BAGIAN 27 - LUKA YANG TAK KUNJUNG SEMBUH
Aku gak banyak bacot dulu di author note ya guys nanti makan waktu banyak 🤣 udah kalian kalau suka langsung tanpa babibu pencet bintang terus komen biar aku semangat teros update. Habis ini aku ngurus novel yang satunya, harap bersabar. Otak aku cuma satu nulis novel on goingnya dua 😭 ini panjang hampir 3000 kata semoga betah bacanya.
Boleh gak aku minta vote 600an dan komen 150an wkwk nanti aku usahakan update cepet 🤣
💜💜💜
[Janji ya sama Mama, Ayana harus bahagia terus. Meskipun Ayana nanti udah menikah dan nggak tinggal sama Mama, Ayana harus tetap bahagia.]
Ayana tersenyum getir. Bibirnya sedari tadi bergetar karena menahan tangisnya agar tak keluar saat ini juga. Yang paling menyakitkan dari patah hati seseorang adalah patah hati ketika seseorang yang sangat ia cintai tak bisa ia gapai lagi tangannya. Tak bisa ia raba-raba lagi guratan keriput pada paras ayunya. Dan tak bisa bersendau gurau lagi di sela-sela waktu bersamanya. Hanya satu bingkai foto yang ia genggam saat ini, yang bisa ia ajak bicara, kala ia tengah merindukan sosok yang menjadi penyemangat hidupnya selama bertahun-tahun ini.
"Ternyata orang yang pernah Mas Jefri cintai, jauh lebih baik dari Ayana. Ma! Ayana nggak yakin bisa tepati janji Ayana untuk maksa Mas Jefri terus-menerus mencintai Ayana. Ayana merasa nggak ada yang bisa dibanggakan dari hidup Ayana." ucapnya seolah-olah berbicara dengan Sang Ibu sembari tangannya meraba-raba sisi bingkai yang ia pegang.
"Dulu Papa pernah bilang kalau Mama perempuan yang nggak bisa dibanggakan laki-laki. Dan Papa milih perempuan lain yang katanya jauh lebih baik dari Mama. Sekarang Ayana takut di posisi itu, Ma!" ucapnya sedikit bergumam, mengapit kedua bibirnya agar berhenti bergetar.
Ayana menyeka buliran bening yang tak sengaja lolos dari matanya. Bibirnya berusaha menahan senyum lagi agar tak sirna, "Ayana nggak bisa bayangin kalau kejadian waktu Ayana kecil terulang ke Aidan sama Aviola. Semakin Ayana mengenal keluarga Mas Jefri, Ayana semakin takut nggak bisa seperti yang mereka mau." Ia seolah-olah mengadu pada Sang Ibu yang fotonya bernaung di bingkai yang ia pegang itu.
Jari-jemarinya menjelajah sisi demi sisi bingkai foto yang ia pegang. Memeluknya erat dan menyisakan lagi cairan bening yang tak sengaja menetes dari kelopak matanya, "Ayana harus apa sekarang? Tangan Ayana tiba-tiba gemetar lagi," serunya memegang kedua tangannya.
Ini kesekian kalinya tangan Ayana tiba-tiba merasakan rasa kebas dan gemetar. Ayana tak tahu penyebab munculnya gemetar dan kebas ini secara tiba-tiba. Ia hampir lupa merasakan keduanya, karena bersamaan dengan isakan yang keluar dari bibirnya saat ini.
Ayana tak pernah memberitahu Jefri mengenai kondisinya. Yang ia katakan hanyalah kabar baik, kabar baik, dan kabar baik. Ia takut Jefri merasa terbebani dengan keadaannya. Pun juga tak ingin konflik dalam rumah tangganya bersumber karenanya. Aidan dan Aviola pasti jauh lebih terluka jika ia melihat konflik kedua orang tuanya.
Saat terdengar panggilan Jefri dari luar kamar, pendengaran Ayana tiba-tiba menajam. Ia cepat-cepat menyembunyikan bingkai foto itu ke dalam balik selimut tebalnya. Tangannya pun juga menyeka kasar sisa-sisa buliran bening yang bernaung di pipi, agar Jefri nantinya tak bertanya apapun.
"Ayana," panggil Jefri pada Ayana yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang seraya tangannya memainkan ponsel yang ia pegang.
Ayana hanya membalasnya dengan ulasan senyum tipis. Netranya sengaja tak ia tampakkan untuk menatap Jefri. Ia lebih betah menunduk dalam seperti ini. Dan berusaha menahan cairan yang telah antre untuk diloloskan kelopak matanya.
Jefri mengerutkan dahinya saat netranya menangkap Ayana yang tak biasanya hanya membalasnya dengan ulasan senyum tipis. Biasanya ia memeluk Jefri atau bergelayutan manja di lengan Jefri jika Jefri pulang, "Ada yang sakit, hm?" tanya jefri sembari mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.
"Anak-anak mana, Mas?" tanya Ayana mencoba untuk mengalihkan pembicaraan yang Jefri tanyakan.
"Di ajak Umi sama Abi jalan-jalan katanya." jawabnya pada Ayana.
Ayana hanya membalasnya dengan anggukan mengerti. Ia bingung harus mengatakan apa lagi agar mengalihkan pembicaraannya. Tangannya berusaha kuat menyembunyikan bingkai foto yang ada di balik selimut tebalnya. Ayana kira dengan bertemu keluarga besar Jefri, ia bisa menunjukkan sisi baiknya di depan Jefri. Tapi nyatanya tidak. Setiap pertemuan demi pertemuan itu, membuat Ayana diterpa serangan panik berkali-kali.
Ayana ingin menggebu-gebu dalam mempertahankan bahtera rumah tangganya, melupakan masa lalu yang pernah hinggap di hidupnya. Dan menepati janji yang ia rapalkan di hadapan Sang Ibu untuk tetap bahagia meskipun ia hidup bertahun-tahun tanpa kasih seorang Ayah. Tapi Ayana tetap tak bisa. Ayana gagal kali ini. Tak ada yang bisa dibanggakan dari hidup Ayana.
Jefri yang melihat tingkah Ayana seperti tak biasanya, lantas menarik tubuh istrinya itu mendekat. Menghujani ciuman-ciuman kecil di pipi lembut milik istrinya. Meskipun Ayana tak merespon, Jefri tetap mendaratkan bibirnya sengaja di bibir Ayana. Sampai ia menyadari satu tetes buliran bening itu terjatuh di pipi lembut milik wanitanya itu.
Jelas saja Jefri terkesiap saat melihat netra Ayana memerah. Saat ia berniat memeluk Sang istri, tangannya tak sengaja menyentuh benda yang menyembul di balik selimut. Tangan Jefri spontan membuka selimut yang menutupi tangan Ayana, "Foto Mama?" gumam Jefri pelan saat ia mengetahui sebuah bingkai foto yang Ayana sembunyikan disana.
Jefri menatap dalam netra Ayana, menelisik beberapa sudut yang ada di kelopak mata istrinya. Dan ternyata tebakannya benar, "Kamu habis nangis?" tanyanya memastikan.
Ayana menggeleng cepat. Ia berusaha mengelak apa yang Jefri tebak, "Nggak. Waktu beres-beres kamar, tadi aku nggak sengaja kelilipan." alibinya.
Jefri menggeleng-gelengkan kepala. Tak mungkin ia percaya dengan alasan yang keluar dari Ayana. Ia telah mengenal Ayana selama lebih dari lima tahun. Jelas-jelas Jefri melihat sendiri buliran bening itu keluar dari kelopak mata istrinya, "Ayana, kita menikah nggak sehari dua hari. Udah lima tahun lebih kita menikah. Kamu nangis karena apa, hm?" tanyanya pada istrinya yang tengah berusaha mencetak simetris panjang yang ada di bibirnya.
"Ta-tadi cuma kangen Mama aja, pas lihat foto Mama." jawabnya.
"Kalau ada apa-apa bilang. Kita selesaikan masalah bareng-bareng. Jangan kamu simpan sendiri. Aku pun juga berajar dan berusaha untuk tidak menutupi masalah sekecil apapun dari kamu. Kalau aku nggak di rumah. Ngurus pembangunan pesantren dan Rumah Panti milik Abi, jangan sekali-kali salah paham lagi sama Amira ya?"
Jefri menarik tubuh Ayana ke dalam dekapannya. Yang membuat Ayana jadi tak bisa menahan cairan itu keluar lagi dari kelopak matanya. Bukan. Bukan masalah ia salah paham dengan masa lalu Jefri lagi. Tapi ia merasa tak bisa dibanggakan Jefri. Karena tak ada objek dari hidupnya yang bisa dibanggakan. Dibanding dengan mantan calon tunangan Jefri yang selalu dibanggakan dan disayangkan keluarga besar Jefri.
"Jangan mikir yang nggak harus kamu pikirkan. Kamu lagi hamil, janin kamu butuh Ibu yang kuat. Nggak boleh makan junk food, ngga boleh makan pedes berlebihan, nggak boleh makan mie ayam-"
Ucapan Jefri terpotong tiba-tiba saat ia merasakan tangan Ayana yang sedikit bergetar dan tampak dingin. Ia perlahan menguraikan pelukannya dan menatap Ayana dengan tatapan khawatir, "Tangan kamu kenapa?"
"Nggak papa, tadi pusing dikit. Tangannya ikut gini. Sekarang udah mendingan. Paling karena kurang tidur."
Jefri seorang dokter. Tak masuk akal jika alasan Ayana mengatakan keluhan itu karena kurang tidur. Ia sangat sering mendiagnosis keluhan dari pasiennya. Dan beberapa keluhan yang mengakibatkan tangan kebas dan gemetar itu bisa jadi karena syaraf yang sedang mengalami gangguan. Kalau tak segera ditangani, bisa membahayakan tubuh seseorang termasuk istrinya sendiri, "Kalau ada keluhan apapun, langsung bilang. Jangan dipendam sendiri ya? Nanti aku tebuskan obat di apotik."
Ayana mengangguk. Meskipun suaminya itu mengatakan kalimat itu, dan tak bisa dibohongi dengan seribu alasan. Ia tetap harus menunjukkan dirinya yang tak sakit dihadapan suaminya. Karena itu satu-satunya cara yang bisa dibanggakan dari hidupnya. Ia masih bertahan sampai detik ini. Dengan alur takdir yang membuatnya tertekan bertahun-tahun karena masa lalu buruk yang menghantam pikirannya tiba-tiba.
"Makan malam nanti aku izin di rumah aja ya, Mas? Tolong ajak anak-anak ke rumah panti. Aku sementara nggak ikut dulu kesana," izin Ayana pada Jefri.
"Kenapa nggak ikut? Kalau aku kesana sama anak-anak, siapa yang jaga kamu di rumah?"
Ayana mengulum senyum simpulnya ke arah Jefri, "Aku bisa jaga diri. Lagi pula, aku juga bisa hubungi kamu kan kalau ada apa-apa nanti. Kamu masih punya tanggung jawab bantu Abi ngurus pembangunan rumah panti. Itu jauh lebih penting. Kamu sendiri kan yang bilang pengen berbakti sama Abi? Jangan kecewain Abi. Aku bisa jaga diri di rumah."
Ayana bisa mengatakan kalimat tadi karena Bu Dhe Jefri kemarin bilang ke dia agar Jefri lebih memperhatikan orang tuanya. Secara tak langsung, perkataan itu membuat Ayana berasa tak enak jika Jefri terus menerus menjadikan ia prioritas. Padahal Jefri punya tanggung jawab untuk memprioritaskan orang tuanya. Meskipun Ayana tak pernah mendengar langsung dari bibir Abi dan Umi. Tapi perkataan Bu Dhe Jefri sudah bisa mewakili semuanya. Bahwa Ayana harus mengalah, agar Jefri bisa membagi prioritasnya lagi.
Jefri sengaja tak membalas kalimat dari istrinya dan malah mendaratkan bibirnya di bibir ranum milik istrinya itu. Entah, dalam batinnya ia takut kehilangan wanitanya itu. Ia paham jika ia punya kewajiban lain selain kewajiban mencintai istrinya. Jefri hanya takut tak bisa mengeratkan janjinya yang ia ucapkan di depan makam mertuanya beberapa tahun silam saat Ayana memberinya kesempatan untuk mempertahankan pernikahannya.
"Jef?" Panggilan dari seseorang membuat Jefri cepat-cepat melepaskan pangutannya dari bibir Ayana. Saat ini keduanya saling beradu pandang sebelum netra keduanya beralih menatap siapa yang tengah memanggil itu.
Seseorang itu adalah Umi dan Aidan yang tengah berdiri di ambang pintu. Umi terkekeh geli melihat anak tunggal dan menantunya itu menatapnya dengan tatapan kikuk karena tertangkap basah di depannya. Untung saja Aidan tak melihat aktivitas itu dengan jelas. "Umi ganggu ya? Habisnya tadi Aidan nyuruh masuk aja. Padahal niatnya Umi mau ngetuk pintu dulu."
"Aviola mana, Dan?" panggil Jefri ke arah anak laki-lakinya seakan-akan panggilannya itu bisa menutupi rasa malu yang mencuat dalam benaknya karena ciumannya tertangkap Sang Ibu.
Aidan berlari ke arah Ayana sembari menjawab pertanyaan dari Jefri, "Apiola main masak-masak sama Aila."
Ayana mengecup pucuk kepala anak laki-lakinya dengan lembut. Rasa buncah yang bernaung di hatinya membuatnya sedikit tenang saat Aidan memeluk perutnya yang hampir membesar penuh.
"Nggak perlu khawatir, Aviola sama Aira ditemani Mbak Ulfa mainnya. Jadi mereka ada yang jaga." sahut Umi yang dibalas Ayana dan Jefri dengan anggukan pelan.
Umi mengulum senyum saat melihat Sang Cucu mengeratkan kedua tangannya yang melingkar di leher Ayana. Ia pun juga mengamati tubuh Ayana yang sedikit ringkih dari biasanya. Padahal Ayana tengah hamil, "Bibir kamu kok pucat gitu, Sayang? Kenapa? Apanya yang sakit? Istri kamu sakit apa, Jef?" hujanan pertanyaan itu terlontar jelas dari bibir Umi yang terlihat setengah khawatir.
"Ayana, kalau kamu sakit, biar Jefri yang temani kamu di rumah ya? Umi nggak mau menantu dan calon cucu Umi sakit." pintanya pada Ayana. Hanya Umi dan Abi yang mengerti apa yang Ayana rasakan. Tidak dengan keluarga besar Jefri lainnya.
Netra Umi beralih menatap Jefri, "Temani istri kamu ya? Abi kamu pasti paham kondisinya gini,"
"Ayana nggak kenapa-napa, Mi!" Ayana mencoba membuka suara saat Umi meminta Jefri untuk mengesampingkan kewajiban suaminya itu demi Ayana. Tidak, Ayana tak ingin sakitnya ini menjadikan Jefri dicambuk amarah besar dari keluarga besarnya. Meskipun Umi mengizinkan, tapi itu tak berpengaruh besar. Ayana yang akan menjadi bulan-bulanan omongan orang. Karena Jefri mengesampingkan kewajibannya.
"Udah, nggak papa. Umi paham kondisi Ayana yang lagi hamil. Umi juga paham kondisi kamu yang harus milih antara jaga istri atau bantu Abi. Kamu jaga istri kamu dulu aja ya? Abi udah dibantu Fatih tadi." jelas Umi lagi memberitahu Jefri dan dibalas Jefri dengan anggukan penuh karena permintaannya disetujui Sang Ibu.
"Umi kesini sama siapa-" belum selesai sepenuhnya Jefri bertanya, seseorang tengah menjawab pertanyaannya.
"Sama Bu Dhe, Jef! Sama Amira juga, tadi Bu Dhe nyuruh dia ikut kesini. Tapi dia lagi keluar sebentar ke tetangga sebelah. Nanti nyusul kesini kok. Ayana kenapa?" jawab Bu Dhe yang sudah ada di ambang pintu.
Semua pasang mata mengarah ke arah Bu Dhe Jefri yang berjalan mendekati Ayana. Bu Dhe tersenyum simpul. Setiap perhatian yang terlontar dari bibirnya membuat Ayana takut. Meskipun ia tak pernah sadar, tapi banyak sekali kalimat yang terluap dari bibirnya membuat Ayana merasa tak enak hati saat mendengar ucapannya.
"Kamu sakit, Nak? Bu Dhe buatkan bubur ya? Atau Bu Dhe pesankan makanan kesukaan kamu? Nanti Bu Dhe masakin bubur ya? Bu Dhe nanti minta bantuan sama Amira. Kebetulan Amira nggak ngajar di pesantren. Dari pada dia bosen nunggu kelamaan suaminya pulang dari luar kota, Bu Dhe ajak Amira kesini aja. Nggak papa, biar nemenin kamu ya? Kalau kamu bosen di rumah ditinggal Jefri." jelasnya lagi pada Ayana. Tetap saja perhatian ini membuat Ayana takut.
Ayana bergeming. Ia tak ikut menjawab pertanyaan dari Bu Dhe. Batinnya sedari tadi bergulat sampai ia lupa menanggapi pertanyaan dari Bu Dhe.
Karena merasa ada yang menjaga Ayana. Umi sedikit lega. Meskipun kelegaannya itu sebenarnya membuat Ayana takut. Umi mengulas senyum ke arah Bu Dhe, "Kalau gitu Umi tinggal ya? Nanti kalau ada apa-apa bilang ke Umi. Umi mau ke Abi sebentar, nanti kesini lagi. Aidan ikut nenek?" tanyanya mengarah ke cucunya.
Aidan cepat-cepat beranjak dari pangkuan Ayana. Ia lantas turun dari ranjang dan menatap Ayana dan Jefri secara bergantian, "Aidan ikut boleh?" pintanya.
Jefri mengangguk seraya mengulum senyum. Sedangkan Ayana hanya membalas anaknya itu dengan anggukan samar. Tetap saja membuat Aidan bersorak girang karena diizinkan orang tuanya main lagi.
Usai Umi dan Aidan keluar dari kamar, Bu Dhe berjalan mendekat ke arah Ayana lagi. Menepuk-nepuk pundak Ayana, dan sesekali memijit bahu Ayana. Entah ia sadar atau masih tak sadar. Jika perhatian yang diberikan Bu Dhe seakan-akan sia-sia bagi Ayana. Perhatian itu tiba-tiba tergores angin, hilang seketika saat bibirnya meluapkan sebuah kalimat yang tak sengaja membuat Ayana tersakiti.
"Kamu bantu Abi kamu nggak papa, Jef! Biar Ayana di rumah sama Bu Dhe, nanti ada Amira juga disini. Nggak perlu khawatir, istri kamu baik-baik aja. Nanti biar Bu Dhe sama Amira yang nemenin ngobrol biar nggak kesepian di rumah." ucapnya pada Jefri.
"Amira dari dulu kan nurut banget sama Bu Dhe, Jef! Kamu kan tahu sendiri. Dari dulu dia baik banget sama keluarga kita. Bu Dhe yakin dia bisa bantu-bantu nemenin istri kamu yang sakit. Meskipun Amira juga hamil sendiri, tapi janinnya kuat banget. Nggak pernah rewel, sering bantu-bantu Bu Dhe juga. Jadi biar ada temennya ngobrol, Ayana biar ditemenin sama Amira sama Bu Dhe juga, nanti kalau udah selesai pekerjaanmu. Nggak papa langsung pulang," tambahnya lagi.
"Kamu bantu Abi kamu dulu aja. Rumah panti yang bakalan diperluas kan banyak. Gedung pesantren yang sebelah timur juga rencana mau bangun lagi kan? Kasihan Abi kamu cuma ngandalin Fatih aja. Mumpung masih bisa bantu orang tua. Bantu orang tua kamu. Biar kamu juga nggak terbebani punya dua tanggung jawab."
Bu Dhe mengalihkan pandangannya ke arah Ayana lagi, "Ayana nggak keberatan juga kan sama Bu Dhe sama Amira di rumah? Dulu suami kamu sebelum menikah juga deket banget sama Amira. Mereka udah deket banget pas Jefri kuliah kedokteran, dia kenal Amira dari Kakak Amira yang jadi asisten Abinya Jefri. Dari situ mereka temenan deket sampai sekarang. Amira juga udah dikenal baik sama keluarga-"
"Bu Dhe, Jefri tetep ikut nemenin Ayana di rumah." sahut Jefri memotong kalimat Bu Dhe agar Ayana tak merasa salah paham dengan perkataan Bu Dhe yang terlalu mengungkit masa lalunya.
Bu Dhe menghela napasnya. Ia mengulas senyum tipisnya pada Jefri yang bersikukuh ingin menjaga Ayana, "Kamu ragu sama Bu Dhe sendiri, Jef? Bu Dhe bisa jaga istri kamu. Padahal Bu Dhe bela-belain kesini buat istri kamu. Bu Dhe pengen ngobrol banyak sama istri kamu. Bu Dhe dari dulu nggak pernah ngobrol panjang sama istri keponakan Bu Dhe sendiri. Karena kamu nggak pernah ngajak dia kesini."
"Kamu ragu juga sama Amira yang mau kesini buat jaga istri kamu? Niat baik orang jangan kebiasaan ditolak, Jef! Emangnya salah kalau Bu Dhe mau bantu keponakan Bu Dhe sendiri? Dulu kamu deket sama Amira nurut-nurut aja sama Bu Dhe, sekarang kenapa jadi gini? Sekarang kenapa malah menolak niat baik dari keluarga kamu sendiri?"
"Bu Dhe bukan orang lain. Amira juga bukan orang lain di keluarga kita. Kok kamu jadi meragukan niat baik orang, Jef?" rentetan panjang dari bibir Bu Dhe membuat Ayana tak mendongak sama sekali. Jefri bisa merasakan, tangan Ayana yang bersembunyi di balik selimut itu bergetar lagi.
"Ka-kamu bantu Abi, Mas! Aku nggak papa di rumah,"
Bersambung ....
Akhirnya aku update 😭 wkwkwk aku menangis ngetik ini. Masalah Ayana gak jauh jauh dari masalah gua. Insecure sama keberhasilan orang lain, dibanding-bandingin orang terdekat secara tidak langsung, dan merasa nggak ada yang bisa dibanggakan dari hidup 😭 Mari sini yang sama kita pelukan. Wkwkwk
Coba nih yang masih betah nunggu aku update cung jempol di kolom komen sebanyak-banyaknya. Dan mari kita lihat seberapa kuat tubuh ringkih Ayana menahannya bersama Jefri wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top