BAGIAN 29 - MACAROLOVE X MUFFINLOVE

Akhirnya aku update, aku kemarin lagi ngurus 3 naskah on Going di 3 platform yang berbeda 😭 kuwalahan sendiri wkwk sampe wp nggak aku buka sama sekali. Pas buka tuh aku ngiranya target vote dan komennya udah mencapai ternyata masih jauh sampe sekarang, ya aku sampai lupa updatenya. Hilang semangat mendadak 😭 ke campur-campur lagi nih nama tokoh kalo ngetik naskah satu ke naskah lainnya.

Aku nggak mau narget vote komen lagi, takut kalo nggak sesuai ekspektasi malah bingung ngetik apa di part selanjutnya wkwk. Kalau kalian suka sama cerita ini dan nunggu sampai ending, yuk kawal mereka dan ramein ya? Seramai-ramainya. Semoga aku bisa berkesempatan double update disela-sela garap naskah lainnya. Kasih tau typo dan selamat membaca!

💜💜💜

Jefri mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Netranya melirik Ayana yang tengah mengelus perutnya. Sesekali tangan kekarnya itu ikut mengelus perut Sang Istri. Bibirnya sedikit mengumandangkan nada-nada pelan seraya tangannya masih mengelus perut buncit milik istrinya.

Beberapa detik usai mengusap perut istrinya, tangan Jefri jatuh mendarat di atas pucuk kepala istrinya dan mengusapnya pelan. Namun masih dengan posisi menyetir. Pemandangan seperti ini memang terbiasa terbit saat mereka berdua tak mengajak kedua anaknya. Bagi Jefri, ia bisa bertukar kasih dengan istrinya lebih dalam jika kedua anaknya tak ikut. Tapi bagi Ayana? Naluri Ibu tetaplah ada. Jika Ayana pergi tak mengajak kedua anaknya, rasanya amat kurang lengkap.

"Kita mau kemana sih, Mas?" tanya Ayana saat tangan Jefri bertengger di perutnya lagi. Netranya sedikit menatap Jefri yang tengah fokus menyetir. Serta tangan Ayana pun juga ikut bertengger di atas tangan Jefri yang masih mengelus-elus perutnya.

"Jalan-jalan," jawab Jefri sembari menyunggingkan senyumnya.

Ayana mengerutkan dahinya. Tak tahu tujuan suaminya itu tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan. Sedangkan kedua anak mungilnya tak diajak. Dan malah ada di rumah neneknya, "Kok nggak ngajak anak-anak?" tanya Ayana pada Jefri.

"Nggak papa, Umi tadi nawarin mau jaga mereka. Ya udah, aku ajak kamu aja," jawab Jefri.

Ayana ikut terkekeh saat Jefri menunjukkan deretan giginya. Suaminya itu memang selalu lupa usia jika bersama dengannya. Tapi tak apa, Ayana lebih menyukai Jefri seperti ini. Ia juga lebih suka diajak mengitari kota yang dijuluki Kota Bunga ini daripada ia bosan di rumah, ditinggal Jefri mengurus keperluan pembangunan rumah panti.

Meskipun terkadang Ayana di rumah, masih selalu memikirkan omongan Bu Dhe yang terus-menerus membandingkannya dengan Amira. Namun Ayana lebih tenang saat ini karena Jefri selalu membelanya. Entah sampai kapan sebenarnya Bu Dhe membanding-bandingkan Ayana dengan Amira. Berdalih ingin mengobrol dengan Ayana, namun ujung-ujungnya tetap menomorsatukan Amira di depan Ayana.

"Terus mau ngajak kemana? Beli keperluan bayi kan udah dulu, mau beli lagi?" tanya Ayana pada suaminya.

"Aku mau ngajak kamu ke kafenya Umi,"

Ayana mengerutkan dahinya tak mengerti. Karena sedari dulu setahu Ayana, Umi hanya memiliki satu kafe, Macarolove. Itu pun dulu Ayana yang menyarankan nama kafe itu menjadi Macarolove karena berawal dari anak mungilnya yang selalu saja meminta boneka macaron setiap kali Jefri dan Ayana mengajak dua anak mungil itu jalan-jalan. Jadinya Ayana menyarankan Umi untuk membuka usaha sebuah kafe yang saat ini ia pegang, "Umi juga punya kafe disini?" tanyanya pada Jefri.

Jefri mengangguk, "Itu di depan,"

Netra Ayana sontak menyorot ke depan saat mobil Jefri masuk ke dalam halaman parkir sebuah kafe. Suaminya itu lantas memarkirkan mobilnya di depan kafe yang ada di Jalan Besar Ijen dekat dengan salah satu Poli Teknik Kesehatan yang ada di Malang, "Macarolove?" gumam Ayana pelan membaca papan nama sebuah kafe yang ada di depan mobil Jefri. Netranya sontak cepat berpindah menatap Jefri penuh tanya.

"Kok kamu nggak bilang Mas kalau Macarolove punya cabang di Malang?" tanyanya pada Jefri.

Saat Jefri selesai memarkirkan mobilnya. Tangannya reflek melepas seat belt yang menyilang di tubuhnya. Pun juga tak pernah lupa, tangan Jefri juga membukakan seat belt milik Ayana sebelum ia menjawab pertanyaan dari Ayana, "Maaf. Bukan nggak mau bilang sama kamu. Tapi dulu waktu launching Kafe Macarolove di Malang, aku takut kamu salah paham. Dan juga takut kalau kamu mikir yang macem-macem,"

"Salah paham kenapa?"

Jefri sengaja tak mengajak Ayana turun dari mobilnya. Ia ingin menjelaskan masalahnya terlebih dahulu sebelum ia bertemu dengan mantan calon tunangannya dulu, "Semenjak konflik waktu di kapal dulu, aku takut trauma kamu kambuh lagi kalau aku menyangkut-pautkan nama Amira dalam percakapan kita. Sedangkan aku sendiri—"

Ucapan Jefri terpotong karena netranya beradu pandang dengan Ayana. Guratan wajah milik Ayana tampak sedikit masam. Sudah Jefri duga akan seperti ini. Tapi mau tidak mau ia juga harus menjelaskan ke istrinya. Ia benar-benar menghindari kesalahpahaman lagi saat ini, "Sedangkan aku sendiri juga bingung harus ngomong apa. Keluargaku dan Amira itu dekat, bahkan Kak Fatih kaki tangannya Abi. Amira kesehariannya ngajar di pesantren Abi." lanjutnya.

Jefri menghela napas panjangnya. Ia berusaha menarik sudut bibirnya saat menangkap raut wajah istrinya yang tak berubah, "Abi kalau ada apa-apa bilangnya ke aku. Aku nggak mungkin ngomong panjang lebar tentang Amira ke kamu. Aku juga menghargai perasaan kamu. Bisa-bisa kamu salah paham lagi cuma gara-gara Amira. Padahal aku udah nggak ada apa-apa sama dia." jelasnya.

"Dulu waktu kamu hamil muda. Umi sering minta kita nginep di rumahnya kan? Jujur, waktu itu Umi bingung mau bicara apa ke kamu. Dan aku sengaja nyuruh Umi untuk menutupi sementara dari kamu, soalnya masalah kafe juga pasti melibatkan Amira lagi. Aku sering ngobrol sama Umi berdua waktu kamu tidur biar kamu nggak terganggu. Aku juga nggak mungkin melarang Umi untuk buka cabang disini." jelas Jefri lagi pada Ayana.

"Jadi Macarolove yang di Malang, Mbak Amira yang urus?" tanya Ayana pelan, namun sebenarnya masih dengan batin yang kecewa. Meskipun tujuan Jefri benar, tapi Ayana tetap merasa sedikit kecewa karena Jefri menyembunyikannya.

Tangan Jefri sontak menyentuh pipi Ayana lembut. Sesekali mengusap pelan pipi itu, "Iya. Karena Umi juga nggak bisa bolak-balik Malang-Jakarta. Sebenernya Umi juga awalnya nggak ada rencana buka cabang disini. Tapi karena Bu Dhe yang minta, jadi Umi menyetujuinya." jelasnya lagi pada Ayana.

Ayana pura-pura ikut menikmati percakapannya dengan Jefri. Meskipun sebenarnya dalam hatinya masih berkecamuk tak pasti, "Berapa cabang disini, Mas?" tanyanya penasaran.

"Untuk sekarang lima."

Mendengar jawaban dari Jefri Ayana ikut menyunggingkan senyum getirnya. Di Jakarta tidak sebanyak itu. Dan kadang Ayana masih kuwalahan mengelolanya. Apalagi saat hamil seperti ini, fisik Ayana seakan-akan tak mau diajak kerjasama. Kadang Ayana benci dengan tubuhnya sendiri, kenapa tidak sekuat orang-orang? Dan kenapa ia hanya membebani orang-orang di sekitarnya saat ini? Sedangkan perempuan yang mengelola Macarolove cabang Malang saja bisa sekuat itu? Kenapa Ayana tidak bisa?

"Ternyata banyak disini ya dari pada yang di Jakarta?" gumam Ayana seraya menunduk dalam. Tak berniat membalas tatapan Jefri.

Tangan Jefri mengangkat kepala Ayana dan mengisyaratkan istrinya itu untuk mendongak agar matanya bisa leluasa menjelajah wajah istrinya, "Ya nggak papa. Nggak ngaruh juga banyak yang mana. Yang penting di Jakarta omsetnya tetep naik terus meskipun sedikit demi sedikit tiap bulannya. Aku lebih menghargai itu karena kerja keras istriku."

Ayana menggeleng. Bibirnya sedikit mengerucut, "Tapi pendapatannya tetep menjanjikan yang di Malang. Karena di Jakarta cuma dua cabang yang aktif akhir-akhir ini," balasnya pada Jefri.

"Nggak juga."

Lagi-lagi helaan napas dari bibir Ayana menghembus. Ayana kira Macarolove yang punya sejarah lengkap mengenai hidupnya dengan Jefri tetap ia yang hendel sendiri. Tapi nyatanya sekarang tidak. Seseorang yang jauh lebih baik dari Ayana, yang pernah singgah pertama kali di hati Jefri juga saat ini memegang kendali Macarolove. Untuk sekedar iri pun Ayana rasanya tak tahu diri. Kenapa ia harus merasa tak nyaman jika Macarolove punya cabang di kota lain? Padahal jelas-jelas ia tak punya hak untuk itu. Itu keputusan keluarga Jefri. Tak mungkin Ayana mengambilnya secara paksa.

"Di cabang ini menu best seller-nya makaron?" tanya Ayana sedikit hati-hati.

Jefri tetap berusaha menjawab pertanyaan Ayana dengan jawaban apa adanya agar Ayana tak salah paham lagi, "Beberapa bulan terakhir kata Umi, Amira ngeluarin resep baru dan 1000 kue pada hari itu sold out. Bukan kue Makaron tapi Muffin yang sold out katanya,"

Muffin? Aku belum pernah capai produksi 1000 kue langsung sold out satu hari. Batin Ayana lagi-lagi bergemuruh mendapatkan jawaban dari Jefri. Semakin ia mengetahui fakta, kepalanya rasanya semakin berat. Terkadang kebas di tangannya kambuh lagi. Dan dadanya rasanya ikut sesak. Tapi hatinya bertolak belakang ingin terus-menerus mengetahui apa yang masih tersimpan di bibir suaminya mengenai cabang Macarolove yang ada di Malang.

"Penjualan muffin yang sold out berhari-hari?" tanya Ayana kesekian kalinya.

Jefri mengangkat bahunya mengisyaratkan bahwa ia tak mengerti apa-apa mengenai masalah itu, "Aku nggak tau pasti, soalnya nggak pernah tanya perkembangan Macarolove yang di Malang. Tadinya Umi nyaranin modifikasi resep makaron. Tapi Bu Dhe kasih saran untuk buat Muffin aja. Dan Amira iseng coba buat Muffin. Ya itu tadi mungkin hasilnya." jelasnya pada Ayana.

"Kamu udah pernah coba Muffinnya?"

Bibir Jefri spontan mengembang. Pun juga beberapa detik sebelum bibirnya mengulas senyum ke arah Ayana, ia ikut terkekeh geli karena baru menyadari bahwa Ayana terlalu banyak menanyakan masalah ini padanya. Ya, ia bisa menduganya bahwa istrinya tengah berjaga-jaga, "Udah. Pernah disuruh Umi buat nyoba Muffin itu," jawabnya kemudian sembari menahan senyumnya.

Jawaban dari Jefri sebenarnya tak diinginkan Ayana. Entah hormon Ibu hamil mengapa berkebalikan seperti ini. Ayana mengira Jefri akan menjawabnya 'Tidak' tapi yang ia dapat ternyata suaminya itu menjawabnya 'Pernah memakan muffin buatan mantannya'.

"Pasti enak ya? Soalnya hasil penjualannya habisnya juga nggak main-main. Aku sendiri salut sama strategi marketingnya," Kalimat Ayana seakan-akan tak sadar memancing Jefri untuk terus menjawab pertanyaannya.

Jefri tak menjawab langsung, karena sedari tadi ia menyembunyikan senyum yang ia tahan, "Enak," jawabnya singkat yang spontan dibalas Ayana dengan bibir yang kian mengerucut.

Karena tak tahan melihat Ayana yang tiba-tiba mengerucutkan bibirnya bak anak perempuannya yang tengah menggerutu, Jefri sontak mendaratkan bibirnya untuk beradu dengan bibir istrinya. Mengecup singkat tanpa meminta persetujuan Sang Empu pemilik benda kenyal itu, "Tapi makaron jauh lebih enak. Soalnya yang ngusulin resep sama yang ngusulin nama kafe waktu pertama kali launching, istriku sendiri,"

Tangan Ayana mendorong tubuh Jefri sedikit menjauh darinya, "Gombal doang biar aku seneng. Padahal aslinya emang enakan Muffinnya kan?"

Tak heran jika Jefri menghela napasnya lagi. Menjadi suami yang meladeni Ibu hamil memang sangat sulit bagi Jefri. Terlebih mood Ayana semakin hari semakin kian susah ditebak. Jefri juga laki-laki biasa, bukan cenayang. Tidak bisa peka di setiap apa yang Ayana rasakan. Sedangkan Ayana punya ribuan mood yang mudah berganti, membuat Jefri terkadang kuwalahan sendiri menebaknya, "Laki emang nggak pernah bener ya? Muji berlebihan katanya gombal lebay, giliran nggak dipuji katanya cuek nggak pedulian," gerutu Jefri.

Jefri beranjak keluar dari mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk Ayana sebelum masuk ke kafe. Ayana sempat mematung beberapa detik saat Jefri berniat menariknya untuk masuk ke dalam kafe, "Ayo!" ajak Jefri yang masih belum dibalas Ayana untuk ikut beranjak dengannya.

Kaki Ayana lagi-lagi mematung di dekat mobilnya. Sorot matanya fokus mendarat di papan nama kafe Macarolove. Pun sesekali mata itu menelisik setiap sudut luar kafe Macarolove. Rasanya Ayana begitu iri lagi dan lagi. Untuk sekedar masuk ke sana saja, Ayana merasa sangat kecil. Kemapuan dirinya tak sebanding semuanya dengan Amira. Pantas saja apa yang dikatakan Bu Dhe memang ada benarnya. Amira jauh lebih baik untuk masuk ke dalam keluarga besar Jefri dibanding dirinya.

Jefri mengacak-acak pucuk kepala Ayana lembut saat ia mengetahui bahwa istrinya tengah menatap lama kafe Macarolove, "Mau nantinya Macarolove punya banyak cabang. Macarolove punya ribuan menu yang tersedia. Macarolove siapa pun yang nantinya pegang. Tetep Macarolove menu andalannya itu makaron. Resep makaron juaranya tetep punya istriku. Nggak bisa ditukar sama resep muffin."

Walaupun Jefri merapalkan banyak kalimat penenang untuk Ayana. Tapi tetap saja ribuan pertanyaan itu berkecamuk di pikiran Ayana, "Kalau kenyataannya sampai nanti muffin paling best seller di Malang. Dan tiba-tiba di Jakarta, Umi nyuruh ganti semua menu makaron jadi muffin karena macaron rasanya nggak layak dijual. Gimana? Aku gagal lagi ya, Mas?"

"Nggak lah. Kita masih bisa modifikasi resep macaron yang lebih enak, nanti aku yang turun tangan sendiri bantuin kamu," balas Jefri seraya merengkuh tubuh ringkih Ayana.

Hanya beberapa detik dekapan itu mengerat. Jefri kembali menguraikan dekapannya dan mengulas senyum simpul ke arah istrinya itu, "Setelah dari kafe, kita ke rumah sakit ya?"

"Ngapain?"

"Udah aku daftarin MCU."

Ayana mengulum bibirnya sembari menatap suaminya, "Kalau nanti hasil lab-nya ternyata nggak sesuai sama apa yang kita harapkan, kamu tetep di nemenin aku kan?"

Jefri tak suka membahas masalah ini sebenarnya. Ayana terlalu jauh memikirkan hal itu. Meskipun tak bisa ia pungkiri, dalam benak Jefri juga terkadang berkecamuk memikirkan hasil lab itu. Tapi Jefri harus bisa menepisnya, Jefri yakin gejala yang dimiliki Ayana adalah hal wajar bagi Ibu hamil. Bukan karena pengaruh penyakit lain.

Jefri menangkupkan kedua tangannya di pipi Ayana. Menelisik guratan wajah miliki istrinya itu lagi. Sebenarnya apa yang istrinya itu pikirkan? Gara-gara MCU, ia jadi lupa dengan kesehatan janinnya karena terlalu sibuk memikirkan hasil lab, "Jangan mikir kejauhan. Adiknya Aidan sama Aviola punya Ibu yang kuat. Jadi nggak perlu ada yang dikhawatirkan," jelas Jefri pada Ayana.

"Jef?"

Sorot mata Jefri reflek beralih ke sumber suara. Dan ternyata Amira yang tengah memanggilnya, "Ra,"

"Ayo masuk!" titah perempuan itu pada Jefri, seraya menyunggingkan senyum simpul yang meneduhkan mengarah ke Ayana dan Jefri.

Ayana tak paham mengapa tiba-tiba ada Amira. Jefri sedari tadi belum menjelaskan jika ingin bertemu dengan Amira.

"Aku kemarin janjian sama Amira. Mau ngomong sesuatu. Sekalian aku ngajak kamu, biar nggak ada kesalahpahaman," ucap Jefri menjelaskan.

"Emang kamu mau ngomong apa?"

Bersambung ...

Terima kasih udah baca sampai sejauh ini, dan masih setia nungguin cerita ini update. Aku bisa aja update cepet, tapi kadang tuh mendadak nggak semangat. Maaf curhat wkwkw. Aslinya capek ngurus 3 naskah on Going semua. Tapi kalo nggak dikerjain, tuntutan 😭  terima kasih udah mengerti keadaanku dan mau tetap stay menunggu kapanpun aku update. Aku pamit. See you next chapter.

[Mengandung promo]
Yuk mampir yuk, kalau suka mampir aja di lapak vhiiilut pencet akunnya dan kepoin sana ya? Kalau suka gas mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top