BAGIAN 3 - SEMIR RAMBUT RASA POMADE

"Aidan, lambutnya disilam dulu ya?" seru Aviola yang tengah mengoleskan sebuah cream yang ada di tangannya dan seolah-olah tangannya menyiram rambut bak salon creambath yang melayani pelanggannya. Merasa cream yang ada di tangannya kurang banyak untuk membasuh helai demi helai rambut Aidan, kini Aviola mengambil lebih banyak lagi cream itu dan dioleskannya ke rambut Aidan.

"Jangan disilam semua. Lambut Aidan basah," tolak Aidan ketika Aviola asik mengoleskan cream ke rambutnya.

Sudut bibir mungil Aviola tertarik. Ia tersenyum seraya menggelembungkan pipinya membentuk bulatan kecil, dan berakhir dengan kekehan kecil yang terdengar dari bibirnya saat melihat rambut Aidan berantakan yang terpolesi cream, "Nggak papa. Bagus lambut Aidan,"

"Tapi lambut Aidan nanti lusak, Apiola!" Aidan masih tetap ragu saat Aviola terus-menerus mengoleskan krem ke rambut Aidan.

Aviola spontan menggeleng cepat. Netranya sangat yakin jika cream ini yang biasanya dipakai Papanya untuk merapikan rambut tidak akan merusak rambut Aidan. Papanya saja bisa tampan dengan cream rambut yang biasanya dikenakan. Makanya ia juga ingin bermain salon-salonan untuk membuat saudaranya tampan seperti Papanya.

"Tapi Papa biasanya pakai ini enggak lusak lambutnya," jelasnya ke arah Aidan.

Bibir Aviola mengulas senyum tipisnya, membantu meyakinkan Aidan untuk percaya padanya, "Apiola seling lihat Papa pakai minyak lambut ini, Aidan!"

Dengan setengah keraguan yang berkabut dalam hatinya, Aidan mencoba menuruti kemauan Aviola. Toh, nantinya setelah ini ia akan mengajak Aviola bermain kesukaannya. Apa salahnya ia menuruti kemauan Aviola terlebih dahulu, "Benelan kan nggak lusak?" tanyanya lagi memastikan.

Aviola mengangguk cepat, "Benelan Aidan, ini Apiola ambil punya Papa," ucapnya dengan anggukan polos.

"Tapi nanti habis main salon-salonan, Apiola janji mau main lobot-lobotan sama Aidan kan?" tanyanya lagi memastikan bahwa saudara kembarnya itu tidak ingkar janji.

"Janji,"

Aidan mengangguk. Meskipun dalam hatinya masih ada seperempat keraguan, tapi lagi-lagi ia tepis karena setelah ini Aviola mau diajak bermain robot-robotan miliknya. Memang. Susahnya, mempunyai teman sekaligus saudara yang berbeda gender. Apa-apa harus disetarakan untuk mengikuti kemauannya masing-masing, sulit untuk bisa satu frekuensi.

Senyum Aviola merekah lagi. Saat tangannya asik mengusap-usap rambut Aidan dengan cream. Seolah-olah ia tengah berhasil menjadi pemilik salon yang handal, "Aidan, udah!" serunya dengan sorot mata yang menatap sumringah rambut Aidan.

Aidan beranjak dari duduknya, mengambil cermin milik Ayana yang terletak di meja rias. Dan berniat untuk mengecek rambutnya yang telah di make over Aviola. Dahinya berkerut saat sorot matanya memperhatikan rambutnya yang sedikit aneh dalam pantulan cermin. Terlihat acak-acakkan dan kaku, "Lambut Aidan kok gini?"

Aidan menajamkan matanya untuk memerhatikan sekali lagi rambutnya, sesekali tangannya memegang rambutnya yang berantakan. Tidak. Papanya tidak seberantakan ini ketika memakai minyak rambut. Tapi kenapa rambutnya berbeda?

Tangan Aidan mengambil sisir miliknya dan berusaha merapikan rambut yang berantakan dan kaku itu. Namun, lagi-lagi dahinya berkerut saat rambutnya sulit untuk diatur, "Apiola, lambut Aidan kenapa nggak bisa disisil?" tanyanya ke arah Aviola.

Dengan sorot mata polosnya, Aviola menggeleng. Ia benar-benar tidak tau jika rambut Aidan bisa seperti ini, "Enggak tau,"

Tangan Aidan mengacak-acak rambutnya. Dengan tatapan frustasi yang terlihat di pantulan cermin, Aidan mendelik ke arah Aviola, "Apiolaaaaa ..... Lambut Aidan lusak gala-gala kamu!"

Bibir Aidan mengerucut dengan tatapan yang masih tetap sama. Menatap tajam ke arah Aviola, sedangkan yang ia tatap juga ikut mengerucutkan bibirnya karena disalahkan Aidan, "Mamaaaaa, lambut Aidan," tangisnya pecah saat rambutnya benar-benar kaku karena ulah adiknya.

"Mamaaaa. Apiola nakal," serunya dengan nada penuh tangisan dan menyalahkan Aviola yang tengah berdiri di depannya dengan bibir yang ikut mengerucut, "Apiola enggak nakal!" sangkalnya seraya bersendekap dada.

"Aidan kena—" tenggorokan Ayana seperti tercekat saat netranya melihat Aidan menangis sejadi-jadinya duduk dengan kaki berselonjor di lantai. Kakinya menendang-nendang frustasi. Sedangkan anak perempuannya itu masih betah berdiri di depan Aidan dengan tangan yang menyilang di dadanya. Ia sontak langsung berlari mendekati Aidan dan Aviola.

Ayana ikut panik dan sedikit meraba-raba rambut anak laki-lakinya yang tengah menangis. Rambutnya masih kaku dan lengket ketika ia pegang, "Rambut kamu kenapa gini?" tanyanya ke arah Aidan. Namun, Aidan tak menjawab pertanyaannya dan hanya menangis frustasi.

"Rambut kamu ini kenapa?" Ayana mengulangi pertanyaannya lagi namun Aidan masih belum menjawab pertanyaannya.

"Tadi Apiola pakai cleam lambut Papa. Telus Apiola oles-oles ke lambut Aidan buat main salon-salonan. Tapi lambut Aidan malah nggak bisa disisil," kali ini Aviola yang membuka suara dengan nada takut disalahkan lagi. Bibirnya mengerucut panjang dan kepalanya menunduk tak menatap Ayana.

Ayana mengambil cream yang dimaksud Aviola, yang terletak di atas meja nakas. Dan menajamkan matanya untuk membaca cream yang dimaksud Aviola. Ia menghela napas panjang, saat ternyata anak perempuannya itu salah barang, "Aviola ini bukan minyak rambut, ini semir sepatu,"

"Tapi, Apiola seling lihat Papa pakai minyak lambut itu, Ma!" jawabnya dengan tatapan polos khas anak kecil yang tidak tau apa-apa.

Ayana hanya bisa menghela napas panjangnya lagi. Benar ya? Mendidik anak harus mempunyai extra kesabaran lebih. Meskipun baru saja melewati tahun ketiga, ia mempunyai anak. Tapi tetap saja, hal-hal yang tidak diinginkan pasti akan terjadi, "Bukan yang ini yang dipakai Papa, Vi!"

Bibir Aviola mengerucut. Bahkan hampir sedikit bergetar. Takut jika Ayana memarahinya, "Udah, Aviola tunggu sini. Mama mau mandiin Kakak Aidan," perintah Ayana seraya menggandeng Aidan beranjak ke arah kamar mandi. Aidan masih menangis dengan bibir manyun tiga centi dan kaki yang dihentakkan sebal.

"Apiola nakal, Ma!" gerutunya.

Ayana tak menjawab gerutuan Aidan dan masih fokus membersihkan tubuh Aidan sekaligus rambut Aidan yang terkena semir sepatu tadi. Tangis Aidan masih tak kunjung berhenti saat Ayana menggosok-gosok pelan rambutnya, "Ke Barbershop langganan Papa aja ya?" pinta Ayana pada Aidan saat rambut anaknya itu masih sedikit kaku, padahal sudah berkali-kali ia gosok dengan shampo milik anaknya. Tidak tau lagi, kandungan semir sepatu itu berpengaruh besar saat ditempelkan ke rambut milik anaknya. Dan salahnya juga kurang mengawasi kedua anaknya saat bermain.

"Telfon Papa, Ma!" perintah Aidan saat Ayana selesai membilas tubuh anaknya dan mengusapnya dengan handuk. Ayana mengangguk sembari memakaikan baju Aidan lagi sebelum keluar dari kamar mandi.

Mata Ayana menatap Aviola yang tengah terduduk di tepi ranjang dengan kepala yang menunduk dalam. Tampak merasa bersalah. Tatapannya takut saat melihat Ayana. Padahal Ayana tidak pernah sama sekali marah padanya.

Ayana tersenyum menatap Aviola sebelum ia meraih ponsel yang terletak di atas nakas untuk menelfon Jefri, "Hallo?" serunya saat panggilan itu terhubung dengan nomor Jefri.

"Mas, kamu jadi pulang jam berapa?" tanyanya pada suaminya dalam sambungan telepon.

"Kenapa? Kangen?"

"Nggak usah becanda. Kamu jadi pulang jam berapa? Aku mau keluar,"

"Keluar kemana?"

"Ke barbershop langganan kamu."

"Ngapain kamu ke barbershop?"

"Nyikat gigi kadal .... Ya potong rambut lah," gerutu Ayana pada Jefri.

"Siapa yang mau potong rambut? Ini saya udah sampai rumah. Udah ada di bawah,"

"Aidan," jawab Ayana singkat.

"Tumben dia mau diajak ke Barbershop? Biasanya jug-"

Ayana menghela napas panjang saat Jefri masih terus-menerus bertanya yang tidak penting. Padahal kalau dipikir, untuk apa dia menanyakan hal-hal yang nantinya bisa ditanyakan secara langsung tanpa melalui telepon, kalau memang posisinya sekarang sudah sampai rumah juga, "Mas nggak usah banyak ngomong. Kalau mau ikut kesana, ya udah cepet!" Ayana menutup sambungan telepon dari Jefri karena Jefri juga sudah sampai rumah untuk apa juga lama-lama bertele-tele.

Ayana menggandeng Aidan dan Aviola untuk keluar kamar. Aidan, dia tak henti-hentinya menangis dan menyalahkan Aviola. Sedangkan Aviola hanya mengerucutkan bibirnya. Sesekali bibirnya bergetar, takut Mama atau Papanya memarahinya.

"Ayana," panggil Jefri yang tengah naik anak tangga. Sedangkan Ayana tengah mengunci pintu kamarnya.

"Rambut Aidan kena semir sepatu," serunya pada Jefri yang tengah berdiri di belakangnya. Sampai-sampai Jefri tidak tau maksud perkataan Ayana, "Maksudnya?" tanya Jefri sembari dahinya berkerut.

"Semir sepatu kamu yang dipakai mainan, dikira dia pomade. Ini sampai rambutnya kaku kayak gini. Udah aku keramasin, tetep aja kaku." jelasnya pada Jefri.

Jefri yang mendengar penjelasan dari Ayana tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Kedua anaknya itu memang baru saja menginjak tahun ketiga usia mereka. Terkadang hal terkecil yang mempunyai resiko besar pun bisa terjadi kapan saja. Pintar-pintar mengawasi anak bermain adalah salah satu kuncinya, "Ada-ada aja kamu, Dan!" serunya seraya mengulum senyum tipis.

Jefri menggendong tubuh Aidan. Sedangkan Aviola dalam gendongan Ayana berjalan ke arah mobil Jefri yang terparkir di depan rumah. Sedari tadi bibir Aidan tak henti-hentinya menyalahkan Aviola, "Apiola nakal,"

"Apiola nggak nakal," sangkal Aviola saat dirinya lagi-lagi yang disalahkan.

"Mereka main salon-salonan. Dikira Aviola semir sepatu itu pomade kamu soalnya wadahnya sama," Ayana mencoba menceritakan kejadian yang sebenarnya ke Jefri. Tapi suaminya malah seenaknya tertawa cekikikan.

"Nggak usah ketawa!" omel Ayana saat Jefri tak henti-hentinya menertawakan hal yang tidak lucu sama sekali menurut Ayana.

Jefri menghentikan tawanya sejenak. Menurunkan tubuh Aidan untuk masuk ke dalam mobilnya di kursi belakang, di samping Aviola. Sedangkan dirinya dan Ayana duduk di kursi depan, "Kenapa nggak kamu awasi mereka main?" tanya Jefri sembari menyalakan mesin mobilnya.

"Aku lagi di dapur, buatin susu buat mereka. Terus denger Aidan nangis. Langsung cepet-cepet naik ke kamar. Rambut Aidan udah kayak gitu. Jabrik, terus kaku. Gimana nggak panik? Kamu malah ketawa-ketawa." jelas Ayana mendelik ke arah Jefri.

"Ke Barbershop-nya Ardhi aja. Nggak terlalu jauh dari rumah," seru Jefri seraya menahan senyumnya agar tak tercetak di bibir tipisnya.

Aidan terlihat menggeser tubuhnya mendekat ke arah pintu saat netranya tak sengaja bertatapan dengan Aviola. Bibirnya mengerucut, tangannya bersendekap seolah-olah mulutnya terkunci. Tak mau berbicara dengan Aviola. Sedangkan Aviola yang risih melihat Aidan bersikap seperti itu, ia juga tak kalah memalingkan wajahnya menatap ke arah jendela luar. Tanpa sedikitpun menatap ke arah kembarannya itu.

"Ayo! Aviola sama Mama," ajak Ayana saat mobil Jefri telah terparkir di depan sebuah Barbershop. Ayana turun dari mobil dan menggendong Aviola, Jefri menggendong Aidan.

"Pak Jefri, mau potong rambut lagi?" ujar seorang laki-laki yang berjalan ke arah Jefri. 

Jefri terkekeh pelan. Bibirnya mengukir senyum tipis ke arah laki-laki itu, "Bukan saya. Anak saya, Di! Dia baru aja kena semir sepatu di rambutnya. Semir sepatu dipakai mainan sama adiknya, dikira pomade,"

Gelak tawa laki-laki itu pecah seketika. Membuat Aidan semakin memberengut kesal, "Kok bisa sih Pak?"

"Nggak tau, Di! Namanya juga anak-anak,"

Laki-laki itu hanya manggut-manggut, seolah-olah mengerti maksud perkataan Jefri. Ia lantas mengambil Aidan dalam gendongannya, "Sini duduk, Aidan! Aidan ya namanya?" tanyanya ke arah Aidan yang ia dudukan di kursi potong rambut.

"Nggak papa. Nggak usah takut. Rambutnya nggak rusak kok, nanti Om kasih minyak rambut banyak biar bagus lagi." ucap laki-laki itu menenangkan Aidan yang terlihat dalam pantulan cermin.

"Apiola nakal!" gerutu Aidan mendelik ke arah Aviola yang tengah digendong Ayana keluar dari Barbershop menuju kursi tunggu.

"Adiknya nggak nakal, cuma kotor dikit. Nanti Om bersihkan!"

"Di, saya tunggu di luar sama istri saya ya?" pamit Jefri seraya menarik pipi Aidan yang masih menggelembung dan bibirnya sedari tadi mengerucut.

"Iya Pak,"

Jefri memerhatikan istri dan anak perempuannya yang tengah duduk di kursi besi. Aviola dalam pangkuan Ayana, "Tapi Apiola kan nggak tau Ma. Apiola nggak nakal," ucap Aviola dengan bibir sedikit bergetar.

"Iya. Aviola nggak nakal. Nanti minta maaf ke Aidan ya?"

Aviola menggeleng cepat. Bulir matanya sedikit menetes, "Nggak mau, Aidan malah-malah telus!"

"Mama kan udah bilang ke Aviola. Kalo bertengkar itu nggak baik,"

"Tapi Aidan malah-malah telus,"

"Aidan nanti nggak marah. Kan rambutnya udah dirapiin sama Om Ardi,"

"Mama nggak malah sama Apiola?" tanyanya ke arah Ayana.

"Mama pernah bilang sama kamu. Marah itu perbuatan yang nggak baik. Aviola, Aidan, Papa, ataupun Mama nggak boleh marah-marah. Marah itu temannya setan. Aviola mau jadi temennya setan? Kalo Aviola mau jadi temennya setan. Berarti Aviola bukan temennya Mama lagi. Nanti minta maaf ke Aidan ya?"

Kepala Aviola mengangguk ragu. Bibirnya masih manyun. Dalam hatinya, masih tidak ingin berteman dengan Aidan.

Jefri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Aviola bergelayutan manja memeluk Ayana. Tangannya perlahan merangkul Ayana yang tengah duduk di kursi tunggu sedangkan ia berdiri di samping Ayana, "Jadi ke supermarket?"

Ayana mendongak sembari menatap Jefri, "Jadi, tapi kayaknya kalo kamu capek langsung pulang aja deh! Biar nanti aku ke supermarket sendiri,"

"Memangnya saya bilang ke kamu kalo saya capek?"

"Tapi kan kamu baru pulang, masa iya langsung aku ajakin muter-muter belanja kebutuhan,"

Jefri tersenyum miring. Matanya beberapa detik beralih menatap Aviola, "Vi, kalau Aidan udah selesai potong rambut, mau Papa ajak beli es krim? Beli choco chip? Beli sepatu baru? Beli baju? Beli mainan? Atau Beli apalagi?"

Mentang-mentang banyak duit, main nyogok anaknya, batin Ayana.

"Benelan, Pa? Mau, Apiola mau!"

Jefri lantasmenatap Ayana lagi seraya terkekeh geli. Ia berhasil membujuk anaknya untuk ikut. Kalau seperti ini Ayana tidak akan menolak, "See?"

"Nggak usah lah, nanti aku belanja sendiri aja. Kamu sama anak-anak di rumah. Nanti kalo masuk angin, aku lagi yang repot mijitin,"

Kekehan geli itu menggelitik perut Jefri lagi, "Yang repot kan kamu. Bukan saya,"

To be continue...

Nggak tau lagi ini aku nulis. Seminggu kemarn writers block. Dan belum bisa lanjutin cerita ini. Banyak kendala pas nulis. Sama beberapa kali ada ksibukan di luar, jadinya nggak sempat nulis juga. Maap update pagi-pagi. Maap kalo nggak dapat feel ya? Next chapter aku update setelah ini. Pokoknya secepatnya langsung aku update.

Kalau suka, vote sama komen ya? See you....

Kasih tau typonya nanti aku perbaiki. Pas revisi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top