan memang ini yang diharapkan Ayana, Jefri tak memuji perempuan lain. Ayana saja yang plin-plan. Perempuan memang begitu. Terkadang perasaannya sulit ditebak laki-laki.

"Dipuji protes, nggak dipuji ngamuk," tandas Jefri seraya menarik pangkal hidung Ayana sedikit gemas sampai-sampai Ayana ikut merintih kesakitan.

"Jef,"

Jefri sontak menghentikan tawanya saat telinganya mendengar seseorang tengah memanggilnya. Pun juga dengan Ayana, ia ikut menoleh juga saat seorang perempuan tengah memanggil suaminya. Dan ternyata yang memanggil memang benar, dia Amira. Perempuan yang mengambil duduk di depan Jefri.

"Ra," jawab Jefri kemudian saat ia mendapati Amira tengah mengambil duduk.

Amira menyunggingkan senyum simpulnya ke arah Ayana sebagai rasa sopan karena Ayana dan Jefri disini adalah tamu, "Anak-anak nggak kamu ajak sekalian, Jef?" tanya Amira pada Jefri sembari bibirnya masih mengulum senyum simpul setengah meneduhkan.

"Ini udah aku ajak," sahut Jefri terkekeh.

Amira menautkan alisnya tak mengerti dengan jawaban Jefri karena sedari tadi ia tak melihat anak-anak Jefri, "Mana?" tanyanya.

"Ini di perut Mamanya," sahut Jefri seraya mengacak-acak pucuk kepala Ayana berkali-kali sampai Ayana sendiri pun ikut sebal dengan tingkah Jefri yang sering mengacak-acak pucuk kepalanya. Dan saat ini Amira hanya ikut mengulas senyumnya saat mendapati Jefri dan Ayana saling bersendau-gurau satu sama lain.

"Ali masih dinas di luar kota?" tanya Jefri pada Amira.

Amira mengangguk. Seraya sesekali terkadang mengelus perut buncitnya, "Iya, Mas Ali masih belum pulang. Kayaknya tiga hari lagi baru pulang," jawabnya pada Jefri.

"Tiga hari lagi aku sama Ayana balik ke Jakarta. Berarti nanti kemungkinan nggak bisa ketemu suami kamu ya, Ra?" tanya Jefri.

Amira mengangguk mengerti lagi. Ia paham jika memang suaminya terlalu sibuk, suaminya itu tak akan pernah bisa ditemui, "Nggak papa, nanti aku salamin," ucap Amira.

"Oh iya ... Kemarin ngajak janjian, mau ngomong apa?" Amira menanyakan tujuan utama Jefri mengajaknya bertemu. Entah ia sendiri juga tak tahu apa yang ingin dikatakan Jefri.

Jefri mengangguk. Netranya sedikit melirik ke arah Ayana sebelum mata itu beralih ke Amira lagi, "Iya. Sebelumnya aku minta maaf, pernah melibatkan nama kamu dalam masalah rumah tanggaku sendiri," ujar Jefri membuka penjelasannya.

Amira masih belum mengerti apa yang Jefri maksud. Ia memang tidak pernah tau jika Jefri pernah melibatkan namanya di dalam masalah rumah tangga Jefri yang berujung kesalahpahaman dan hampir berpisah dengan Ayana, "Maksudnya apa? Aku nggak ngerti," tanya Amira.

Jefri terlihat tampak mengatur napasnya sebelum bibirnya terucap kalimat yang memang ia hindari beberapa tahun lalu, "Iya. Dulu ada satu masalah di rumah tanggaku yang melibatkan kamu sampai muncul kesalahpahaman. Waktu awal pernikahan, aku sempat belum siap menerima pernikahan atas dasar perjodohan,"

Jefri menatap Ayana sekilas yang sedari tadi masih bungkam, Ayana masih berusaha ikut menyimak percakapan Amira dan Jefri yang berlangsung di depannya. "Aku dulu masih mikirin pertunangan kita yang sempat batal karena kamu menolak pertunangan itu dan karena kamu belum siap juga menerimanya. Lambat laun waktu pertunangan itu gagal, aku meneruskan pendidikanku dan setelah selesai aku mencoba untuk melamar yang kedua kalinya. Tapi ternyata aku dihadapkan fakta bahwa kamu menikah dengan orang lain,"

Bibir Jefri mengulum senyum. Entah itu senyum apa ke arah Amira sebelum ia melanjutkan kalimatnya, "Aku dulu sempet nggak bisa nerima itu. Sampai satu waktu di pernikahanku, gara-gara kesalahanku yang masih mikirin pertunangan itu dan masih mikirin kondisi kamu yang sempat ngalamin kecelakaan hebat, aku nggak sadar mengorbankan perasaan istriku sendiri, Ra!" jelas Jefri.

Ayana yang menyimak pembicaraan itu ikut tersenyum getir. Sebenarnya ia sudah sangat sering mendengar cerita yang disebutkan suaminya ini. Tapi kenapa setiap cerita itu terucap lagi, senyumnya kembali getir. Batinnya terus-menerus menyalahkan diri sendiri dan membandingkan hidupnya dulu dengan Amira yang begitu dicintai Jefri. Padahal saat ini jelas-jelas yang dicintai Jefri adalah dirinya, bukan Amira. Tapi kenapa rasanya sulit menerima cerita itu jika cerita itu diulang-ulang Jefri untuk diceritakan.

Sedangkan Amira, saat ini ia mengangguk. Ia baru mengetahui jika namanya pernah terlibat dalam situasi sulit rumah tangga seseorang. Ia juga tak bermaksud menjadikan rumah tangga orang lain hampir rusak gara-gara dia, "Iya aku paham. Aku juga minta maaf dulu kalau ada kata-kata yang kurang berkenan dan nyakitin kamu, Jef!" serunya pada Jefri.

"Nggak papa nggak masalah. Cuma ada satu hal yang buat aku ganjal dan nggak bisa tidur tenang, Ra!" Jefri mengatakan kalimat itu setengah hati-hati sembari perlahan meletakkan tangan Ayana di pangkuannya.

"Kenapa?" tanya Amira penasaran.

Sorot mata Jefri melirik Ayana yang tengah menunduk. Namun pendengaran Ayana masih menajam untuk menyimak kalimat-kalimat yang akan dilontarkan suaminya, "Bu Dhe masih terobsesi denganmu, dia masih ingin kamu yang menjadi bagian dari keluarga Al-Haqq. Padahal dia tau sendiri kita udah punya jalan masing-masing. Aku nggak bisa lihat istriku sendiri dibanding-bandingkan denganmu secara tidak langsung. Aku menghargai perasaan Ayana. Meskipun Ayana nggak pernah bilang kalau Bu Dhe banding-bandingkan dia. Tapi aku tau sendiri dari perkataan Bu Dhe yang menyudutkan Ayana,"

Jefri mengambil napasnya untuk ia hempuskan perlahan. Setiap kali masalah keluarganya melibatkan Bu Dhe, pasti sulit untuk memikirkan jalan keluar. Sampai-sampai Jefri memberanikan dirinya untuk bertemu dengan Amira lagi hanya karena ingin menyelesaikan masalah ini.

"Aku minta tolong sama kamu, Ra! Kalau aku dan Ayana udah balik ke Jakarta lagi, tolong bantu kasih tau Bu Dhe dan yakinkan Bu Dhe kalau kita punya jalan masing-masing. Aku dengan kehidupanku sendiri bersama Ayana. Dan kamu juga punya kehidupan sendiri sama Ali," jelas Jefri sedikit memohon pada Amira. Bukan memohon untuk yang lain yang sempat Ayana pikirkan, tapi memohon untuk membantunya keluar dari jeratan masalah rumah tangganya karena Bu Dhe.

"Aku yakin, yang paling didengar Bu Dhe adalah omongan kamu. Makanya aku pengen ketemu kamu dan ngomong masalah ini," tambah Jefri lagi berusaha meyakinkan Amira.

Amira benar-benar baru mengetahui jika masalah Jefri semuanya melibatkan Amira dulu. Ia juga baru sadar jika penolakannya dulu membuat Jefri secara tidak langsung menyakiti orang lain. Padahal yang dilakukan Amira memang sudah benar. Amira menolak pertama kali saat Jefri melamar karena memang belum siap untuk menerima.

Dan kedua kalinya saat Jefri melamarnya lagi, ia dijodohkan dengan seseorang yang pernah bernaung di hatinya selama bertahun-tahun. Iya, Amira pernah diam-diam mencintai Ali sampai bertahun-tahun sebelum ia dijodohkan orang tuanya untuk menikah dengan Ali.

Dulu Amira hampir ingin menerima Jefri, tapi lagi-lagi hatinya ragu untuk menerimanya. Ia hampir jatuh cinta dengan perlakuan Jefri terhadapnya, tapi ia sadar ia belum siap menerimanya. Dari alasan itu Amira menolak Jefri kedua kalinya sampai Jefri sulit untuk melupakan kejadian itu.

"Jef, aku sebenernya nggak mau ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Tapi karena namaku udah masuk ke dalam masalah kamu, ya mau bagaimana lagi? Mau nggak mau aku juga harus terlibat dalam masalah itu," seru Amira membalas permintaan Jefri.

"Aku nggak bisa bantu apa-apa dan nggak yakin bisa bantu banyak. Kalau itu yang kamu mau ya aku coba pelan-pelan bicara sama Bu Dhe, tapi kamu jangan menaruh harapan lebih cara ini harus berhasil. Aku nggak bisa jamin 100%. Aku bakalan usaha untuk bantu kamu semampuku. Urusan Bu Dhe menerima atau nggak, aku nggak bisa memastikan karena yang tau cuma diri Bu Dhe sendiri bukan aku," tambahnya menjelaskan kalimatnya pada Jefri.

Jefri mengangguk. Ya mau bagaimana lagi? Ia juga tak ingin lama-lama bergantung dengan Amira karena masalah Bu Dhe. Ini sudah cara terakhir. Kalau memang tak berhasil, Jefri sendiri yang akan mengambil penegasan untuk berbicara dengan keluarga besarnya, "Aku paham. Makasih udah bantu, Ra!" balas Jefri.

"Iya nggak papa, sama-sama. Jangan menaruh harapan lebih ya, Jef? Aku nggak mau karena aku yang ditugasi menyelesaikan masalah ini, kamu terlalu berharap cara ini berhasil. Kita sama-sama doa aja. Kalau berhasil, syukur. Kalau enggak, tetep pakai cara lain," jawab Amira lagi seraya menatap Jefri dan Ayana secara bergantian.

Ayana yang sedari tadi diam sebenarnya menahan cairan bening yang mengapung di kelopak matanya. Ia pun sebenarnya tak sadar mengapa cairan bening ini mudah sekali lolos kapan pun itu. Ayana benci dirinya sendiri yang mudah menangis. Ia sedari tadi memikirkan pembicaraan Jefri dan Amira. Gara-gara masalah Ayana, Jefri dan Amira ikut pusing menyelesaikan masalah ini. Padahal mungkin jika Ayana tak ada di keluarga Al-Haqq, Jefri tak akan terbebani masalahnya dengan Bu Dhe.

"Aku kesana dulu ya Mas?" pamitnya tiba-tiba pada Jefri hanya untuk beralasan agar ia bisa meloloskan cairan bening di matanya tanpa orang lain tau, termasuk suaminya sendiri.

"Mau kemana?"

Ayana sengaja tak menatap Jefri. Ia berpura-pura menunduk dan menelisik ponselnya, "Angkat telfon Umi," alibinya.

"Disini kan bisa, ngapain jauh-jauh?"

Bersambung ....
Waw! Update wkwkw bagaimana dengan part ini, boleh komen dibawah!

Tolong kasih komen sepuas-puasnya kalian dan vote sebanyak-banyaknya. Biasanya tuh kalo vote dan komen capai angka paling tinggi, aku semangat nulisnya wkwkw

See you guys aku tunggu komennya dan vote. Yang belum follow mari follow untuk tau aku bakalan update cerita apa aja di lapak ini 💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top