BAGIAN 25 - AYANA TAU!
Jefri terlihat masuk ke dalam kamarnya. Dengan derap langkah pelan ia menelisik sudut-sudut kamar, mencari Sang Istri yang tak ada disana. Ternyata hanya ada dua anak kembarnya yang tengah bermain dengan mainannya. Sorot matanya masih tak menemukan istrinya disana.
Usai mengurus masalah pembangunan rumah panti milik orang tuanya, Jefri harus bolak-bolak membicarakan hal ini dengan salah satu kontraktor yang ada di Kota Malang. Sembari menunggu Sang Abi menyusulnya, ia dan Fatih yang mengurus pembangunan rumah panti. Dan Jefri sengaja tak mengajak Ayana karena takut istrinya itu kelelahan.
"Papa besok Apiola mau ke Matos ya? Beli baju plincess Aulola." pinta gadis kecil yang tengah menarik ujung bajunya untuk dibelikan baju kesukaannya di salah satu Mall yang ada di Malang.
"Aidan juga. Mau beli lobot dinosaulus walna melah. Aidan nggak punya yang walna melah." Pun juga tak mau kalah. Laki-laki kecilnya itu ingin dibelikan sebuah mainan baru yang tak kalah bagus dari permintaan kembarannya.
Jefri sangat hafal. Dua anak kembarnya itu tak jauh-jauh mengajaknya menyusuri Kota yang dijuluki Kota Bunga itu. Meksipun Mall kota tersebut tak sebanyak Mall yang ada di Jakarta, namun dua anaknya tak ingin pulang cepat jika mereka diajak kesana. Entah apa yang membuat mereka sangat betah.
"Besok sore aja, ya? Kasihan Mama sama adik bayi kalau jalan-jalan terus. Aidan sama Aviola janji sama Papa jangan minta mainan banyak-banyak. Uangnya buat beli buku cerita aja. Atau beli mainan puzzle, atau beli keperluan adik bayi. Kan adiknya Aviola sama Aidan mau lahir nanti," jelas Jefri, berusaha membujuk Sang Anak agar mereka tak terlalu sering meminta mainan.
Sorot mata Jefri menelisik lagi sudut kamar, batinnya masih mencari Sang Istri yang tak ada di kamarnya, "Mama mana?" tanyanya pada dua anaknya.
"Di kamal mandi," sahut Aviola seraya masih sibuk memainkan boneka unicorn berwarna biru yang ia pegang.
Spontan netra Jefri langsung beralih ke arah pintu kamar mandi yang ada di kamarnya, "Mandi?" tanyanya lagi pada Aviola.
Aviola hanya menggeleng saat Sang Papa bertanya lagi padanya. Ia masih sibuk dengan boneka-boneka yang berserakan di sekitarnya, "Gak tau. Tadi Mama pegang pelutnya telus masuk kamal mandi," jawabnya menatap Jefri. Dan tak lama kemudian fokus dengan bonekanya lagi.
Jefri membiarkan dua anaknya itu bermain dengan mainannya masing-masing di atas ranjang. Netranya saat ini fokus ke arah pintu kamar mandi. Dan ia lantas berjalan mendekat, memastikan bahwa istrinya baik-baik saja, "Ayana," panggilnya pelan.
Saat Ayana tak menyahut panggilannya dari luar, Jefri mencoba untuk mengetuk pintu itu lagi. Selang beberapa detik, ia menghela napas lega karena Ayana akhirnya keluar dari kamar mandi.
Wanita yang tengah berbadan dua itu berkerut saat suaminya menampakkan guratan khawatir di wajahnya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat laki-laki yang ada di depannya itu tengah menghela napas, "Kamu udah pulang, Mas?"
"Iya. Tadi kenapa? Ada yang sakit? Perut kamu nggak nyeri kan? Mana yang sakit? Punggung? Kepala? Tangan? Kaki udah nggak terlalu bengkak?"
Tawa kecil dari bibir Ayana menggema mendengar hujanan pertanyaan yang dilontarkan Jefri. Ia reflek mengulum senyumnya melihat wajah Jefri yang masih menampakkan guratan kekhawatiran itu. Ya, sebenarnya tadi Ayana di kamar mandi memang karena merasakan nyeri di sekitar perut bagian bawahnya. Namun rasa nyeri itu perlahan hilang saat ia mengusap-usap pelan perutnya di kamar mandi, "Nggak. Cuma pengen buang air kecil aja."
"Bener nggak ada yang sakit?"
"Iya. Udah nggak usah khawatir. Aku nggak papa. Ayo! Aku udah siap-siap dari tadi. Katanya malam ini kita ke rumah panti sama main ke rumah Aira. Jadi kan?"
Jefri bergeming beberapa detik saat pertanyaan terakhir dari bibir Ayana terucap. Ia harus cepat memutuskan untuk memberi tahu Ayana, mengenai orang tua Aira. Sebelum Ayana mengetahuinya dari orang lain, ia harus lebih dulu mengetahuinya dari suaminya sendiri.
Jefri tak ada hubungan apa-apa dengan Aira. Ia hanya takut Ayana memikirkan hal yang tidak harus dipikirkan sampai menganggu kesehatan mentalnya lagi. Jefri hanya tak ingin karena sebuah kesalahpahaman membuat istrinya itu terus-menerus terganggu kecemasannya. Terlebih saat ini istrinya tengah hamil tua. Itu yang membuat Jefri semakin khawatir.
"Mas?" Ayana memukul pelan lengan suaminya yang sedari tadi hanya mematung di tempat, tak menyahut apa yang ia katakan. Seolah-olah ada yang mengganjal di pikiran suaminya.
"Ayo! Anak-anak udah siap dari tadi. Nungguin kamu,"
Jefri terkesiap. Ia hampir saja mengabaikan Ayana terlalu lama, karena bergelut dengan pikirannya sendiri. Bibir Jefri menyunggingkan senyum tipisnya. Meskipun saat ini ia tengah perang dengan degup jantungnya sendiri, namun sebisa mungkin ia menepis satu persatu apa yang ada dipikirannya.
Harus diselesaikan saat ini juga. Batin Jefri sedari tadi memberontak. Ia menghela napas panjang. Sorot matanya menatap istrinya itu dengan tatapan lembut setengah khawatir, "Ayana," panggilnya pelan.
"Hm?"
Jefri masih menatap Ayana tak berkedip. Sorot matanya yang sayu, membuat Ayana mengerutkan dahinya penasaran. Bibir Jefri seolah-olah terkunci saat berhadapan dengan Sang Istri seperti ini. Jujur, Jefri saat ini sangat bingung untuk memulai pembicaraannya, "Kenapa lihatnya gitu?" tanya Ayana seraya menatap Jefri yang masih mengunci mulutnya.
"Kenapa sih, Mas? Kamu nggak enak badan?"
Pertanyaan dari Ayana tak langsung dijawab Jefri. Justru tangan Jefri malah menarik tubuh Ayana ke luar dari kamar. Meninggalkan dua anak kembar yang masih sibuk bermain disana. Jefri sengaja, agar dua anak kembarnya tak terganggu dengan urusan orang dewasa.
Saat Ayana dan Jefri ada di depan pintu kamar, Jefri spontan mendekap tubuh Ayana erat. Sesekali menyisakan jarak sedikit agar janin yang ada dalam kandungan Ayana tak terhimpit pelukannya. Jefri semakin memperdalam pelukannya. Lidahnya kelu hanya untuk mengutarakan apa yang mengganjal dalam pikirannya. Tapi jika Ayana tak mengetahuinya, ia takut Ayana lebih dulu mengetahui dari orang lain. Dan berakhir salah paham lagi.
"Terima kasih," seru Jefri di sela-sela dekapannya pada tubuh Ayana. Ayana yang tak tahu apa-apa, sontak mengerutkan dahinya kembali. Kali ini ia dibuat Jefri setengah penasaran dengan perilaku suaminya yang tak biasanya seperti ini.
"Untuk apa?"
"Jadi istriku sampai detik ini. Terima kasih juga, kamu udah kasih kesempatan mempertahankan pernikahan ini. Aku nggak mungkin bisa lihat Aidan sama Aviola disini kalau kesempatan itu nggak pernah terucap di bibir kamu." jawab Jefri pelan. Lagi-lagi rentetan kalimat ini yang berulang di ujarkan Jefri dalam bibirnya. Ayana sampai hafal. Jika suaminya meletupkan kalimat ini, ada yang mengganjal di pikiran suaminya.
"Kamu ngomong apa sih? Kita udah sepakat buat nutup masalah yang udah selesai. Nggak perlu dibahas. Dan ... Dan aku kasih kesempatan kamu karena aku inget pesan Mama. Semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, kalau dia benar-benar bisa mengubah apa yang harusnya dia ubah. Dan kamu bisa melakukannya kan? Empat tahun kamu belajar. Kamu juga belajar mencintaiku, iya kan? Kenapa tiba-tiba bahas ini lagi?"
"Ada yang kamu sembunyikan?" Ayana menghela napasnya pelan. Deruan napas itu terasa di leher laki-laki dewasa yang tengah memeluknya. Dengan amat hati-hati Ayana meluapkan satu kalimat yang membuat Jefri semakin memperdalam pelukannya. Seakan-akan tak membiarkan Ayana lepas dari dekapan itu.
Jefri berusaha mengatur detak jantungnya sebelum ia mengeluarkan beberapa kata yang mungkin membuat Ayana tak nyaman. Ia saat ini benar-benar takut, jika Sang Istri merasa tak nyaman. Bukan apa-apa, ia hanya ingin menjaga perasaan istrinya. Sejak kejadian beberapa tahun silam Jefri telah berusaha menutup rapat-rapat apapun yang berhubungan dengan masa lalunya.
Dan akhir-akhir ini, tanpa diduga ia harus dihadapkan masalah ini lagi. Ia dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit. Jefri ingin sekali menolak secara halus permintaan orang tuanya untuk datang ke Kota Malang, namun rasanya tak enak jika harus menolak permintaan orang yang telah membesarkannya dari kecil, orang tuanya sendiri. Dari dulu ia sangat sering menolak permintaan orang tuanya hanya untuk keegoisannya sendiri.
Kali ini ia memilih untuk memberitahu Ayana apa yang harusnya Ayana tau dari mulutnya.
"Ayana, Masih ingat aku pernah cerita kalau Aira keponakan Kak Fatih?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Masih dalam dekapannya. Ayana mengangguk pelan saat Jefri menanyakan kalimat pertamanya yang sedari tadi tercekat dalam bibirnya, "Aku nggak mau kamu salah paham lagi. Terus mikir yang nggak-nggak tentang apa yang aku bilang. Aku juga nggak mau kamu tahu mengenai hal ini dari orang lain. Aku suami kamu. Kepercayaan yang kamu tanamkan, itu jauh lebih berarti daripada kamu harus mengetahuinya dari orang lain dan aku takut kamu langsung salah paham." jelasnya pelan, namun Ayana masih belum mengerti sepenuhnya Sang suami ingin membicarakan masalah apa.
"Kamu ngomong apa? Aku nggak ngerti. Apa hubungannya Aira sama kamu?" tanya Ayana balik.
Jefri menyembunyikan kepalanya di sela-sela leher Ayana. Mencium lembut surai hitam lurus milih istrinya sampai deruan napas dari bibir Jefri terasa di leher Ayana, "Nggak ada hubungannya apa-apa. Aku cuma mau kamu tahu orang tua Aira. Biar kamu nggak salah paham."
"Orang tua Aira?"
Jefri menelan salivanya dalam-dalam. Napasnya kian berderu. Dan detak jantungnya, ia kendalikan pelan agar tak gugup saat mengeluarkan barisan kalimatnya, "Kak Fatih itu Kakaknya Amira. Dan ... Ibu sambungnya Aira .... itu Amira. Amira menetap di Malang sama suaminya. Rumahnya dekat dengan Rumah Panti milik Abi. Jadi, kamu jangan salah paham dan mikir yang nggak-nggak, ya?"
Entah apa yang Ayana pikirkan. Tangannya yang mengerat di lingkar pinggang Jefri perlahan terurai saat suaminya menyebut nama seseorang yang pernah hadir di hati Jefri, dulu. Meskipun masalah itu telah usai, namun Ayana tetap merasa khawatir. Khawatir jika pernikahan yang ia pertahankan tiba-tiba runtuh karena hati Jefri terbolak-balikkan saat nantinya bertemu lagi.
Meskipun Jefri mengucapkan kalimat yang sangat menenangkan hati Ayana. Ayana tetap takut. Takut jika apa yang suaminya itu bilang hanya di lisan saja, dan tak sampai hati seperti dulu. Dan ketakutan yang paling besar, takut jika ia tak lebih baik dari seseorang yang pernah ada di hati Jefri.
Ayana masih ingat betul, saat Aira mengatakan jika Sang Mama juga tengah hamil sama sepertinya. Dan itu pun yang membuat Ayana takut. Benaknya selalu memikirkan apa yang seharusnya tak ia pikirkan mengenai suaminya yang sangat menginginkan hadirnya buah hati lagi sebelum ia hamil. Ayana takut. Benar-benar merasakan ketakutan pada banyak hal.
"Tanyakan semua apa yang mengganjal di hati kamu. Jangan biasakan nyimpen sendiri. Waktu awal pernikahan, dulu aku sempat nggak bisa terbuka sama kamu. Tapi sekarang, aku minta kita jangan saling menutupi masalah masing-masing ya?"
Bait deretan yang keluar dari mulut Jefri seakan-akan tak terdengar di telinga Ayana. Ia bungkam, masih berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Ia pun juga tak tahu mengapa ia sesensitif ini dengan kabar yang ia dengar. Bayang-bayang rasa takut masih menyelinap di batin Ayana. Ayana merasakan ketakutan yang berbeda. Ia takut kehamilannya, dirinya sendiri, dan apa yang ia miliki tak sebanding dengan seseorang yang pernah ada di hati Jefri. Yang nantinya akan ia temui juga.
Belum sempat menetes. Ayana cepat-cepat mengusap buliran bening yang ada di kelopak matanya. Ia tak bisa jika Jefri mengetahuinya tengah menahan cairan bening yang sempat akan keluar. Biarkan saja seperti ini.
Ayana melepas dekapan Jefri. Ia mengulum senyum tipisnya namun tak menatap netra Jefri secara langsung. Seakan-akan mengalihkan pandangannya ke segala arah, agar Jefri tak mengetahuinya bahwa ia tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri, "Aku panggil anak-anak dulu, setelah itu kita langsung berangkat." jawabnya menghindar.
Jefri reflek menahan tangan Ayana yang hendak masuk ke dalam kamar. Ia sedikit lega saat semuanya telah ia ucapkan di hadapan Ayana. Tidak ada yang ia tutupi sedikit pun, "Besok jadi ke Jalan Ijen buat CFD?" tanyanya pada Ayana sebelum Ayana masuk ke dalam kamar.
"Tunggu besok aja ya, Mas? besok aku coba bangunin anak-anak buat ikut Car Free Day bareng kamu. Aku nggak ikut dulu sementara, aku ... Sedikit nggak enak badan." alibinya pada Jefri.
Jefri menggeleng. Tangannya mengusap-usap punggung tangan Ayana, "Jangan sakit! Kalau kamu nanti nggak ikut kesana, Car Free Day-nya nanti nggak lengkap. Anak-anak juga pengen olahraga sama adiknya. Nggak ada yang bisa ganti posisi kamu. Jangan mikir yang nggak harus dipikirkan."
Ah, rasanya Ayana tak mengerti mengapa cairan bening yang bernaung di kelopak matanya seakan-akan tak bisa diajak kompromi. Ayana ingin bersikap biasa saja. Namun batinnya tak bisa. Batinnya selalu mengajaknya bergulat. Menyalahkan dirinya sendiri yang tak sepadan dengan seseorang yang pernah ada di hati Jefri. Seseorang yang mengabdi pada orang tua Jefri. Dan seseorang yang dulu membuat Jefri tak bisa menyingkirkan isi hatinya untuk ia menetap.
Dreet ... Dreett ... Dreet ....
Jefri melepas tangannya yang bertengger di tangan Ayana karena deringan ponselnya yang bergetar tiba-tiba. Ia lantas merogoh ponselnya yang ada di saku celana. Dan saat ia membaca barisan pesan yang ada di layar ponselnya, ternyata Ayana pun juga ikut melihat layar ponselnya. Dan membaca isi pesan dari Umi.
Umi
Jef, Abi sama Umi udah nunggu kamu disini. Kucingnya Ayana ada di rumah panti ya? Nanti Aviola sama Aidan ajak kesini. Temennya banyak disini. Disini juga ada Fatih sama adiknya ikut makan malam bareng kita. Abi sama Umi tunggu kamu sama Ayana kesini ya? Keburu makanannya dingin kalau kamu nggak cepet datang. Ini Ibu Panti kebetulan tadi masakin makanan banyak buat kita, dibantu adiknya Fatih juga yang masak.
Bersambung ....
Akhirnya setelah melawan rasa ngantuk, aku update. Maap ya aku update telat terus. Aku bagi waktu buat nulis novel lainnya yang kejar tayang bulan ini. Kalian ada yang masih nunggu Macarolove update?
Makasih banyak ya, aku baru ngecek komen di part sebelumnya 100 lebih avv gak nyangka banyak yang ngeboom wkkwkw.
Segitu dulu ya guys 2400 lebih kata. Aku undur diri. Jangan lupa kalau suka vote dan komen yang banyak. Yang belum follow yuk follow follow aja biar tau aku update lagi. Follow IG @iimkhoiria41 follow apa aja dah🤣 wkwk
Satu lagi numpang promo sebelum undur diri. Izin promo yak? Novel baru aku yang terbit di apk novelme. Kalau mau mampir pintu utama kebuka silahkan mampir kesana. Ada aku disini yang buat universe lain. Kalau di WP kalian ketemu Badak Universe. Di novelme kalian ketemu Dugong universe.
Jadi, novel yang aku tulis judulnya 'Lost Marriage' genre adult romance wkwkwk adult gak tuh. Bukan adult artis di tipi yak. Tapi adult romance. Caranya mampir:
1. Kalian download apk novelme di playstore atau AppStore.
2. Teros, kalian login pakai email.
3. Setelah masuk di apk, kalian cari di kolom pencarian 'Lost Marriage' karya iimkhoiria.
3. Kalau udah Nemu yang covernya kayak di bawah, langsung pencet 'masukin ke rak' tombolnya di pojok kiri bawah. Habis masukin ke rak, baru baca dan beri komentar di kolom review ya? Di vote juga gapapa. Terus pantengin tiap hari aku update tanpa libur sampai ending. Ini genrenya campuran ya? Angst-comedy-Adult Romance. Ada sedihnya ada lucunya ada nganunya pokoknya sangat membagongkan wkwkw.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top