BAGIAN 24 - TERNYATA GADIS ITU?
Sorot mata Ayana menangkap gadis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun itu berlari ke arah Jefri. Memanggil dengan sebutan Papa lagi. Jefri yang sebelumnya tak menyadari sontak ikut menoleh ke arah gadis yang telah bertengger memeluknya dari belakang. Tubuh Jefri spontan berputar, memperhatikan siapa yang tengah memeluknya dari belakang, "Papa!" panggil gadis itu lagi seraya masih memejamkan matanya dan memeluk Jefri, bergumam penuh rindu seolah-olah Jefri adalah laki-laki yang ia rindukan untuk pulang.
Mata Jefri memindai guratan wajah dari gadis itu, dan ia baru menyadari bahwa seorang gadis yang sangat ia kenal dulu memeluknya erat. Dekapannya seolah-olah tak ingin lepas. Batin Jefri mulai berkecamuk saat gadis itu tak kunjung melepas pelukannya. Netranya pun beralih menatap ke arah Ayana, dan ternyata Ayana menatapnya dengan penuh tanya saat gadis kecil itu lagi-lagi masih belum melepas pelukannya yang bertengger erat di punggung Jefri. Begitupun juga dengan dua anak kembar yang tengah duduk di samping Jefri, dua anak kembar itu dahi kecilnya saling berkerut saat gadis yang tak ia kenal memeluk Sang Papa. Terlebih Aviola, sedari tadi tak henti-hentinya ia mengerucutkan bibirnya dan bersendekap dada. Ia seakan-akan sebal dengan gadis yang tak ia kenal memeluk Sang Papa kesayangannya.
Saat netra gadis kecil yang tengah memeluk Jefri itu terbuka, ternyata ia baru menyadari bahwa yang ia peluk bukanlah Sang Papa yang ia tunggu kedatangannya untuk pulang. Gadis itu tersenyum getir, juga setengah buncah saat Jefri di hadapannya. Ternyata Jefri, laki-laki yang ia kenal dulu sebelum akhirnya berpisah dan Jefri menetap di Jakarta, ternyata saat ini ada di hadapannya. Urusan orang dewasa lah yang tak ia pahami membuat ia berpisah dengan laki-laki dewasa yang ada dihadapannya saat ini, "Om Jefri? Aku kira tadi Papa. Om Jefri pulang ke Malang?"
Jefri tak menyahut beberapa detik. Batinnya sedari tadi masih bergejolak. Degup jantungnya pun sedikit tak normal. Ia masih terkesiap saat melihat gadis itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Saat ini gadis itu telah beranjak setengah remaja. Dulu yang ia kenal, gadis di hadapannya masih seusia Aidan dan Aviola, "I-iya. Om pulang ke Malang sama istri dan anak-anak Om," jawabnya seraya tersenyum samar.
"Om Jefri kok jarang kesini?" tanya gadis kecil itu.
Hanya seulas senyum tipis yang terbit di bibir Jefri saat gadis itu mengeluarkan pertanyaan yang bingung untuk ia jawab. Benaknya tampak gusar, ingin menjawab apa yang gadis itu tanyakan namun mulutnya seakan membeku. Ada rasa khawatir jika Sang Istri yang ia cintai memikirkan hal yang tidak harus dipikirkan karena ia bertemu dengan gadis kecil yang ada dihadapannya sekarang. Jangan dulu! Jefri tak siap untuk menjelaskan. Biarkan hal itu mengalir oleh angin tanpa Jefri menguliknya kembali. Dan tak membuat Ayana berpikiran yang tidak-tidak.
Netra Jefri melirik Ayana sekilas yang masih bungkam dan tak meletupkan satu pun kalimat yang ada di bibirnya karena istrinya itu masih tak mengenal gadis yang terlihat akrab dengannya, "Maaf ya? Om di Jakarta banyak banget pekerjaannya. Jadi nggak bisa sering-sering kesini." jawabnya seadanya. Padahal ada alasan lain yang membuatnya tak ingin berlama-lama pulang ke Kota yang dijuluki Kota Bunga ini.
"Kapan-kapan kita ke toko buku lagi ya, Om? Sekarang aku udah kelas empat SD. Aku kemarin ranking satu," tawaran gadis kecil itu membuat Jefri melirik lagi ke arah Ayana. Ayana tak tahu apa maksud dari tatapan suaminya itu.
"Hebat banget, dipertahankan terus ya? Kalau kelas 5 nanti harus ranking 1 lagi." jawab Jefri sembari mengulas senyum simpul. Gadis kecil yang telah beranjak setengah dewasa itu tetap sama di mata Jefri. Masih tetap menggemaskan dan tetap mengenalnya meskipun Jefri sangat jarang pulang ke kota ini.
Gadis itu mengangguk mengerti. Bibir tipisnya pun mengulum senyum memberi kesan teduh pada guratan wajahnya, "Iya. Kata Mama kalau aku dapat ranking satu lagi, aku dapat hadiah dari Mama sama Papa. Om Jefri kapan-kapan ajak aku beli buku lagi ya kayak dulu? Soalnya sekarang aku jarang beli buku dongeng. Mama lagi sakit muntah-muntah terus. Papa kerja di luar kota. Aku sama Om Fatih terus."
"Kamu sama siapa kesini?" tanya Jefri penasaran.
"Sama Om Fatih, tapi Om Fatih lagi beli paku di toko bangunan depan rumah makan. Aku disuruh kesini dulu. Pas Aku masuk ke rumah makan, tadi Aku ngiranya Om Jefri itu Papa. Soalnya bajunya sama kayak punya Papa."
Ayana ikut menyunggingkan senyum tipisnya saat pendengarannya menyimak ucapan gadis itu. Ia melihat kedekatan antara suaminya dengan gadis yang ada di samping suaminya. Mungkin sebelum ada pernikahannya, gadis itu lebih dulu mengenal suaminya. Jauh lebih dulu dari ia yang mengenal suaminya melalui sebuah perjodohan orang tuanya. Jadi wajar bagi Ayana jika suaminya dekat dengan gadis kecil itu, "Dia siapa, Mas?" ucapnya ikut membuka suara karena penasaran dengan gadis kecil itu seraya melirik sekilas gadis yang ada di hadapan Jefri.
"Keponakannya Kak Fatih." jawab Jefri lembut seraya menerbitkan senyum yang bernaung di bibirnya ke arah Ayana. Hanya menjawab dengan jawaban 'Keponakannya Kak Fatih' tanpa ada embel-embel jawaban lain yang membuat Jefri khawatir jika ia lontarkan saat ini juga.
Ayana tersenyum lega saat jawaban dari Jefri seolah-olah menjelaskan semua yang berkecamuk di pikirannya. Ia sudah bisa menebaknya, gadis kecil itu memang sangat akrab dengan Jefri dulu karena Fatih memang dekat dengan Abi. Bagi Ayana, wajar saja sangat dekat. Padahal kenyataannya tak seperti itu. Ayana tak mengetahui. Dan hanya mengetahui apa yang keluar di bibir suaminya. Padahal dulu ada alasan lain. Namun Jefri masih menyembunyikannya. Ia tak ingin Ayana salah sangka lagi. Biarkan terbawa angin, dan Jefri harap Ayana tak memikirkan hal yang seharusnya memang tak ia pikirkan.
Jefri telah menguburnya dalam-dalam, berharap ia tak menggalinya lagi yang membuat konflik pernikahannya semakin rumit karena kesalahpahaman. Ia tak ingin Ayana ragu lagi seperti dulu. Ia telah membuang penuh apa yang seharusnya ia buang sejak kali pertama pernikahan. Batin Jefri tiba-tiba meletup lagi, meskipun gadis kecil ini muncul di hadapannya saat ini. Tapi semoga Ibunya tidak.
"Hallo cantik, aku Tante Ayana. Kamu namanya siapa?" tanya Ayana pada gadis kecil yang ada di hadapan Jefri. Bibir Ayana ikut tertarik membentuk simetris tipis saat gadis itu menatapnya.
"Nama aku Aira, Tante Ayana!"
Ayana mengangguk mengerti. Senyum yang bernaung dalam bibirnya itu tak ia lepas beberapa detik. Netranya beralih ke arah dua anak kembarnya yang masih memperhatikan interaksi gadis yang ada di hadapan Jefri, "Aidan, Aviola, kenalan sama Kakak Aira dulu ya? Mainannya di taruh di meja dulu." titah Ayana pada dua anaknya.
Aidan lebih dulu menyalami gadis itu. Dan tak berlangsung lama, ia kembali fokus dengan mainan yang ia pegang lagi tanpa ingin tahu lebih mengenai gadis yang tak ia kenal, "Aidan," ucapnya menyebut nama.
Sedangkan Aviola? Netranya yang tajam tak berpindah sedari tadi. Bibirnya yang mengerucut pun juga tak berangsur. Aviola bak seorang yang tengah dibakar cemburu. Takut Sang Papa diambil oleh gadis lain. Karena memang Aviola lebih dekat dengan Jefri dibanding dengan Ayana, "Apiola," serunya seraya memutar bola mata kecilnya saat menyalami gadis itu.
Gadis yang ada dihadapan Jefri itu terkekeh. Mungkin jauh lebih dewasa daripada Aviola. Jadi ia paham jika Aviola tak suka padanya karena ia dekat dengan Jefri. Bisa dilihat dari kilatan tajam mata Aviola, "Aira." sahutnya pelan seraya meraih tangan Aviola untuk bersalaman.
"Papa! Apiola mau duduk disitu," pinta Aviola pada Jefri agar ia diizinkan duduk dipangkuan Sang Papa.
Melihat anak gadisnya itu mengerucut sebal, Jefri mengulas senyum simpulnya. Ia pun memangku Aviola yang tengah berdiri di sampingnya seraya mata Aviola masih mendelik ke arah gadis kecil yang duduk di samping Jefri. Netra Aviola sedari tadi tak berhenti untuk melirik tajam ke arah gadis itu. Meskipun gadis itu tak menyahuti amarah dari kilatan mata Aviola, namun Aviola tetap lah Aviola. Ia tetap tak memindahkan mata tajamnya untuk melirik gadis yang ada di samping Jefri, "Ya udah sini!" seru Jefri.
"Oh iya Om, aku mau punya adik. Kata Mama bentar lagi adiknya lahir." kalimat yang mencuat dari bibir gadis itu tiba-tiba membuat Jefri reflek menoleh ke arahnya. Saliva yang ada di jakunnya seakan-akan sulit untuk ia telan. Batin Jefri mulai berkecamuk lagi dan lagi. Ada rasa khawatir yang mencekam hatinya. Sampai beberapa detik, netra laki-laki dewasa itu menatap penuh arti ke arah sorot mata milik istrinya. Sedangkan yang ditatap tak mengerti apa yang suaminya tengah pikirkan.
"Apiola juga punya adik." Aviola yang ada di pangkuan Jefri ikut menyilangkan kedua tangannya dan semakin mendelik ke arah gadis kecil yang ada di samping Jefri.
Saat gadis kecil itu mendapatkan lirikan tajam dari Aviola. Ia sama sekali tak membalasnya dengan amarah. Justru ia menarik sudut bibirnya membentuk seulas senyum yang merekah, "Adik kamu udah lahir, Apiola?"
"Masih di pelut Mama. Adik Apiola nanti jam malam-malam kelual kata Mama. Telus Adik Apiola banyak. Telus Adik Apiola pintel nggak nakal kayak Apiola." pamernya pada gadis itu lagi. Aviola spontan bergelayutan di pangkuan Jefri. Seraya menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Jefri. Seolah-olah gadis lain tak boleh ada disini, memeluk Sang Papa.
Gadis itu hanya membalas kalimat Aviola dengan ukiran senyum tipisnya. Saat seorang laki-laki dewasa tengah berjalan dari pintu masuk rumah makan, netra gadis itu spontan beralih memindai kesana, "Om Fatih, Aira disini." ucapnya seraya melambai-lambaikan tangannya.
Laki-laki dewasabyajg ada di ambang pintu itu mengangguk mengerti saat ia menyadari bahwa ada seseorang yang memanggilnya. Dan dahinya sontak berkerut saat gadis kecil yang ia bawa dari rumah ternyata tengah bersama sahabat kecilnya disana, duduk saling berdekatan. Kaki laki-laki dewasa itu lantas melangkah ke arah Jefri dan ikut mendudukkan tubuhnya di samping Aira, "Jef? Kamu kapan datengnya?"
"Tadi pagi sebelum subuh, Kak!"
Laki-laki dewasa itu mengangguk mengerti. Sorot matanya sontak beralih menatap Ayana sekilas, "Istri kamu ya, Jef?"
"Iya. Ayana kenalin ini Kak Fatih yang pernah aku ceritakan kalau dia sahabat karibnya Abi." ucap Jefri pada Ayana yang sedari tadi tak mengeluarkan suara.
Ayana hanya memasang senyum tipisnya ke arah laki-laki dewasa yang tengah mengambil duduk di samping suaminya itu. Bangku yang Aidan duduki bergeser mendekat ke arah Ayana sehingga laki-laki dewasa itu bisa duduk di samping Jefri. Dua laki-laki dewasa itu terlihat menyatukan keakrabannya kembali satu sama lain yang pernah tercekat beberapa tahun yang lalu karena Jefri pindah menetap ke Jakarta.
"Dulu waktu kamu menikah, belum sempet datang kesana. Maaf ya, Jef?" sesal laki-laki itu.
"Iya, nggak papa."
"Anak kamu lucu-lucu banget. Mereka kembar?"
Jefri ikut terkekeh saat laki-laki dewasa yang ada di sampingnya itu tertawa ringan, "Iya Kak, sekarang otw tiga,"
"Nambah lagi? Yang di perut nggak kembar juga?"
Jefri menggeleng. Ia menarik sudut bibirnya menatap ke arah Ayana sekilas sebelum pandangannya beralih menatap Fatih lagi, "Awalnya waktu Ayana hamil muda, aku ngiranya kembar lagi. Tapi ternyata waktu di USG cuma satu. Dia laki-laki," papar Jefri yang dibalas Fatih dengan anggukan mengerti.
"Udah berapa bulan, Jef?" tanya Fatih lagi.
Jefri menoleh ke arah istrinya beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan dari Fatih, "Lima jalan enam bulan, Kak!" balasnya kemudian.
"Om Fatih, Om Jefri nggak main ke rumah Aira? Di rumah kan ada Mama, Eyang Kakung, sama Eyang Putri. Pasti Eyang Kakung kangen sama Om Jefri." celetuk Aira tiba-tiba yang membuat semua pasang mata menoleh ke arah gadis kecil itu.
Sorot mata Fatih mengarah ke Jefri untuk meminta persetujuan. Sedangkan yang ditatap, menatap Sang Istri yang juga tengah menatapnya. Batin Jefri mulai bergemuruh. Kekhawatiran itu tiba-tiba mengoyak tubuh Jefri lagi. Sampai Ayana pun bisa menyadari bahwa Jefri tengah bergulat dengan pikirannya. Sudah bisa ditebak. Tapi Ayana tak tahu apa yang tengah suaminya itu pikirkan, karena Jefri tak memberitahunya secara langsung.
"Lain kali ya, Aira?" seru Jefri memutuskan untuk menolak tawaran gadis kecil itu.
"Kenapa nggak sekalian aja, Mas? Nanti malam ke rumah Aira? Rumah Aira deket rumah panti kan?" giliran Ayana yang menyahut kalimat dari suaminya, namun suaminya itu membalasnya dengan gelengan pelan seraya mengulas senyum tipisnya ke arah Ayana.
"Lihat nanti aja ya?" alibi Jefri.
Aviola. Gadis kecil yang ada di pangkuan Jefri itu ikut menyahut juga pada letupan kalimat yang muncul di bibir Sang Papa dan Mamanya, "Apiola nggak mau ke lumah Aila. Aila nakal,"
"Apiola yang nakal." Mendengar protesan dari kembarannya, Aidan sontak ikut membuka suara. Laki-laki kecil itu tengah menyeringai saat menatap kembarannya. Beberapa detik saat dua anak kembar itu beradu pandang dengan kilatan tajam di mata keduanya, Aidan sontak menyudahi pertengkaran matanya dan fokus dengan mainannya lagi.
"AIDAN!" Aviola berniat menarik rambut Aidan, namun dicekal oleh tangan Ayana dengan cepat. Ia terkadang sedikit tak enak jika melerai kedua anaknya dihadapan orang lain.
"Mama kan nggak pernah ngajarin Aviola marah sama orang lain. Kak Aira, Kak Aidan kan temen Aviola. Kak Aira kan baik. Kok Aviola marah? Nggak boleh marah ya, Nak? Yang pinter, jangan nakal! Kan Aviola mau punya adik. Nggak boleh berantem sama Kak Aidan juga." pinta Ayana pada Aviola yang membuat Aviola berangsur menyembunyikan tangannya di sela-sela dress-nya.
Aviola mendongak menatap Jefri yang memangkunya. Bibirnya masih mengerucut saat Ayana memperingatinya agar tak bertengkar lagi, "Tapi .... Tapi Apiola nggak mau, nanti Papa Apiola diambil sama Aila." serunya seraya memeluk Jefri.
"Aira punya papa sendiri kok," sahut Aira pada Aviola yang dibalas Fatih dengan kekehan pelan.
"Tuh .... Kak Aira sendiri bilang apa? Minta maaf ya sama Kakak?" titah Ayana pada Aviola yang masih memeluk Jefri seolah-olah takut jika Jefri diambil alih.
Jefri ikut menanggapi, tangannya mengusap lembut pipi gadis kecilnya dan mengisyaratkan gadis kecilnya itu untuk meminta maaf. Meskipun sempat menolak berkali-kali, namun Aviola menurut apa yang dikatakan Jefri dan Ayana.
Bibir Aviola tak berubah. Tetap sama, bibir panjang yang mengerucut itu tak terurai sedikit pun, "Apiola minta maap. Tapi, Aila nggak boleh ambil Papa Apiola. Aila nggak boleh minta gendong Papa Apiola. Aila nggak boleh peluk Papa Apiola. Aila nggak boleh ambil Papa Apiola. Kalau Aila ambil Papa Apiola, nanti Apiola nggak punya Papa." ucapnya menyalami Aira. Namun sedetik setelah itu, kelopak matanya meloloskan cairan bening yang membuat Jefri tersentak karena isakan pelan dari gadis kecilnya.
Semua pasang mata tertuju ke arah Aviola yang tengah menangis di pangkuan Jefri. Pun dengan Ayana berniat ingin menenangkan anaknya yang tengah menangis, tapi ditahan oleh Jefri. Sorot mata Jefri menandakan bahwa 'biarkan ia yang menanganinya sendiri'. Meskipun naluri Ayana ingin menenangkan anaknya, namun beberapa detik tak berlangsung lama tangis Aviola terhenti saat Jefri menepuk-nepuk punggung gadis kecilnya dengan pelan. Tak lupa bibirnya menghujani ciuman lembut di kepala anak gadisnya agar ia tak terisak lagi.
"Aviola, Aira minta maaf. Aira nggak rebut Papa Aviola kok, Aira kan udah punya Papa Mama sendiri." seru Aira merasa bersalah. Ia juga tak bermaksud membuat Aviola menangis. Ia hanya menebar kerinduannya pada Jefri yang lama tak berkunjung ke kota kelahirannya seperti dulu. Hanya itu aja. Bukan bermaksud apa-apa.
"Nanti malam ke Rumah Panti ya? Ketemu sama Mama Aira. Kalau Papa Aira, lagi kerja jadi nggak ada di rumah." lanjutnya mengarah ke Aviola.
💜💜💜
Maaf banget telat update lagi wkwk. Aku garap naskah lainnya jadi kecampur wkwk. Gapapa ya? Ini aku bawa Apiola. Apiola ini lulusan S3 Pertengkaran wkwk. Siapa aja dimusuhin wkwkw. Jangankan orang lain, Aidan aja nggak berhenti-berhenti dimusuhi wkwkwk.
Yang kemarin nunggu jawabannya itu aku kasih tau hari ini di siang bolong🤣 gimana? Masih mau nungguin sampai ending? Kwkwkw di awal part udah aku bilang ya gaes kalau di lapak ini aku mau uji test kesetiaan bapak badak. Kalau dia berhasil ya lolos kalau nggak berhasil ya resiko ditanggung Pak Badak wkwk canda wkwk.
Makasih banyak ya udah nungguin sampai sejauh ini. Kalau berkenan boleh aku minta vote 500an lebih? Dan komen yang banyak juga kayak part sebelumnya? Kalau boleh langsung gaskeun kita lebih dekat dengan ending.
See you guys. Kalau ada kesalahan typo dan semacamnya langsung kasih tau aku ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top